BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dapat dikatakan kehidupan manusia saat ini tak bisa lepas dari bahan bakar fosil (Meivina et al., 2004). Ditinjau secara global, total kebutuhan energi dunia diperkirakan akan meningkat 1,3% per tahun, dari sekitar 200 juta barel minyak per hari di tahun 2005 menjadi sekitar 325 juta barel minyak per hari di tahun 2030 atau naik sekitar 40%. Konsumsi energi masih didominasi oleh energi minyak, namun ketersediaan minyak sangat terbatas (Soemarinda, 2008). Dengan cadangan terbukti sekitar 5 milyar barel dan tingkat produksi sekitar 500 juta barel, maka minyak bumi Indonesia akan habis kurang dari 10 tahun mendatang, yakni pada tahun 2013 (Meivina et al., 2004). Berdasarkan fakta tersebut, pemanfaatan energi terbarukan menjadi sangat penting dalam mengantisipasi semakin menipisnya ketersediaan cadangan minyak bumi. Energi terbarukan adalah energi yang diproduksi dari sumberdaya yang dapat diperbaharui. Sumber energi terbarukan seperti lain angin, cahaya matahari, panas bumi, air, dan biomassa memiliki peranan penting dalam mengatasi kebutuhan energi masa depan (Pandey, 2008). Bioetanol merupakan salah satu sumber energi terbarukan nonfosil yang ramah lingkungan (Chalifah, 2008). Menurut analisis Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), di Indonesia bahan baku bioetanol yang paling layak adalah tebu dan 1
singkong. Singkong memiliki kadar pati 25-30% (Hidayat, 2006). Salah satu limbah yang dihasilkan dari proses produksi yang menggunakan umbi singkong sebagai bahan bakunya adalah limbah padat berupa kulit umbi singkong. Dari 10 milliar ton umbi singkong yang digunakan dapat menghasilkan kulit umbi singkong sebanyak 0,3 milliar ton. Dari total 0,3 milliar ton kulit umbi singkong yang dihasilkan, hanya 0,1 milliar ton yang digunakan untuk pakan ternak, pupuk, dan media pertumbuhan jamur (Sriroth, 2008). Data ini menunjukkan penggunaan kulit umbi singkong yang masih rendah. Penggunaan kulit umbi singkong yang terbatas disebabkan karena kemampuan manusia untuk mencerna kulit umbi singkong yang rendah serta sifat toksisitasnya yang disebabkan karena kadar asam hidrosianik yang tinggi (Ubalua, 2007). Kandungan pati yang terdapat pada kulit singkong sebesar 68-85% dari berat keseluruhan kulit umbi singkong (Cuzin et al., 1991). Fakta ini menunjukkan bahwa kulit umbi singkong masih memiliki potensi untuk digunakan dalam menghasilkan suatu produk yang bermanfaat seperti etanol. Proses produksi etanol dari substrat berpati melibatkan dua tahapan. Tahap pertama adalah konversi pati menjadi gula sederhana (hidrolisis) dan tahap kedua adalah konversi gula sederhana menjadi etanol oleh khamir melalui proses fermentasi (Srinorakutara et al., 2004). Hidrolisis pati dapat dilakukan melalui dua metode yakni secara enzimatis dan secara asam (Kolusheva & Marinova, 2006). Pada hidrolisis pati secara asam, medium hidrolisis dikondisikan pada ph yang ekstrim (ph 1,8-2,0) menggunakan asam pekat (Murtianto & Chandra, 2008). Namun penggunaan asam pekat ini justru berdampak negatif pada lingkungan karena dapat merusak ekologi 2
dan menjadi sumber polusi (Jung et al., 2004). Berdasarkan hal ini kemudian dicoba penggunaan asam yang dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL) indigenous yang diisolasi dari kulit umbi singkong. Kemampuan BAL dalam menciptakan kondisi ph asam ini kemudian akan dibandingkan kemampuannya dalam menghidrolisis pati dengan kapang Aspergillus niger yang mampu menghasilkan enzim pemecah pati α- amilase dan glukoamilase (Gotsschalk, 1978). Pada tahap fermentasi etanol, khamir akan menggunakan gula sederhana hasil hidrolisis pati untuk metabolisme. Salah satu produk akhir metabolisme tersebut adalah etanol. Banyaknya etanol yang terbentuk dipengaruhi oleh banyaknya kandungan gula sederhana yang terbentuk dari hasil tahapan hidrolisis. B. Rumusan Masalah 1. Apakah hidrolisis pati kulit umbi singkong dengan perlakuan asam (menggunakan BAL indigenous) lebih baik daripada perlakuan enzimatis (menggunakan Aspergillus niger)? 2. Berapa yield produk etanol yang dapat diproduksi dari tiap gram tepung kulit umbi singkong? 3
C. Batasan Masalah Kulit umbi singkong yang digunakan adalah lapisan kulit umbi singkong yang berwarna putih (parenkim). Sedangkan lapisan kulit umbi singkong terluar yang berwarna coklat (periderm) tidak digunakan. D. Tujuan 1. Untuk mengetahui perlakuan mana yang lebih baik untuk menghidrolisis pati kulit umbi singkong: dengan perlakuan enzimatis (Aspergillus niger) atau perlakuan asam (BAL indigenous). 2. Untuk mengetahui yield produk etanol yang dapat diproduksi dari tiap gram tepung kulit umbi singkong. E. Manfaat F.1. Bagi masyarakat ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pengetahuan maupun referensi untuk penelitian dan pengembangan berikutnya. F.2. Bagi masyarakat industri a. Dapat menjadi dasar dan masukan bagi pengembangan industri bioetanol khususnya yang menggunakan substrat berpati (singkong). b. Dapat mengoptimalkan nilai manfaat dari singkong melalui pemanfaatan limbah kulit singkong yang dihasilkan. 4
F.3. Bagi masyarakat awam a. Menambah pengetahuan masyarakat akan manfaat singkong yang selama ini dimanfaatkan sebagai salah satu makanan pokok. b. Memberi motivasi bagi masyarakat untuk lebih peduli akan lingkungan dengan memanfaatkan limbah yang mungkin masih berpotensi untuk diolah kembali menjadi bahan yang berguna. 5