SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Disusun Oleh : : Faizal Hudansyah NPM :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk sosial tidak akan terlepas dari hubungan

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyelenggaraan ibadah haji dan umroh merupakan tugas nasional karena

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi.

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut juga berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 mulai bermunculan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

Asas asas perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

JURNAL IPTEKS TERAPAN Research of Applied Science and Education V8.i4 ( )

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi dapat memperluas ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Transkripsi:

TANGGUNG JAWAB PENJUAL DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI PULSA ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Jo. UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum Nama Disusun Oleh : : Faizal Hudansyah NPM : 061000135 Program Kekhususan : Hukum Keperdataan Di bawah bimbingan Hj. Rukiah, S.H.,M.H NIP.130.902.195 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan dunia telekomunikasi sekarang ini sangat pesat sekali, ditandai dengan menjamurnya sarana komunikasi seperti telepon genggam, dalam bahasa Inggris (hand phone), yang dapat dibawa kemana-mana, dan penggunaannya pun bukan hanya sekedar untuk komunikasi bahkan untuk berbagai hiburan seperti musik, radio, televisi, internet dan lain sebagainya. Telepon genggam dikenal sebagai salah satu produk teknologi yang sangat penting dan bermanfaat. Ditemukannya telepon genggam, dapat memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain walaupun jaraknya berjauhan, untuk menggunakan telepon genggam diperlukan pulsa. Pulsa adalah sebuah sistem perhitungan untuk pentaripan pelanggan atau biaya yang dikeluarkan untuk melakukan panggilan telepon. 1 Dalam perkembangannya sesuai dengan kebutuhan konsumen yang semakin tinggi, ditemukan metode baru cara pembayaran pulsa yang dikenal dengan nama pengisian pulsa elektronik. Cara pengisian pulsa baru ini lebih digemari oleh masyarakat karena harganya lebih murah, serta kemudahan yang di dapat konsumen. Konsumen tidak perlu lagi memasukan sendiri digit-digit nomor yang ada, karena secara otomatis pulsa akan masuk dengan sendirinya ke 1 Tim pulsa elektronik, Pulsa Elektronik, <http://pulsaelektronik.wordpress.com/2007/05/30/pulsa-elektronik/> diakses pada bulan Juni 2010. 1

dalam telepon genggam konsumen, setelah konsumen melakukan pembayaran atas pulsa tersebut, maka penjual akan mengirimkan pulsa tersebut ke telepon genggam konsumen. Dalam kenyataannya proses pengiriman pulsa elektronik tidak selamanya berjalan lancar, banyak para konsumen pulsa yang merasa dirugikan karena pulsa yang dibeli terlambat bahkan sampai tidak masuk ke telepon genggam pembeli pulsa tersebut. Hal di atas disebabkan karena proses pengiriman pulsa elektronik yang dilakukan oleh penjual ternyata tidak langsung dikirim oleh penjual kepada pembeli, melainkan oleh pihak lain. Dalam perekonomian yang telah maju, sebagian besar produsen tidak langsung menjual kepada konsumen sebagai pemakai akhir dari barang. Oleh karena itu, diantara produsen dan konsumen akhir, terdapat perantara-perantara yang memerankan berbagai fungsi dan memakai bermacam-macam nama. Beberapa perantara seperti pedagang besar dan pengecer yang membeli, memiliki, dan menjual kembali barang dagangannya disebut perantara. Pada umumnya perusahaan bekerjasama dengan perantara pemasaran untuk menyalurkan produk-produknya ke pasaran. Para perantara akan membentuk saluran pemasaran, disebut saluran dagang atau saluran distribusi untuk memasarkan produk, hingga sampai ke tangan konsumen. 2

Pengisian pulsa elektronik termasuk ke dalam ruang lingkup jual beli. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya dengan untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan. Dengan melihat bagian di atas, dapat dilihat bahwa distribusi pulsa dengan cara elektronik tidak langsung dari tangan produsen ke tangan konsumen, melainkan melewati beberapa rantai distribusi. Dengan adanya tingkatan-tingkatan pelaku usaha di dalam distribusi pulsa elektronik, tentu saja akan menimbulkan masalah jika pulsa tersebut tidak sampai ke telepon genggam konsumen. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penulis tertarik untuk mengemukakan sebagai karya tulis dalam bentuk skripsi yang berjudul: Tanggung Jawab Penjual Dalam Perjanjian Jual-Beli Pulsa Elektronik Dihubungkan Dengan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jo. Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik 3

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian masalah tersebut, penulis mengemukakan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur mengenai perjanjian jual-beli pulsa elektronik di Indonesia? 2. Bagaimana tanggung jawab penjual atas keterlambatan pulsa elektronik? 3. Tindakan hukum apa yang dilakukan konsumen apabila pulsa elektronik tidak sampai kepada konsumen? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ingin dibahas penulis dalam identifikasi masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis, ketentuan hukum yang mengatur mengenai perjanjian jual-beli pengisian pulsa elektronik. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis, bagaimana tanggung jawab penjual apabila terjadi keterlambatan pengisian pulsa kepada konsumen pembeli pulsa. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis, tindakan hukum yang dapat dilakukan apabila pulsa elektronik tidak sampai kepada konsumen. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara Teoritis maupuin Praktis, sebagai berikut : 4

1. Kegunaan Teoritis Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis khususnya, dan mahasiswa Fakultas Hukum pada umumnya mengenai Pengisian Pulsa Elektronik, juga dapat melengkapi hasil penelitian penulisan hukum yang dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama. 2. Kegunaan Praktis Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum perdata pada umumnya dan Hukum Perjanjian pada khususnya, mengenai transaksi dan pengisian pulsa elektronik. E. Kerangka Pemikiran Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, oleh sebab itu sesuai dengan Pasal 28 d ayat (1) Undang-undang dasar 1945 menyebutkan setiap warga Negara Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum, maka dalam menegakkan hukum setiap warga negara menginginkan adanya suatu ketertiban, keadilan, ketentraman, dan keamanan. Negara telah mengatur suatu keadaan yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan, yang didasarkan pada suatu keadilan yang hakiki, dalam menjalankan hak dan kewajiban diantara para pihak yang bersangkutan. 5

Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan, bahwa Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya Buku III KUHPerdata mempergunakan judul Tentang Perikatan, namun tidak ada satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan. Hofmann berpendapat Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu, terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Dari defini tersebut dapat disimpulkan, bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. 2 Objek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya, berupa menyerahkan barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan, bahwa Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 2 Setiawan, R., Pokok-Pokok Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994, hlm. 2. 6

Menurut Hartkamp hukum perjanjian adalah Hukum yang terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk oleh perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah (semua) pihak bertimbal balik. 3 Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu perjanjian yang dilakukan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan. Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya, dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis, dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan. Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, di samping harus dapat menunjukkan saksi-saksi, juga itikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu. 4 Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan, bahwa Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya dengan untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Untuk mengadakan suatu perjanjian itu selalu diperlukan suatu perbuatan hukum yang timbal balik atau bersegi banyak, sebab dalam 3 Asser Hartkamp 4-11, Deventer, 1997, nr 8 dilihat dari buku Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Adya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 139. 4 Purwahid Patrik, Dasar Dasar Hukum Perikatan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 47. 7

mengadakan perjanjian diperlukan dua atau lebih pernyataan kehendak yang sama, yaitu kehendak yang satu sama lainnya cocok 5 Menurut Subekti jual beli adalah Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam salah satu Pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa harga ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga itu berupa barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar menukar atau barter. 6 Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, bahwa: Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan. Perjanjian itu dapat dikatakan mempunyai suatu tujuan yang jelas, yaitu sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum untuk menjaga hak dan kewajiban para pihak agar terciptanya suatu keadaan yang seimbang. Perjanjian jual beli dapat dibatalkan apabila si penjual telah menjual barang yang bukan miliknya, atau barang yang akan dijual tersebut telah musnah pada saat penjualan berlangsung. 7 Perjanjian dalam buku III menganut asas kebebasan berkontrak, yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1), yang menyebutkan Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka 5 Moch. Chidir Ali, Achmad Samsudin, dan Mashudi, Pengertian Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung 1993, hlm. 13. 6 Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Cet.13, Jakarta, 1991, hlm. 79. 7 Anggara, Perjanjian Jual Beli <http://anggara.org/2008/03/06/perjanjian-jualbeli/>diakses bulan Mei 2010. 8

yang membuatnya. Subekti berpendapat tentang Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatakan, bahwa : 8 Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua pihak Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus buku III. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, menyebutkan Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Subekti itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, hal ini dapat dipahami, karena itikad baik merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. 9 KUHPerdata, tidak berarti memberikan kekuasaan absolut namun ada pembatasan-pembatasan untuk membatasi kebebasan tersebut, seperti apa yang telah diatur dalam Pasal 1337, bahwa Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1254 KUHPerdata juga memberikan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak, yang menyatakan, bahwa : Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undangundang, adalah batal, dan berakibat bahwa perjanjian yang digantungkan padanya, tak berdaya. hlm. 247. 8 Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 127. 9 Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, P.T. Alumni, 2004, 9

Syarat sahnya suatu perjanjian agar dapat diakui oleh hukum harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berikut : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : (1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3). Suatu hal tertentu, (4). Suatu sebab yang halal. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian termasuk kedalam unsur subjektif, jadi apabila dilanggar akibat hukumnya yaitu perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan karena adanya unsur cacat kehendak. Setiawan menyatakan syarat pertama dan kedua menyangkut subjeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai objeknya. Terdapatnya cacad kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian. 10 Suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal mengandung unsur objektif, sehingga apabila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum. Melihat banyaknya suatu kecurangan kesepakatan dalam praktek perjanjian yang sering dilakukan para pihak, maka dibuatlah syarat-syarat kesepakatan agar suatu kesepakatan itu sah dalam perjanjian. Syarat-syarat kesepakatan itu dapat dilihat dalam Pasal 1321 KUHPerdata, bahwa, Tiada 10 Setiawan, R., op. cit, hlm. 57. 10

sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. KUHPerdata dalam Pasal 1267 juga memberikan perlindungan kepada pihak yang dirugikan, karena salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi suatu prestasi yang sudah diperjanjikan, Pasal 1267 mengatakan, bahwa : Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga. Penggantian biaya kerugian serta bunga tidak dapat dilakukan semaunya, dengan hanya melihat bahwa salah satu pihak telah tidak melakukan suatu prestasi, tetapi harus ada unsur kelalaian yang diketahuinya. Dengan kata lain ia mengetahui bahwa ia telah lalai tetapi ia tetap lalai dalam memenuhi prestasi, seperti apa yang dikatakan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, bahwa : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Perjanjian jual beli pulsa elektronik selain masuk dalam ranah perjanjian pada umumnya, juga masuk ke dalam ranah transaksi elektronik. Pasal 1 angka 2 Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan pengertian mengenai transaksi elektronik, 11

yaitu Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Pasal 5 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan apa yang dimaksud alat bukti dalam transaksi elektronik, yaitu: (1). Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, (2). Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum Acara yang berlaku di Indonesia, (3). Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan system Elektonik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini, (4). Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akte notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal 17 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan, bahwa : (1). Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat, (2). Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung, (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. 12

Pasal 19 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan, bahwa Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Soemarno Partodihardjo berpendapat bahwa yang dimaksud dengan disepakati dalam Pasal ini juga mencakup disepakati prosedur yang terdapat dalam sistem elektronik yang bersangkutan. 11 Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab dalam transaksi elektronik, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengaturnya dalam Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, bahwa : Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi, b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa, atau c. Jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. Selain memasuki ranah hukum transaksi elektronik, yang diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengisian pulsa elektronik juga memasuki ranah hukum perlindungan konsumen, yang diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 11 Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm. 101. 13

Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : Hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, 14

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : Kewajiban konsumen adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pasal 6 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa : Hak pelaku usaha adalah: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 15

Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan, bahwa: Kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hakhak konsumen. Walaupun sangat beragam, secara garis besar hak-hak konsumen dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu : 12 1. Hak-hak yang dimaksud untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan, 2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar, 3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen harus dipenuhi, baik oleh Negara maupun pelaku usaha karena 25. 12 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010 hlm. 16

pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima prinsip dalam pembangunan nasional, yaitu : 13 1. Prinsip manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruha, 2. Prinsip keadilan, yang dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dam memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, 3. Prinsip keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, 4. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan, 5. Prinsip kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen di mana negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut. Pasal 19 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha, yaitu : 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau 13 Ibid, hlm. 25. 17

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan, 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Undang-undang Perlindungan konsumen memberi dua macam cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen menyebutkan : Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Penyeleseaian sengketa di luar pengadilan dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 Undang-undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengeketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu penyelesaian ganti rugi 18

secara seketika dan penyelesaian tuntutan ganti rugi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dengan Demikian terbuka tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu: 14 1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, 2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan melakukan tuntutan seketika, dan 3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). F. Metode Penelitian Untuk dapat mengetahui dan membahas suatu permasalahan, maka diperlukan adanya pendekatan metode-metode tertentu yang bersifat ilmiah. Metode merupakan suatu proses atau tata cara untuk mengetahui masalah melalui langkah-langkah yang sistematis, sedangkan penelitian merupakan penyelidikan secara hati-hati dan kritis untuk mencari fakta dan prinsip-prinsip yang jelas melalui langkah-langkah sistematis, metodologis, dan konsisten. Metode yang digunakan penulis dalam penulisan usulan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut : 15 1. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian Deskriftif Analitis, yaitu untuk menggambarkan fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer, yaitu Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan 14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 145. 15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 11. 19

Transaksi Elektronik, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan teori-teori hukum yang relevan dan praktik pelaksanaannya untuk selanjutnya dihubungkan dengan permasalahan yang sedang diteliti. 2. Metode Pendekatan Penulis dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan data sekunder. Data sekunder itu sendiri terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lainnya. 3. Tahap penelitian Adapun penelitian yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan, dengan melakukan pengkajian terhadap data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang 20

Perlindungan Konsumen. Bahan hukum sekunder berupa pendapat ahli hukum, hasil penelitian, laporan, internet dan hasil penelitian tentang aspek hukum perjanjian dalam pengisian pulsa elektronik. Sebagai penunjang dan pelengkap data sekunder penulis melakukan pencarian data ke pihak-pihak yang terkait, dengan melakukan wawancara kepada Bapak Candra Permana sebagai pemilik toko Deff Cell tempat pengisian pulsa dan konsumen pengguna pulsa elektronik. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang penulis peroleh dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang - undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Data lain diperoleh dari beberapa penelitian yang menyangkut perjanjian pengisian pulsa elektronik, dilihat dari segi hukum positif Indonesia dan penelitian-penelitian lainnya. Data lainnya penulis dapatkan dari hasil penelaahan terhadap media masa maupun elektronik serta dengan menggunakan sarana, misalnya internet, yang pada dasarnya pengumpulan data dilakukan terhadap berbagai literatur (kepustakaan) yang diiventarisir, selanjutnya dilakukan pencatatan secara teliti dan sistematis, sehingga mendapat gambaran tentang permasalahan hukum yang sedang penulis adakan dalam penelitian ini. 21

5. Alat Pengumpul Data Di dalam penelitian pada umunya dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau obervasi, dan wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat digunakan masing-masing atau bersama-sama. 16 Penulis menggunakan alat pengumpul data dalam penelitian ini berupa wawancara dan alat yang digunakan berupa catatan lapangan tentang beberapa peristiwa yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan melalui kegiatan observasi. Selanjutnya dari catatan lapangan tersebut penulis menghimpun secara sistematis sebagai bahan yang akan mendukung dalam penulisan dan penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan alat wawancara berupa tape recorder. 6. Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis kualitatif, yaitu data yang telah diperoleh disusun secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan dalam bentuk skripsi berdasarkan hasil penelitian data sekunder untuk mencapai kejelasan masalah, sehingga dapat mengetahui bagaimana seharusnya norma dan undang-undang itu dilaksanakan kemudian disusun secara sistematis kemudian ditarik suatu kesimpulan. 16 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Cet. 3, 1986, hlm. 21 22

7. Lokasi Penelitian Penelitian ini secara umum dilakukan di Wilayah Bandung dan sekitarnya yang meliputi : a. Perpustakaan 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, beralamat di Jalan Lengkong Dalam No. 17 Bandung, 2) Perpustakaan Universitas Pasundan, beralamat di Jalan Taman Sari No. 6-8 Bandung, 3) Perpustakaan Universitas Katolik Parahyangan Bandung, beralamat di Jalan Ciumbuleuit No. 94 Bandung. b. Perusahaan Toko Deff Cell tempat pengisian pulsa yang beralamat di Jalan Rancamanyar No. 98. Lokasi penelitian ini dipilih dengan alasan, bahwa lokasi tersebut memiliki keterkaitan terhadap penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yang mengangkat tema mengenai aspek hukum perjanjian pengisian pulsa elektronik dihubungkan dengan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehinggga dirasakan toko tersebut sangat terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TERHADAP ASPEK PERJANJIAN PENGISIAN PULSA ELEKTRONIK A. Pengertian perjanjian pada umumnya 1. Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk mengadakan suatu perjanjian itu selalu diperlukan suatu perbuatan hukum yang timbal balik atau persegi banyak, sebab dalam mengadakan perjanjian diperlukan dua atau lebih pernyataan kehendak yang sama-sama lainnya cocok. 17 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 18 2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian KUHPerdata mengaturnya dalam Pasal 1320, yaitu : 17 Moch. Chidir Ali, Achmad Samsudin, dan Mashudi, loc cit. 18 Subekti, R., Hukum Perjanjian, op.cit, hlm.1. 24

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2). Kecakap untuk membuat suatu peikatan, 3). Suatu hal tertentu, 4). Suatu sebab yang halal. Berikut akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya perjanjian itu. 19 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa, para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Perjanjian dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam. Ada empat teori yang mencoba memberikan penyelesaian persoalan itu sebagai berikut: 1). Uitings theorie (teori saat melahirkan kemauan), Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penerimaan. 2). Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan), Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat dikirimkan. 19 Riduan syahrani, op. cit, hlm. 205. 25

3). Ontvangs theorie (teori saat penerimaan surat penerimaan), Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai di alamat si penawar. 4). Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan). Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu. Para ahli hukum dan yurisprudensi di Negeri Belanda semuanya sama menolak uitings-theorie dan verzend-theorie, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kedua teori lainnya. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundangundangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, telah dibicarakan pada Bab II mengenai Hukum Orang, namun ada hal lain yang perlu dikemukakan disini yakni, mengenai orang-orang yang kurang sehat akal pikirannya. Dalam sistem hukum perdata barat, hanya mereka yang telah berada di bawah pengampuan saja, yang dianggap tidak dapat melakukan atau tidak sehat akal pikirannya, yang tidak berada di bawah pengampuan (curatele) tidak demikian. Perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidak sah, kalau hanya didasarkan Pasal 1320 nomor (2) KUHPerdata, tetapi perbuatan hukum itu dapat 26

dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlukan, juga untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 nomor (1) KUHPerdata. Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya. c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan, bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Wirjono Prodjodikoro, barang yang belum ada yang dijadikan objek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi). d. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan, bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah 27

dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Yang menjadi pengertian pokok dalam hal ini adalah, apakah pengertian perkataan sebab itu sebenarnya? Dari sejumlah interprestasi dan penjelasan para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab itu adalah sebagai berikut: 1. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian, adalah sebab dalam pengertian ilmu pengetahuan hukum, yang berbeda dengan pengertian ilmu pengetahuan lainnya. 2. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu), karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum. 3. Perkataan sebab secara letterjilk berasal dari perkataan oorzaak (bahasa Belanda) atau causa (bahasa Latin), yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuan, yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian, dengan perkataan lain sebab berarti isi perjanjian itu sendiri. 4. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat yang harus diisi. 28

Kemudian yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah, apa yang dinyatakan Pasal 1336 KUHPerdata yang menyebutkan Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah sah. Para ahli mengatakan bahwa sebab dalam Pasal 1336 KUHPerdata itu adalah kejadian yang menyebabkan adanya hutang, misalnya perjanjian jualbeli barang atau perjanjian peminjaman uang dalam Pasal 1336 KUHPerdata itu tidak lain adalah surat pengakuan hutang, bukan perjanjiannya sendiri. Oleh karena itu, surat pengakuan hutang yang menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautiodiscreta, sedangkan yang tidak menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautioindiscreta. Akhirnya Pasal 1337 KUHPerdata menentukan, bahwa suatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undangundang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 3. Asas-asas perjanjian Adapun asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian, yaitu: 1). Asas kebebasan berkontrak Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian 29

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 20 Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. 21 2). Asas konsesualisme Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian, yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain: 22 a. Teori Pernyataan (Utingstheorie), yang menyebutkan kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori 20 Subekti, R., Hukum Perjanjian, op.cit, hlm. 13. 21 Ibid, hlm. 13. 22 M. Hariyanto, <http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/asas-asas perjanjian.html> diakses pada bulan Oktober 2010. 30

ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis. b. Teori Pengiriman (Verzendtheorie), yang menyebutkan kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie), yang menyebutkan kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie), yang menyebutkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 3). Asas pacta sunt servanda Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah, perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau 31

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 23 4). Asas itikad baik Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: 24 1. Itikad baik dalam arti subjektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subjektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. 2. Itikad baik dalam arti objektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya, bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku. 23 Ibid, diakses bulan Oktober 2010 24 Ibid, diakses bulan Oktober 2010 32

5). Asas kepribadian Asas ini berhubungan dengan subjek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti, bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian, bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang telah ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. 25 4. Macam-macam perikatan Menurut Undang-undang, perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu : 26 25 Ibid, diakses bulan Oktober 2010 26 Riduan syahrani, op.cit, hlm. 214. 33

a. Perikatan positif dan negatif Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan positif, yaitu memberi sesuatu dan berbuat sesuatu, sedangkan perikatan negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa sesuatu perbuatan yang negatif, yaitu tidak berbuat sesuatu. b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja, dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai, sedangkan perikatan berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya berkelanjutan beberapa waktu, misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian sewa-menyewa dan perburuhan (perjanjian kerja). c. Perikatan alternatif Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian. Namun, debitur tidak boleh memaksakan kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari bagian yang lain, dengan pemenuhan salah satu prestasi tersebut perikatan berakhir. d. Perikatan fakultatif Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya mempunyai satu objek prestasi, dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain, bilamana debitur tidak mungkin memenuhi 34

prestasi yang telah ditentukan semula, misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan sejumlah beras, diganti dengan sejumlah uang, dengan demikian penyerahan uang merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur telah memenuh prestasi dengan sempurna. e. Perikatan generik dan spesifik Perikatan generik adalah perikatan dimana objeknya hanya ditentukan jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur. Misalnya penyerahan beras sebanyak 10 ton (bagaimana kualitetnya tidak disebutkan), sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan dimana objeknya ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri-ciri khususnya, misalnya debitur diwajibkan menyeahkan beras sebanyak 10 ton dari Cianjur kualitet ekspor nomor satu. f. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Perikatan yang dapat dibagi, adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu, sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan yang presetasinya tidak dapat dibagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi prestasi itu ditentukan oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya dan dapat pula disimpulkan dari maksudnya perikatan. Perikatan untuk menyerahkan 10 ton beras, karena sifatnya beras menjadi objek perikatan dapat dibagi, perikatan ini merupakan perikatan yang dapat dibagi, akan tetapi perikatan untuk menyerahkan seekor kuda adalah 35

perikatan yang tidak dapat dibagi, karena kuda yang tersangkut dalam perikatan ini tidak dapat dibagi. Persoalan apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi baru timbul jika debitur dan/atau kreditur lebih dari satu orang, sebab dalam Pasal 1299 KUHPerdata dinyatakan, bahwa jika dalam suatu perikatan tidak dapat dibagi, kreditur dapat menuntut setiap saat debitur untuk memenuhi seluruh prestasi dan debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan. g. Perikatan tanggung-menanggung (tanggung renteng) Perikatan tanggung-menanggung, adalah perikatan dimana debiturnya yang beberapa orang (dan ini paling lazim), tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi, sedangkan jika krediturnya yang beberapa orang, tiap-tiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi, dengan dipenuhinya seluruh prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur, perikatan menjadi hapus. Selanjutnya mengenai perikatan tanggung-menanggung ini lihat (dapat dilihat) Pasal 1749 dan 1836 KUHPerdata serta Pasal 18 Kitab Undangundang Dagang (KUHDagang). h. Perikatan pokok dan tambahan Perikatan pokok adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain. Misalnya perjanjian peminjaman uang, sedangkan perikatan tambahan 36