BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel

INTERPRETASI ANOMALI GAYA BERAT DAERAH LUWUK, SULAWESI TENGAH

BAB III TINJAUAN GEOLOGI

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kegiatan eksplorasi perminyakan, batuan karbonat memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAERAH BATUI DENGAN MENGGUNAKAN ANALISA SECOND HORIZONTAL DERIVATIVE DAN FORWARD MODELLING

BAB III. TEORI DASAR. benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

Gambar 4.1. Peta penyebaran pengukuran gaya berat daerah panas bumi tambu

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

2 1 2 D. Berdasarkan penelitian di daerah

Berdasarkan persamaan (2-27) tersebut, pada kajian laporan akhir ini. dilakukan kontinuasi ke atas dengan beberapa ketinggian (level surface) terhadap

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... INTISARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT

TEORI DASAR. variasi medan gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah. eksplorasi mineral dan lainnya (Kearey dkk., 2002).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dengan batas koordinat UTM X dari m sampai m, sedangkan

UNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI BASIN DAN PENENTUAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA GAYABERAT (STUDI KASUS CEKUNGAN SUMATERA SELATAN)

BAB III METODE PENELITIAN

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB 2 LANDASAN TEORITIS PERMASALAHAN

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB III METODE PENELITIAN

Yesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan Gultaf 2.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, ada beberapa tahapan yang ditempuh dalam

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III. TEORI DASAR. Dasar dari metode gayaberat adalah hukum Newton tentang gayaberat dan teori

BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

J.G.S.M. Vol. 15 No. 4 November 2014 hal

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

TESIS PEMODELAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAERAH YAPEN DAN MAMBERAMO, PAPUA BERDASARKAN ANOMALI GRAVITASI

BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian

MAKALAH GRAVITASI DAN GEOMAGNET INTERPRETASI ANOMALI MEDAN GRAVITASI OLEH PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN MIPA FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

Subsatuan Punggungan Homoklin

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

DAFTAR GAMBAR. Gambar 1. Peta Daerah Penelitian...3. Gambar 2. Peta Fisiografi Daerah Lampung...5. Gambar 3. Peta Mendala Geologi Sumatera...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Unnes Physics Journal

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. amat Olahan Data Gayaberat Terlampir, lih. Lampiran III) dengan ketinggian

SURVEI GAYA BERAT DAN AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT) DAERAH PANAS BUMI PERMIS, KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI BANGKA BELITUNG

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach

BAB III DATA dan PENGOLAHAN DATA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III. TEORI DASAR. kedua benda tersebut. Hukum gravitasi Newton (Gambar 6): Gambar 6. Gaya tarik menarik merarik antara dua benda m 1 dan m 2.

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 5 ANALISIS DAN INTERPRETASI. 5.1 Analisis Data Anomali 4D Akibat Pengaruh Fluida

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Metode Geologi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berupa data gayaberat. Adapun metode penelitian tersebut meliputi prosesing/

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

7. Peta Geologi Pengertian dan Kegunaan

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB II METODE PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

HALAMAN PENGESAHAN...

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB I PENDAHULUAN I-1

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

BAB III PENGUKURAN DAN PENGOLAHAN DATA. Penelitian dilakukan menggunakan gravimeter seri LaCoste & Romberg No.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah pengolahan data complete bouguer anomaly (CBA) yang didapat dari data lapangan. Tahapan berikutnya dilakukan pengkonturan nilai CBA sehingga dapat dilakukan analisa secara regional. Tahapan terakhir adalah pemodelan kedepan lintasan tertentu dan interpretasi model yang didapat. Gambar 4.1 Diagram alir pengolahan data 27

Seperti terlihat pada diagram alir untuk membantu interpretasi pemodelan anomali Bouguer dilakukan analisa second horizontal derivative dan analisa spektrum. 4.1 ANOMALI BOUGUER Tujuan utama dari pengolahan data gaya berat adalah mendapatkan nilai complete bouguer anomaly (CBA). Data yang didapatkan sudah berupa nilai CBA yang artinya faktor-faktor yang mempengaruhi pembacaan nilai gaya berat pada alat telah dikoreksi. Faktor tersebut antara lain faktor elevasi, faktor apungan (drift) dan faktor koreksi spheroid-geoid. Setelah tahapan pengkoreksian dilakukan, tahapan selanjutnya adalah penentuan rapat massa yang akan digunakan. Metoda estimasi rapat massa yang digunakan adalah metoda Nettleton. Lintasan yang digunakan dalam penentuan rapat massa dengan metoda Nettleton adalah lintasan B-B seperti dapat dilihat pada Gambar 4.6. Pada metoda Nettleton penentuan rapat massa ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penentuan secara kualitatif diberikan pada Gambar 4.4 dan dilakukan dengan cara melihat secara visual perbandingan grafik stasiun terhadap elevasi, stasiun terhadap g obs dan melihat perbandingan antara nilai-nilai CBA yang dihasilkan dari beberapa nilai rapat massa dari satu stasiun yang sama. Stasiun yang dipilih dalam estimasi rapat massa ini adalah lintasan B-B yang mempunyai perbedaan elevasi yang besar atau di dalam satu lintasan topografinya bervariasi. Selain itu, secara kuantitatif estimasi rapat massa permukaan dapat ditentukan dengan menerapkan korelasi silang antara perubahan elevasi terhadap suatu referensi tertentu dengan anomali gaya beratnya. Rapat massa terbaik diberikan oleh harga korelasi silang terkecil. Dengan melihat grafik antara elevasi terhadap stasiun pengukuran (Gambar 4.2), grafik antara g obs terhadap stasiun pengukuran (Gambar 4.3), grafik perbandingan beberapa rapat massa (Gambar 4.4) kita tidak dapat menentukan secara kualitatif rapat massa yang akan digunakan. Sehingga digunakan grafik nilai korelasi dan tabel 28

korelasi dari masing-masing rapat massa untuk menentukan secara kuantitatif nilai rapat massa rata-rata yang digunakan. (mgal) 978030.000 Gobs vs STASIUN 978025.000 978020.000 978015.000 978010.000 978005.000 978000.000 977995.000 977990.000 977985.000 977980.000 977975.000 (stasiun) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Gambar 4.2 Grafik antara Gobs dan stasiun pengukuran (meter) 250 ELEVASI vs STASIUN 200 150 100 50 0 (stasiun) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Gambar 4.3 Grafik antara Elevasi dan stasiun pengukuran 29

(mgal) 4 CBA vs STASIUN 2 (stasiun) 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90-2 -4 2,4 2,3 2,2 2,1 2 1,9-6 -8-10 Gambar 4.4 Grafik perbandingan beberapa rapat massa (korelasi) 0.015 Hubungan Nilai Korelasi dan Densitas 0.01 1.9 2 0.005 2.1 0 (ρ) 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.2 2.3 2.4 2.5-0.005 2.3-0.01 2.4-0.015 Gambar 4.5 Grafik nilai Korelasi Tabel 1 Korelasi dan Densitas Densitas Korelasi 1.9 0.011092 2.0 0.006904 2.1 0.002716 2.2-0.00147 2.3-0.00566 2.4-0.00985 30

Dari grafik dan tabel perhitungan diatas, nilai korelasi terkecil terdapat pada nilai rapat massa 2,2 gr/cm 3. Nilai tersebut adalah nilai rapat massa yang mewakili rapat massa pada daerah penelitian. Nilai tersebut cocok dengan nilai rapat massa yang telah digunakan untuk menghitung nilai CBA. 4.1.1 Analisa Anomali Bouguer Harga anomali Bouguer pada peta kontur anomali Bouguer (Gambar 4.7) bervariasi antara -25 mgal s.d. 82 mgal dengan skala biru tua s.d. merah tua. Dengan kontur anomali yang bernilai rendah berada di daerah Selatan Kabupaten Luwuk dan kontur anomali yang bernilai tinggi berada di daerah Utara. Dari peta kontur anomali Bouguer kita dapat melihat dua jalur anomali gaya berat. Utara Nilai anomali Bouguer di daerah ini berkisar antara +20 mgal s.d. +80 mgal. Dengan topografi daerah sekitar berupa perbukitan Selatan Nilai anomali Bouguer di daerah Selatan berkisar antara -10 mgal s.d. +20 mgal. Dengan topografi daerah sekitar perbukitan diselingi pegunungan dan dataran rendah. Dari peta kontur anomali Bouguer (Gambar 4.7) dapat kita lihat pola kontur anomali yang bersifat rapat di daerah Utara dengan nilai anomali yang lebih tinggi daripada daerah Selatan. Bagian Selatan daerah penelitian mempunyai nilai anomali yang relatif rendah dan mempunyai kontur yang cenderung renggang, pola kontur anomali ini menunjukkan pola batuan dasar yang semakin mendangkal ke arah Utara daerah penelitian. Pola kemiringan batuan dasar berarah Selatan jika melihat pola kontur anomali Bouguer pada daerah penelitian. Selain itu jika peta anomali Bouguer dikompilasikan dengan peta geologi daerah penelitian terhadap titik-titik penelitian (Gambar 4.6) maka daerah-daerah dengan 31

nilai anomali tinggi dan rendah dipisahkan oleh suatu garis horisontal di daerah tengah, yang kemungkinan menunjukkan sesar Poh yang membelah daerah Luwuk. Peta Anomali Bouguer juga menunjukkan adanya daerah yang mempunyai anomali negatif berarah Barat-Timur. Daerah anomali negatif ini kemungkinan menunjukkan melengkungnya pola batuan dasar sehingga berbentuk U. Kemungkinan kelengkungan ini disebabkan oleh aktifitas tektonik daerah kompresi. Selain itu, perubahan anomali dari Selatan ke Utara yang bernilai rendah ke tinggi juga disebabkan karena berubahnya mendala geologi. Pada daerah Selatan batuan penyusunnya didominasi oleh batuan sedimen, sehingga anomalinya relatif lebih rendah terhadap daerah Utara penelitian yang didominasi oleh mendala Sulawesi Timur. U 0 2 4 6 8 10 kilometer Gambar 4.6 Peta Geologi dan titik-titik pengamatan 32

U mgal (mgal) 0 2 4 6 8 10 kilometer Gambar 4.7 Peta Anomali Bouguer 33

4.2 ANALISA SPEKTRUM Analisa spektrum dilakukan untuk mendapatkan estimasi kedalaman anomali gaya berat. Analisa spektrum ini dilakukan dengan metoda transformasi Fourier pada lintasan A-A, C-C dan D-D (Gambar 4.6). Dari grafik antara Ln A (Amplitudo) dengan k (bilangan gelombang) dan persamaan (3.4-5) didapatkan estimasi kedalaman anomali dari gradien masing-masing spektrum. Dari hasil analisa spektrum dapat kita lihat bahwa penyebab anomali residual berada pada kedalaman sekitar 100 meter pada lintasan A-A, sedangkan anomali regionalnya berkisar pada kedalaman 700 meter (Gambar 4.8). Lintasan C-C estimasi kedalaman penyebab anomali residual terdapat pada kedalaman kurang lebih 450 meter dan kedalaman anomali regionalnya 2500 meter (Gambar 4.9). Lintasan D-D penyebab anomali residual diperkirakan pada kedalaman 500 meter dengan anomali regionalnya berkisar pada kedalaman 2700 meter (Gambar 4.10). 4.2.1 Lintasan A-A Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum yang menunjukkan grafik antara Ln A dan K pada lintasan A-A (Gambar 4.8). Ln A vs k 6.0000 5.0000 regional Z = 700 meter 4.0000 residual noise Ln A 3.0000 Z = 100 meter Z = 20 meter 2.0000 1.0000 0.0000 0.0000 0.0050 0.0100 0.0150 0.0200 0.0250 0.0300 0.0350 k Gambar 4.8 Pembagian zona anomali lintasan A-A 34

Dari hasil analisa spektrum dapat kita lihat bahwa penyebab anomali residual berada pada kedalaman sekitar 100 meter dan anomal regionalnya pada kedalaman 700 meter. Nilai kedalaman ini diturunkan dari Persamaan 3.4-5. penentuan zona ini didasarkan kriteria grafik perbandingan antara Ln A dengan K (Gambar 3.7). 4.2.2 Lintasan C-C Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum yang menunjukkan grafik antara Ln A dan K pada lintasan B-B (Gambar 4.9). Ln A vs K 8.0 7.0 regional Ln A 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 Z = 2500 meter residual Z = 500 meter noise Z = 50 meter 1.0 0.0-1.0 0.0000 0.0050 0.0100 0.0150 0.0200 0.0250 0.0300 0.0350-2.0-3.0 k Gambar 4.9 Pembagian zona anomali lintasan C-C Hasil analisa spektrum juga menunjukkan hasil yang relatif sama dengan lintasan A- A yaitu dapat kita perkirakan kedalaman penyebab anomali residual terdapat pada kedalaman kurang lebih 450 meter, sedangkan perkiraan kedalaman penyebab anomali regionalnya 2500 meter. 4.2.3 Lintasan D-D Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum yang menunjukkan grafik antara Ln A dan K pada lintasan D-D (Gambar 4.10). 35

Ln A vs K Ln A 7 6 5 4 3 2 regional Z = 2600 meter residual Z = 500 meter noise Z = 20 meter 1 0-10.000 0.005 0.010 0.015 0.020 0.025 0.030 0.035 k Gambar 4.10 Pembagian zona anomali lintasan D-D Gambar 4.10 menunjukkan zona anomali regional, residual dan noise pada lintasan D-D dengan penyebab anomali residual diperkirakan pada kedalaman 500 meter dan anomali regionalnya berada pada kedalaman 2600 meter. 4.3 KRITERIA ANOMALI NEGATIF Untuk penentuan kriteria anomali negatif dilakukan dengan analisa metoda second horizontal derivative, analisa dilakukan pada stasiun yang sama (A-A, C-C, D-D ). Hasil dari nilai SHD pada lintasan yang ditentukan kemudian dianalisa melalui kriteria sederhana anomali negatif. Kriteria tersebut didapatkan dengan memperbandingkan antara nilai SHD maksimum dan minimum pada masing-masing lintasan. Dari analisa tersebut dapat ditentukan penyebab dari anomali negatif pada lintasan tersebut. Seperti yang telah disebutkan pada Bab III, nilai SHD ditentukan dengan Persamaan 3.5-2. Dan penentuan struktur penyebab anomali didasarkan atas kriteria yang telah dituliskan pada Persamaan 3.5-3 dan 3.5-4. 36

-8.03-7.97-8.21-8.43-8.81-9.52-1 0.29-6.68-6.07-5.86-4.25-1.56 3.43 4.27 3.99 3.90 2.96 0.1 6-1.21-1.45-1.47-1.45-1.44-1.43-1.50-0.5 4 0.3 5 1.101.16 3.11 6.13 6.90 8.48 9.039.03 11.30 11.35 11.23 11.01 10.61 4.3.1 Analisa Second Horizontal Derivative Pada lintasan A-A, C-C dan D-D dilakukan analisa second horizontal derivative (SHD) untuk menentukan struktur yang menyebabkan anomali negatif. Analisa SHD dilakukan dengan menggunakan Persamaan 3.5-2 pada spasi yang sama dengan spasi pengukuran data yaitu 100 meter. Analisa turunan kedua ini hanya dilakukan pada anomali yang bernilai negatif pada masing-masing lintasan (Gambar 4.11, Gambar 4.12 dan Gambar 4.13). Turunan kedua yang didapatkan kemudian diperbandingkan nilai maksimum dan nilai minimumnya untuk mendapatkan struktur yang menyebabkan munculnya anomali negatif sesuai dengan Persamaan 3.5-3 dan Persamaan 3.5-4. 15.00 10.00 10.031 0.03 10.12 10.32 5.00 4.474.50 4.69 4.80 mgal 0.00 0.03 0.2 9-0.2 0-0.2 5-0.3 1-0.3 7 5-0.4 0-0.5 0-0.3 2-0.5 3-0.5-0.8 4 0 3000 6000 9000 12000-2.22-1.99-2.95-2.90-2.85.80 1.38 1.401.48 1.82 2.10 2.142.20 2.66 2.60 2.25 2.20 1.96 1.19 1.101.050.8 80.8 00.75 0.7 00.6 5 1.55 1.60 2.20 2.27 2.61-5.00-5.11-5.05-4.75-10.00-15.00 meter Gambar 4.11 Lokasi anomali negatif yang dianalisa pada lintasan A-A 37

y= 8 E -1 6 x4-3 E -1 1 x3 + 3 E -07 x2-0.0 0 2 1 x+ 1 1.5 4 4 R 2 = 0.9 6 2 15.00 10.00 5.00 mgal 0.00 0 5000 10000 15000 20000 25000-5.00-10.00 meter Gambar 4.12 Lokasi anomali negatif yang dianalisa pada lintasan C-C 15 10 5 mgal 0-5 0 5000 10000 15000 20000-10 -15 meter Gambar 4.13 Lokasi anomali negatif yang dianalisa pada lintasan D-D 38

Hasil dari analisa SHD ditunjukkan dalam tabel berikut : Tabel 3 Nilai turunan kedua tiap lintasan Lintasan d 2 g/dx 2 maksimum d 2 g/dx 2 minimum A-A 0.000909-0.001607 C-C 0.000169-0.000178 D-D 0.003968-0.006470 Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa lintasan yang dipilih (A-A, C-C dan D-D ) mempunyai respon yang sama. Dengan nilai perbandingan second horizontal derivative-nya sebagai berikut : 2 d g 2 dx max < 2 d g 2 dx min Hasil tersebut menunjukkan bahwa anomali negatif pada ketiga lintasan tersebut adalah sedimentary basin atau cekungan sedimen. Hasil analisa second horizontal derivative ini dikolaborasikan dengan peta kontur anomali Bouguer, maka akan dapat dilihat bahwa nilai-nilai anomali yang negatif membentuk pola tertentu (Gambar 4.14). Pola tersebut dimungkinkan adalah suatu cekungan sedimen besar yang terdapat pada daerah penelitian. Nilai-nilai anomali negatif tersebut berada pada satu cekungan sedimen yang sama. Selain itu, analisa turunan kedua juga dilakukan untuk membantu proses pemodelan, yaitu dengan menunjukkan struktur-struktur sesar dan tepi cekungan pada masing-masing lintasan. 39

Pada lintasan A-A, turunan kedua horizontal menunjukkan dua sesar naik (Lampiran A-D) dan satu batas lapisan yang dapat menunjukkan struktur cekungan (Lampiran E-F). Pembuktian struktur sesuai dengan persamaan (3.5-3) dan (3.5-4) yang menganalisa struktur dengan membandingkan nilai maksimum dan minimum turunan kedua horisontal dari anomali gayaberat. Lintasan C-C struktur sesar naik ditunjukkan turunan kedua minimumnya lebih kecil dari turunan kedua maksimum (Lampiran G-L). Batas lapisan yang dapat menunjukkan struktur cekungan dapat dibuktikan dengan turunan kedua maksimumnya lebih kecil dari turunan kedua minimumnya (Lampiran M-N). Lintasan D-D juga menunjukkan struktur-struktur sesar naik yang dibuktikan dengan perbandingan antara turunan kedua maksimum dan minimum dari anomali gaya berat (Lampiran O-T). Selain itu, satu batas kontak antara dua formasi yang diidentifikasi sebagai struktur cekungan juga dapat dibuktikan dengan analisa turunan kedua (Lampiran U-V). 40

4.3.2 Pola Anomali Negatif Anomali negatif seperti terlihat pada Gambar 4.14 terdapat pada bagian Selatan daerah penelitian. Anomali negatif tersebut mempunyai nilai antara 0 s.d. -11mGal dengan pola penyebarannya berbentuk menyerupai cekungan atau lembah. Sehingga anomali negatif disebabkan oleh adanya suatu sedimentary basin pada daerah tersebut. Sehingga dapat diperkirakan suatu pola cekungan yang terdapat di daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.14. U (mgal) 10 0 2 4 6 8 Gambar 4.14 Perkiraan Pola Cekungan Hasil yang menunjukkan bahwa nilai-nilai anomali negatif tersebut terletak pada suatu cekungan sedimen yang sama berarah Barat-Timur didukung juga oleh hasil analisa second horizontal derivative. Analisa SHD memberikan informasi tentang keberadaan cekungan sedimen pada lintasan-lintasan yang dianalisa. 41

4.4 PEMODELAN Untuk melakukan interpretasi struktur bawah permukaan pada daerah penelitian, dilakukan pemodelan kedepan. Pemodelan dilakukan dengan memodelkan nilai anomali Bouguer dari tiga penampang yang mewakili daerah penelitian. Penggunaan anomali Bouguer didasarkan bahwa anomali Bouguer mencakup semua anomali yang terakumulasi di permukaan bumi, baik yang bersifat dangkal maupun dalam. Dari masing-masing penampang dilakukan pemodelan kedepan dengan menggunakan software Grav2DC. Informasi ketebalan batuan didapatkan dari perkiraan yang dilakukan oleh (Rusmana, 1993). Sedangkan kisaran densitas yang dapat digunakan dan diperkirakan dalam pemodelan menggunakan Tabel 2 (Telford, 2000). Untuk mendapatkan struktur bawah permukaan yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya, maka dilakukan juga analisa second horizontal derivative dan analisa spektrum. Tabel 2 Kontras densitas yang digunakan dalam pemodelan (data dari Telford, 1990) Formasi Estimasi Densitas (gr/cm 3 ) Kontras Densitas Terumbu Koral Kuarter 1.9-0.3 Kintom 2.0-0.2 Salodik 2.1-0.1 Nanaka 2.35 0.15 Nambo 2.5 0.3 Meluhu 2.75 0.55 Basement 2.8 0.6 Pemodelan dua dimensi daerah penelitian dilakukan pada lintasan (A-A, C-C dan D-D ) seperti terlihat pada Gambar 4.6. Pemodelan dilakukan dengan software Grav2DC. Lintasan A-A melintasi daerah Bunga Timur dengan arah lintasan dari Selatan ke Utara. Lintasan C-C melintasi daerah Mantok dengan lintasan yang juga berarah dari Selatan ke Utara. Lintasan D-D melintasi daerah Watee-Kalibanang 42

juga dengan arah lintasan dari Selatan ke Utara. Berikut adalah penampang dua dimensi dari masing-masing lintasan yang telah dimodelkan : 4.4.1 Lintasan A-A mgal 12 Utara Selatan 0-0 2 4 ρ = 1,9 gr. cm -3 ρ =2,0 gr. cm -3 Sesar 1 ρ =2,1 gr. cm -3 ρ =2,35 gr. cm -3 ρ =2,5 gr. cm -3 ρ =2,75 gr. cm -3 ρ = 2,8 gr. cm -3 Sesar 2 Km 0 9,3 Terumbu Koral Formasi Basement sesar Formasi Formasi Formasi Formasi Gcalculated Gobs Gambar 4.15 Model dua dimensi lintasan A-A' Lintasan A-A mempunyai panjang lintasan 9300 meter dengan kedalaman pemodelan mencapai kedalaman 4000 meter. Hasil pemodelan menunjukkan terjadinya lipatan lemah bersudut kurang dari 25 o. Anomali negatif dari lintasan A- A dimodelkan sebagai akibat adanya penebalan lapisan sedimen. Sedangkan pola kemiringan batuan disesuaikan dengan arah dip pada peta geologi (Gambar 4.6). Didasarkan peta geologi dan tataan stratigrafi mendala Banggai-Sula maka 43

pemodelan memperlihatkan ada tujuh lapisan batuan atau formasi. Lapisan pertama berwarna biru muda merupakan Terumbu Koral Kuarter dengan tebal lapisan mencapai 400 meter. Lapisan kedua berwarna hijau muda merupakan formasi Kintom dengan ketebalan mencapai 1500 meter. Lapisan ketiga berwarna biru tua adalah formasi Salodik dengan ketebalan mencapai 1200 meter. Lapisan keempat berwarna kuning adalah formasi Nanaka, ketebalannya mencapai 800 meter. Lapisan kelima berwarna coklat muda merupakan formasi Nambo dengan ketebalan formasi mencapai 300 meter. Lapisan keenam berwarna coklat tua adalah formasi Meluhu dengan ketebalan 750 meter. Lapisan paling bawah adalah basement yang berwarna merah. Analisa spektrum menunjukkan estimasi kedalaman regionalnya sangat dangkal yaitu 700 meter. Kemungkinan ini disebabkan karena pola basement yang mendangkal ke arah Utara. Pada bagian Utara menunjukkan basement yang mendekati kedalaman 1000 meter, sehingga kurang lebih sama dengan estimasi kedalaman regional yang dihasilkan oleh analisa spektrum. Sedangkan anomali residual yang menunjukkan kedalaman 100 meter bisa dikatakan noise, karena jarak spasi pengukuran juga berjarak 100 meter, sehingga anomali di kedalaman 100 meter tidak dapat ditangkap sinyalnya. 44

4.4.2 Lintasan C-C mgal 11 Selatan Utara 0-2 0 ρ =1,9 gr. cm -3 Sesar 1 Sesar 2 ρ =2,1 gr. cm -3 ρ =2,35 gr. cm -3 ρ =2,5 gr. cm -3 Sesar 3 ρ =2,75 gr. cm -3 4 ρ =2,8 gr. cm -3 0 18, 9 Km Terumbu Koral Formasi Nanaka Basement sesar Formasi Kintom Formasi Salodik Formasi Nambo Formasi Meluhu Gcalculated Gobs Gambar 4.16 Model dua dimensi lintasan C-C 45

Lintasan C-C mempunyai panjang lintasan 18900 meter dengan kedalaman pemodelan mencapai kedalaman 5000 meter. Hasil pemodelan menunjukkan terjadinya lipatan lemah bersudut kurang dari 25 o. selain itu, terdapat sesar yang diinterpretasikan sebagai sesar naik berumur Jura. Anomali negatif dari lintasan C-C dimodelkan sebagai akibat adanya penebalan lapisan sedimen. Pola kemiringan batuan disesuaikan dengan arah dip pada peta geologi (Gambar 4.6). Didasarkan peta geologi dan tataan stratigrafi mendala Banggai-Sula maka pemodelan memperlihatkan ada enam lapisan batuan atau formasi. Dibandingkan dengan lintasan sebelumnya di lintasan ini tidak ditemukan formasi Kintom. Lapisan pertama berwarna biru muda merupakan Terumbu Koral Kuarter dengan tebal lapisan mencapai 400 meter. Lapisan ketiga berwarna biru tua adalah formasi Salodik dengan ketebalan mencapai 1200 meter. Lapisan keempat berwarna kuning adalah formasi Nanaka, ketebalannya mencapai 800 meter. Lapisan kelima berwarna coklatmuda merupakan formasi Nambo dengan ketebalan formasi mencapai 300 meter. Lapisan keenam berwarna coklat tua adalah formasi Meluhu dengan ketebalan 750 meter. Lapisan paling bawah adalah basement yang berwarna merah. Analisa spektrum menunjukkan estimasi kedalaman 2500 meter untuk anomali regional. Pada pemodelan dapat kita lihat anomali regional ini disebabkan oleh struktur-struktur sesar. Selain itu, pada daerah Selatan lintasan kedalaman basement juga berada pada kedalaman sekitar 2500 meter, sehingga analisa spektrum mampu menunjukkan estimasi kedalaman regional dengan cukup baik. Estimasi kedalaman anomali residual berada pada kedalaman 500 meter. Pada kedalaman tersebut, pemodelan menunjukkan dominasi Formasi Salodik, sehingga sumber anomali residual disebabkan oleh Formasi Salodik dan strukturnya yaitu antiklin dan sinklin bersudut lemah. 46

4.4.3 Lintasan D-D mgal 11 Selatan Utara 0-7 0 ρ =1,9 gr. cm -3 ρ =2,0 gr. cm -3 2 Sesar 1 Sesar 2 ρ =2,1 gr. cm -3 ρ =2,35 gr. cm -3 ρ =2,5 gr. cm -3 ρ =2,75 gr. cm -3 Sesar 3 ρ = 2,8 gr. cm -3 4 Km 0 Terumbu Koral Formasi Basement sesar 22,5 Formasi Formasi Gcalculated Formasi Formasi Gobs Gambar 4.17 Model dua dimensi lintasan D-D 47

Lintasan C-C mempunyai panjang lintasan 22500 meter dengan kedalaman pemodelan mencapai kedalaman 4000 meter. Hasil pemodelan menunjukkan terjadinya lipatan lemah bersudut kurang dari 25. Anomali negatif dari lintasan D- D dimodelkan sebagai akibat adanya penebalan lapisan sedimen. Sedangkan pola kemiringan batuan disesuaikan dengan arah dip pada peta geologi (Gambar 4.6). Didasarkan peta geologi dan tataan stratigrafi mendala Banggai-Sula maka pemodelan memperlihatkan ada tujuh lapisan batuan atau formasi. Lapisan pertama berwarna biru muda merupakan Terumbu Koral Kuarter dengan tebal lapisan mencapai 400 meter. Lapisan kedua berwarna hijau muda merupakan formasi Kintom dengan ketebalan mencapai 1500 meter. Lapisan ketiga berwarna biru tua adalah formasi Salodik dengan ketebalan mencapai 1200 meter. Lapisan keempat berwarna kuning adalah formasi Nanaka, ketebalannya mencapai 800 meter. Lapisan kelima berwarna coklat muda merupakan formasi Nambo dengan ketebalan formasi mencapai 300 meter. Lapisan keenam berwarna coklat tua adalah formasi Meluhu dengan ketebalan 750 meter. Lapisan paling bawah adalah basement yang berwarna merah. o Hasil analisa spektrum untuk memperkirakan kedalaman sumber anomali regional menunjukkan sumber anomali berada pada kedalaman 2600 meter, ini menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan lintasan C-C, dimana sumber anomalinya adalah Formasi Nambo, Nanaka dan Meluhu beserta struktur sesarnya. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada kedalaman sumber anomali residual 500 meter, yang disebabkan oleh Formasi Salodik. 4.5 ANALISA PETROLEUM SYSTEM Pada daerah penelitian Luwuk ini tidak terdapat petunjuk minyak bumi, tetapi di bagian barat daerah penelitian tepatnya terletak di daerah lembar Batui terdapat petunjuk adanya oil seep atau rembesan minyak bumi. Tepatnya terletak di daerah Dolang, rembesan tersebut terdapat pada pinggiran sesar, yang terhubung oleh sesar 48

Poh. Kemungkinan adanya sumber hidrokarbon didasarkan atas adanya persamaan mendala geologi daerah Batui dengan daerah Luwuk. Syarat terdapatnya cadangan hidrokarbon adalah adanya petroleum system yang terdiri dari batuan induk, batuan reservoir dan batuan tudung. Selain itu, juga adanya perangkap hidrokarbon baik yang bersifat perangkap struktur maupun perangkap stratigrafi. 4.5.1 Batuan Induk Batuan induk adalah batuan yang menghasilkan hidrokarbon. Batuan ini harus mempunyai kadar organik yang tinggi.napal dan napal pasiran yang merupakan bagian dari Formasi Nambo yang berumur Jura dimungkinkan sebagai batuan induk. Karena formasi Nambo mengandung banyak fosil Belemnit dan Innoceramus dengan lingkungan pengendapannya yaitu laut dangkal. 4.5.2 Batuan Reservoir Batuan reservoir mempunyai syarat memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi. Batuan reservoir diperkirakan batuan sedimen berumur Mesozoikum (Rusmana, 1993). Formasi Salodik merupakan batuan sedimen yang memenuhi syarat sebagai batuan reservoir. Bagian dari formasi Salodik yang mempunyai porositas tinggi dan menjadi batuan reservoir adalah Minahaki (Upper Platform Limestone Unit) dan Tomori (Lower Platform Limestone Unit) (Pane, 1996). Minahaki tersusun dari batu gamping poros sehingga sangat bagus menjadi batuan reservoir, porositas rata-ratanya 14%. Sedangkan Tomori tersusun dari batu gamping bioklastik dengan porositas 12% dan permeabilitas sampai dengan 8 milidarcies. 49

4.5.3 Batuan Tudung Batuan Tudung syarat utamanya adalah mempunyai permeabilitas rendah. Dalam tataan Stratigrafi Banggai Sula formasi yang memenuhi persyaratan ini adalah formasi Kintom dan bagian dari formasi Salodik yaitu Matindok (Middle Platform Limestone Unit). Formasi Kintom mempunyai lapisan napal di bagian bawahnya, yang merupakan batuan tudung yang baik untuk batuan reservoir Minahaki (Upper Platform Limestone Unit). Sedangkan Matindok (Middle Platform Limestone Unit) yang tersusun dari batu lempung menjadi batuan tudung untuk reservoir Tomori (Lower Platform Limestone Unit). 4.5.4 Perangkap Hidrokarbon Perangkap hidrokarbon adalah hambatan bawah permukaan yang menghalangi proses migrasi hidrokarbon ke permukaan, terdapat dua kemungkinan perangkap di dalam daerah penelitian, yaitu : Perangkap Struktur : Perangkap ini terdapat pada antiklin bersudut lemah yang terdapat di daerah penelitian. Perangkap ini akan tersusun dengan formasi Kintom sebagai batuan tudung dan Minahaki (Upper Platform Limestone Unit) sebagai batuan reservoir-nya. Perangkap Stratigrafi : Perangkap ini terdapat karena perubahan fasies dalam satu formasi. Formasi Salodik yang terdiri dari tiga fasies dapat membentuk perangkap stratigrafi. Perangkap stratigrafi ini terdiri dari batuan tudung dari bagian Matindok (Middle Platform Limestone Unit) dan batuan reservoir dari bagian Tomori (Lower Platform Limestone Unit). 50

4.5.5 Petroleum System 4.5.5.1 Lintasan A-A Lintasan A-A yang melalui daerah Bunga Timur mempunyai potensi terdapatnya kandungan hidrokarbon, karena terpenuhinya petroleum system seperti terlihat pada pemodelan lintasan A-A (Gambar 4.15). Batuan induk diperkirakan adalah formasi Nambo yang mempunyai banyak kandungan fosil. Sedangkan yang bertindak sebagai batuan reservoir adalah formasi Salodik baik bagian bawah (Tomori/Lower Platform Limestone Unit) atau bagian atasnya (Minahaki/Upper Platform Limestone Unit) yang keduanya merupakan batuan gamping dengan porositas yang baik. Sedangkan seal (batuan tudung) adalah bagian tengah formasi Salodik (Matindok/Middle Platform Limestone Unit) dan formasi Kintom yang keduanya berupa lapisan napal. Pemodelan lintasan A-A (Gambar 4.15) menunjukkan perangkap hidrokarbon dimungkinkan adalah perangkap struktur untuk reservoir Minahaki dan kombinasi dari perangkap struktur dan perangkap stratigrafi untuk reservoir Tomori. 4.5.5.2 Lintasan C-C dan D-D Lintasan C-C dan D-D mempunyai kemiripan hasil, dapat kita lihat pada perbandingannya pada model masing-masing lintasan (Gambar 4.16 dan Gambar 4.17). Pada kedua lintasan kita dapat temukan lapisan yang berfungsi sebagai batuan induk (formasi Nambo) dan lapisan yang berfungsi sebagai batuan reservoir yaitu formasi Salodik baik yang berada pada bagian atas (Minahaki/Upper Platform Limestone Unit) atau bagian bawah (Tomori/Lower Platform Limestone Unit). Pada lintasan C-C kita tidak dapat menemukan lapisan yang berfungsi sebagai batuan tudung (seal) dari formasi Kintom, batuan tudung yang dimungkinkan muncul adalah bagian tengah dari formasi Salodik (Matindok). Tetapi, perangkap hidrokarbon yang juga menjadi syarat terdapatnya hidrokarbon tidak dapat 51

teridentifikasi pada model lintasan C-C (Gambar 4.16). Sehingga potensi kandungan hidrokarbon pada lintasan yang melintasi daerah Mantok cukup kecil kemungkinannya. Selain itu, formasi Salodik yang berfungsi sebagai reservoir keberadaannya tersingkap secara luas di permukaan, ini tentu menyebabkan hidrokarbon tidak dapat terakumulasi. Pada lintasan D-D dapat kita identifikasi lapisan yang muncul sebagai batuan tudung (seal) baik yang berupa formasi Kintom dan bagian tengah dari formasi Salodik (Matindok). Pada lintasan yang melintasi daerah Watee-Kalibanang ini juga tidak dapat diidentifikasi adanya perangkap hidrokarbon terutama perangkap struktur (Gambar 4.17). Sehingga potensi kandungan hidrokarbon pada daerah ini cukup kecil kemungkinannya. Pada lintasan ini formasi Salodik juga tersingkap secara luas pada permukaan, sehingga akumulasi hidrokarbon yang seharusnya terjadi pada lapisan ini tidak dapat terjadi. 52