BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. otitis media dibagi menjadi bentuk akut dan kronik. Selain itu terdapat sistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH SELAMA PERIODE BULAN JANUARI JUNI 2013

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

Pemeriksaan Pendengaran

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

ABSTRAK. Kata Kunci: Gangguan Pendengaran, Audiometri

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil WHO Multi Center

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

SURVEI KESEHATAN TELINGA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. Hearing loss atau kurang pendengaran didefinisikan sebagai kurangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Studi yang dilakukan pada bayi baru lahir didapatkan 2-3/1000 bayi lahir

BAB 1 PENDAHULUAN. praktik kedokteran keluarga (Yew, 2014). Tinnitus merupakan persepsi bunyi

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius

Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak

Tes pendengaran rutin untuk diagnosis gangguan pendengaran Rinne, Weber, Schwabah test. Test penala nada tinggi dan nada rendah

GAMBARAN AUDIOLOGI PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga

AUDIOLOGI. dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT KL FK USU MEDAN 2009

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan dan keselamatan kerja. Industri besar umumnya menggunakan alat-alat. yang memiliki potensi menimbulkan kebisingan.

Pentingnya Menjaga Kesehatan Telinga KAMI BEKERJA UNTUK BANGSA INDONESIA YANG LEBIH SEHAT

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal

Pola bakteri aerob dan kepekaan antibiotik pada otitis media supuratif kronik yang dilakukan mastoidektomi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. dilahirkan (perinatal) dan sesudah lahir (postnatal) (Suhardiyana, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. pendengaran terganggu, aktivitas manusia akan terhambat pula. Accident

KESEHATAN TELINGA DI SEKOLAH DASAR INPRES KEMA 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. bayi dengan faktor risiko yang mengalami ketulian mencapai 6:1000 kelahiran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK AD AKTIF TIPE AMAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan. suatu kondisi di mana terjadi peradangan pada mukosa

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

ABSTRAK. Pembimbing I : July Ivone,dr., M.K.K., MPd.Ked. Pembimbing II: Drs. Pinandojo Djojosoewarno,dr.,AIF.

AUDIOMETRI NADA MURNI

PERBANDINGAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL

Perbandingan Miringoplasti Mediolateral dengan Medial dan Lateral

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. pendengaran yang bersifat progresif lambat ini terbanyak pada usia 70 80

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis

BAB I PENDAHULUAN. Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

ABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah

1. TES BATAS ATAS BATAS BAWAH

PENGARUH PAPARAN BISING TERHADAP AMBANG PENDENGARAN SISWA SMK NEGERI 2 MANADO JURUSAN TEKNIK KONSTRUKSI BATU BETON

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan disektor industri dengan berbagai proses produksi yang

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

BAB I PENDAHULUAN. tipe Herpes Virus yang telah teridentifikasi. Human Herpes Virus antara lain

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah penyebab utama dari penurunan pendengaran. Sekitar 15 persen dari orang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

MOLUCCA MEDICA (MM) JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN ISSN , VOLUME 4, NOMOR 2, MARET 2014 DAFTAR ISI

Skrining dan Edukasi Gangguan Pendengaran pada Anak Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemeriksaan audiometri nada murni (Hall dan Lewis, 2003; Zhang, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan bisingan dalam proses produksi. Kebisingan dapat. memicu terjadinya Noise Induced Hearing Loss (NIHL).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. lansia, menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1. Diajukan Oleh : RIA RIKI WULANDARI J

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien geriatri di Poliklinik Geriatri dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak populasi di

PENGARUH PERUBAHAN KETINGGIAN TERHADAP NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA PERJALANAN WISATA DARI GIANYAR MENUJU KINTAMANI

POLA GANGGUAN PENDENGARAN DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER (THT-KL) RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH BERDASARKAN AUDIOMETRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJUAN KEPUSTAKAAN

Skrining Gangguan Dengar pada Pekerja Salah Satu Pabrik Tekstil di Bandung

GAMBARAN AUDIOMETRI PADA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK BENIGNA DAN MALIGNA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Miringoplasti tandur lemak autologus: alternatif pilihan miringoplasti di poliklinik

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional secara utuh yang dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Survei yang dilakukan oleh Multi Center Study (MCS) menunjukkan bahwa

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan dan infeksi kronis pada telinga tengah dan rongga mastoid yang ditandai dengan adanya sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul melalui membran timpani yang mengalami perforasi persisten selama lebih dari 2 bulan (Acuin, 2007; Adoga, 2010). Otitis media supuratif kronis dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe aman (benigna) dan tipe bahaya (maligna) (Helmi, 2005), tetapi menurut literatur lain OMSK dapat dibagi menjadi dua yaitu OMSK dengan kolesteatoma dan OMSK tanpa kolesteatoma (Weber, 2006). Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan sebuah fenomena yang jarang didapatkan di negara maju, tetapi masih banyak ditemukan di negaranegara Afrika, Asia, dan Amerika Latin (Adoga, 2010). Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit infeksi yang sering menyebabkan seseorang berobat ke dokter spesialis THT-KL pada saat dewasa (Adoga, 2010). OMSK merupakan penyebab tersering gangguan pendengaran, kemampuan menerima pelajaran yang buruk pada anak-anak, serta sering menimbulkan komplikasi yang fatal, terutama pada negara miskin dan berkembang (WHO, 2004). Survei prevalensi di seluruh dunia menyatakan bahwa sekitar 65 330 juta penduduk dunia menderita OMSK dan 60% dari jumlah tersebut (39-200 juta) mengalami gangguan pendengaran yang signifikan (WHO, 2004). Data Departemen Kesehatan tahun 1994-1996 di Indonesia pada Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran yang 1

2 dilaksanakan di 7 provinsi menyatakan penyebab paling banyak morbiditas telinga tengah adalah OMSK, dengan prevalensi OMSK sebesar 3,1% dari populasi (Soetjipto, 2007). Data di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok RSUP Dr. Sardjito pada tahun 1998-1999 jumlah penderita OMSK tipe maligna sebanyak 40 pasien dan 62,5% di antaranya menjalani mastoidektomi (Rianto, 2013). Data catatan medis kunjungan kasus baru penderita OMSK benigna di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2002 adalah sekitar 3,4% dari keseluruhan kasus di poliklinik THT-KL (Hartanto, 2004). Perforasi membran timpani dapat disebabkan oleh trauma dan infeksi telinga tengah. Perforasi membran timpani yang disebabkan oleh OMSK sekurang-kurangnya terdapat pada 0,5% dari total populasi. Komplikasi OMSK yang paling sering adalah penurunan pendengaran, hal ini akan mempengaruhi proses perkembangan bahasa anak-anak dan perkembangan di sekolah. Infeksi kronis telinga tengah dapat menyebabkan terjadinya edema mukosa telinga tengah dan kemungkinan gangguan rantai tulang-tulang pendengaran, sehingga menyebabkan tuli konduktif antara 20-60 db. Proses inflamasi aktif yang menyertai perforasi membran timpani seperti edema mukosa telinga tengah, adanya sekret yang aktif pada telinga tengah dapat juga mengganggu transmisi suara yang melalui telinga tengah (WHO, 2004; Verhoeff, 2006). Proses infeksi telinga tengah yang kronis dapat melibatkan koklea dan saraf, oleh karena itu penting untuk mendiagnosis dan mengobati kondisi tersebut sedini mungkin agar tidak menimbulkan penurunan pendengaran yang lebih berat (Mehta, 2006; Bhusal, 2007; Pannu, 2011).

3 Membran timpani terdiri dari dua bagian yaitu pars flaksida dan pars tensa. Pars tensa membran timpani merupakan bagian membran timpani yang berperan penting dalam proses transmisi suara dari telinga luar. Dokter spesialis THT-KL sering mengevaluasi proses patologi pada membran timpani setiap hari, tetapi prediksi nilai ambang dengar pada perforasi membran timpani secara akurat tidak mudah dilakukan. Gambaran otoskopi pasien sebelum operasi sering tidak sesuai dengan audiogram sebelum operasi dan sering terdapat ketidaksesuaian pada letak serta perkiraan ukuran perforasi membran timpani dengan derajat penurunan pendengaran (Lerut, 2012). Secara umum, semakin besar perforasi membran timpani, maka penurunan pendengaran yang terjadi akan semakin berat, tetapi hubungan ini tidak konstan pada praktek klinis sehari-hari (Nepal, 2004). Efek perforasi membran timpani pada transmisi suara telinga tengah tidak jelas, terutama karena telinga dengan perforasi membran timpani secara khusus dapat mengalami perubahan patologis tambahan. Oleh karena itu, kita memerlukan gambaran yang lebih jelas mengenai efek perforasi membran timpani pada fungsi telinga tengah, sehingga dokter dapat memperkirakan derajat dan frekuensi penurunan pendengaran pada berbagai ukuran perforasi (Bhusal, 2006). Menurut American National Standard Institute (ANSI), nilai ambang pendengaran yang terukur pada audiometri nada murni di setiap frekuensi diletakkan pada audiogram, sehinggga akan tergambar sebagai grafik ambang pendengaran pada audiogram. Ambang pendengaran terhadap masing-masing frekuensi juga berbeda, yang paling sensitif terhadap frekuensi 500 sampai 8000 Hz (Helmi, 2005). Informasi yang diperoleh pada audiometri, data kuantitatif

4 ukuran perforasi membran timpani, diharapkan dapat membantu kita untuk memperkirakan hubungan nilai ambang dengar dengan ukuran perforasi membran timpani khususnya pada pasien-pasien OMSK. Penelitian mengenai pengaruh ukuran perforasi membran timpani pada derajat penurunan pendengaran sudah banyak dilakukan, tetapi hingga saat ini masih terdapat kontroversi mengenai ada tidaknya hubungan ukuran perforasi membran timpani dengan nilai ambang dengar pada pasien OMSK. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut : 1. Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit peradangan kronis pada telinga tengah yang sering dijumpai dengan angka prevalensi yang cukup tinggi. 2. Komplikasi akibat otitis media supuratif kronis yang paling sering adalah penurunan pendengaran berupa tuli konduktif. 3. Penurunan pendengaran akibat OMSK dapat menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi,gangguan perkembangan bahasa dan gangguan belajar. 4. Gambaran derajat penurunan pendengaran pada pasien-pasien OMSK sering tidak sesuai dengan gambaran perforasi membran timpani pada saat otoskopi. 5. Korelasi antara ukuran perforasi membran timpani dengan nilai ambang dengar pada OMSK belum diketahui dengan jelas.

5 C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat korelasi antara ukuran perforasi membran timpani dengan nilai ambang dengar pada OMSK? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui adanya korelasi antara ukuran perforasi membran timpani dengan nilai ambang dengar pada OMSK. E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam memperkirakan derajat penurunan pendengaran berdasarkan ukuran perforasi membran timpani pada OMSK sehingga dapat membantu mendeteksi derajat penurunan pendengaran secara dini pada pasien-pasien dengan OMSK yang penting untuk pencegahan ketulian. F. Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Voss, Rosowski, Merchant dan Peake (2001) dengan judul How do Tympanicmembrane Perforations Affect Human Middle Ear Sound Transmission?. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui efek perforasi membran timpani pada transmisi suara di telinga tengah sehingga dapat membantu memperkirakan penurunan pendengaran yang terjadi akibat perforasi membran timpani. Penelitian dilakukan pada tulang temporal kadaver. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehta et al (2006) dengan judul Determinants of Hearing Loss in Perforations of the Tympanic Membrane. Pada penelitian tersebut pengukuran perforasi membran

6 timpani dilakukan menggunakan mikroskop otologi dan kait 1 mm untuk memperkirakan diameter perforasi membran timpani. Hasil pengukuran area perforasi membran timpani dibagi menjadi 3 kategori yaitu perforasi kecil (0-8 mm 2 ), perforasi sedang (9 30 mm 2 ) dan perforasi besar (> 30 mm 2 ). Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan uji Student s t. Hasil penelitian tersebut menunjukkan rentang (gap) hantaran udara-tulang meningkat seiring peningkatan ukuran perforasi membran timpani pada setiap frekuensi. Matsuda, Kurita, Ueda, Ito dan Nakashima (2009) melakukan penelitian dengan judul Efffect of tympanic membrane perforation on middle ear sound transmission yang bertujuan untuk mengetahui korelasi ukuran perforasi membran timpani dengan derajat penurunan penurunan. Perbedaannya adalah pengukuran perforasi membran timpani dilakukan menggunakan program WinROOF. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara ukuran perforasi membran timpani dengan derajat penurunan pendengaran pada pasien dengan perforasi membran timpani akibat OMSK. Penelitian yang dilakukan oleh Saliba, Abel, dan Arcand (2011) dengan judul Tympanic membrane perforation: Size, site and hearing evaluation menunjukkan bahwa tuli konduktif tergantung frekuensi dan derajat penurunan pendengaran juga meningkat seiring dengan peningkatan ukuran perforasi membran timpani, tetapi derajat penurunan pendengaran tidak tergantung pada letak perforasi membran timpani. Penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Saliba, Abel dan Arcand yang membagi ukuran perforasi membran timpani menjadi 4 kategori yaitu stadium 1-kecil (< 25% area membran timpani), stadium

7 2-sedang ( 25%-50% area membran timpani), stadium 3-besar (50-75% area membran timpani), stadium 4-total (>75% area membran timpani). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rafique, Farrukh dan Shaikh (2014) dengan judul Assessment of Hearing Loss in Tympanic Membrane Perforation at Tertiary Care Hospitals. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 90 pasien berusia 20 tahun ke atas, penurunan pendengaran meningkat seiring dengan peningkatan ukuran perforasi. Penelitian ini membagi ukuran perforasi membran timpani menjadi 3 kategori yaitu perforasi kecil, sedang, dan besar. Analisa untuk membandingkan rata-rata ambang dengar dengan ukuran perforasi membran timpani dilakukan dengan uji t. Penelitian Ribeiro, Gaudino, Pinheiro, Marcal dan Mitre (2014) dengan judul Objective comparison between perforation dan hearing loss bertujuan untuk mengevaluasi ukuran perforasi membran timpani dan menghubungkannya dengan rentang hantaran udara-tulang pada 4 frekuensi berbeda. Perbedaannya pada penelitian tersebut, perforasi membran timpani dievaluasi dengan gambar digital menggunakan endoskop dan persentasi perforasi dihitung dengan menggunakan program ImageScope. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara ukuran perforasi membran timpani pada otitis media kronis simpel dengan penurunan pendengaran pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz.

- Analisa: Uji Student s t - Pengukuran perforasi MT program WinROOF - Ukuran perforasi dibagi menjadi kategori : o Stadium 1: Kecil o Stadium 2: Sedang o Stadium 3: Besar o Stadium 4: Total 8 Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti - Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Voss, Rosowski, Merchant dan Peake (2001), How do Tympanicmembrane Perforations Affect Human Middle Ear Sound Transmission? Mehta et al (2006), Determinants of Hearing Loss in Perforations of the Tympanic Membrane - Mengetahui efek perforasi MT pada transmisi suara telinga tengah - Mengetahui faktor yang mempengaruhi tuli konduktif pada perforasi MT - - Volume telinga tengah mempengaruhi Penurunan pendengaran paling besar pada frekuensi rendah - Penurunan pendengaran meningkat seiring peningkatan ukuran perforasi - Penurunan pendengaran tidak terpengaruh letak perforasi - Volume kavum timpani juga berpengaruh - ABG meningkat seiring peningkatan ukuran perforasi MT pada setiap frekuensi ABG - Tulang temporal kadaver - Pengukuran diameter ukuran perforasi menggunakan mikroskop otologi dan kait 1 mm - Perforasi MT dibagi menjadi 3 kategori : kecil (0-8 mm 2 ), sedang (9-30 mm 2 ), besar (>30 mm 2 ) Matsuda, Kurita, Ueda, Ito dan Nakashima (2009), Effect of tympanic membrane perforation on middle ear sound transmission Saliba, Abel dan Arcand (2011), Tympanic membrane perforation: Size, site and hearing evaluation - Tujuan: korelasi ukuran perforasi MT dengan derajat penurunan pendengaran - Tujuan : evaluasi efek ukuran dan letak perforasi MT pada derajat penurunan pendengaran pasien yang akan menjalani miringoplasti - Ukuran perforasi tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan derajat penurunan pendengaran akibat OMSK - Tuli konduktif tergantung frekuensi - Derajat penurunan pendengaran meningkat seiring peningkatan ukuran perforasi MT - Derajat penurunan pendengaran tidak terpengaruh letak perforasi

- Ukuran perforasi dibagi menjadi kategori : Kecil, Sedang, Besar - Analisa : uji t - Perforasi MT dievaluasi dengan gambar digital endoskop, persentase perforasi dihitung dengan program Imagescope 9 Rafique, Farrukh dan Shaikh (2014), Assesment of Hearing Loss in Tympanic Membrane Perforation at Tertiary Care Hospitals Ribeiro, Gaudino, Pinheiro, Marcal dan Mitre (2014), Objective comparison between perforation and hearing loss - Tujuan : evaluasi dan analisa derajat penurunan pendengaran pada perforasi MT berdasar letak, ukuran dan durasi perforasi - Tujuan : Evaluasi ukuran perforasi MT dan analisa hubungan dengan derajat penurunan pendengaran di 4 frekuensi berbeda - Penurunan pendengaran meningkat seiring peningkatan ukuran perforasi - Derajat penurunan pendengaran lebih berat pada perforasi di kuadran posterior dibanding kuadran anterior, tetapi tidak bermakna secara statistik - Penurunan pendengaran meningkat seiring peningkatan durasi perforasi - Tidak ada korelasi antara ukuran perforasi MT pada OMK simpel dengan penurunan pendengaran pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz