IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau yang berbeda sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.1. Sumber : Ditjen Migas, 2008 Gambar 4.1. Peta Lokasi Kilang LNG di Indonesia Kilang Badak yang dimiliki oleh PT Badak Natural Gas Liquefaction atau lebih dikenal dengan PT Badak NGL, saat ini merupakan kilang penghasil LNG terbesar di Indonesia. Lokasinya berada di Bontang, Kalimantan Timur. Pada tahun 2010, sebesar 986.140.906 MMBTU atau 86,11 persen dari total produksi LNG Indonesia disumbangkan oleh kilang ini. Penghasil LNG terbesar kedua adalah kilang Arun yang dimiliki PT Arun Natural Gas Liquefaction atau PT Arun NGL. Kilang Arun berada di Lhokseumawe, Aceh. Hingga tahun 1993, PT Arun NGL merupakan penghasil LNG terbesar di Indonesia dan di dunia. Namun, menipisnya cadangan gas alam
membuat produksinya terus menurun. Dari kilang tersebut, dihasilkan 123.412.051 MMBTU atau 10,77 persen dari total produksi LNG Indonesia pada tahun 2010. Kilang Tangguh yang terletak di Teluk Bintuni, Papua Barat, merupakan kilang yang baru beroperasi pada tahun 2009. Produksi kilang ini pada tahun 2010 adalah sebesar 35.624.640 MMBTU atau 3,11 persen dari total produksi LNG Indonesia. Hasil produksi ini meningkat sebesar 9,62 persen dari tahun 2009. Tabel 4.1 Produksi LNG Berdasarkan Sumber Kilang Tahun 1990-2010 Produksi Kilang (MMBTU) Tahun Arun Badak Tangguh Total 1990 598.486.944,65 512.024.871,86-1.110.511.816,51 1991 613.988.550,03 570.025.069,28-1.184.013.619,31 1993 635.654.334,00 627.229.461,00-1.262.883.795,00 1996 587.634.994,00 769.790.992,00-1.357.425.986,00 1998 561.226.736,86 843.552.402,82-1.404.779.139,68 2000 322.830.865,33 977.149.686,22-1.299.980.551,55 2001 146.765.164,97 1.091.269.435,07-1.238.034.600,04 2003 328.222.191,85 934.748.770,20-1.262.970.962,05 2004 293.521.354,00 1.000.319.844,00-1.293.841.198,00 2005 217.529.276,00 1.005.610.720,00-1.223.139.996,00 2006 175.687.159,00 1.004.885.295,00-1.180.572.454,00 2007 146.258.112,00 954.439.355,00-1.100.697.467,00 2008 134.611.226,00 955.745.694,00-1.090.356.920,00 2009 112.581.287,00 899.596.203,00 32.498.186,00 1.044.675.676,00 2010 123.412.051,00 986.140.906,00 35.624.640,00 1.145.177.597,00 Sumber : Data Ware House ESDM dan Ditjen Migas, 2011 Keterangan : MMBTU (Million British Thermal Unit)
Total produksi LNG Indonesia pada tahun 1990-1998 menunjukkan peningkatan. Setelah itu, terjadi produksi LNG mengalami fluktuasi, namun cenderung mengalami tren penurunan. Penurunan produksi LNG lebih disebabkan karena terus menurunnya cadangan gas. Dengan mulai dioperasikannya kilang Tangguh, maka produksi LNG diharapkan dapat ditingkatkan kembali. Bahkan, saat ini tengah dibangun kilang LNG baru, yaitu kilang Donggi Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Pengiriman kargo LNG pertama dari kilang Donggi Senoro kepada para pembeli di targetkan dimulai pada triwulan III tahun 2014. 4.2. Perkembangan Ekspor LNG Indonesia Perdagangan LNG sebagian besar dilakukan berdasarkan kontrak jangka panjang 20 tahun atau lebih. Meskipun demikian, saat ini juga telah terdapat kontrak jangka menengah 3 sampai 10 tahun. Sebagian kecil LNG diperdagangkan pada pasar spot, di mana pengiriman ekspor diselesaikan dalam tempo 24 jam setelah perjanjian. Perkembangan volume dan nilai ekspor LNG Indonesia pada periode tahun 1989 sampai 2010 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, dengan tingkat fluktuasi nilai ekspor yang lebih tajam daripada volume ekspornya. Selama periode tersebut pertumbuhan volume ekspor dan nilai ekspor rata-rata meningkat sebesar 1,37 persen dan 9,63 persen per tahun. Dalam periode tahun 1989 sampai 2010 volume ekspor terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 19.019.402.385 kg dan volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1999 sebesar 28.674.084.430 kg. Sementara nilai ekspor terendah terjadi
pada tahun 1989 sebesar US$ 2.378.946.048 dan nilai ekspor tertinggi yang pernah tercapai adalah sebesar US$ 12.993.549.933 pada tahun 2008. Perkembangan nilai ekspor yang besar terjadi pada tahun 1990, 2000, 2008, dan 2010. Pada tahun tersebut perkembangan nilai ekspor yang terjadi adalah sebesar 41,1 persen, 52,76 persen, 32,95 persen dan 40,95 persen. Tabel 4.2. Volume dan Nilai Ekspor LNG Indonesia Tahun 1989-2010 Ekspor Perkembangan (%) Tahun Volume (kg) Nilai (US$) Volume Nilai 1989 19.497.609.216 2.378.946.048 - - 1990 21.332.168.704 3.356.613.632 9,41 41,10 1991 23.172.435.968 3.831.092.736 8,63 14,14 1992 24.051.165.184 3.720.346.368 3,79-2,89 1993 24.592.222.208 3.675.776.512 2,25-1,20 1994 26.829.205.504 3.383.372.288 9,10-7,95 1995 25.802.371.072 3.613.930.240-3,83 6,81 1996 26.774.231.040 4.025.720.320 3,77 11,39 1997 27.077.038.080 4.419.814.912 1,13 9,79 1998 27.096.340.480 3.546.691.840 0,07-19,75 1999 28.674.084.430 4.081.838.021 5,82 15,09 2000 26.313.206.627 6.235.554.213-8,23 52,76 2001 23.920.273.945 5.382.626.345-9,09-13,68 2002 26.399.352.511 5.277.842.403 10,36-1,95 2003 26.512.203.760 6.145.599.701 0,43 16,44 2004 25.456.329.698 7.289.379.776-3,98 18,61 2005 23.259.922.760 8.599.315.352-8,63 17,97 2006 22.739.603.258 9.993.136.985-2,24 16,21 2007 20.950.966.368 9.773.052.845-7,87-2,20 2008 20.678.865.660 12.993.549.933-1,30 32,95 2009 19.019.402.385 7.500.055.173-8,02-42,28 2010 24.179.717.789 10.571.561.787 27,13 40,95 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)
Perkembangan volume ekspor LNG tahun 2000-2001 dan 2004-2009 yang menunjukkan tanda negatif disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, karena semakin ketat dan bertambahnya pesaing Indonesia sebagai pengekspor utama LNG dunia. Kedua, cadangan gas yang terus berkurang juga menyebabkan penurunan ekspor LNG Indonesia. Pada tahun 2010, ekspor LNG Indonesia kembali melesat naik seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dari kilang LNG yang baru, yaitu kilang Tangguh. Negara tujuan ekspor LNG Indonesia yang utama adalah Jepang, dimana lebih dari 50 persen ekspor LNG Indonesia dikirim ke negara tersebut. Negara tujuan ekspor utama lainnya adalah Korea Selatan dan Cina. Perkembangan ekspor LNG Indonesia menurut negara tujuan utama dan negara lainnya pada periode tahun 2005 sampai 2010 menunjukkan data yang berfluktuatif, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Ekspor LNG Indonesia ke Negara Tujuan Utama Tahun 2005-2010 Negara Tujuan Ekspor LNG Jepang Korea Selatan Cina Negara Lain Tahun Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % 2005 14.250.931.811 61 5.479.371.328 24 2.244.910.832 10 1.284.708.789 6 2006 14.311.914.992 63 5.059.227.575 22 3.368.460.691 15 0 0 2007 13.904.814.070 66 3.798.582.474 18 3.247.569.824 16 0 0 2008 14.389.695.668 70 3.279.370.168 16 3.009.799.824 15 0 0 2009 13.057.877.457 69 2.989.147.979 16 2.297.181.328 12 675.195.621 4 2010 13.129.187.298 54 5.546.239.644 23 1.874.432.179 8 3.629.858.668 15 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) 4.3. Perkembangan Konsumsi Domestik Gas Alam Komoditi LNG belum dikonsumsi di Indonesia, sehingga pemanfaatannya seluruh produksinya hanya untuk diekspor ke luar negeri. Hal ini terjadi karena
belum tersedianya infrastruktur yang memadai seperti receiving terminal, pipa transmisi dan distribusi, dsb. Infrastruktur tersebut membutuhkan investasi yang besar sehingga dalam pasar domestik, gas alam dikonsumsi dalam berbagai jenis produk selain LNG yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik (PLN), bahan baku industri (pupuk, petrokimia dan industri lain), bahan bakar kilang, bahan bakar gas untuk rumah tangga (LPG dan Gas Kota) dan bahan bakar gas untuk transportasi. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa konsumsi gas domestik terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi ini terutama terjadi di sektor industri dalam rangka menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi mesin sehingga dapat bersaing dengan produk negara-negara lain. Alasan lain pengalihan bahan bakar ke gas yaitu, harga sangat kompetitif dan relatif stabil serta lebih ramah lingkungan (ESDM, 2011). 3.500.000 3.000.000 2.500.000 MMSCF 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 Total Produksi Gas Konsumsi Domestik Gas 0 1991 1992 1993 1996 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Data Ware House ESDM dan Pusdatin ESDM, 2011 Gambar 4.2. Perkembangan Konsumsi Domestik Gas Indonesia Tahun 1991-2010
Semakin pentingnya pemanfaatan gas di sektor domestik mendorong pemerintah untuk memberikan prioritas utama bagi kebutuhan dalam negeri dibanding ekspor. Hal ini tercermin dari ditetapkannya kebijakan domestic market obligation (DMO) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab 4.5. 4.4. Perkembangan Harga Liquefied Natural Gas (LNG) Dalam suatu perdagangan, harga merupakan variabel yang sangat penting dalam memengaruhi permintaan dan penawaran suatu komoditi. Pada komoditi LNG, kesepakatan harga didasarkan pada prinsip-prinsip penting, antara lain kuantitas, kualitas, dan formula (Raharjo, 2008). Kualitas produksi LNG tidak selalu sama, tergantung pada komposisi gas terutama metana. Secara teoritis, range negosiasi penetapan harga LNG berada pada batas maksimum berupa kemampuan pihak pembeli (maximum buyer affordability) dan batas minimum kembalinya investasi pihak penjual (minimum seller acceptability). Di antara batas tersebut terangkum semua variabel penunjang misalnya risiko, kehandalan pasokan, jaminan penerimaan, kompetisi antar gas/minyak/batubara, fiskal, margin keuntungan, market opportunity, dan faktor tekanan sosial politik (Raharjo, 2008). Kementerian ESDM (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 1970 hingga 1990 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh produsen yang pada saat itu jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sangat menguntungkan pihak produsen (seller) karena dengan demikian penjualan LNG harganya tinggi dan bersifat jangka panjang. Struktur pasar semacam ini dikenal dengan sebutan seller market. Tahun 1990 hingga 2000 mulai terjadi pergeseran dari seller market
menjadi buyer market secara bertahap, hal ini menyebabkan pasar menjadi didominasi oleh pembeli (buyer market). Pada tahun 2000 sampai dengan 2005 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh buyer market yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Banyaknya produsen LNG baru yang masuk pasar LNG dunia, seperti Qatar, Oman, Yaman, Aljazair, Malaysia, Brunei Darussalam, Rusia-Sakhalin, Australia, Alaska, dan Indonesia. Banyaknya produsen baru LNG yang bermunculan menyebabkan posisi produsen menjadi kurang dominan dan harga LNG juga ikut jatuh. 2. Kontrak LNG tidak lagi melalui negosiasi langsung tetapi melalui tender. Harga serta formula harga ditentukan oleh pembeli, walaupun masih dikaitkan dengan harga minyak (pointing to oil) tapi dengan batas atas dan batas bawah. Kondisi-kondisi yang terjadi belakangan ini, misalnya kenaikan harga minyak, peningkatan ekonomi negara pembeli LNG, tertundanya realisasi penambahan kapasitas LNG, isu energi ramah lingkungan, dan kontrak penjualan LNG dalam jangka panjang yang akan berakhir (expire) pasca 2010, mengisyaratkan akan adanya peningkatan kebutuhan LNG yang berpotensi mengembalikan kondisi seller market pada periode 2005-sekarang (Raharjo, 2008). Berdasarkan Gambar 4.5, dapat terlihat bahwa harga ekspor LNG Indonesia berfluktuasi, namun mengalami tren peningkatan. Penurunan harga LNG yang sangat tajam terjadi pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena adanya over supply
LNG di pasaran, sedangkan negara pengimpor tidak mampu menyerap over supply tersebut sebagai dampak dari krisis tahun 2008. 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) Gambar 4.3. Perkembangan Harga Ekspor LNG Indonesia (US$/kg) Tahun 1989-2010 Harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60 persen lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata untuk gas domestik. Hal ini membawa penerimaan negara dari ekspor gas bumi jauh melampaui penerimaan negara dari penjualan gas domestik. Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US$10 hingga US$11 per juta British thermal unit (MMBTU) sementara harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$4 hingga US$4,5 per juta British thermal unit (BP Migas, 2012). 4.5. Domestic Market Obligation (DMO) Dengan adanya domestic market obligation (DMO), kontraktor diwajibkan untuk memberikan suatu persentase tertentu dari bagiannya kepada pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini diterapkan pada
kontrak bagi hasil standar berdasarkan Pasal 46 PP No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa : (1) Kontraktor bertanggung jawab untuk ikut serta memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan dalam negeri; (2) Bagian kontraktor dalam memenuhi keperluan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan prorata hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi; (3) Besaran kewajiban kontraktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah paling banyak 25 persen (dua puluh lima per seratus) bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi; (4) Menteri menetapkan besaran kewajiban setiap kontraktor dalam memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. Ketentuan ini menyatakan bahwa kontraktor wajib menjual migas yang dihasilkan sebesar 25 persen dari hasil produksi yang menjadi bagiannya dengan harga tertentu yang lebih kecil daripada harga migas aktual saat itu. Dasar pertimbangan yang melandasi logika ini adalah, tidaklah wajar suatu negara pengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi lokal. Jika PP No.35 Tahun 2004 mengenakan domestic market obligation pada komoditi minyak dan gas secara umum, maka pada Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010, khusus membahas mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pasal 4 Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010 tersebut menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka mendukung pemenuhan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan gas bumi dalam negeri; (2) Kewajiban kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25 persen (dua puluh lima perseratus) dan hasil produksi gas bumi bagian kontraktor; (3) Dalam hal kebutuhan gas bumi dalam negeri belum dapat terpenuhi, Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dari cadangan gas bumi pada suatu wilayah kerja; (4) Pemenuhan kebutuhan gas bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap memperhatikan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan keekonomian lapangan. Harga yang berlaku untuk kebijakan DMO ini berada di bawah harga pasar. Oleh karena itu, untuk mendorong pelaksanaan DMO ini, kontraktor yang memenuhi kewajibannya akan memperoleh insentif di mana penentuan harga diberlakukan sesuai kontrak penjualan gas bumi pada wilayah kerjanya selama jangka waktu tertentu. Jika melanggar, sanksi yang dikenakan atas pelanggaran domestic market obligation (DMO) yaitu dengan adanya pencabutan fasilitas bebas DMO (DMO holiday). Walaupun kebijakan tersebut tidak membatasi jumlah ekspor, namun hal ini secara tidak langsung memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan gas internasional Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ini akan berdampak pada ekspor gas Indonesia, terutama bagi LNG yang merupakan komoditi gas yang menjadi primadona ekspor Indonesia.