1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Gili Indah yang terletak di wilayah perairan laut bagian barat pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu kawasan pesisir di Indonesia yang mengalami perkembangan cukup pesat. Kawasan ini terdiri dari tiga pulau kecil (gili) yaitu Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air yang ditetapkan sebagai salah satu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) di Indonesia berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 85/Kpts-II/93 dengan luas kawasan 2.954 hektar. Potensi wisata terdapat di kawasan tersebut antara lain berupa hamparan terumbu karang, ikan karang, lamun (sea grass), rumput laut, penyu, mangrove, pantai pasir putih dan air laut yang bening. Potensi keanekaragaman dan keindahan ekosistem terumbu karang kawasan Gili Indah menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi masyarakat, pemerintah dan swasta untuk memanfaatkan dan mengembangkan kawasan ini. Saat ini, pariwisata merupakan komoditas utama yang menjadikan kawasan ini memiliki nilai benefit yang tinggi, hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat 3 20 % tiap tahun serta semakin banyaknya pihak swasta (investor) yang terlibat dalam usaha-usaha yang menunjang kegiatan sektor pariwisata maupun usaha-usaha yang lain yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya keindahan terumbu karang (Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000). Ekosistem terumbu karang dalam kawasan ini telah memberikan kontribusi berbagai kegiatan yang diciptakan oleh wisata bahari seperti menyelam (diving), snorkeling, perahu kaca (glass bottom boat), maupun berbagai kegiatan sumberdaya laut kepada penduduk lokal. Husni (2001), melaporkan bahwa dengan luasan terumbu karang 448,76 Ha akan memberikan kontribusi ekonomi sebesar adalah Rp. 25.897.263.024 /tahun. Dengan demikian efek berganda (multiplier effect) yang ditimbulkan dari berbagai kegiatan produktif tersebut telah menciptakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar (Maryunani, 1999). Berdasarkan kajian Ernah (2002) melaporkan bahwa kontribusi sektor pariwisata Gili Indah bagi PAD kabupaten Lombok Barat pada tahun 2002 sebesar 20,5 % dengan jumlah wisatawan 19.703 orang.
Aktivitas perekonomian terutama sektor pariwisata Gili Indah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan, terutama dari devisa wisatawan mancanegara bagi daerah. Hal ini mendorong berkembangnya lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan pendidikan dan sarana-prasarana publik di Gili Indah. Berdasarkan Laporan Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya tahun 2004 tercatat hotel dan bungalow 113 dari 98 hotel dan bungalow pada tahun 2000. Hal ini juga mempengaruhi peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor pariwisata. Pada tahun 1997, sektor pariwisata Gili Indah telah menyerap tenaga kerja sebanyak 462 orang dan terus mengalami peningkatan, bahkan tahun 2000 sektor ini mampu menyerap 590 orang tenaga kerja (Lombok Barat Dalam Angka 2000, BPS NTB). Implikasi dari berkembangnya kawasan tersebut adalah terjadinya tekanan terhadap lingkungan, khususnya terumbu karang. Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan oleh Unit Konservasi Sumberdaya Alam NTB di dalam Laporan Inventarisasi Kerusakan Terumbu Karang pada Kawasan Konservasi Gili Indah tahun 2001 dengan metode manta tow, digambarkan bahwa terumbu karang Gili Indah secara umum tergolong kritis. Pada kedalamam 10 meter, hampir 100% terumbu karang mempunyai kondisi yang sangat rusak berat. Sedangkan di kedalaman 3-5 meter, terumbu karang yang termasuk kategori baik sekitar 16%. Sementara motivasi sebagian besar wisatawan berkunjung ke kawasan ini didorong karena ingin melihat keindahan terumbu karang dan pemandangan pantai. Jika kerusakan ini terus berlanjut tanpa adanya suatu usaha perbaikan, otomatis akan menyebabkan kehilangan suatu komoditas yang berharga sehingga pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya juga akan menurun. Kondisi ini mendorong adanya upaya pengembangan pariwisata yang lebih ke arah berkelanjutan, agar nilai pariwisata tetap tinggi. Rusaknya ekosistem terumbu karang juga mengakibatkan penurunan terhadap produksi ikan karang. Praktek penangkapan ikan karang di kawasan TWAL Gili Indah ini adalah dengan sistem bom dan potassium. Akibatnya ikanikan mati atau tertangkap tidak hanya yang berukuran besar saja akan tetapi larva ikan dan plankton serta hewan karang yang berklorofil (zooxanthella) juga menjadi punah sehingga akan mengancam ketersediaan plasma nuftah sebagai lumbung untuk menjamin kelestarian ekosistem dan spesies. Demikian pula pengambilan biota laut lainnya seperti berbagai jenis karang atau moluska untuk
souvenir pada masa yang akan datang akan dapat mengancam kelestarian biota laut. Produksi perikanan tangkap di Kab. Lombok Barat dalam beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan penurunan sebesar 25,64% dari 1.240,5 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 922,4 ton pada tahun 2002 (PEMDA Kab. Lombok Barat, 2002). Apabila di lihat dari perkembagan jumlah wisatawan maka tidak menutup kemungkinan permintaan (demand) pasokan ikan untuk kebutuhan hotel, restoran semakin meningkat, namun yang ada saat ini dihadapkan pada masalah keterbatasan sumberdaya perikanan tangkap. Mengacu dari uraian diatas, salah satu upaya dalam mendukung kegiatan wisata di Gili Indah dan sebagai langkah mencegah semakin rusaknya terumbu karang diperlukan suatu sistem pengelolaan pantai. Salah satunya adalah melalui sea ranching khususnya untuk komoditas perikanan karang komsumsi. Konsep sea ranching adalah suatu konsep pengelolaan perairan pantai atas dasar pendekatan ekologi dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam yang ada (Whitmarsh, 2000). Sea ranching bersifat lebih aktif dalam konservasi lingkungan karena disamping perbaikan habitat dilakukan restocking ikan dalam rangka kegiatan stock enhancement. Sistem budidaya ini dapat dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat dalam hal pengontrolan dan pengaturan penangkapan melalui pengawasan alat tangkap, daerah dan musim tangkap, serta ukuran ikan yang boleh ditangkap. Dengan adanya sistem budidaya sea ranching diharapkan dapat menjadi diversifikasi pemanfaatan sebagai daya tarik wisata bahari sekaligus dapat memberikan kontribusi dalam penyediaan kebutuhan bahan mentah berupa ikanikan segar untuk hotel, restoran yang ada di kawasan Gili Indah. Hal ini seiring dengan berkembangnya kegiatan memancing, diving, berburu ikan, maupun aktraksi-aktraksi laut lainnya. Bahar dan Bahruddin (1993) menyatakan bahwa di negara-negara maju seperti Amerika, kegiatan berupa memancing sudah sejak lama dikembangkan sebagai kegiatan rekreasi atau wisata. Menurut Novita (1996), pengembangan olah raga memancing, berburu ikan, akan diikuti dengan berkembangnya bisnis kapal memancing ataupun kapal pesiar, hotel, rumah makan, biro perjalanan, kerajinan tangan dan masih banyak lagi yang lainnya yang akan memacu perekonomian daerah pantai. Oleh karena itu ide konsep sea ranching dalam upaya mendukung wisata bahari mendapatkan tempatnya sebagai gagasan yang konstruktif dalam meningkatkan dan mengembangkan masyarakat menuju perbaikan kesejahteraannya.
1.2 Rumusan Masalah Keindahan terumbu karang yang dimiliki perairan Gili Indah telah membawa daerah ini menjadi daerah tujuan wisata (DTW) yang cukup diperhitungkan dengan melihat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan kondisi ini dapat kita perkirakan apa yang akan terjadi terhadap kegiatan pariwisata di Gili Indah jika kondisi terumbu karang yang menjadi primadona pariwisata di Pulau Lombok mengalami kerusakan. Untuk menjawab permasalahan ini, maka diperlukan upaya perbaikan untuk mencegah (preventif) semakin rusaknya ekosistem terumbu karang, sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui diversifikasi pemanfaatan wisata bahari dengan adanya restoking ikan karang sebagai bagian terpadu dari penerapan sistem budidaya sea ranching. Sea ranching akan sangat tergantung dari karakteristik geografi dan hidrografi wilayah, sehingga elemen teknologi yang dipergunakan akan sangat disesuaikan dengan lokasi. Dalam skala besar dianologikan dengan kegiatan melepaskan benih ikan ke perairan alami tanpa adanya pemberian pakan, jadi alam yang memelihara dan kita tinggal menangkapnya. Ranching ikan karang memiliki keterkaitan secara ekologi dengan keberadaan terumbu karang. Dimana terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya (Bengen, 1999). Dalam setiap ekosistem terumbu karang tersebut, hidup dan berkembang 3000 jenis karang, 2000 jenis ikan, moluska, krustasea, echinodermata, spones, alga (Hadiwjaya, 1994). Siklus keterkaitan lingkungan biofisik perairan akan mempengaruhi keberadaan terumbu karang, sedangkan terumbu karang membentuk sebuah ekosistem sebagai suatu ruang pembatasan ekologi keberadaan ikan karang dalam penerapan sea ranching. Ikan karang, seperti kerapu, kakap putih, napoleon, baronang, lobster, teripang, dan abalone, tidak mungkin meninggalkan kawasan tersebut dan bermigrasi menyusur tubir hingga ke laut dalam atau laut lepas. Sebaliknya, ikan yang berasal dari laut lepas seperti ikan pelagis kecil dan pelagis besar, misalnya tuna dan cakalang tidak mungkin masuk ke dalam kawasan terumbu karang hingga mencapai suatu pulau karena kawasan tersebut bukanlah habitatnya.
Keberhasilan restocking sangat ditentukan oleh kelayakan lahan sebagai habitat yang dicirikan oleh karakteristik biofisik lingkungan perairan (tipe perairan, pasang surut, arus, keterlindungan, kedalaman, fisika-kimia-biologi perairan) pasokan benih kualitas maupun kuantitas, managemen budidaya, serta sarana dan prasarana produksi. Dalam pelaksanaan restocking ikan karang, kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas dan efisiensi ekonomis penerapan sea ranching. Beberapa persyaratan teknis maupun non-teknis diperlukan dalam penentuan kesesuaian lahan, dengan demikian dapat ditentukan komoditi budidaya yang akan ditebarkan. Dengan adanya kegiatn sea ranching diharapkan mampu meningkatkan pariwisata bahari sekaligus mampu neningkatkan prduktivitas perikanan karang di kawasan perairan Gili Indah. Untuk itu dalam penerapan sistem sea ranching ini maka diperlukan beberapa kajian mendasar sebagai berikut : 1. Deskripsi kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya. 2. Analisis kesesuaian lingkungan perairan akan mempengaruhi keberhasilan penerapan sea ranching. 3. Pemilihan jenis ikan karang yang akan ditebar sebagai rekomendasi dimasa mendatang. 4. Strategi dalam pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching dalam kaitannya dalam mendukung pariwisata bahari. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian adalah untuk : 1. Mendiskripsikan kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya di kawasan TWAL Gili Indah. 2. Menganalisis kesesuaian kondisi lingkungan perairan untuk pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching. 3. Menentukan komoditas ikan karang yang akan ditebar dalam kegiatan restocking. 4. Membuat strategi dalam pengembangan budidaya ikan karang melalui sistem sea ranching kaitannya bagi wisata bahari.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : 1. Bahan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pantai yang lebih ramah lingkungan. 2. Bahan informasi kepada masyarakat tentang sistem budidaya yaitu sea ranching sebagai alternatif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. 1.4 Kerangka Pemikiran Kerusakan ekosistem terumbu karang di kawasan Gili Indah disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan terumbu karang oleh nelayan banyak terjadi sebelum tahun 1998. Penyebab utamanya dalah pengemboman ikan, pembuangan jangkar dan penggunaan potas. Kemudian kerusakan alamiah terjadi awal tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan karang (bleaching) akibat El-Nino. Bencana El-Nino tersebut telah banyak merubah wajah terumbu karang di Gili Indah (P2BK Unram dan Bappeda Kabupaten Lombok Barat, 1999). Sebagai TWAL, Gili Indah saat ini dikembangkan untuk kegiatan wisata bahari dan juga tempat nelayan untuk memperoleh pendapatan dari menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok, disamping menyediakan jasa bagi wisatawan, misalnya menyewakan perahu, bungalow maupun jasa lainnya. Di Gili Indah ekosistem terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya pesisir yang dimanfaatkan untuk aktivitas diving, snorkling, perahu kaca, maupun sebagai sumber perikanan. Kegiatan wisata bahari walaupun secara nyata telah mendatangkan keuntungan ekonomi, namum apabila tidak dikelola dengan baik dapat merusak lingkungan wilayah pantai akibat turunnya kualitas dan fungsi lingkungan. Jika kerusakan ini terus berlanjut tanpa adanya suatu usaha perbaikan, maka keindahan yang ditawarkan oleh kegiatan pariwisata tersebut akan semakin menurunnya. Salah satu upaya perbaikan kerusakan terumbu karang dan sekaligus meningkat sumberdaya perikanan karang, dapat dilakukan dengan konsep sea ranching. Perencanaan dalam penerapan sistem sea ranching dalam kajian ini meliputi beberapa kegiatan antara lain: deskripsi kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berada di Gili Indah. Deskipsi ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi terumbu karang dan ikan karang saat ini dan sejauh mana kerusakannya serta penyebabnya. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu faktor yang sangat penting yang terkait dalam upaya restocking, dimana kondisi terumbu karang akan mempengaruhi keberadaan ikan karang di lokasi penelitian. Deskripsi kondisi terumbu karang dan ikan karang ini dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui wawancara, pengamatan langsung di lapangan. Penutupan terumbu karang dilakukan dengan cara manta tow dan metode LIT (Line Intercept Transect) serta sensus visual untuk pengamatan ikan karang. Kesesuaian lingkungan perairan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas dan efisiensi ekonomis usaha perikanan pantai dengan sistem sea ranching. Beberapa persyaratan teknis maupun non-teknis diperlukan dalam penentuan kesesuaian perairan dengan demikian dapat ditentukan komoditas budidaya yang akan dikembangkan. Dalam melakukan pengkajian kesesuaian lingkungan perairan digunakan analisis spasial. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan teknologi GIS, yang substansinya adalah kesesuaian lingkungan perairan. Penentuan komoditas ikan yang akan ditebar sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan sebagai habitatnya. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan komoditas haruslah benar-benar dipersiapkan. Pemilihan komoditas budidaya diperoleh dari pendapat para ahli yang berkompeten dalam bidang perikanan karang, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Analitical Hierarchi Proscess (AHP). Jenis komoditas terpilih akan menjadi rekomendasi di masa yang akan datang sebagai target komoditas dalam penerapan sea ranching. Dalam penerapannya di masa mendatang, diperlukan analisis arahan pengembangan. Dengan menggunakan analisis SWOT akan dihasilkan strategi penerapan sea ranching. Analisis ini dilakukan berdasarkan pada kajian-kajian yang dilakukan maupun identifikasi deskriptif faktor eksternal dan internal sektor perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Secara skematis kerangka pendekatan penelitian ini, disajikan pada Gambar 1.
Potensi & Permasalahan Wilayah Pesisir Kebijakan Pemda (Pengembangan Sektor Perikanan) Budidaya Ikan Karang Sistem Sea Ranching dalam Mendukung Wisata Bahari Kesesuaian lokasi Deskripsi kondisi terumbu karang & ikan karang Pemilihan jenis ikan karang Analisis Spasial (SIG) Analisis Deskriptif AHP Usulan kegiatan Penutupan karang ikan karang kriteria kesesuaia Data primer&sekunder Peta kesesuaian lokasi Kondisi terumbu karang dan ikan karang Jenis ikan karang terpilih SWOT Sosial budaya dan ekonomi Strategi pengembangan sistem budidaya sea ranching Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian.