IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perser

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

5^nu MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBIJAKAN ALOKASI GAS BUMI UNTUK DALAM NEGERI

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK

HASIL PEMERIKSAAN BPK ATAS KETEPATAN SASARAN REALISASI BELANJA SUBSIDI ENERGI (Tinjauan atas subsidi listrik)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH : PUTRI MERIYEN BUDI S

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PENGARAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA FORUM DIALOG DENGAN PIMPINAN REDAKSI JAKARTA, 30 JUNI 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TRIWULAN II-2013

POKOK-POKOK DALAM PENGATURAN PEMANFAATAN GAS BUMI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK (Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2017) Jakarta, 10 Februari 2017

OPTIMASI NILAI GAS ALAM INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gas alam sebagai salah sumber daya alam yang mempunyai manfaat. sangat banyak dalam menunjang berbagai sektor kehidupan manusia.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

LATAR BELAKANG PASAR DOMESTIK GAS BUMI TERBESAR ADA DI PULAU JAWA YANG MEMILIKI CADANGAN GAS BUMI RELATIF KECIL;

Analisa dan Diskusi. Neraca gas bumi

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Nama Perusahaan PT Pertamina (Persero) Gambar 1.1 Logo PT Pertamina (Persero)

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kementerian ESDM. Alokasi. Pemanfaatan. Gas Bumi.

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Gas Bumi. Pipa. Transmisi. Badan Usaha. Wilayah Jaringan. Kegiatan.

BAB I PENDAHULUAN. Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu sektor penting dalam

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahu

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Minyak Bumi dan Gas Alam mengandung asas-asas dari prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

Tugas Akhir (ME )

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

Panduan Pengguna Untuk Sektor Produksi Energi Fosil Minyak, Gas dan Batubara. Indonesia 2050 Pathway Calculator

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

Analisis Perkembangan Industri

REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Jakarta, 13 Mei 2015

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

VI. SIMPULAN DAN SARAN

2017, No tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN (Di Sempurnakan Sesuai dengan Usulan Kadin)

ANALISIS MASALAH BBM

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Sektor Pasokan Energi. Produksi Minyak, Gas dan Batubara. Indonesia 2050 Pathway Calculator

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010

Ditulis oleh David Dwiarto Senin, 05 November :53 - Terakhir Diperbaharui Senin, 05 November :13


PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2015

BAB I PENDAHULUAN. Industri minyak dan gas bumi mengalami goncangan yang luar biasa di 10

Prediksi Lifting Minyak 811 ribu BPH

LAMPIRAN II: MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN. Isu Pokok Output yang Diharapkan Program Aksi Kerangka waktu. Jaminan pasokan energi

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

INDONESIA MENUJU NET OIL EXPORTER

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara

Transkripsi:

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau yang berbeda sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.1. Sumber : Ditjen Migas, 2008 Gambar 4.1. Peta Lokasi Kilang LNG di Indonesia Kilang Badak yang dimiliki oleh PT Badak Natural Gas Liquefaction atau lebih dikenal dengan PT Badak NGL, saat ini merupakan kilang penghasil LNG terbesar di Indonesia. Lokasinya berada di Bontang, Kalimantan Timur. Pada tahun 2010, sebesar 986.140.906 MMBTU atau 86,11 persen dari total produksi LNG Indonesia disumbangkan oleh kilang ini. Penghasil LNG terbesar kedua adalah kilang Arun yang dimiliki PT Arun Natural Gas Liquefaction atau PT Arun NGL. Kilang Arun berada di Lhokseumawe, Aceh. Hingga tahun 1993, PT Arun NGL merupakan penghasil LNG terbesar di Indonesia dan di dunia. Namun, menipisnya cadangan gas alam

membuat produksinya terus menurun. Dari kilang tersebut, dihasilkan 123.412.051 MMBTU atau 10,77 persen dari total produksi LNG Indonesia pada tahun 2010. Kilang Tangguh yang terletak di Teluk Bintuni, Papua Barat, merupakan kilang yang baru beroperasi pada tahun 2009. Produksi kilang ini pada tahun 2010 adalah sebesar 35.624.640 MMBTU atau 3,11 persen dari total produksi LNG Indonesia. Hasil produksi ini meningkat sebesar 9,62 persen dari tahun 2009. Tabel 4.1 Produksi LNG Berdasarkan Sumber Kilang Tahun 1990-2010 Produksi Kilang (MMBTU) Tahun Arun Badak Tangguh Total 1990 598.486.944,65 512.024.871,86-1.110.511.816,51 1991 613.988.550,03 570.025.069,28-1.184.013.619,31 1993 635.654.334,00 627.229.461,00-1.262.883.795,00 1996 587.634.994,00 769.790.992,00-1.357.425.986,00 1998 561.226.736,86 843.552.402,82-1.404.779.139,68 2000 322.830.865,33 977.149.686,22-1.299.980.551,55 2001 146.765.164,97 1.091.269.435,07-1.238.034.600,04 2003 328.222.191,85 934.748.770,20-1.262.970.962,05 2004 293.521.354,00 1.000.319.844,00-1.293.841.198,00 2005 217.529.276,00 1.005.610.720,00-1.223.139.996,00 2006 175.687.159,00 1.004.885.295,00-1.180.572.454,00 2007 146.258.112,00 954.439.355,00-1.100.697.467,00 2008 134.611.226,00 955.745.694,00-1.090.356.920,00 2009 112.581.287,00 899.596.203,00 32.498.186,00 1.044.675.676,00 2010 123.412.051,00 986.140.906,00 35.624.640,00 1.145.177.597,00 Sumber : Data Ware House ESDM dan Ditjen Migas, 2011 Keterangan : MMBTU (Million British Thermal Unit)

Total produksi LNG Indonesia pada tahun 1990-1998 menunjukkan peningkatan. Setelah itu, terjadi produksi LNG mengalami fluktuasi, namun cenderung mengalami tren penurunan. Penurunan produksi LNG lebih disebabkan karena terus menurunnya cadangan gas. Dengan mulai dioperasikannya kilang Tangguh, maka produksi LNG diharapkan dapat ditingkatkan kembali. Bahkan, saat ini tengah dibangun kilang LNG baru, yaitu kilang Donggi Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Pengiriman kargo LNG pertama dari kilang Donggi Senoro kepada para pembeli di targetkan dimulai pada triwulan III tahun 2014. 4.2. Perkembangan Ekspor LNG Indonesia Perdagangan LNG sebagian besar dilakukan berdasarkan kontrak jangka panjang 20 tahun atau lebih. Meskipun demikian, saat ini juga telah terdapat kontrak jangka menengah 3 sampai 10 tahun. Sebagian kecil LNG diperdagangkan pada pasar spot, di mana pengiriman ekspor diselesaikan dalam tempo 24 jam setelah perjanjian. Perkembangan volume dan nilai ekspor LNG Indonesia pada periode tahun 1989 sampai 2010 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, dengan tingkat fluktuasi nilai ekspor yang lebih tajam daripada volume ekspornya. Selama periode tersebut pertumbuhan volume ekspor dan nilai ekspor rata-rata meningkat sebesar 1,37 persen dan 9,63 persen per tahun. Dalam periode tahun 1989 sampai 2010 volume ekspor terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 19.019.402.385 kg dan volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 1999 sebesar 28.674.084.430 kg. Sementara nilai ekspor terendah terjadi

pada tahun 1989 sebesar US$ 2.378.946.048 dan nilai ekspor tertinggi yang pernah tercapai adalah sebesar US$ 12.993.549.933 pada tahun 2008. Perkembangan nilai ekspor yang besar terjadi pada tahun 1990, 2000, 2008, dan 2010. Pada tahun tersebut perkembangan nilai ekspor yang terjadi adalah sebesar 41,1 persen, 52,76 persen, 32,95 persen dan 40,95 persen. Tabel 4.2. Volume dan Nilai Ekspor LNG Indonesia Tahun 1989-2010 Ekspor Perkembangan (%) Tahun Volume (kg) Nilai (US$) Volume Nilai 1989 19.497.609.216 2.378.946.048 - - 1990 21.332.168.704 3.356.613.632 9,41 41,10 1991 23.172.435.968 3.831.092.736 8,63 14,14 1992 24.051.165.184 3.720.346.368 3,79-2,89 1993 24.592.222.208 3.675.776.512 2,25-1,20 1994 26.829.205.504 3.383.372.288 9,10-7,95 1995 25.802.371.072 3.613.930.240-3,83 6,81 1996 26.774.231.040 4.025.720.320 3,77 11,39 1997 27.077.038.080 4.419.814.912 1,13 9,79 1998 27.096.340.480 3.546.691.840 0,07-19,75 1999 28.674.084.430 4.081.838.021 5,82 15,09 2000 26.313.206.627 6.235.554.213-8,23 52,76 2001 23.920.273.945 5.382.626.345-9,09-13,68 2002 26.399.352.511 5.277.842.403 10,36-1,95 2003 26.512.203.760 6.145.599.701 0,43 16,44 2004 25.456.329.698 7.289.379.776-3,98 18,61 2005 23.259.922.760 8.599.315.352-8,63 17,97 2006 22.739.603.258 9.993.136.985-2,24 16,21 2007 20.950.966.368 9.773.052.845-7,87-2,20 2008 20.678.865.660 12.993.549.933-1,30 32,95 2009 19.019.402.385 7.500.055.173-8,02-42,28 2010 24.179.717.789 10.571.561.787 27,13 40,95 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)

Perkembangan volume ekspor LNG tahun 2000-2001 dan 2004-2009 yang menunjukkan tanda negatif disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, karena semakin ketat dan bertambahnya pesaing Indonesia sebagai pengekspor utama LNG dunia. Kedua, cadangan gas yang terus berkurang juga menyebabkan penurunan ekspor LNG Indonesia. Pada tahun 2010, ekspor LNG Indonesia kembali melesat naik seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dari kilang LNG yang baru, yaitu kilang Tangguh. Negara tujuan ekspor LNG Indonesia yang utama adalah Jepang, dimana lebih dari 50 persen ekspor LNG Indonesia dikirim ke negara tersebut. Negara tujuan ekspor utama lainnya adalah Korea Selatan dan Cina. Perkembangan ekspor LNG Indonesia menurut negara tujuan utama dan negara lainnya pada periode tahun 2005 sampai 2010 menunjukkan data yang berfluktuatif, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Ekspor LNG Indonesia ke Negara Tujuan Utama Tahun 2005-2010 Negara Tujuan Ekspor LNG Jepang Korea Selatan Cina Negara Lain Tahun Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % Jml Ekspor (kg) % 2005 14.250.931.811 61 5.479.371.328 24 2.244.910.832 10 1.284.708.789 6 2006 14.311.914.992 63 5.059.227.575 22 3.368.460.691 15 0 0 2007 13.904.814.070 66 3.798.582.474 18 3.247.569.824 16 0 0 2008 14.389.695.668 70 3.279.370.168 16 3.009.799.824 15 0 0 2009 13.057.877.457 69 2.989.147.979 16 2.297.181.328 12 675.195.621 4 2010 13.129.187.298 54 5.546.239.644 23 1.874.432.179 8 3.629.858.668 15 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) 4.3. Perkembangan Konsumsi Domestik Gas Alam Komoditi LNG belum dikonsumsi di Indonesia, sehingga pemanfaatannya seluruh produksinya hanya untuk diekspor ke luar negeri. Hal ini terjadi karena

belum tersedianya infrastruktur yang memadai seperti receiving terminal, pipa transmisi dan distribusi, dsb. Infrastruktur tersebut membutuhkan investasi yang besar sehingga dalam pasar domestik, gas alam dikonsumsi dalam berbagai jenis produk selain LNG yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik (PLN), bahan baku industri (pupuk, petrokimia dan industri lain), bahan bakar kilang, bahan bakar gas untuk rumah tangga (LPG dan Gas Kota) dan bahan bakar gas untuk transportasi. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa konsumsi gas domestik terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi ini terutama terjadi di sektor industri dalam rangka menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi mesin sehingga dapat bersaing dengan produk negara-negara lain. Alasan lain pengalihan bahan bakar ke gas yaitu, harga sangat kompetitif dan relatif stabil serta lebih ramah lingkungan (ESDM, 2011). 3.500.000 3.000.000 2.500.000 MMSCF 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 Total Produksi Gas Konsumsi Domestik Gas 0 1991 1992 1993 1996 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Data Ware House ESDM dan Pusdatin ESDM, 2011 Gambar 4.2. Perkembangan Konsumsi Domestik Gas Indonesia Tahun 1991-2010

Semakin pentingnya pemanfaatan gas di sektor domestik mendorong pemerintah untuk memberikan prioritas utama bagi kebutuhan dalam negeri dibanding ekspor. Hal ini tercermin dari ditetapkannya kebijakan domestic market obligation (DMO) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab 4.5. 4.4. Perkembangan Harga Liquefied Natural Gas (LNG) Dalam suatu perdagangan, harga merupakan variabel yang sangat penting dalam memengaruhi permintaan dan penawaran suatu komoditi. Pada komoditi LNG, kesepakatan harga didasarkan pada prinsip-prinsip penting, antara lain kuantitas, kualitas, dan formula (Raharjo, 2008). Kualitas produksi LNG tidak selalu sama, tergantung pada komposisi gas terutama metana. Secara teoritis, range negosiasi penetapan harga LNG berada pada batas maksimum berupa kemampuan pihak pembeli (maximum buyer affordability) dan batas minimum kembalinya investasi pihak penjual (minimum seller acceptability). Di antara batas tersebut terangkum semua variabel penunjang misalnya risiko, kehandalan pasokan, jaminan penerimaan, kompetisi antar gas/minyak/batubara, fiskal, margin keuntungan, market opportunity, dan faktor tekanan sosial politik (Raharjo, 2008). Kementerian ESDM (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 1970 hingga 1990 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh produsen yang pada saat itu jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sangat menguntungkan pihak produsen (seller) karena dengan demikian penjualan LNG harganya tinggi dan bersifat jangka panjang. Struktur pasar semacam ini dikenal dengan sebutan seller market. Tahun 1990 hingga 2000 mulai terjadi pergeseran dari seller market

menjadi buyer market secara bertahap, hal ini menyebabkan pasar menjadi didominasi oleh pembeli (buyer market). Pada tahun 2000 sampai dengan 2005 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh buyer market yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Banyaknya produsen LNG baru yang masuk pasar LNG dunia, seperti Qatar, Oman, Yaman, Aljazair, Malaysia, Brunei Darussalam, Rusia-Sakhalin, Australia, Alaska, dan Indonesia. Banyaknya produsen baru LNG yang bermunculan menyebabkan posisi produsen menjadi kurang dominan dan harga LNG juga ikut jatuh. 2. Kontrak LNG tidak lagi melalui negosiasi langsung tetapi melalui tender. Harga serta formula harga ditentukan oleh pembeli, walaupun masih dikaitkan dengan harga minyak (pointing to oil) tapi dengan batas atas dan batas bawah. Kondisi-kondisi yang terjadi belakangan ini, misalnya kenaikan harga minyak, peningkatan ekonomi negara pembeli LNG, tertundanya realisasi penambahan kapasitas LNG, isu energi ramah lingkungan, dan kontrak penjualan LNG dalam jangka panjang yang akan berakhir (expire) pasca 2010, mengisyaratkan akan adanya peningkatan kebutuhan LNG yang berpotensi mengembalikan kondisi seller market pada periode 2005-sekarang (Raharjo, 2008). Berdasarkan Gambar 4.5, dapat terlihat bahwa harga ekspor LNG Indonesia berfluktuasi, namun mengalami tren peningkatan. Penurunan harga LNG yang sangat tajam terjadi pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena adanya over supply

LNG di pasaran, sedangkan negara pengimpor tidak mampu menyerap over supply tersebut sebagai dampak dari krisis tahun 2008. 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) Gambar 4.3. Perkembangan Harga Ekspor LNG Indonesia (US$/kg) Tahun 1989-2010 Harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60 persen lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata untuk gas domestik. Hal ini membawa penerimaan negara dari ekspor gas bumi jauh melampaui penerimaan negara dari penjualan gas domestik. Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US$10 hingga US$11 per juta British thermal unit (MMBTU) sementara harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$4 hingga US$4,5 per juta British thermal unit (BP Migas, 2012). 4.5. Domestic Market Obligation (DMO) Dengan adanya domestic market obligation (DMO), kontraktor diwajibkan untuk memberikan suatu persentase tertentu dari bagiannya kepada pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini diterapkan pada

kontrak bagi hasil standar berdasarkan Pasal 46 PP No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa : (1) Kontraktor bertanggung jawab untuk ikut serta memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan dalam negeri; (2) Bagian kontraktor dalam memenuhi keperluan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan prorata hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi; (3) Besaran kewajiban kontraktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah paling banyak 25 persen (dua puluh lima per seratus) bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi; (4) Menteri menetapkan besaran kewajiban setiap kontraktor dalam memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. Ketentuan ini menyatakan bahwa kontraktor wajib menjual migas yang dihasilkan sebesar 25 persen dari hasil produksi yang menjadi bagiannya dengan harga tertentu yang lebih kecil daripada harga migas aktual saat itu. Dasar pertimbangan yang melandasi logika ini adalah, tidaklah wajar suatu negara pengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi lokal. Jika PP No.35 Tahun 2004 mengenakan domestic market obligation pada komoditi minyak dan gas secara umum, maka pada Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010, khusus membahas mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pasal 4 Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010 tersebut menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka mendukung pemenuhan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan gas bumi dalam negeri; (2) Kewajiban kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25 persen (dua puluh lima perseratus) dan hasil produksi gas bumi bagian kontraktor; (3) Dalam hal kebutuhan gas bumi dalam negeri belum dapat terpenuhi, Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dari cadangan gas bumi pada suatu wilayah kerja; (4) Pemenuhan kebutuhan gas bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap memperhatikan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan keekonomian lapangan. Harga yang berlaku untuk kebijakan DMO ini berada di bawah harga pasar. Oleh karena itu, untuk mendorong pelaksanaan DMO ini, kontraktor yang memenuhi kewajibannya akan memperoleh insentif di mana penentuan harga diberlakukan sesuai kontrak penjualan gas bumi pada wilayah kerjanya selama jangka waktu tertentu. Jika melanggar, sanksi yang dikenakan atas pelanggaran domestic market obligation (DMO) yaitu dengan adanya pencabutan fasilitas bebas DMO (DMO holiday). Walaupun kebijakan tersebut tidak membatasi jumlah ekspor, namun hal ini secara tidak langsung memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan gas internasional Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ini akan berdampak pada ekspor gas Indonesia, terutama bagi LNG yang merupakan komoditi gas yang menjadi primadona ekspor Indonesia.