KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

dokumen-dokumen yang mirip
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

PENDAHULUAN Latar Belakang

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu proses yang ditujukan untuk. meningkatkan produksi pertanian bagi konsumen, yang sekaligus dapat

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

Sustainabilitas Pembangunan Sektor Pertanian: Inovasi Teknologi atau Inovasi Sosial Kelembagaan BAB VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN AGENDA KE DEPAN

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

I. PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan aset yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu basis ekonomi kerakyatan di Indonesia.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN KOMPETENSI AGRIBISNIS PADA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Kurikulum Berbasis TIK

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

I. PENDAHULUAN. Agribisnis mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi. pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan maupun perkebunan.

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

Terwujudnya Ketahanan Pangan Berbasis Usahatani Sebagai. Andalan dan Penggerak Pembangunan Ekonomi Kerakyatan"

POLICY BRIEF KAJIAN KESIAPAN SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

Peluang / Opportunity Tantangan/Threat Kekuatan/Strong Kelemahan/Weakness

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dalam upaya

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. Di hampir semua periode sejarah manusia, kewirausahaan telah mengemban fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

ABSTRAK PENDAHULUAN. Akhmad Ansyor, Zikril Hidayat dan Nia Kaniasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

Transkripsi:

53 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Alur Pikir Proses Penelitian Kerangka berpikir dan proses penelitian ini, dimulai dengan tinjauan terhadap kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan termasuk pembangunan hortikultura (buah-buahan, sayuran, tanaman obat dan tanaman hias). Mengacu kepada pengalaman dan menyikapi krisis ekonomi pada akhir abad 20, pemerintah telah menempatkan kembali sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Subsektor hortikultura sebagai bagian dari sektor pertanian telah menjadi salah satu prioritas, mengingat hortikultura mempunyai potensi, peluang, dan prospek untuk dikembangkan dan dikelola melalui pendekatan pengembangan dan pembinaan usaha agribisnis secara intensif kepada masyarakat tani, sehingga mampu mengelola usahanya dengan nuansa bisnis yang profesional. Komoditas hortikultura, merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, ketersediaan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, akan mendorong peningkatan kemampuan daya beli dan preferensi permintaan masyarakat terhadap komoditas hortikultura dalam rangka diversifikasi konsumsi dan peningkatan gizi. Dengan demikian, komoditas hortikultura merupakan satu potensi besar yang dapat dikembangkan sebagai basis perekonomian nasional dan dapat memberikan keuntungan dan nilai tambah yang tinggi bagi petani dan pelaku usaha lainnya. Langkah strategis yang dipandang tepat adalah, memperbaiki manajemen usaha pada tingkat petani dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan petani dan dapat diakses dengan relatif lebih mudah sehingga petani lebih berdaya dan dinamis serta progresif secara berkelanjutan. Pembangunan agribisnis hortikultura dan pemberdayaan petani perlu dilakukan melalui pendekatan sistem dengan meningkatkan partisipasi semua stakeholders (pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat tani sebagai pelaku usaha, dan pihak swasta sebagai pengelola usaha). Dalam hal ini, diperlukan upaya pengintegrasian karakter sosial dan budaya masyarakat, kondisi

54 agroekologi, pemilihan dan karakteristik komoditas, karakteristik petani, sasaran pasar, dan letak geografis. Partisipasi dan keterlibatan berbagai pihak atau stakeholders, perlu dikoordinasikan secara baik dan terencana agar introduksi dan adopsi berbagai inovasi dapat mengarah kepada peningkatan produksi dan mutu (sesuai dengan permintaan pasar) serta pemberdayaan petani. Sehubungan dengan itu, peningkatan kemampuan (kognitif, afektif, dan psikomotor) petani dalam manajemen usaha hortikultura merupakan suatu faktor yang sangat penting yang menentukan tingkat keberdayaan petani sayuran, sehingga harus didukung dengan penyediaan informasi serta sarana dan prasarana yang memadai. Artinya, petani hanya akan berdaya apabila mereka memiliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahatani sayuran melalui pemanfaatan informasi pertanian yang relevan, akurat, lengkap, tajam, tepat waktu dan terwakili. Oleh sebab itu, perlunya suatu model penyediaan informasi pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan informasi bagi petani dalam berusahatani sayuran. Model penyediaan informasi pertanian yang akan diterapkan tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi merupakan faktorfaktor yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Penelitian ini, mencoba merumuskan suatu model pemberdayaan melalui penyedian informasi pertanian untuk meningkatkan kemampuan manajemen usaha petani yang diharapkan akan mampu memberdayakan petani sayuan dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Alur pikir proses penelitian ini, disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan rumusan dari tinjauan pustaka, ada beberapa faktor yang saling berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani dalam mengembangkan usahatani sayuran, yaitu: (1) karakteristik pribadi petani sayuran, (2) tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, (3) kekondusifan faktor lingkungan, (4) kualitas sumber informasi pertanian, (5) kemudahan mendapatkan informasi pertanian, dan (6) penyediaan informasi pertanian. Faktor-faktor tersebut dalam penelitian ini, digolongkan sebagai peubah bebas sedangkan peubah terikat adalah, tingkat keberdayaan petani sayuran. Hubungan antara berbagai peubah bebas dengan peubah terikat, dapat disajikan pada Gambar 4.

KONDISI INTERNAL PETANI SAYURAN Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Petani Sayuran dan Keluarganya Fisik Keamanan Sosial Penghargaan Aktualisasi diri Modal Manajemen Pasar Akses informasi Karakteristik Pribadi Petani Sayuran Status sosial ekonomi Kesadaran pentingnya informasi Kemampuan mengakses informasi Motivasi terhadap usaha tani sayuran Keinovatifan TUNTUTAN PEMBERDAYAAN PETANI SAYURAN Tuntutan agar dapat memenuhi kebutuhan pelanggan Pelanggan internal (petani sayuran dan keluarganya) Pelanggan eksternal (konsumen/ masyarakat / pemerintah KONDISI EKSTERNAL PETANI SAYURAN TUNTUTAN KEBUTU- HAN DAN MEMPEROLEH INFORMASI PERTANIAN PENYEDIAAN INFORMASI PERTANIAN Tuntutan agar dapat menyediakan: Informasi yang relevan Informasi yang akurat Informasi yang lengkap Informasi yang tajam Informasi yang tepat waktu Informasi yang terwakili KEKONDUSIFAN FAKTOR PENDUKUNG PENYEDIAAN INFORMASI SAAT INI Belum mampu menigkatkan kemampuan petani dalam mengembangkan usaha tani sayuran PENYEDIAAN INFORMASI YANG DIHARAPKAN Mampu meningkatkan kemampuan petani dalam mengembangkan usaha tani sayuran ANALISIS DEDUKTIF Kajian teori Hasil pengamatan Masukan para ahli MODEL HIPOTESIS PEMBERDAYAAN PETANI SAYURAN MELALUI PENYEDIAAN INFORMASI PERTANIAN Pola Lama : Pengembangan agribisnis sayuran yang berorientasi produksi,sentralisasi, top down, kurang memperhatikan informasi tentang kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas) untuk memberdayakan petani sayuran. Pola Baru : Pengembangan agribisnis sayuran yang berorientasi pasar, berdaya saing, dan memberikan kontribusi dalam menopang ekonomi nasional, dengan meningkatkan partisipasi masyarakat serta menyediakan informasi untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani sayuran dan keluarganya. MODEL OPERASIONAL Model Pemberdayaan Petani Melalui Penyediaan Informasi Pertanian Pemenuhan Kebutuhan Pelanggan Eksternal Kuantitas Produk Kualitas Produk Kontinuitas Produk Kekondusifan Faktor Lingkungan Lingkungan fisik Lingkungan sosial Ketersediaan informasi Kondisi megapolitan Kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan sub sektor hortikultura Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Pelanggan Eksternal Kuantitas produk Kualitas produk Kontinuitas produk Kualitas Sumber Informasi Pertanian Ketersediaan sumber informasi Kemampuan menyediakan informasi Pelayanan Kualitas saluran informasi Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian Komunikatif Penggunaan saluran dan alat komunikasi Keterjangkauan ANALISIS INDUKTIF Pengujian model hipotesis Survai Analisi deskriptif Analisis data sekunder Uji statistik Peningkatan Pendapatan & Kesejahteraan Petani Sayuran dan Keluarganya Gambar 3 Alur Pikir Proses Penelitian z 55

57 Mayarakat Berdaya vs Tidak/Kurang Berdaya Pola pemberdayaan yang memberdayakan petani adalah, penyuluhan yang dikelola secara profesional, berbasis pada kemampuan petani sebagai subyek yang mencari kekuatan diri sendiri. Perbedaan penyuluhan dengan pemberdayaan vs penyuluhan tidak/ kurang pemberdayaan, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Model dengan Pemberdayaan vs Tidak / Kurang Pemberdayaan Komponen Paradigma Tujuan Sasaran Penyuluh Materi Metode Penerima Manfaat Organisasi/ Kelembagaan Model/Proses Komunikasi Saluran Komunikasi Perubahan Perilaku Sifat Pelaksanaan Strategi Ukuran Keberhasilan Tidak/Kurang Pemberdayaan Transfer teknologi Memenuhi kepentingan pemerintah/organisasi penyuluhan - Penerima informasi - Sebagai obyek - Lebih menekankan motivasi ekstrinsik - Sumber informasi - Merasa serba ahli - Uniform/keseragaman - Bersumber dari suatu paket Terpusat pada media interpersonal Penyuluh dan pemerintah Dikelola secara kurang profesional - Linier - Top down Interpersonal Ketergantungan klien Ad-hock Program pemerintah Mobilisasi - Linier - Tergantung pada penyuluh - Terbatasnya informasi Sumber: Diolah dari berbagai sumber Pemberdayaan - Proses pendidikan - Pelayanan jasa informasi - Sesuai kebutuhan klien dan kebutuhan masyarakat - Pelayanan jasa informasi - Pemecahan masalah klien dan Pemerintah - Penerima dan saluran informasi - Sebagai subyek - Motivasi intrinsik dan ekstrinsik secara bersama - Sumber dan saluran informasi - Fasilitator, mediator, motivator - Spesifik lokasi - Bersumber dari pengalaman, hasil analisis, dan kebutuhan petani - Informasi/ide-ide baru - Pemanfaatan multimedia - Learning by doing Klien, swasta, dan pemerintah Dikelola secara profesional - Konvergen dan interaktif - Bottom up - Interface - Media massa dan interpersonal - Lembaga pemerintah - Lembaga/pusat informasi (pemerintah, swasta) - Inovatif - Komunikatif Berkelanjutan Program klien dan pemerintah Partisipasi - Tergantung pada klien - Tersedianya informasi - Klien berdaya

58 Pemberdayaan sebagai Proses Berkesinambungan Pemberdayaan masyarakat harus dilihat dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu proses yang berkesinambungan, bukan dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu program. Sebagai suatu program, pemberdayaan masyarakat dapat saja berhenti karena batas waktu yang sudah selesai (terminasi karena keterbatasan waktu), atau program tersebut berhenti karena tidak ada dana lagi yag dapat dimanfaatkan untuk program pemberdayaan tersebut (terminasi karena keterbatasan dana). Penjelasan lebih lanjut mengenai pemberdayaan sebagai proses yang relatif terus berjalan, dapat dikutip dari pandangan Rotter (1966) dan Selignan (1975), Hopson dan Scally (1995) yang dikemukakan oleh Hogan (2000) yang melihat proses pemberdayaan individu, sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia individu tersebut yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja. Selanjutnya, Hogan (2000) menggambarkan proses pemberdayaan yang berkesinambungan sebagai suatu siklus yang terdiri dari lima tahapan utama, sepeti disajikan pada Gambar 5. Tahap I: Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan Tahap V: Mengembangkan rencana aksi dan mengimplementasikannya Tahap II: Mendiskusikan alasan, mengapa terjadi pemberdayaan dan pentidakberdayaan Tahap IV: Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna Tahap III: Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek Gambar 5 Siklus Proses Pemberdayaan

59 Berdasarkan pendapat Hogan ini, peneliti mencoba merangkaikan peubahpeubah penelitian seperti tertera dalam kerangka berpikir penelitian ini, ke dalam masing-masing tahapan pemberdayaan, yaitu: (1) Tahap I: Mengevaluasi upaya pemberdayaan yang pernah dilakukan sebelumnya (berdaya atau tidak berdaya). (2) Tahap II: Mendiskusikan kondisi internal petani (karakteristik pribadi petani) meliputi: status sosial ekonomi, kesadaran pentingnya informasi, kemampuan mengakses informasi, motivasi terhadap usahatani, dan keinovatifan. (3) Tahap III: Mengidentifikasi tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan petani, meliputi: informasi on farm dan of farm. (4) Tahap IV: - Mengidentifikasi kondisi eksternal petani (kekondusifan faktor lingkungan), meliputi: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi, kondisi megapolitan, dan kebijakan. - Mengidentifikasi kualitas sumber informasi, meliputi: ketersediaan sumber informasi, kemampuan menyediakan informasi, pelayanan, dan kualitas saluran informasi. - Mengidentifikasi kemudahan mendapatkan informasi, meliputi: komunikatif, penggunaan saluran dan alat komunikasi, penyuluhan, dan keterjangkauan. (5) Tahap V: Mengembangkan penyediaan informasi, meliputi: relevansi, akurasi, kelengkapan, ketajaman, ketepatan waktu, dan keterwakilan informasi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Kualitas SDM Petani Klausmeier dan Goodwin (1966) mengungkapkan adanya tujuh faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses belajar seseorang. Dalam penelitian ini, ketujuh hal tersebut dianalogikan dalam bentuk proses belajar petani yang dengan kesadarannya sendiri aktif mencari informasi. Secara lebih rinci, analogi konsep Goodwin dan Klausmeir dengan model peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) karakteristik pribadi petani (analog dengan learner characteristic), (2)

60 tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi (analog dengan subject matter), (3) kekondusifan faktor lingkungan (analog dengan outsides forces), (4) kualitas sumber informasi (analog dengan teacher characteristic), (5) Kualitas penyuluh (analog dengan learner teacher behavior), (6) Kualitas kelembagaan petani (analog dengan group characteristics), dan (7) kemudahan mendapatkan informasi (analog dengan facilities). Mengacu pada pemikiran Klausmeier dan Goodwin (1966), disusun preposisi dalam penelitian ini, bahwa pada dasarnya efektivitas pencapaian peningkatan kualitas SDM petani melalui penyediaan informasi pertanian yang mempengaruhi proses belajar petani, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang dipengaruhi oleh tujuh kelompok besar faktor-faktor penentunya yaitu: (1) Karakteristik pribadi petani sayuran, meliputi: (a) status sosial ekonomi, (b) kesadaran pentingnya informasi, (c) kemampuan mengakses informasi, (d) motivasi terhadap usahatani sayuran, dan (e) keinovatifan. (2) Tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, meliputi informasi tentang: (a) peningkatan produksi dan mutu sayuran, (b) ketersediaan sarana produksi, (c) ketersediaan permodalan, (d) teknologi pengolahan hasil sayuran, (e) dukungan pemasaran sayuran, dan (f) metode analisis usahatani sayuran. (3) Kekondusifan faktor lingkungan,meliputi: (a) lingkungan fisik, (b) lingkungan sosial, (c) ketersediaan informasi pertanian, (d) kondisi megapolitan, dan (e) kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura. (4) Kualitas sumber informasi, meliputi: (a) ketersediaan sumber informasi, (b) kemampuan menyediakan informasi, (c) pelayanan, dan (d) kualitas saluran informasi. (5) Kemudahan mendapatkan informasi pertanian, meliputi: (a) komunikatif, (b) penggunaan saluran dan alat komunikasi, (c) penyuluhan, dan (d) keterjangkauan. (6) Penyediaan informasi pertanian, meliputi: (a) relevansi informasi, (b) akurasi informasi, (c) kelengkapan informasi, (d) ketajaman informasi, (e) ketepatan waktu informasi, dan (f) keterwakilan informasi.

61 Karakteristik Petani Berdasarkan Tipologi Petani Karakteristik petani pada penelitian ini, digambarkan sebagai: profil, potensi dan kinerja petani dilihat dari indikator-indikator yang berkaitan erat dengan kondisi internal petani yang berhubungan dengan tuntutan akan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian. Petani sebagai sasaran pemberdayaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga model pemberdayaan tidak akan memperlakukan semua sasaran sama. Dengan demikian, tipologi petani perlu diperhatikan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya untuk mengefektifkan suatu pemberdayaan. Menurut Krech, Richard dan Egerton (1962), tidak mungkin ada dua individu memiliki kognitif yang sama karena tiap individu dciptakan dalam kapasitas yang berbeda-beda. Mosher (1983) mengemukakan bahwa sebagai perorangan para petani memiliki empat kapasitas penting untuk pembangunan pertanian, yaitu: (1) bekerja, (2) belajar, (3) bepikir kreatif, dan bercita-cita. Dalam kaitan dengan kecepatan adopsi terhadap inovasi yang dipengaruhi oleh sasaran inovasi, maka Rogers (1983) mengelompokkkan petani dalam lima kelompok berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi inovasi yaitu: (1) kelompok perintis, (2) kelompok pelopor, (3) kelompok penganut dini, (4) kelompok penganut lambat, dan (5) kelompok kolot (laggard). Sehubungan dengan adopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi, meliputi: (1) luas usahatani, semakin luas usahatani biasanya semakin cepat mengadopsi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik, (2) tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi, (3) keberanian mengambil resiko, pada tahap awal biasanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan, sehingga indvidu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif, (4) umur, semakin tua (>50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh petani sekitarnya, (5) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.

62 Petani yang suka bergantung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan petani dan warga masyarakat, (6) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding petani yang pasif apalagi yang selalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru, dan (7) sumber informasi yang dimanfaatkan, golongan inovatif biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media massa, tokoh masyarakat, petani maju, pedagang, dan lain-lain. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, pengelompokkan petani pada penelitian ini, dilakukan menurut kapasitas yang dimiliki individu petani dan tingkat respon petani terhadap inovasi. Oleh sebab itu, petani yang akan diberdayakan dikelompokkan dalam dua tipe, yaitu: (1) petani maju, dan (2) petani berkembang. Pengelompokkan petani ini, akan dikaitkan dengan model pemberdayaan yang berbeda sesuai dengan tipologi yang dimilikinya. Semua manfaat informasi tersebut, pada hakikatnya tertuju pada satu sasaran yaitu, peningkatan pendapatan yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya serta pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka berpikir penelitian, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: (1) Penyediaan informasi pertanian, secara nyata dipengaruhi oleh: karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, dan kemudahan mendapatkan informasi pertanian. (2) Tingkat keberdayaan petani sayuran, secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, kemudahan mendapatkan informasi pertanian, dan penyediaan informasi pertanian.