BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kayu merupakan salah satu hasil hutan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Kayu digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai bahan bakar, bahan baku konstruksi bangunan, bahan baku industri kertas, bahan baku mebel dan lain sebagainya. Tingginya kebutuhan manusia akan kayu tersebut ditunjukkan dengan industri pengolahan kayu yang berkembang pesat. Di sisi lain luasan hutan terus berkurang akibat deforestasi dan kerusakan hutan. Indonesia kehilangan hutan seluas 0,48 juta hektar per tahun pada periode 2009-2010, angka ini lebih kecil dibandingkan dengan laju deforestasi pada periode 2000-2006 yang mencapai 1,17 juta hektar pertahun (Situmorang dkk., 2013). Sejalan dengan penurunan luas kawasan hutan serta tingginya laju kerusakan hutan, kemampuan produksi kayu bulat nasional juga mengalami penurunan. Pada tahun 1992 produksi kayu bulat nasional sebesar 26,05 juta m³ per tahun, namun kemudian menurun tajam pada tahun 2001 menjadi hanya 1,81 juta m³ per tahun (APHI, 2010 dalam Wahyudi, 2012). Sejak saat itu produksi kayu bulat nasional tidak pernah mencapai angka di atas 10 juta m³ per tahun. Total produksi kayu bulat nasional pada semester I/2013 mencapai 1,24 juta m3 atau turun 18,9% dibandingkan realisasi pada periode Januari-Juni 2012 yang mencapai 1,53 juta m3 (Noviani, 2013). Penurunan produksi kayu bulat juga terjadi pada Perum Perhutani. Perhutani hanya menargetkan produksi kayu jati 1
2 sebesar 454.778 m³ di tahun 2013 (Fahmi, 2013), angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi kayu jati perhutani pada tahun 1998, 1999 dan 2000 yang mencapai 828.530, 639.818 dan 824.870 m³ (Siregar, 2005). Rendahnya produksi kayu jati mendorong Perum Perhutani melakukan penelitian tentang pemuliaan pohon dan menghasilkan Jati Plus Perhutani (JPP). Jati Plus Perhutani atau yang biasa disebut JPP adalah jati unggul produk Perhutani yang diperoleh dari program pemuliaan pohon. JPP dikembangkan melalui dua cara perbanyakan yaitu vegetatif (stek pucuk dan kultur jaringan) dan generatif dengan menggunakan biji JPP asal kebun benih klonal (KBK) (Anonim, 2013). Penanaman JPP secara hampir menyeluruh di kawasan Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 2002, sebagai produk dengan keunggulan faktor genetik dan manipulasi faktor lingkungan dengan penerapan silvikultur intensif. Hal tersebut diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan hutan yang efektif dan efisien serta dapat meningkatkan produktivitas dengan daur yang lebih pendek ± 20 tahun. Daur harapan JPP ± 20 tahun serta target hasil 200 m³/ha pada saat tebang habis, menjadi salah satu tumpuan masa depan Perum Perhutani. Pada rentang waktu tersebut, skema penjarangan tanaman dilakukan pada umur tegakan 5, 10 dan 15 tahun. Hasil pejarangan ini diharapkan dapat menjadi hasil antara yang memberikan pemasukan bagi perusahaan (Anonim, 2008 dalam Muharyani, 2012). Hasil penjarangan I JPP merupakan jati umur 5 tahun, pada dasarnya masih dalam proses pertumbuhan. Hidayati (2010) menyebutkan bahwa jati unggul umur 5 tahun masih merupakan kayu juvenil dengan persentase kayu teras
3 26%. Krisdianto dan Sumarni (2011) membandingkan persentase volume teras kayu jati cepat tumbuh dan konvensional umur 7 tahun dengan hasil pengamatan persentase kayu teras jati super rata-rata 39,6%, lebih besar dari jati konvensional 20,3%. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kayu hasil penjarangan I JPP diduga masih memiliki kerapatan yang rendah, secara umum dapat dikatakan kayu tersebut memiliki kualitas yang rendah. Salah satu perlakuan yang telah diterapkan dalam rangka meningkatkan kualitas dan sifat-sifat kayu tersebut adalah dengan densifikasi (densifying), baik secara impregnasi (impregnation) maupun pengempaan (compression) karena keduanya dapat memodifikasi sifat kayu sesuai dengan yang diinginkan (Kollmann et al., 1975). Densifikasi dengan cara impregnasi pada prinsipnya adalah memasukkan bahan-bahan yang bersifat bulking seperti resin fenol formaldehida, larutan vinil, resin alam cair, lilin, sulfur, dan logam ringan ke dalam kayu sehingga rongga selsel penyusun kayu akan terisi, baik penuh atau pun sebagian. Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), memperlakukan kayu dengan bahan-bahan yang bersifat bulking merupakan salah satu pendekatan yang cukup berhasil dalam mengatasi masalah ketidakstabilan dimensi kayu akibat perubahan nilai kadar air. Densifikasi dengan cara pengempaan juga dapat memodifikasi sifat-sifat kayu bila dilakukan secara tepat (Stamm, 1964). Proses yang dilakukan adalah mengempa kayu pada suhu dan tekanan tertentu selama jangka waktu yang ditentukan. Pengempaan mengakibatkan berkurangnya porositas kayu karena dinding sel penyusun kayu merapat satu dengan lainnya akibat melunaknya lignin. Pelunakan kayu terjadi pada dua tahap yaitu pada temperatur sekitar 80 dan 180ºC
4 (Takahashi et al., 1998). Menurut Dwianto (1999), peningkatan sifat-sifat kayu bergantung pada kondisi pengempaan yang diterapkan. Pengempaan kayu sugi pada suhu 180 C akan menghasilkan kayu yang paling stabil, karena pengempaan di bawah 180 C masih mengakibatkan kayu cenderung kembali ke ukuran asal (springback) sedangkan di atas 180 C kayu akan rusak. Untuk mengetahui pengaruh suhu dan tekanan pengempaan terhadap sifat densifikasi kayu hasil penjarangan JPP I, maka pada penelitian ini menggunakan variasi suhu dan tekanan yang berbeda. Harapannya melalui densifikasi ini dapat meningkatkan kualitas kayu hasil penjarangan JPP I, antara lain meningkatnya kerapatan kayu dan meningkatnya sifat perekatan kayu. Menurut Freeman (1959) kerapatan kayu mempunyai korelasi yang positif terhadap parameter perekatan kayu yaitu keteguhan rekat kayu. Semakin tinggi kerapatan kayu yang direkat kekuatan rekat kayu diduga semakin meningkat. Pernyataan tersebut berlaku sampai dengan kerapatan kayu 0,8 gr/cm³, sedangkan kerapatan kayu diatas 0,8 gr/cm³ kekuatan rekatnya tidak berbeda nyata dengan kerapatan kayu 0,8 gr/cm³. 1.2.Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh interaksi suhu dan tekanan pengempaan terhadap sifat densifikasi dan perekatan kayu JPP umur 5 tahun.
5 1.3.Manfaat Manfaat dari penelitian ini diharapkan menjadi teknologi alternatif yang dapat dilakukan pada kayu JPP umur 5 tahun agar pemanfaatannya dapat lebih maksimal.