BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Habitat merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya tahun 1994, 1997, 1998, antara tahun , 2006 dan yang

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. organisme dapat disebut alamat suatu organisme. Relung (Ninche) adalah

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Desa Kepuharjo salah satu desa yang berada di Kecamatan Cangkringan

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.1 Latar Belakang. Luas kawasan konservasi di Indonesia sampai dengan tahun 2006 adalah

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan Fungsi Kawasan Hutan TNGM. Dan kemudian direvisi lagi dengan SK. Menhut No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan keputusan Menteri kehutanan No.70/Kpts-II/2001. TNGM memiliki ragam potensi keunikan baik dari aspek keanekaragaman hayati, keunikan alam, budaya dan sosial ekonomi. Masing-masing potensi dapat dikembangkan dan ditata sehingga serasi dan selaras terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kawasan TNGM merupakan satu kesatuan ekosistem yang utuh dan saling terkait antar komponen penyusunnya. Pada konteks ini, kawasan TNGM merupakan lingkungan kompleks yang tersusun atas komponen biotik, abiotik dan budaya. Masing-masing komponen berinteraksi secara kompleks dan membangun keharmonisan fungsi dan sistem tata kehidupan. Terganggunya fungsi salah satu aspek dari komponen lingkungan akan berdampak pada ketidakteraturan keseluruhan fungsi dari keseluruhan komponen lingkungan penyusunnya. Status kawasan TNGM yang relatif baru tahap pengembangan, memunculkan polemik berbagai pihak terhadap kepentingan sumber daya alam Gunung Merapi. Hal ini dipicu oleh keraguan dan kekhawatiran akan tersingkirnya kepentingan akses terhadap pemanfaatan sumber daya alamnya. Salah satu contoh adalah kepentingan terhadap akses sumber pakan ternak oleh masyarakat lokal dalam kawasan yang melimpah. Kepentingan tersebut terus berkembang sehingga menjadi salah satu bentuk persoalan pengelolaan kawasan TNGM. 1

Keberadaan kawasan TNGM telah lama dihadapkan pada persoalan intervensi manusia yang hidup di dalam dan di sekitarnya berupa aktivitas perumputan dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya. Kondisi ini dapat menjadi ancaman ataupun bahkan peluang dalam pengelolaan kawasan TNGM. Sifat ancaman disebabkan oleh tingkat ketergantungan sumber daya alam yang tinggi tanpa diimbangi dengan pola penataan dan regulasi penataan yang optimal dalam upaya peningkatan daya dukung alamnya. Dampaknya adalah eksploitasi secara terus-menerus dan besar dan menjadi pemicu rusaknya hutan baik dari aspek komposisi, struktur dan tingkat keragaman hayatinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan mengancam hilangnya spesies asli dan endemik ataupun jenis kunci/flagship spesies TNGM. Peluang pengelolaan diperoleh jika pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumber daya alam relatif tinggi sehingga terbentuk rasa memiliki dan bertanggungjawab bersama dalam praktek-praktek pelestariannya. Peluang tersebut perlu dicapai sehingga kestabilan kawasan akan lebih terjaga. Kondisi masyarakat sebelum adanya penetapan kawasan TNGM merupakan masyarakat petani subsisten sehingga ketergantungan terhadap sumber daya alam gunung merapi sangat tinggi. Masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan pertanian lahan kering dan perumputan sebagai sumber mata pencaharian. Ternak memiliki peran sangat penting dalam menunjang kemantapan ekonomi masyarakat pada kondisi darurat karena mudah untuk dicairkan dalam pemenuhan kebutuhan yang mendesak. Dampaknya adalah kegiatan perumputan terjadi secara intensif dan masif. Perumputan intensif dilakukan masyarakat terkait dengan frekuensi aktivitas yang dilakukan secara berulang, sedangkan masif terjadi karena dilakukan secara menyeluruh oleh masyarakat sekitar kawasan TNGM. Pengambilan rumput masyarakat dilakukan atas dasar keberadaan pakan dalam kawasan tanpa adanya pertimbangan aspek-aspek biofisik yang ada. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap proses terbentuknya kondisi hutan yang stabil (klimaks). Pemangkasan rumput yang tidak terkendali berdampak pada terputusnya mekanisme regenerasi tumbuhan khususnya penyusun tegakan hutan. Regenerasi 2

terputus pada hilangnya anakan. Dengan demikian terbentuklah dinamika vegetasi yang timpang (tidak seimbang). Perumputan secara fisik berdampak terhadap struktur dan komposisi penyusun tegakan hutan dikarenakan pola perumputan berupa pemangkasan/pemotongan dan pengambilan jenis tertentu saja. Implikasinya adalah ketimpangan komposisi jenis antara yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk tekanan terhadap kelestarian jenis-jenis penyusun hutan pada Taman Nasional Gunung Merapi. Pengambilan rumput yang secara terus-menerus bahkan permanen juga berimplikasi terhadap kemunduran proses suksesi. Jenis-jenis anakan yang tumbuh tidak sengaja terpotong sehingga tidak terbentuk sapling, tiang dan pohon. Implikasi lainnya adalah terbentuknya dominasi jenis invasif ataupun jenis tertentu yang menjadi prioritas perlindungan. Dominasi jenis invasif secara perlahan akan menggeser keberadaan jenis asli terkait dengan kekalahan kompetisi. Jenis invasif memiliki karakteristik cepat tumbuh, persebaran biji banyak, dan beberapa diantaranya memiliki daun yang bersifat alelopati (menghambat pertumbuhan jenis lain). Dalam jangka panjang, dampak spesifik perumputan adalah penurunan keragaman hayati jenis asli dalam kawasan TNGM. Kondisi ini perlu disikapi secara serius oleh pengelola dalam penataan kawasan. Aktivitas perumputan terjadi hampir merata pada desa-desa penyangga kawasan TNGM. Perumputan dapat dimaknai dalam dimensi kepentingan masyarakat lokal berupa akses terhadap sumber daya alam berupa rumput dan hijauan pakan ternak dari dalam kawasan TNGM. Sifat kepentingan ini berbeda dengan tujuan pengelolaan TNGM dalam pengawetan, pelestarian dan perlindungan sumber daya alam kawasan TNGM. Meskipun dalam pengelolaan TNGM, diijinkan pemanfaatan secara terbatas dengan pertimbangan kelestarian. Mengingat, perumputan memutus proses regenerasi dan dinamika pertumbuhan spesies dalam kawasan TNGM. Keberadaan masyarakat di dalam dan di sekitar Taman Nasional telah disikapi oleh pengelola dengan penerapan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 3

56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sistem zonasi tersebut secara spesifik mengatur adanya bagian kawasan hutan yang tidak boleh diganggu oleh aktivitas masyarakat untuk memastikan jaminan kelestarian fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan pelestarian alam. Mengacu pada Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi (RPTNGM, 2004) bahwa untuk mengakomodir kepentingan masyarakat di sekitar Taman Nasional akan kebutuhan rumput sebagai hijauan makanan ternak (HMT) telah dibentuk pengaturan zonasi yaitu zona tradisional. Perumputan dilatarbelakangi oleh ragam faktor internal-ekternal yang berkembang dalam dinamika sosial masyarakat. Faktor internal berasal kondisi sosial ekonomi masyarakat yang muncul dari dalam komunitas sosial masyarakat. Faktor eksternal muncul dari pengaruh luar komunitas ke dalam komunitas, baik berupa pemahaman, kapital, pandangan/ideologi dan lain-lain. Faktor-faktor internaleksternal memiliki implikasi terbentuknya pola-pola perumputan dalam kawasan TNGM. Pola-pola tersebut merupakan karakteristik aktivitas perumputan yang dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang berlaku. Pola-pola perumputan perlu diarahkan dan diatur sesuai dengan kaidah penataan kawasan yang dilakukan oleh pengelola. Pengelola menilai bahwa perumputan yang terjadi, tidak tertata secara sistemik sehingga menimbulkan gangguan pada dinamika vegetasi penyusun habitat TNGM khususnya pada tingkat pancang dan tukulan. Besaran kondisi vegetasi secara ekologis, saat ini belum sepenuhnya diambil sebagai bagian dari pertimbangan pengambilan keputusan pengelolaan. Konteks ini padahal penting sebagai wujud pengaturan pemanfaatan yang dapat ditetapkan dalam zona tradisional perumputan di TNGM. 1.2. Perumusan Masalah Perumputan di kawasan TNGM telah terjadi sejak sebelum ditetapkannya kawasan konservasi tersebut. Aktivitas perumputan merupakan bagian dari kehidupan 4

tradisional masyarakat yang sangat tergantung pada keberadaan sumber daya alam. Aktivitas ini telah berlangsung secara turun temurun hingga saat ini. Masyarakat menyadari bahwa selama ini mereka menempati dan atau menggunakan lahan milik Negara, namun demikian akses terhadap sumber daya perumputan selama ini tidak dibatasi. Persoalan muncul ketika terjadi perubahan status kawasan yang membatasi akses sumber daya alam dalam perumputan tersebut karena secara otomatis berdampak pada sumber-sumber penghidupan mereka. Pengelola tidak serta merta membatasi akses perumputan tersebut, akan tetapi persoalan menjadi tambah pelik terkait banyaknya jumlah warga masyarakat yang harus diakomodasi kepentingannya di dalam kawasan Taman Nasional. Disamping itu, pengelola juga memiliki kepentingan dalam pengembangan Taman Nasional sebagai bagian dari upaya untuk menjaga keberadaan keaslian ekosistem di dalamnya. Situasi yang demikian juga dihadapi dalam upaya menyusun kebijakan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi. Perumputan yang tidak tertata dalam kawasan TNGM memberikan dampak ekologi dan sosial yang kompleks. Dampak secara ekologis ditunjukkan oleh penurunan kondisi habitat baik pada aspek struktur, komposisi dan keragaman jenis khususnya pada tingkat pancang dan tukulan. Dampak tersebut dapat terjadi secara temporal ataupun permanen. Dampak temporal berupa kerusakan-kerusakan anakan sedangkan dampak permanen adalah terhambatnya mekanisme regenerasi dan suksesi dalam kawasan TNGM. Perumputan secara langsung berimplikasi terhadap keberadaan anakan di alam baik jenis maupun jumlahnya. Jenis-jenis anakan yang menjadi hijauan ternak cenderung tetap dipelihara sehingga jumlahnya dalam kawasan menjadi melimpah. Sedangkan jenis-jenis lain cenderung diabaikan. Dengan demikian, kerusakan anakan menjadi tidak terhindarkan. Tingkat kerusakan anakan menjadi patokan seberapa jauh gangguan perumputan terhadap keseimbangan habitat dan mekanisme regenerasi tegakan yang ada. Kerusakan tersebut perlu diidentifikasi dari aspek jenis-jenis anakan yang biasa 5

diamanfaatkan dan jenis-jenis anakan lain yang tidak sengaja dipangkas dalam perumputan. Hal ini penting sebagai bahan pertimbangan pengelolaan lapangan selanjutnya. Aktivitas perumputan secara tidak langsung telah membangun pola-pola pemanfaatan, baik dari aspek lokasi, waktu, jenis dimanfaatkan dan sebagainya. Polapola ini disebabkan oleh faktor-faktor ekologis dan sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat. Pola-pola perumputan tersebut perlu diidentifikasi sehingga dapat ditempuh suatu kebijakan penataan yang implementatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola-pola perumputan perlu diidentifikasi, baik dari aspek ekologis maupun sosial. Faktor ekologis dipengaruhi oleh kondisi biofisik persebaran sumber hijauan ternak sedangkan faktor sosial dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat, baik dari unsur penghasilan, mata pencaharian, keterbatasan lahan, dan sebagainya. Masing-masing faktor perlu dianalisa dan dirumuskan dalam tata kelola TNGM sebagai solusi yang dapat diimplementasikan oleh para pihak. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka untuk pengembangan managemen pengelolaan TNGM diperlukan penelitian untuk mengetahui kondisi dan pemanfaatan rumput oleh masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Gunung Merapi. 1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini meliputi : Faktor sosial dan biofisik apa yang melatarbelakangi perumputan? Pola perumputan seperti apa yang terbentuk dalam masyarakat? Seberapa jauh dampak perumputan terhadap keragaman hayatinya? 6

Faktor pendukung dan penghambat apa yang bisa dipakai sebagai bahan penyusun solusi dalam penanganan perumputan? 1.4. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kondisi dan pemanfaatan rumput oleh masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Gunung Merapi belum pernah dilakukan oleh orang lain khususnya di lokasi rencana penelitian yaitu desa penyangga TNGM di Desa Ngablak yang masuk ke dalam wilayah pengelolaan Resort Srumbung. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) Mengetahui kondisi vegetasi pada tingkat pancang dan tukulan dari aspek struktur, komposisi dan keragaman jenis serta kerusakan anakan akibat terjadinya perumputan. 2) Identifikasi pola perumputan masyarakat di Desa Ngablak di Wilayah Resort Srumbung TNGM. 3) Menyusun solusi penanganan perumputan di kawasan TNGM. 1.6. Manfaat Penelitian 1) Alternatif pendekatan pengelolaan terhadap tekanan kawasan TNGM berupa perumputan untuk mencapai kelestarian sumber daya alam dan lingkungan TNGM 2) Dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan kebijakan dalam pengembangan manajemen pengelolaan TNGM yang berkelanjutan dan prospektif diwaktu yang akan datang. 7