KERAGAMAN JENIS AMFIBI DAN REPTIL GUMUK PASIR, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai

BAB III METODE PENELITIAN

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

Jurnal MIPA 38 (1) (2015): Jurnal MIPA.

Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG

PERSEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DALAM MENDUKUNG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAMPUS SEKARAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Perum Bendo Permai no 28D, Bendo Pare, Kediri. Telp:

Keanekaragaman Herpetofauna di Lahan Reklamasi Tambang Batubara PT Singlurus Pratama, Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

Keywords : Diversity in Cikaweni PPKAB Bodogol, Dominance, Inventory, Herpetofauna, VES with Time Search methods

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang.

KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL (SPTN) I, ALAS PURWO, BANYUWANGI, JAWA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

JENIS-JENIS KADAL (LACERTILIA) DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS ANDALAS LIMAU MANIH PADANG SKRIPSI SARJANA BIOLOGI OLEH HERLINA B.P.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Anggota Ordo Anura di Lereng Selatan Gunung Merapi Tahun 2012

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT*

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Achmad Barru Rosadi, Adeng Slamet, dan Kodri Madang Universitas Sriwijaya

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet, Jawa Tengah

BAB III TINJAUAN WILAYAH

Berry Fakhry Hanifa dkk. Kajian Keanekaragaman dan Kemelimpahan Ordo Anura Sebagai Indikator Lingkungan Pada Tempat Wisata di Karesidenan Kediri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB III METODE PENELITIAN

INVENTARISASI JENIS AMFIBI DAN REPTILIA DI KAWASAN HUTAN POHUWATO, GORONTALO, SULAWESI

HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNNA DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULON PROGO YOGYAKARTA

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

KEANEKARAGAMAN ANGGOTA ORDO ANURA DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA ANURA DIVERSITY IN YOGYAKARTA STATE UNIVERSITY

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

BAB IV METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti

III. METODE PENELITIAN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Keanekaragaman dan Ekologi Biawak (Varanus Salvator) di Kawasan Konservasi Pulau Biawak, Idramayu

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

PREFERENSI KETINGGIAN HABITAT PTYCHOZOON KUHLII DI TEMPAT WISATA AIR TERJUN RORO KUNING KABUPATEN NGANJUK

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

LAPORAN PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF BUNGLON (Bronchochela sp.) Oleh :

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

Transkripsi:

KERAGAMAN JENIS AMFIBI DAN REPTIL GUMUK PASIR, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Tony Febri Qurniawan dan R. Eprilurahman Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55281 e-mail: tony_qurniawan@yahoo.com (diterima Mei 2013, disetujui Oktober 2013) ABSTRAK Qurniawan, T.F. & Eprilurahman, R. (2013) Keanekaragaman jenis amfibi dan reptil gumuk pasir, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Zoo Indonesia 22(2), 9-16. Gumuk Pasir di Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki ekosistem unik eolian sehingga sangat menarik untuk diteliti keragaman jenis amfibi dan reptil di sana. Pada Oktober-Desember 2008 dan Maret-Mei 2009 telah dilaksanakan penelitian untuk mengungkapkan keragaman jenis herpetofauna di gumuk pasir. Jumlah seluruh jenis herpetofauna yang didapatkan yaitu 14 jenis terdiri dari 3 amfibi dan 11 reptil. Jenis herpetofauna yang paling banyak ditemukan adalah Hemidactylus frenatus sebesar 38,8% dan Duttaphrynus melanostictus sebesar 31,5%. Kami juga mencatat kemunculan kadal Cryptoblepharus cursor yang ternyata dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan habitat litorial. Kata kunci: amfibi, reptil, herpetofauna, gumuk pasir, Yogyakarta ABSTRACT Qurniawan, T.F. & Eprilurahman, R. (2013) The diversity of amphibians and reptiles in sand dune, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Zoo Indonesia 22(2), 9-16. Sand dune (gumuk pasir) in Yogyakarta is an area that has a unique ecosystem eolian. It is very interesting to study the species diversity of amphibians and reptiles in that area. The research was done since October-December 2008 and March- May 2009 to uncover the species diversity of reptiles and amphibians in sand dune. The total numbers of herpetofauna are 14 species of 3 amphibians and 11 reptiles. The common species found are Hemidactylus frenatus (38.8%) and Duttaphrynus melanostictus (31.5 %). We also recorded the presence of snake-eyed skink Cryptoblepharus cursor which is adapted to the littoral habitat very well. Keywords: amphibians, reptiles, herpetofauna, sand dune, Yogyakarta PENDAHULUAN Gumuk pasir di sepanjang pesisir selatan Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta merupakan salah satu bentang alam eolian di Indonesia yang sangat menarik untuk diketahui keragaman jenis amfibi dan reptilnya (herpetofauna). Umumnya bentang alam eolian hanya terdapat di daerah gurun, namun uniknya Indonesia yang beriklim tropis ternyata juga memiliki bentang alam ini. Sujarwo (1984) menyebutkan bahwa terjadinya gumuk pasir di sepanjang pesisir selatan Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta disebabkan oleh tiupan angin muson tenggara yang membentur topografi karst Pegunungan Sewu sehingga angin tersebut berbelok ke daerah Parangtritis hingga Depok dan menambah tenaga untuk pengangkutan materi pokok pembentuk gumuk pasir. Sedangkan Bird dan Ongkosongo (1980) menyebutkan, pasir yang merupakan materi pokok pembentuk gumuk pasir tersebut berasal dari aktivitas vulkanik gunung berapi, materi pasir ditransfer melalui sungai-sungai yang bermuara dekat gumuk. Gumuk pasir merupakan lingkungan yang memiliki suhu yang tinggi, vegetasi yang minim, angin yang kencang serta kadar garam yang tinggi. Selain itu tingginya suhu harian serta kencangnya angin mempercepat penguapan air sehingga kandungan air pada tanah sangatlah sedikit (Whitten 9

et al. 1997; Sofyan 2000). Hal tersebut menjadikan gumuk pasir merupakan daerah yang ekstrim untuk kelangsungan hidup herpetofauna. Tentu saja hanya jenis amfibi dan reptil tertentu yang mampu hidup di daerah gumuk pasir. Tidak ada informasi sebelumnya mengenai keragaman jenis herpetofauna yang mampu hidup dan beradaptasi di daerah tersebut. Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan di tempat tersebut masih sangat terbatas pada pengamatan vegetasi. Minimnya informasi tersebut menyebabkan kurang efektifnya pengelolaan kawasan ini, baik bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata. Penelitian ini dilakukan berdasarkan latar belakang dan pertimbangan permasalahan di atas dengan tujuan untuk mempelajari dan membuat data keragaman jenis herpetofauna Gumuk Pasir Depok, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di kawasan Gumuk Pasir Depok yang terletak di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Oktober-Desember 2008 dan Maret-Mei 2009 dengan total 12 kali sampling. Area sampling berjarak ± 5 m dengan bibir pantai, panjang area ±1 arah ke timur-barat dan ± 1 km arah ke selatan-utara terkonsentrasi pada tiga titik yaitu: 1. Zona I terletak pada koordinat : 07º89 66 LS dan 110º55 40 BT, 07º99 41 LS dan 110º69 80 BT serta 08º39 55 LS dan 110º77 50 BT. Zona ini merupakan formasi depan gumuk, berupa stadium pasir muda (immature dunes) yang berbatasan langsung dengan laut. 2. Zona II terletak pada koordinat : 07º90 12 LS dan 110º70 55 BT, 07º88 66 LS dan 110º57 17 BT serta 07º89 14 LS dan 110º58 50 BT. Zona ini merupakan formasi tengah gumuk, berupa stadium pasir semi dewasa. 3. Zona III terletak pada koordinat : 07º87 78 LS dan 110º56 73 BT, 07º88 60 LS dan 110º57 61 BT serta 07º88 88 LS dan 110º60 71 BT. Zona ini merupakan formasi belakang gumuk, berupa stadium pasir dewasa (mature dunes). Gambar 1. Gumuk pasir lokasi penelitian Zona I (garis kuning), zona II (garis merah) dan Zona III (garis hijau) (sumber peta hybrid Google earth, 2009). Penelitian ini menggunakan metode VES (Visual Encounter Survey) (Heyer dkk 1994; Kusrini 2009) pada pagi (pukul 06.30-09.30 WIB) dan malam hari (pukul 19.30-22.30). Parameter lingkungan yang diukur berupa suhu permukaan pasir, suhu udara, suhu air dan kelembaban. Jenis yang tertangkap diidentifikasi jenis menggunakan panduan identifikasi Rooij (1915; 1917), Manthey & Grossmann (1997), Iskandar (1998), dan Iskandar & Colijn (2000; 2001). Selanjutnya hasil dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener (Magurran 1988) yang mempunyai formula sebagai berikut: Keterangan : H = - Pi Ln Pi H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = Proporsi jenis ke-i Menurut Brower & Zarr (1997), keanekaragaman dikatakan sangat rendah jika nilainya <1, jika nilainya berkisar antara 1-1,5 maka dikatakan rendah dan dikatakan sedang jika nilainya 10

berkisar antara 1,5-2,0. Sedangkan dikatakan tinggi jika nilainya >2,0. Analisis pengelompokan zona dilakukan dengan menggunakan derajat kesamaan Jaccard serta menggunakan bantuan pogram komputer NTSYS P.2.1. Indeks Simpson digunakan untuk mengetahui derajat kesamarataan jenis pada lokasi penelitian dengan formula sebagai berikut: Keterangan : E = Indeks kesamarataan jenis H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan Jika nilai E mendekati 1 maka menunjukkan jumlah individu antar jenis relatif sama. Namun jika lebih dari 1 ataupun kurang maka kemungkinan besar terdapat jenis dominan di komunitas tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman jenis dan pengelompokan zona Pada penelitian ini berhasil mengidentifikasi sebanyak 11 jenis amfibi dan reptil. Jenis yang berhasil didata yaitu 3 jenis merupakan anggota kelompok amfibi dan 8 jenis dari kelompok reptil (Tabel 1). Keanekaragaman jenis merupakan gambaran dari banyaknya jenis dan kemelimpahan individu tiap jenis yang ditemukan dalam suatu lokasi. Keanekaragaman jenis dapat digambarkan dalam bentuk indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan jenis (E). Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, diketahui indeks keanekaragaman zona I yaitu 1,28, zona II sebesar 1,62, dan zona III sebesar 1,53 (Gambar 2). Secara umum nilai indeks keanekaragaman jenis amfibi dan reptil di gumuk pasir relatif rendah. Rendahnya keanekaragaman amfibi dan reptil berkaitan dengan kondisi lingkungan gumuk pasir yang ekstrim sehingga hanya jenis tertentu yang dapat toleransi dan beradaptasi hidup di gumuk pasir. Tinggi rendahnya nilai indeks di masingmasing zona menandakan adanya perbedaan jumlah jenis dan kemelimpahan tiap jenis yang ditemukan di masing-masing zona. Nilai indeks akan semakin maksimum jika jenis yang ditemukan banyak dengan kemelimpahan tiap jenis yang hampir sama (tidak ada dominasi). Perbedaan junlah jenis dan kemelimpahan tiap jenis yang ditemukan di masing -masing zona dapat disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan antar zona dan menunjukkan adanya pengelompokkan zona (Gambar 3). Hasil perhitungan nilai indeks kemerataan jenis Simpson setiap zona antaralain, zona I sebesar Tabel 1. Keragaman jenis reptil dan amfibi gumuk pasir Suku Jenis Kelimpahan Microhylidae Kaloula baleata (Müller, 1836) 2.16 % Rhacophoridae Polypedates leucomystax (Gravenhorst, 1829) 1.73% Bufonidae Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799) 31.47% Hemidactylus frenatus Schlegel, 1836 38.79% Hemidactylus garnotii Duméril & Bibron 1836 9.48% Gekkonidae Hemydactylus platyurus (Schneider, 1792) 9.91% Gekko gecko (Linnaeus, 1758) 2.16% Draco volans Linnaeus, 1758 2.16% Scincidae Cryptoblepharus cursor Barbour, 1911 1.29% Colubridae Lycodon aulicus Boie, 1827 0.43% Ptyas korros (Schlegel, 1837) 0.43% 11

0,79, zona II sebesar 0,73 dan zona III sebesar 0,69. Nilai indeks kemerataan pada ketiga zona cenderung mendekati 1 yang menandakan kemerataannya cukup tinggi atau kemelimpahan jenisnya relatif merata. ditemukan pada zona tertentu. Sedangkan jenis lainnya tersebar dan dapat ditemukan di semua zona. Zone_I Nilai indeks 0,69 menandakan komunitas amfibi dan reptil pada zona III dalam kondisi labil sedangkan nilai indeks lebih dari 0,75 menadakan komunitas dalam kondisi stabil (Daget 1976). Hal ini menyatakan kemungkinan bahwa pada zona III Zone_III Zone_II Zone_III 0.54 0.58 0.61 0.65 0.68 Coefficient merupakan daerah transit fauna pendatang dan Zona I-II merupakan zona bagi fauna asli gumuk pasir. Gambar 3. Pengelompokan zona berdasarkan indeks Jaccard dengan UPGMA. Catatan jenis tambahan dan perilaku adaptasi yang teramati Duttaphrynus melanostictus dan Polypedates leucomystax merupakan jenis amfibi umum dijumpai di gumuk pasir. Keduanya merupakan amfibi yang sangat adaptif karena persebarannya ditemukan di ketiga zona. Satu jenis amfibi yang lainnya yaitu Kaloula baleata merupakan info baru bahwa katak jenis ini mampu Gambar 2. Indeks keanekaragaman pada masingmasing zona (I) Zona I, (II) Zona II, (III) Zona III. Pengelompokan zona berdasarkan kehadiran jenis-jenis herpetofauna yang ditemukan tiap lokasi (Gambar 3),menunjukkan bahwa zona I terpisah dari zona II dan III. Jenis -jenis herpetofauna yang ditemukan di lokasi zona II dan III kesamaannya lebih besar daripada dengan zona I. Parameter lingkungan (suhu air, udara, dan jenis vegetasi) yang berbeda antara zona I dan kedua zona lainnya kemungkinan menjadi faktor perbedaan keragaman jenis tersebut. Zona I yang sedikit vegetasi dan berbatasan langsung dengan laut menjadikan zona I memiliki lingkungan yang lebih ektrim dari kedua zona lainnya. Tentu saja keragaman jenisnya juga paling minim (Gambar 2). Beberapa jenis herpetofauna tertentu seperti Cryptoblepharus cursor, Draco volans dan Polypedates leucomystax yang terpusat dan banyak bertahan hidup pada daerah ekstrim seperti gumuk pasir. Dari pengamatan Kaloula baleata yang hidup disana memiliki perilaku unik untuk beradaptasi. Perilaku unik tersebut yaitu memanjat pohon untuk mencari kubangan air dan juga perilaku memendamkan diri dalam pasir untuk menjaga suhu tubuh dan kelembapan kulitnya (Gambar 5). Kami juga mencatat bahwa dari 8 jenis reptil, 6 jenis merupakan jenis reptil yang adaptif dan umum dijumpai di gumuk pasir. Anggota dari suku Gekkonidae adalah reptil yang paling banyak dijumpai terutama genus Hemidactylus (58%). Dua jenis reptil lainnya yaitu Lycodon aulicus dan Cryptoblepharus cursor (Gambar 6) merupakan info baru bahwa kedua jenis ini mampu bertahan hidup pada daerah ekstrim seperti gumuk pasir. Kami juga mencatat kehadiran kadal Cryptoblepharus cursor serta perilaku adaptasinya. Pranoto (2007) melaporkan bahwa di gumuk pasir terdapat kehadiran kadal Cryptoblepharus baliensis, 12

namun selama pnelitian kami sama sekali tidak menemukan kehadiran kadal tersebut. Kemungkinan kadal yang dimaksud Pranoto (2007) sebagai Cryptoblepharus baliensis adalah Cryptoblepharus cursor. Kadal Cryptoblepharus cursor di Indonesia persebarannya terbatas yaitu sepanjang pesisir pantai Jawa Timur, Bali Barat, Lombok, dan Pulaupulau kecil di Sulawesi Tenggara (Rooij 1915). Kadal ini habitatnya unik yaitu di pesisir pantai, metabolisme tubuhnya yang rendah telah membuat daya adaptasi yang tinggi sehingga dapat dengan baik untuk hidup pada lingkungan yang minim dengan air dan pakan (Fricke 1970). Ukuran panjang tubuh kadal dewasa lebih kurang 10 cm, tubuh berbentuk pipih dan silinder, memiliki lamela bawah jari keempat berjumlah 24, memiliki ekor yang panjangnya melebihi panjang kepala dan tubuhnya. Tubuhnya memiliki pola warna menyerupai butiran-butiran pasir dan semak yang ada dilingkungan sekitarnya. Pada bagian punggungnya terdapat dua garis memanjang dikanan kiri tubuhnya (Rooij 1915). Kadal ini aktif pada peralihan waktu yaitu pagi dan senja, sedangkan selama musim hujan kadal ini sangat jarang ditemukan. Hal tersebut mungkin dikarenakan keaktifan kadal gumuk pasir berlangsung lebih singkat adanya turun hujan setiap hari sehingga lebih banyak bersembunyi di lubang. Lubang tempat hidupnya dan tempat bertelur dibuat di bawah tumbuhan Spinifex littoreus. Telurnya diketahui hanya berjumlah satu buah. Lubang tempat tinggalnya terkadang sering bersamaan dengan lubang kepiting pesisir pantai. Kemungkinan kadal jenis ini di Yogyakarta hanya terdistribusi didaerah pesisir selatan Yogyakarta dan hidupnya telah beradaptasi dengan baik pada habitat litorial. Sebagai catatan tambahan keanekaragaman jenis pernah juga ditemui bangkai ular laut (Laticauda sp.) terdampar di bibir pantai dan Takydromus sexlineatus terlindas di jalan namun penemuan kedua jenis ini diluar waktu sampling. Analisis kelompok fauna asli dan pendatang Gumuk pasir sebagai daerah dengan kondisi lingkungan yang ekstrim menjadikan lahan gumuk pasir sulit untuk kelangsungan hidup tumbuhan maupun hewan. Adanya pengaruh musim kemarau dan penghujan menyebabkan terjadinya fluktuasi biota. Namun demikian, gumuk pasir ternyata telah menjadi lahan baru bagi fauna amfibi dan reptil untuk mendiami gumuk pasir tersebut, sebagai tempat untuk tinggalnya maupun sebagai tempat untuk mencari pakan. Hal tersebut memperluas daerah jelajah dan mengurangi kompetitor lainnya. Fauna amfibi dan reptil yang terbiasa mencari pakan di daerah gumuk pasir ini mengalami kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru di gumuk pasir. Sehingga reptil dan amfibi yang ada di gumuk pasir dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu fauna asli gumuk pasir dan fauna pendatang. Jenis amfibi dan reptil sebagai fauna asli gumuk pasir antara lain yaitu Cryptoblepharus cursor, Hemidactylus frenatus, Hemidactylus garnotii, Hemidactylus platyurus, dan Duttaphrynus melanostictus. Hal ini dikarenakan Cryptoblepharus cursor hanya terdistribusi di daerah pesisir dan gumuk dan belum ditemukan selain daerah tersebut. Sedangkan untuk Hemidactylus frenatus, Hemidactylus garnotii, Hemidactylus platyurus, dan Duttaphrynus melanostictus diketahui memang memiliki adaptasi yang baik dan kemungkinan berpindah tempat/ daerah jelajahnya sempit. Kaloula baleata, Polypedates leucomystax, Gekko gecko, Draco volans, Lycodon aulicus, dan Ptyas korros merupakan amfibi dan reptil fauna pendatang. kemungkinan awalnya berasal dari lingkungan persawahan perkebunan penduduk yang terletak di belakang zona III lalu terdesak oleh aktifitas pendirian rumah penduduk dan akhirnya menjelajah ke daerah gumuk. Kemudian lambat laun menjadi penghuni gumuk. Penyebaran fauna pendatang kemungkinan besar dapat melalui sungai 13

Gambar 5. Perilaku Kaloula baleata memanjat dan membenamkan diri dipasir sebagai perilaku beradaptasi dilingkungan gumuk pasir. daerah gumuk pasir merupakan obyek wisata yang setiap waktunya banyak terjadi aktifitas manusia disana, aktifitas tertentu dari manusia dapat berdampak positif bagi herpetofauna namun juga dapat berdampak negatif. Salah satu aktifitas berdampak positif seperti penggalian sumur dan pembuatan kamar mandi secara tidak langsung menunjang keberadaan sumber air tawar bagi herpetofauna terutama amfibi, namun kebiasaan umum seperti membunuh ular yang kebetulan menjelajah mencari makan di sekitar daerah obyek wisata serta kegiatan perburuan ular lambat laun dapat menurunkan keragaman jenis ular yang hidup di gumuk pasir. Gambar 6. Cryptoblepharus cursor sebagai kadal khas gumuk pasir (a),(b),(c) aktiftas kadal C. cursor dan (d) liang tempat tinggal C. cursor. kecil yang bermuara ke pantai Depok dan Parangtritis. Komposisi jantan dan betina Perbandingan jantan dan betina (Gambar 6) menunjukkan komposisi amfibi dan reptil yang ada di gumuk pasir paling banyak didominasi jantan 65,07%, sedangkan betina 30,15% dan belum dewasa 4,76 %. Perbandingan rasio sangat menentukan keberlangsungan populasi herpetofauna gumuk pasir yang akan datang. Dilihat dari struktur komposisi jantan dan betina (Gambar 7) dan jumlah total individu yang ditemukan pada tiap jenisnya, maka dapat diperkirakan untuk amfibi jenis Polypedates leucomystax dan Kaloula baleata merupakan jenis yang rentan mengalami penurunan populasinya. Pada kelompok reptil, Draco volans, Cryptoblepharus cursor, dan semua jenis ular merupakan jenis yang rentan mengalami penurunan populasi kedepannya. Apalagi sebagian besar Gambar 7. Perbandingan jantan dan betina tiap jenis herpetofauna gumuk pasir. keterangan: 1. Duttaphrynus melanostictus, 2. Polypedates leucomystax, 3. Kaloula baleata, 4. Hemidactylus frenatus, 5. Hemidactylus garnotii, 6. Hemydactylus platyurus, 7. Gekko gecko, 8. Draco volans, 9. Cryptoblepharus cursor, 10. Ptyas korros, 11. Lycodon aulicus. Karakteristik habitat zona I, II dan III Zona I merupakan stadium bukit pasir muda (immature dunes) pada bagian depan berbatasan langsung dengan laut sehingga salinitas tinggi dan merupakan daerah pasang surut. Bagian belakang ditemukan vegetasi khas berupa tumbuhan merambat yang didominasi oleh Spinifex littoreus dan Fimbristillis cymosa. Suhu harian berkisar antara 33,75-34,83 C menyebabkan bagian belakang daerah ini sangat jarang sekali ditemukan kubangan air hujan. Hal tersebut menyebabkan Zona I menjadi daerah yang paling sedikit jenis amfibi 14

yang dapat ditemukan. Pada bagian belakang zona ini merupakan daerah jelajah kadal gumuk Cryptoblepharus cursor. Zona II adalah zona gumuk pasir bagian tengah atau peralihan, bagian muka merupakan stadium muda (immature dunes) dan pada bagian belakang merupakan stadium dewasa (mature dunes). Bukit pasir pada zona II cukup tinggi kurang lebih bisa mencapai 10 m. Wilayah ini didominasi dengan vegetasi yang merambat dan berkayu seperti Spinifex littoreu, Axomorpus compressus, Gliricidia septum dan Acasia sp. Banyaknya vegetasi pada bagian belakang menyebabkan mudah untuk menemukan kubangan air pada musim hujan. Hal tersebut menjadikan pada zona ini lebih mudah ditemukan beberapa jenis katak Duttaphrynus melanostictus dan Kaloula baleata daripada zona I. Pada zona II sebagai zona peralihan yang memiliki karakteristik zona I dan II, menjadikan daerah ini sangat cocok dijadikan tempat jelajah bagi jenis ular seperti Ptyas korros dan famili Geckonidae. Di zona II memiliki tingkat keamanan lebih tinggi terhadap para predator bila dibandingkan dengan zona I. Zona III merupakan stadium gumuk pasir dewasa (mature dunes) cirinya ditandai pasir berwarna coklat dan didominasi vegetasi yang merambat yaitu Axomopus compressus dan tumbuhan berkayu seperti Acacia sp. Glaricidia septum, dan Anacardium occidentale. Banyaknya vegetasi dan akar penutup tersebut akan membantu mencegah pergerakan pasir sehingga bentuk penimbunan pasir relatif tetap. Hal ini menyebabkan air tidak cepat hilang, sehingga rata-rata suhu hariannya (31,25-32,96 C) lebih rendah dibandingkan dengan zona lainnya. Pada zona III banyak terdapat pepohonan tinggi, daerah ini banyak digunakan untuk tempat tinggal berbagai jenis burung yang menjadi predator amfibi dan reptil. Daerah ini juga cocok untuk daerah tempat tinggal bagi jenis ular dan famili Geckonidae karena bagian belakang dari zona ini terdapat sungai saluran irigasi dan berbatasan dengan pemukiman penduduk. KESIMPULAN Keanekaragaman amfibi dan reptil di gumuk pasir teridentifikasi sebanyak 11 jenis herpetofauna. Jenis Cryptoblepharus cursor, Hemidactylus frenatus, Hemidactylus garnotii, Hemidactylus platyurus, dan Duttaphrynus melanostictus merupakan jenis yang melimpah dan umum dijumpai. Diketahui pula bahwa di gumuk pasir tedapat pengelompokan zona utama yaitu antara zona I dengan zona II dan III. DAFTAR PUSTAKA Bird, E. C. F. & Ongkosono, O. S. R. (1980) Environmental changes on coasts of Indonesia. United Nation University press, Tokyo. Brower, J. E. & J. H. Zarr (1997) Field and Laboratory For General Ecology. W.M.C Brown Company Publishing, Portugue, Iowa. Daget, J. (1976) les Modeles Mathematique en Ecologie. Masson, Coll. Ecoll. 8, Paris, 172 pp. Fricke, H. W. (1970) Die o kologische Spezialisierung der Eidechse Cryptoblepharus boutonii cognatus (Boettger) auf das Leben in der Gezeitenzone (Reptilia, Skinkidae). Oecologia, 5, 380 391. Heyer, W. R., Donnelly, M. A., Mc Diarmid, R. W., Hayek, L. C. & Foster, M. S. (1994) Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington. Iskandar, D. T. (1998) Amphibia of Java and Bali. Research and development Center for Biology-LIPI, Bogor. Iskandar, D. T. & Colijn, E. (2000) Preliminary checklist of Southeast Asian and New Guinean herpetofauna: Amphibians. Treubia, 31 (3), hal 1-133. Iskandar, D. T. & Colijn, E. (2001) Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles Part I: Serpentes, The Gibbon Foundation, Jakarta. Kusrini, D. M. (2009) Pedoman Penelitian dan Survei Amphibia Di lapangan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian, Bogor. Magurran, A. E. (1988) Ecologycal Diversity and its Measurement. Croom Helm, London. 15

Manthey,U. & Grossmann, W. (1997) Amphibien and Reptilien Sudostasiens. Natur & Tier- Verlag, Musnter, Germany. Mertens, R. (1928) Neue Inselrassen von Cryptoblepharus boutonii (Desjardin), Zoologisher Anzeiger, 78, hal 82 89. Pranoto, F. X. S. (2007) Kehidupan Kadal Gumuk Pasir. Seminar, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rooij, N. D. (1915) The Reptiles of the Indo- Australian Archipelago I, Lacertilia. Chelonia, Emydosauria, EJ Brill Leiden, The Netherlands. Rooij, N. D. (1917) The Reptiles of the Indo- Australian Archipelago II, Ophidia. EJ Brill Leiden, The Netherlands. Sofyan, A. (2003) Penggunaan lapisan Kedap Dari Berbagai Macam Bahan Untuk Peningkatan Produksi Bawang Merah Pada Lahan Gumuk Pasir Pantai. Tesis, PS Ilmu Tanah, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta. Sujarwo (1984) Studi Morfometri Tipe Bukit Pasir di Parangtritis. Skripsi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Whitten, T. R. E., Soeriatmodjo, S. A. & Afiff (1997) Ecology of Java and Bali. The Ecology Indonesia Series Volume II, Oxford University Press, Singapore. 16