BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik bumi (triple junction plate convergence) yang sangat aktif sehingga Indonesia merupakan daerah yang sangat labil secara tektonik. Gambar 1.1. menunjukkan letak Indonesia berada pada zona subduksi di sepanjang palung Jawa di Samudra Hindia yang merupakan pertemuan lempeng samudra (lempeng Pasific dan lempeng Indo-Australia) dengan lempeng benua (lempeng Amerika Selatan dan lempeng Amerika Utara) dan lempeng Philipina ( mirror plate). Selain itu Indonesia terletak pada kawasan Pacific Ring of Fire sehingga Indonesia merupakan kawasan gempa aktif. Perubahan posisi 3 lempeng besar, yaitu lempeng Indo-Australia di sebelah selatan, lempeng Pasifik di sebelah timur, dan lempeng Eurasia di sebelah utara mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang rawan terhadap tsunami. Lempeng Eurasia Lempeng Philipina Lempeng Pasific Lempeng Indo-Australia Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/) 1
Indonesia menempati urutan kedua setelah Jepang sebagai negara yang rawan tsunami. Menurut Triatmadja, Jepang menempati urutan pertama dengan hampir 30% kejadian tsunami di dunia terjadi di Jepang. Indonesia menempati urutan kedua dengan jumlah tsunami hampir 9% dari jumlah tsunami di dunia. Walaupun kejadian tsunami di Jepang lebih banyak jika dibandingkan dengan Indonesia, tetapi rata-rata run up di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata run up di Jepang, sehingga kejadian tsunami di Indonesia lebih berbahaya dibanding Jepang. Frekuensi tsunami di Indonesia cenderung meningkat dalam dasa warsa terakhir ini. Sepanjang periode tahun 2004-2012 ini saja sudah terjadi 10 kali tsunami di Indonesia (NOAA National Geophysical Data Center, 2011) meskipun tidak semuanya besar. Kejadian tsunami yang cukup besar ada 3, yaitu di kepulauan Mentawai Sumatera Barat (26 Oktober 2010), tsunami di Pangandaran (17 Juli 2006), dan yang terburuk terjadi di Samudera Hindia tanggal 26 Desember 2004 yang menghancurkan Aceh, Nias, dan beberapa negara lain dengan jumlah korban mencapai ratusan ribu jiwa. Apabila dilihat dari kejadian tsunami yang besar, hampir setiap 2 tahun terjadi bencana tsunami di Indonesia. Tsunami di Indonesia kemungkinan bisa lebih sering terjadi mengingat dalam waktu kurang dari dua tahun (dari Juni 2010 sampai dengan April 2012) lebih dari 6 kali gempa yang berpotensi tsunami, misalnya di Aceh (12 April 2012), Cilacap (4 April 2011), Sumbawa Besar NTB (11 Maret 2011), Kaimana Irian Barat (30 September 2010), Papua (18 Juli 2010), Biak (16 Juni 2010), dan Aceh (13 Juni 2010). Tingkat ancaman bahaya tsunami di masing-masing wilayah Indonesia tidak sama. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuat zonasi ancaman bahaya tsunami di Indonesia (Gambar 1.2.) dan peta indeks ancaman bencana tsunami di Indonesia (G ambar 1.3.). Pada peta zonasi ancaman bahaya tsunami (Gambar 1.2.), garis merah merupakan zona subduksi di wilayah Indonesia, dan garis tebal berwarna biru merupakan wilayah yang rawan terhadap bahaya tsunami. 2
Gambar 1.2. Peta zonasi ancaman tsunami di Indonesia (http://geospasial.bnpb.go.id/2011/02/23/peta-zonasi-ancaman-bahaya-tsunamidi-indonesia/) Tingkat ancaman tsunami sampai dengan wilayah kabupaten di Indonesia disajikan pada peta Gambar 1.3. Wilayah yang sangat rentan terhadap bahaya tsunami dipetakan dengan garis merah. Wilayah dengan ancaman bahaya tsunami pada tingkatan sedang dipetakan dengan warna kuning, sedangkan warna hijau menunjukkan daerah dengan ancaman bahaya tsunami yang rendah. Apabila dilihat dari pemetaan pada Gambar 1.3. maka wilayah di Indonesia yang sangat rentan terhadap tsunami adalah Kepulauan Maluku, diikuti oleh Nusa Tenggara, Papua bagian utara, Sumatera, dan Sulawesi. Namun menurut frekuensi kejadian tsunami di Indonesia wilayah yang paling banyak diserang tsunami adalah Maluku dan diikuti oleh Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa dan Bali, serta frekuansi kejadian tsunami yang paling sedikit adalah wilayah Irian Jaya dan sekitarnya (Triadmadja, 2010) 3
Gambar 1.3. Peta indeks ancaman tsunami di Indonesia (http://geospasial.bnpb.go.id/2010/02/19/peta-indeks-ancaman-bencanatsunamidi-indonesia) 1.1.1. Dampak Tsunami terhadap Kerusakan Infrastruktur Frekuensi kejadian tsunami di Indonesia relatif meningkat dalam dasa warsa terakhir ini. Semakin tinggi frekuensi dan bertambahnya kepadatan penduduk di daerah pantai mengakibatkan meningkatnya kerentanan Indonesia terhadap bencana tsunami. Tsunami tidak hanya menimbulkan korban jiwa yang banyak tetapi juga mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur yang berada di sepanjang pantai. Kerusakan infrastruktur dapat diakibatkan oleh karakter tsunami (kecepatan dan tinggi gelombang), karakteristik bangunan (bentuk, pori, tinggi, dan lebar bangunan), besarnya gaya tsunami, kondisi lingkungan sekitar (misalnya ada sea wall atau bangunan yang kokoh di sepanjang pantai yang dapat berfungsi sebagai pelindung). Tsunami memiliki gaya yang lebih besar dibandingkan dengan gaya hidrostatis yang ditimbulkan oleh air dengan ketinggian yang sama. Gaya tsunami 4
dipengaruhi oleh karakeristik tsunami seperti tinggi dan kecepatan gelombang tersebut. Selain itu gaya tsunami yang ditimbulkan tergantung pada bentuk bangunan yang dihantam gelombang. Gaya tsunami pada bangunan juga akan bertambah besar karena gaya yang ditimbulkan bukan hanya gaya akibat terjangan gelombang tersebut tetapi ada material lain yang terbawa oleh tsunami (debris). Gaya tsunami yang sangat besar mampu membuat bangunan yang terbuat dari kerangka beton bertulang hancur menjadi puing-puing seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.4. Gambar 1.4. Reruntuhan bangunan akibat serangan gaya tsunami (Nur Yuwono, 2005) Jika dibandingkan, kerusakan infrastruktur pada tsunami Aceh (2004) jauh lebih besar dari pada kerusakan tsunami Pangandaran (2006). Hal ini diakibatkan adanya perbedaan karakteristik tsunami pada kejadian tsunami Aceh dan pada tsunami Pangandaran. Tinggi tsunami Aceh berkisar 10-15 meter, sedangkan pada tsunami Pangandaran tinggi tsunami lebih kurang 6 meter. Selain itu kondisi lingkungan sekitar pantai juga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan infrastruktur. Pantai Pangandaran yang merupakan daerah wisata banyak terdapat hotel-hotel di sepanjang pantainya sehingga mampu melindungi bangunan di belakangnya (Gambar 1.5). 5
Gambar 1.5. Bangunan hotel di Pangandaran mampu menahan tsunami dan melindungi bangunan di belakangnya (Triatmadja, 2010). Kerusakan infrastruktur lain yang menunjukkan pengaruh karakteristik bangunan dapat dilihat pada tsunami Aceh. Gambar 1.6. menunjukkan kerusakan infrastruktur akibat gempuran tsunami. Bangunan yang berada di sekeliling masjid hancur dan tinggal puing-puing yang berserakan, namun bangunan masjid masih berdiri kokoh tanpa kerusakan yang berarti. Hal ini disebabkan karena bentuk bangunan masjid memiliki banyak lubang pada bagian bawah sehingga tsunami yang mengenai bangunan masjid dapat dialirkan dan tidak tertahan di dalam bangunan. Tsunami melewati bangunan dengan lebih leluasa sehingga dapat mereduksi gaya tsunami yang mengenai bangunan. Struktur bangunan masjid juga didesain dengan baik sehingga mampu menahan serangan tsunami. Tiang-tiang pada masjid biasanya berbentuk silinder. Tiang berbentuk silinder lebih hidrodinamis dibandingkan dengan tiang yang berpenampang persegi. Selain itu tiang berbentuk silinder memililiki bidang benturan yang lebih kecil sehingga dapat mengurangi tingkat kerusakan akibat tekanan. Bangunan lain yang memiliki kemiripan dengan masjid adalah rumah panggung. Rumah panggung merupakan bentuk bangunan tradisional yang telah lama ada di Indonesia sebagai bentuk penyesuaian tempat tinggal terhadap lingkungan di sekitarnya agar aman dari ancaman binatang buas maupun ancaman 6
gelombang pasang. Bangunan tersebut dibuat dengan cara menaikkan lantainya dari permukaan tanah dengan ketinggian tertentu sehingga memiliki ruang yang terbuka pada bagian bawahnya. Gambar 1.7. menunjukkan rumah panggung yang masih berdiri utuh, sementara bangunan sekitarnya hancur diterjang tsunami. Gambar 1.6. Kerusakan infrastruktur di sekitar bangunan masjid (Nur Yuwono, 2005) Gambar 1.7. Rumah panggung mampu bertahan dari serangan tsunami (Subandono, 2007) 7
Bangunan 3 lantai Bangunan 2 lantai Gambar 1.8. Bangunan berstruktur baik mampu menahan tsunami. Gambar 1.8. menunjukkan dua bangunan yang masih berdiri kokoh di antara puing-puing bangunan di sekitarnya. Bangunan yang lebih dari dua lantai biasanya didesain lebih baik secara struktural, sehingga bangunan tersebut lebih kuat dan mampu menahan gempuran tsunami. Kerusakan pada bangunan dua lantai tidak terlihat karena terlindung oleh bangunan tiga lantai yang berada di depannya. bergeser 15 m Gambar 1.9. Gaya dorong tsunami mengakibatkan bangunan tergeser (Courtesy Sakuraba, 2011) 8
Tsunami juga memiliki gaya dorong (seret) yang sangat besar. Kekuatan tsunami mampu membuat sebuah bangunan yang besar dan kuat bergeser ke tempat yang lain. Gambar 1.9. menunjukkan sebuah bangunan terdorong oleh tsunami pada tsunami Jepang (11 Maret 2011) yang lalu di daerah Onagawa. Bangunan tersebut merupakan bangunan kantor berlantai 3 dengan struktur yang kuat. Namun tsunami dapat membuatnya berpindah sejauh 15 meter dari posisi semula. 1.1.2. Perlindungan Pantai dari Tsunami Tsunami tidak mungkin dicegah, yang mungkin dilakukan adalah mengurangi resiko atau dampak negatifnya semaksimal mungkin. Mitigasi bencana tsunami dilakukan dengan upaya fisik (struktural) dan upaya non fisik (non struktural). Upaya fisik dilakukan dengan membuat perlindungan pantai baik secara alami maupun buatan. Perlindungan alami yaitu dengan membuat green belt (sabuk hijau) dengan menanam pohon yang dapat menahan serangan tsunami seperti mangrove dengan ketebalan 150-200 meter (Gambar1.10). Gambar 1.10. Mangrove memiliki akar yang rapat mampu meredam tsunami (courtesy Dr. Arshad Thaha) 9
Jenis tanaman lain yang biasa ditanam untuk hutan pantai antara lain waru, ketapang, cemara laut, pohon kelapa, dan pandan laut. Gambar 1.11. adalah pohon cemara laut pada pantai Parangtritis. Pohon cemara laut yang ditanam berdekatan dan menjadi hutan pantai diharapkan mampu menahan laju tsunami. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar hutan pantai tersebut mampu meredam tsunami. Parameter-parameter yang perlu diperhatikan adalah perbandingan antara lebar hutan ( B) dibandingkan panjang tsunami (L), kerapatan pohon serta perbandingan tinggi tsunami terhadap tinggi pohon. Semakin besar nilai perbandingan antara lebar hutan dan panjang tsunami ( B/L), hutan pantai akan semakin efektif dalam meredam tsunami. Tsunami yang sangat tinggi dibanding hutan pantainya tidak akan efektif menahan tsunami. 130 cm Gambar 1.11. Cemara laut pada pantai Parangtritis Perlindungan buatan yaitu dengan membangun pemecah gelombang (breakwater), tembok laut (sea wall) di sepanjang garis pantai untuk melindungi struktur di belakangnya (Gambar 1.12.), dan tempat perlindungan (shelter). Selain itu penataan kawasan pantai rawan tsunami dan perbaikan mengenai strukturstruktur teknik sipil juga diperlukan sebagai upaya mitigasi bencana tsunami. 10
Tangga evakuasi Tangga evakuasi Gambar 1.12. Sea wall dengan tangga evakuasi di Jepang (http://www.marineinsight.com/misc/marine-safety/a-barrier-with-a-differencesea-walls/) Sistem perlindungan lain terhadap tsunami yaitu dengan perlindungan berlapis. Sistem perlindungan ini dengan membangun pemecah gelombang lepas pantai, dunes, tanggul, dan hutan pantai. Sistem perlindungan ini Jepang seperti yang terdapat di Sendai (Gambar 1.13). diterapkan di Hutan pantai Detached breakwater Tanggul laut Gambar 1.13. Sistem perlindungan berlapis di Sendai Jepang (http://pantai-kelautan.blogspot.com/2011/03/jepang-dan-mitigasi-tsunami-2.html) Bencana tsunami di luar Indonesia yang belum lama ini terjadi ( 11 Maret 2011) adalah di pantai timur bagian utara pulau Honshu Jepang, tepatnya di Kota 11
Sendai, Provinsi Miyagi. Banyak korban yang tidak sempat untuk menyelamatkan diri karena jarak antara pusat gempa dan daratan sangat dekat (±130 km) sehingga waktu yang dibutuhkan untuk tsunami mencapai daratan menjadi sangat singkat (dalam hitungan menit). Selain itu tsunami juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan menenggelamkan bangunan-bangunan yang dilaluinya. Selama ini Jepang dianggap sebagai negara yang paling siap mengahadapi gempa dan tsunami. Pantai Sendai telah dilindungi oleh berbagai bentuk perlindungan tsunami mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini. Tembok laut di pesisir Kota Sendai setinggi 6 meter, dibalik tembok laut ini terdapat hutan pantai berupa pohon pinus dengan kerapatan lebih kurang 0,5 meter memanjang lebih dari 20 km dengan ketebalan bervariasi mulai dari 50 750 meter. Gambar 1.14. menunjukan kerusakan yang terjadi akibat tsunami 11 Maret 2011. Foto udara menunjukkan kerusakan yang luas untuk struktur di dataran pesisir, tembok laut yang ada belum mampu menahan tsunami yang tingginya mencapai 10 meter. Tembok laut di pesisir pantai dan detached breakwater masih terlihat, dan tampaknya tidak mengalami kerusakan yang signifikan meskipun tsunami melampaui kedua struktur. Hutan pantai Tembok laut Hutan pantai rusak Tembok laut Detached break water Detached break water Sebelum tsunami 11 Maret 2011 Sesudah tsunami 11 Maret 2011 Gambar 1.14. Tembok laut dan hutan pantai di pantai Arahama sepanjang pesisir Kota Sendai sebelum dan sesudah tsunami Maret 2011 (http://walrus.wr.usgs.gov/news/sendai.html) 12
Jika dibandingkan dengan dahsyatnya tsunami yang terjadi, jumlah korban tidaklah terlalu besar, dari total 1 juta penduduk di Kota Sendai, 118615 penduduk bertempat tinggal di daerah yang tergenang tsunami. Jumlah korban yang dinyatakan tewas 5714 dan 5196 lainnya hilang (official release otoritas kepolisian Jepang per tanggal 23 Maret pukul 12 siang). Jika korban hilang juga dianggap tewas, jumlah korban keseluruhan tidak lebih dari 10% dari total jumlah penduduk di Sendai. Melihat kejadian tsunami Jepang ( 11 Maret 2011), banyak orang beranggapan bahwa sea wall tidak efektif menahan tsunami. Bahkan gagasan untuk membuat sea wall untuk menahan tsunami di Kota Padang dianggap cukup disimpan saja. Padahal bangunan pelindung seperti tembok laut ( sea wall) yang berada di kawasan pesisir sangat berpengaruh dalam menahan tsunami. Kemampuan sea wall dalam menahan gempuran tsunami tergantung dari desain sea wall tersebut terhadap tinggi tsunami yang menggempurnya. Sea wall di Sendai tidak didesain untuk menahan mega tsunami seperti yang terjadi pada tanggal 11 Maret kemarin, sehingga sea wall dianggap tidak efetif menjadi bangunan pelindung daerah pantai yang rawan tsunami. Sementara itu, tembok laut yang di bangun di Kota Male Maladewa dinyatakan mampu meredam tsunami (tahun 2004) sehingga korban jiwa yang ditimbulkan tidak banyak. Pelindung pantai (tembok laut atau pemecah gelombang), rumah-rumah atau gedung-gedung tinggi yang berada di sepanjang pantai juga berfungsi sebagai penghalang, pereduksi gaya tsunami dan dapat melindungi bangunan yang berada dibelakangnya. Namun kemampuan penghalang dalam meredam gaya tsunami belum diketahui secara pasti. Tembok laut dikatakan masih efektif menahan tsunami apabila tinggi tsunami kurang dari setengah tinggi tembok laut. Selain tinggi penghalang, ada faktor lain yang mempengaruhi kemampuan penghalang dalam meredam gaya tsunami yaitu lebar, ketebalan, dan faktor pori. Karakteristik penghalang (tinggi, lebar, ketebalan, dan faktor pori) akan mempengaruhi gaya tsunami yang diterima bangunan yang berada dibelakangnya. Karakteristik tsunami (tinggi dan kecepatan) juga akan mempengaruhi besarnya gaya 13
gelombang yang diterima bangunan. Dengan demikian penelitian tentang interaksi bangunan di wilayah pesisir dengan tsunami diperlukan untuk strategi mitigasi bencana tsunami di kawasan pesisir. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gaya tsunami pada bangunan tanpa pelindung dan bangunan berpelindung. Untuk mengukur gaya tsunami pada bangunan diperlukan variable-variabel yang berpengaruh. Besarnya gaya tsunami dipengaruhi oleh karakteristik dari tsunami tersebut, seperti tinggi gelombang dan kecepatan gelombang. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya gaya yang diterima oleh bangunan adalah pori bangunan tersebut dan tembok laut yang berada di depan bangunan. Tembok laut di muka bangunan merupakan hambatan dalam aliran yang akan berpengaruh kepada sifat hidrodinamika aliran di pantai sehingga akan berpengaruh juga terhadap gaya tsunami yang diterima bangunan. Tinggi dan jarak penghalang juga akan berpengaruh terhadap gaya yang diterima bangunan di belakangnya. Ruang lingkup dan arah penelitian selanjutnya disusun dengan menetapkan tujuan utama penelitian. Tujuan utama penelitian ini adalah mempelajari faktorfaktor yang berpengaruh terhadap gaya tsunami melalui penelitian: 1. pengaruh tinggi tsunami terhadap gaya tsunami 2. pengaruh pori bangunan terhadap gaya tsunami 3. pengaruh tembok laut terhadap gaya tsunami 1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang signifikan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat menjadi masukan untuk melengkapi penelitian mengenai kajian gaya tsunami pada bangunan akibat adanya tembok laut, dan dapat menjadi acuan untuk penataan kawasan pesisir di daerah rawan tsunami. 14
Penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberi masukan yang cukup berarti untuk mengembangkan strategi mitigasi bencana tsunami dari aspek perencanaan dan penataan kawasan pantai rawan tsunami. 15