BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang: Sebuah Refleksi Awal

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sudut pandang teori materialisme historis dalam filsafat sejarah

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

BAB V PENUTUP. tesis ini yang berjudul: Konsep Berpikir Multidimensional Musa Asy arie. dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, sebagai berikut:

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN. hanya berdasarkan keyakinan saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

A. Dari segi metodologi:

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Eksistensialisme religius..., Hafizh Zaskuri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penciptaan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan berasal dari kata susastra. Su dan Sastra, dan kemudian kata

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan

Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam Pluralisme. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RACIKAN KESATUAN TRANSENDENTAL ALA IBN ARABI, RUMI, DAN AL-JILI

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

UKDW BAB I PENDAHULUAN

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

Bahasan Kajian Filsafat

UKDW BAB I PENDAHULUAN

III. METODE PENELITIAN

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Pancasila; sistem filsafat dan ideologi Negara

M. Hamid Anwar, M. Phil.

BAB I PENDAHULUAN. (2000) p Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan dalam Masyarakat yang Beranekaragam Gema Duta Wacana, Vol.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

UKDW BAB I PENDAHULUAN

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONALISME DALAM TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLIGIS, DAN AKSIOLOGIS

BAB IV KETUHANAN SEYYED HOSSEIN NASR PERSPEKTIF FILSAFAT PERENIAL

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen

19. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMP/MTs

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai apakah makna

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tugas mata kuliah pkn makalah identitas nasional. A. Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi berbagai konflik sosial baik secara

C. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDIPEKERTI SMALB TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

WAWASAN NUSANTARA. Dewi Triwahyuni. Page 1

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki eksistensi yang lebih bermartabat. Pendidikan formal pada hakikatnya

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pentingnya Toleransi Beragama dalam Menjaga Ketahanan dan Persatuan Bangsa 1. Prof. Dr. Musdah Mulia 2

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB IV PENUTUP. melalui tiga hal, yaitu satu identitas beragama Islam, dau identitas. bentuk, yaitu slametan dan nyadran.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. (denotasi) yang dihadirkan dalam film American Sniper. Selanjutnya, dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BOOK REVIEW SAINS: BAGIAN DARI AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas perumusan masalah dalam kajian ini. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: Agama adalah pandangan hidup yang menjadi tolok ukur penganutnya dalam bertindak. Pandangan hidup dalam berkehidupan di dunia sekaligus menjadi harapan untuk kehidupan yang lebih baik lagi setelah kematian. Sejalan dengan cita-cita luhur filsafat sebagai pencarian makna kehidupan karena cinta kebijaksanaan, kajian agama tentu harus didukung dengan konsep dan cara yang tepat. Membincang agama, dimana agama dianggap sebagian besar peganutnya sebagai sesuatu yang sensitif, tentunya membutuhkan langkah-langkah praktis yang bijak dalam memperbincangkannya. Maka Filsafat Agama hadir sebagai perspektif yang menjadi jalan tengah dari keterpisahan antara filsafat sebagai suatu disipin yang kritis dengan agama yang memiliki ciri khas dogmatis. 150

151 Kegemilangan pemikiran Frithjof Schuon adalah pada kemampuannya mensintesiskan pemahaman agama dengan konsep metafisika. Schuon memaparkan kebenaran metafisika (metaphysical truth) yang dapat dipahami yaitu dengan cara penghayatan agama secara mendalam. Agama adalah jalan yang tak dapat diabaikan dalam proses pencarian makna terdalam dari realitas. Proses penggalian hakikat realitas (metafisika) dalam pandangan Schuon berupa penghayatan agama menimbulkan dua corak pemahaman. Pertama adalah eksoterisme, dimensi eksoterisme menunjukkan realitas yang terdiri dari beragam bentuk agama. Kesadaran akan realitas pada ranah yang dipahami sebagai bentuk yang banyak dan berbeda-beda. Kebenaran agama yang dihasilkan pun berupa keyakinan yang terbatas, yaitu pada pemahaman agama tertentu. Corak pemahaman agama yang kedua adalah esoterisme. Dalam pemahaman agama corak ini, perbedaan yang tampak berupa berbagai bentuk agama tersebut menjadi kesamaan yang satu. Kesadaran akan kebenaran agama didasarkan pada pemahaman kesadaran ilahiyyah. Sehingga, perbedaan agama berupa bentuk-bentuk tersebut disadari secara hakiki sebagai yang tampak saja (fenomena). Bentuk agama berupa Yahudi, Kristen, Islam dan lain-lain tak lain adalah bagian kulit yang memiliki dan menuju pada Satu kesatuan kebenaran. Begitupun kebenaran dalam ajaran agama yang berbeda-beda tersebut, pada dimensi esoterisme, keberadaannya hanya dilatarbelakangi oleh alasan-alasan

152 manusiwi/jasmaniyyah, termasuk alasan fungsional historis dari kelahiran masing-masing agama yang betahap (dalam agama samawi secara bertahap diawali oleh Agama Yahudi, kemudian Kristen dan ditutup dengan Islam). Kedua pemahaman tersebut adalah bersifat hirarkis. Pemahaman agama pada fase awal adalah eksoterisme dan kedua adalah esoterisme. Fase pemahaman ini menunjukkan posisi kesadaran seseorang akan realitas. Pada dimensi eksoterisme, pemahaman realitas merupakan fenomena atau yang tampak saja, dan pada pemahaman agama dimensi esoterik adalah pemahaman yang bersifat universal dan hakiki. Akan tetapi, pada kedua dimensi tersebut, terdapat unsur ilahiyyah yang tidak lain adalah diri manusia sendiri. Manusia atau alam semesta secara umum adalah manifestasi Tuhan. Tuhan adalah Wujud Mutlak dan segala yang ada di alam semesta adalah wujud mungkin/nisbi. Keberadaan wujud mungkin mempunyai peran sebagai argumentasi ontologis sebagai bukti kemutlakan Tuhan yang tidak terbatas. Dengan segala kenisbias dalam wujud mungkin, terdapat unsur kedinamusan yang sekaligus membuktikan kemutlakan Tuhan sebagai Wujud Mutlak yang transenden dan tak berhingga dalam kemutlakannya. Namun demikian, alam semesta yang nisbi tidak akan pernah sederajat dengan Tuhan yang bersifat mutlak. Jika pemahaman tersebut disadari; manusia berkesadaran akan kenisbiannya atas kemutlakan Tuhan akan menimbulkan sikap saling menghargai satu sama

153 lain sebagai mahkluk yang melekat dengan segala keterbatasannya. Makhluk adalah wujud mungkin/nisbi yang sejatinya memiliki kesadaran ilahiyyah, dan selalu ingin menuju Yang Ilahi sebagai sumber kesadaran tersebut dan sumber segala sesuatu di alam semesta. Untuk mengenal sumber segala sesuatu itu, Ia memberikan jalan berupa agama. Dan terdapat berbagai bentuk jalan yang beragam tersebut menurut Schuon, sejatinya memiliki alasan ontologis-fungsional masing-masing. Itulah makna agama dalam pengertian metafisika. Konsepsi ketuhanan berupa transendensi dan imanensi dalam pemikiran Frithjof Schuon dapat menjadi jalan tengah dari kontroversi pemahaman Tuhan yang bernuansa sufistik;wahdat al-wujud, dalam artian Tuhan dan alam semesta adalah kesatuan wujud, kesatuan eksistensi. yang (pernah) berkembang, terkhusus corak yang pernah populer di Nusantara. Pemikiran Schuon dapat menjadi jalan tengah dalam menjawab kontrovesi wahdat al-wujud itu. Konsep wujud mutlak dan wujud mungkin/nisbi yang dibalut atas pengalaman agama merupakan sintesa antara konsep teologis yang tekstual dengan teologi corak metafisis; wahdat al-wujud. Konsep teologis yang dirasa kaku dengan perbedaan, dan konsep konsep spiritual yang dianggap sering mengabaikan peran agama dalam proses perjalanannya, dapat didamaikan dalam konsep Kebenaran Metafisika (Metaphysical Truth) yang dikemukakan Schuon.

154 Pemaknaan akan realitas yang bijak akan menghasilkan sikap yang bijak. Kesadaran akan adanya Realitas Mutlak di atas realitas yang ada atau realitas yang nampak, akan menghasilkan kedewasaan dalam menerima perbedaan. Kesadaran tersebut akan menghasilkan sikap beragama yang konstruktif. Kesadaran akan pentingnya adanya perbedaan tidak lain merupakan bagian dari keinginan Tuhan sendiri. Sehingga, akan muncul rasa simpati dan keinginan untuk terus menjaga perbedaan yang ada. Dengan pemaknaan tentang realitas sebagaimana demikian, harapannya akan terciptalah kehidupan (beragama) yang saling menjaga dan interaksi dalam keharmonisan. Dalam Filsafat Agama atau Religio Perennis Frithjof Schuon, tidak dibenarkan makna istilah spirituality, yes; religion, no. Spritualitas Menurut Schuon tidak dalam pengertian yang dikemukakan Suhrawardi, Ibnu Arabi dan beberapa tokoh Sufi Islam lain, yang membedakan makna spiritualitas dengan cara memisah praktik agama dengan penghayatan spiritualitas murni. Spiritualitas sebagai proses pencarian makna realitas bagi Schuon adalah melalui agama. Agama merupakan pandangan hidup. Mengandung unsur filosofismetafisis, agama menurut Schuon adalah pandangan hidup yang komprehensif. Pandangan hidup yang tidak semata memandang kehidupan sebagai realitas materi, tidak juga memandang spiritual murni tanpa ada sintetis dari realitas material, namun pandangan hidup yang mengakui keberadaan keduanya dalam membentuk kehidupan secara

155 utuh. Pandangan Schuon ini tentu relevan dalam memetakan realitas atau kondisi keagamaan di Indonesia yang plural. Pluralitas agama yang menjadi identitas sekaligus karakter bangsa yang kuat maka harus terus dijaga. Ringkasnya, Filfasat Agama Frithjof Schuon adalah bersifat teologismetafisis. Metafisika yang demikian abstrak diurai dalam pemahaman terhadap agama. Pengetahuan tentang hakikat realitas yang bertahap ditentukan oleh pemaknaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya. Jadi, jika di zaman postmodern ini metafisika diartikan sebagai suatu kondisi di mana muncul kritisisme yang menghancurkan hirarki yang mapan dalam masyarakat teologis. Dan dalam tahap metafisis tersebut, orang tidak lagi merujuk pada Tuhan atau keilahian tertentu, melainkan secara abstrak manusia berteori tentang sebuah Ada di balik peristiwa (Wibowo, 2014: 30), maka, pandangan demikian jelas bertolak belakang dengan metafisika Schuon. Sebab, dalam kehidupan dan peristiwa, selalu ada keinginan dalam diri manusia akan hal-hal yang positif. Semisal seseorang yang mengalami hal buruk, satu hal yang paling mungkin dilakukakannya adalah berusaha mengambil pelajaran dari kejadian tersebut untuk lebih berhati-hati dan agar menjadi lebih baik di kemudian hari. Kecenderungan manusia untuk berbuat baik dan lebih baik lagi dalam proses eksistesinya ini diulas oleh Schuon. Menurut Shuon, dalam diri manusia mengandung unsur

156 ilahiyyah, unsur inilah yang menjadi alasan mengapa manusia selalu mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang positif, bagaimanapun keadaannya. Dan corak pemikiran Schuon ini tentu relevan dalam mengarahkan kehidupan masyarakat di Indonesia yang nota bene adalah masyarakat yag beragama, agar berkehidupan dalam kerangka pikir yang religius secara dewasa. Lantaran kefanatikan agama adalah sesuatu yang identik dengan pengetahuan agama, maka fanatisme tidak bisa dihilangkan. Pada titik tertentu, agama mempunyai corak khas berupa pengetahuan tanpa rasionalitas, yatu iman. Pada ranah ini, fanatisme tidak dapat dihindarkan. Kefanatikan terhadap agama merupakan suatu yang bersifat harus, jika seorang penganut agama ingin menjadi penganut agama yang sejati. Akan tetapi, fanatisme dalam agama sering menimbulkan efek negatif dalam berkehidupan sosial. Maka, langkah selanjutnya adalah menentukan corak kefanatikan berupa fanatisme yang baik dan mendukung akan terwujudnya kehidupan bersama dalam keharmonisan. Sikap fanatik terhadap agama diarahkan kepada keinginan dan kemampuan menerima realitas yang berbeda-beda. Sehingga, fanatisme yang lahir adalah fanatisme yang konstruktif terhadap kehidupan bersama, baik sosial, ekonomi dan paling penting adalah bersikap konstruktif dalam konteks interaksi antar agama. Wallahu a lam

157 B. Saran Setelah menyelesaikan penelitian ini, beberapa saran yang dapat diberikan penulis, yaitu: 1. Pola pengertian agama yang dikemukakakan Schuon sering ditarik dalam diskursus pluralitas, spiritual dan teologi, namun belum banyak yang melakukan pengkajian secara mendalam terkait konsep agama yang dikemukakan, maka kiranya tulisan ini dapat menjadi referensi untuk menjernihkan kerangka pikir tersebut dan melakukan penelitian lebih lanjut, baik mengenai pemikiran Frithjof Schuon, maupun yang berkaitan dengan pengertian agama dan filsafat agama secara umum. 2. Dalam pengembangan dan pendalam konsep yang dikemukakan Schuon, penelitian lebih lanjut hendaknya dikembangkan dengan mencoba mencari hubungan antara konsep agama yang dikemukakan Frithjof Schuon dengan keyakinan masing-masing. Pemikiran Schuon diperdalam dan diverifikasi melalui Refleksi terhadap agama masing-masing. Sehingga, pemikiran agama dapat terus dikembangkan melalui perbaikan-perbaikan, bagian mana dari pemikiran Schuon yang bertentangan dengan keyakinan sendiri ataupun sebaliknya. 3. Dalam beragama, tentunya dapat dipahami bahwa suatu konsep yang dikemukakan tokoh tertentu tidak dapat membatasi sepenuhnya pemikiran dan sikap pribadi. Sebab, pemikiran seorang tokoh tidak lepas

158 dari setting historis saat ia membangun pandangannya. Selain itu, setiap orang mempunyai pemahaman dan pengalaman agama yang masingmasing berbeda. Maka bagaimanapun konsep yang dibangun Schuon, kiranya hanyalah bersifat tambahan perspektif tanpa membatasi pemaknaan personalitas masing-masing. 4. Suatu sikap dipengaruhi oleh pemahaman terhadap sesuatu. Dalam sikap beragama, pemaknaan terhadap agama itu sendiri sangat penting. Makna masing-masing agama yang dikemukakan Schuon kiranya dapat membuka cakrawala pemikiran dalam memahami hakikat agama masingmasing. Sehingga, dalam bersikap antar pemeluk agama yang berbedabeda, sebagaimana di Indonesia yang kental dengan ragam agama, masing-masing pemeluk agama dapat menyikapi perbedaan secara dewasa. Dengan makna agama yang dikemukakan Schuon harapannya masyarakat Indonesia mampu membangun sikap yang terbuka dengan perbedaan, namun sekaligus tanpa menghilangkan identitas diri (agama) sendiri.