BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
MODUL 10 REBA. 1. Video postur kerja operator perakitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari keluhan sangat

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS ERGONOMI PADA PRAKTIK MEMELIHARA RODA DAN BAN MENGGUNAKAN METODE REBA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 6 HASIL DAN PEMBAHASAN

MUSCULOSKELETAL DISORDERS. dr.fauziah Elytha,MSc

Universitas Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI. Bahan baku batu bata adalah tanah liat atau tanah lempung yang telah

Analisis Postur Kerja dengan Metode REBA untuk Mengurangi Resiko Cedera pada Operator Mesin Binding di PT. Solo Murni Boyolali

ANALISIS POSTUR KERJA PADA TENAGA KERJA DENGAN METODE REBA AREA WORKSHOP PT X JAKARTA TIMUR

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Peranan manusia sebagai sumber tenaga kerja masih dominan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata yunani yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum.

BAB I PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK

PERANCANGAN STASIUN KERJA PEMBUATAN KULIT MOCHI DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POSTURE & MOVEMENT PERTEMUAN 2 DECY SITUNGKIR, SKM, MKKK KESEHATAN MASYARAKAT

POSTUR KERJA. 1. Video postur kerja operator perakitan 2. Foto hasil screencapture postur kerja

ANALISIS POSTUR KERJA PEKERJA PROSES PENGESAHAN BATU AKIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE REBA

BAB I PENDAHULUAN. dengan program pengembangan dan pendayagunaan SDM tersebut, pemerintah juga memberikan jaminan kesejahteraan, kesehatan dan

Metode dan Pengukuran Kerja

BAB V PEMBAHASAN. A. Analisis Postur Kerja Berdasarkan Metode REBA. area Die Casting dapat dijelaskan sebagai berikut:

Analisis Postur Kerja dengan Rapid Entire Body Assesment (REBA) di Industri Pengolahan Tempe

BAB II LANDASAN TEORI

1 Pedahuluan. Malikussaleh Industrial Engineering Journal Vol.5 No.1 (2016) 4-10 ISSN X

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Gambar 3.1 Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Menurut ILO (2013) Diperkirakan 2.34 juta orang meninggal setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. manual (Manual Material Handling/MMH). Kelebihan MMH bila

ANALISIS RISIKO POSTUR KERJA DI CV. A CLASS SURAKARTA

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya Abstrak

Novena Ayu Parasti, Chandra Dewi K., DM. Ratna Tungga Dewa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia

BAB V ANALISA HASIL. 5.1 Hasil Perhitungan Seluruh Tahapan Menggunakan Metode REBA, REBA, OWAS & QEC

BAB I PENDAHULUAN. Unit kerja menengah CV. Raya Sport merupakan usaha yang. memproduksi pakaian (konveksi). Pada kegiatan proses produksi ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mempelajari Proses Produksi Dan Postur Kerja Operator Pada Pemindahan Karung Pupuk Urea Bersubsidi Di PT Pupuk Kujang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan pada sistem otot rangka/musculoskeletal disorders (MSDs)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. PT. Indofood Sukses Makmur. Tbk Bogasari Flour Mills adalah produsen

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih dominan dialami oleh para pekerja. secara fisik yang berat. Salah satu akibat dari kerja secara manual, seperti

BIOMEKANIKA PERTEMUAN #14 TKT TAUFIQUR RACHMAN ERGONOMI DAN PERANCANGAN SISTEM KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arbeitswissenschaft di Jerman, Human Factors Engineering atau Personal

BAB I PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

ANALISIS POSTUR KERJA PADA AKTIVITAS PENGANGKUTAN BUAH KELAPA SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE RAPID ENTIRE BODY ASSESSMENT (REBA)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISA RESIKO MANUAL MATERIAL HANDLING PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI UD. CITRA TANI

BAB I PENDAHULUAN. harus sesuai dengan kondisi tubuh serta tenaga yang dimiliki oleh masing-masing individu

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisis Risiko Manual Handling pada Pekerja PT. XYZ

Penentuan Tingkat Resiko Kerja Dengan Menggunakan Score Reba

BAB I PENDAHULUAN. produksi, terutama perusahaan yang bersifat padat karya. Produktivitas tenaga kerja

ANALISIS ERGONOMI PADA PEKERJA LAUNDRI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Seminar Nasional IENACO 2016 ISSN: DESAIN ALAT BANTU PADA AKTIVITAS PENUANGAN MATERIAL KEDALAM MESIN PENCAMPUR DI PT ABC DENGAN METODE REBA

BAB 9. 2D BIOMECHANICS

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kecelakaan, penyakit dan keluhan-keluhan kesehatan yang disebabkan

19/03/2013. Apa Itu RULA? Contoh RULA Worksheet. Klasifikasi Skor RULA. Penghitungan Skor RULA. Contoh Kasus

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pekerjaannya adalah keluhan musculoskeletal disorders(msds).

BAB I PENDAHULUAN. Pekerja yang melakukan kegiatan berulang-ulang dalam satu siklus sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang secara sistematis memanfaatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

PERBAIKAN POSTUR KERJA PADA PROSES PENGIKIRAN WAJAN DI SP ALUMINIUM YOGYAKARTA

Disusun Oleh: Roni Kurniawan ( ) Pembimbing: Dr. Ina Siti Hasanah, ST., MT.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sales promotion Girl (SPG) merupakan suatu profesi yang bergerak dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Peranan manusia sebagai sumber tenaga kerja pada industri

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. akibat nyeri punggung. Nyeri punggung bagian bawah merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Stasiun Kerja Bawahan. Stasiun Kerja Finishing. Gambar 1.1 Stasiun Kerja Pembuatan Sepatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan. hidupnya, dan hampir sebagian besar dari waktunya dihabiskan di tempat

TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI POSTUR KERJA MENGGUNAKAN METODE OWAS DAN ANALISIS KONSUMSI ENERGI PADA PROSES PERONTOKAN PADI

Evaluasi Postur Kerja Operator Pengangkatan Pada Distributor Minuman Kemasan ABSTRAK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT (RULA)

BAB I PENDAHULUAN. proses produksi. Jika manusia bekerja dalam kondisi yang nyaman baik

Cut Ita Erliana dan Ruchmana Romauli Rajagukguk. Lhokseumawe Aceh Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian keselamatan dan kesehatan kerja tidak lepas dari peran

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tempat Kerja Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, beregrak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja adalah semua ruangan, lapangan halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut (UU No. 1 Tahun 1970). Menurut Peraturan Pemerintah No.50/MEN/2012 tentang Sistem Manajamen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tempat kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atu tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumbersumber bahaya baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, di udara yang berada didalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia 2. Ergonomi Ergonomi merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Yunani, berarti dari dua suku kata, yaitu ergon yang berarti kerja dan nomos yang 6

7 berarti hukum atau aturan. Ergonomi adalah studi mengenai interaksi antara manusia dengan objek/peralatan yang digunakan dan lingkungan tempat mereka berada. Ergonomi juga dapat didefinisikan secara praktis sebagai perancangan untuk digunakan oleh manusia (Pulat, 1982) dalam (Primantari, 2014). Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktifitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2013). Menurut Suma mur (2014), ergonomi didefinisikan sebagai penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersama-sama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya, yang manfaat dari padanya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja. Untuk menghindari sikap dan posisi kerja yang kurang baik ini pertimbangan-pertimbangan ergonomi antara lain menyarankan hal-hal seperti : 1. Mengurangi keharusan operator untuk bekerja dengan sikap dan posisi membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau jangka waktu lama. 2. Operator tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum yang bisa dilakukan.

8 3. Operator tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang lama dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam sikap atau posisi miring. 4. Penetapan sikap dan posisi kerja sesuai dengan pertimbanganpertimbangan tersebut di atas pada dasarnya bertujuan memberikan kenyamanan pada pekerja dengan memperhatikan sikap dan posisi kerja yang mereka senangi (Nurmianto, 1996). 3. Manual Handling (Angkat-angkut) Manual Handling didefinisikan sebagai suatu pekerjaan yang berkaitan dengan mengangkut, mendorong, menarik, menahan, membawa atau memindahkan beban dengan satu tangan atau kedua tangan dan atau dengan pengerahan seluruh badan. Manual handling meliputi transportasi beban dan support beban dalam suatu sikap tubuh yang statis. Beban atau obyek mungkin dipindahkan atau didukung dengan tangan atau bagian tubuh lainnya, sebagai contoh beban ditopang dengan bahu atau di pinggul. Pekerjaan manual handling juga termasuk menurunkan atau melemparkan beban dari satu tempat ke tempat lainnya yang dituju atau dari satu orang ke orang lain (Tarwaka, 2011). Pekerjaan manual handling akan dapat menyebabkan stres pada kondisi fisik tenaga kerja (seperti: pengerahan tenaga, sikap tubuh yang dipaksakan dan gerakan berulang) yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera, energi terbuang secara percuma dan waktu kerja tidak efisien. Kemampuan tenaga kerja untuk melakukan pekerjaannya sangat

9 bervariasi karena adanya berbagai perbedaan, seperti umur, kondisi fisik, kekuatan, jenis kelamin, tinggi badan dan faktor-faktor lainnya (Tarwaka, 2011). a. Faktor-faktor resiko yang dominan yang berkaitan dengan terjadinya cedera akibat pekerjaan manual handling menurut Tarwaka (2011) antara lain meliputi: 1) Sikap tubuh yang tidak alamiah dan dipaksakan (seperti: badan membungkuk dan memuntir ke samping, jongkok, berlutut, dan lain-lain). 2) Gerakan berulang (seperti: sering menjangkau, mengangkat, membawa objek kerja). 3) Pengerahan tenaga berlebihan (seperti: membawa atau mengangkat objek kerja yang terlalu berat). 4) Sikap kerja yang statis (seperti: harus mempertahankan sikap diam untuk waktu yang lama pada satu jenis aktivitas). b. Jenis Pergerakan Anggota Tubuh Menurut Tarwaka (2011) pergerakan tubuh selama terjadinya aktivitas tertentu di industri dapat dijelaskan dalam istilah operasional sebagai berikut: 1) Pergerakan Positioning pada tangan atau kaki dari satu posisi tertentu ke tempat lainnya, seperti pada saat tenaga kerja menjangkau tombol kendali mesin.

10 2) Pergerakan Continuous, memerlukan pengaturan kontrol otot pada atau beberapa jenis otot saat bergerak, seperti saat memutar roda mobil atau mengarahkan batangan atau lembaran kayu melalui mesin gergaji. 3) Pergerakan Manipulative, melibatkan aktivitas manual handling pada peralatan kerja, mekanisasi alat kontrol, secara tipikal dengan menggunakan jari atau tangan. 4) Pergerakan repetitive, adalah merupakan suatu pergerakan yang sama secara berulang-ulang, seperti pada pekerjaan memukul dengan palu, penggunaan obeng, memutar baut, dan lain-lain. 5) Pergerakan sequential, adalah merupakan pergerakan independen yang terpisah di dalam suatu rangkaian proses kerja. 6) A Static Posture, terjadi pada saat mempertahankan segmen pada satu posisi tertentu untuk satu periode waktu tertentu. c. Cara mengangkat yang benar Dari berbagai masalah ergonomi dalam sistem kerja bongkar muat, yang paling dominan adalah aktivitas angkat. Untuk mencegah terjadinya efek cedera pada anggota tubuh yang rawan (seperti pinggang dan punggung), maka aktivitas tersebut harus dilakukan dengan teknik mengangkat yang benar. Menurut Tarwaka (2011) secara garis besar teknik tersebut adalah sebagai berikut di bawah ini:

11 1) Pegangan terhadap bahan yang diangkat harus tepat. 2) Lengan harus berada sedekat mungkin dengan badan dan dalam posisi lurus. 3) Posisi tulang belakang harus tetap lurus. 4) Dagu segera ditarik setelah kepala bisa ditegakkan. 5) Posisi kaki memegang untuk membagi menentukan dalam posisi mengangkat. 6) Berat beban dimanfaatkan untuk menarik dan mendorong, sedangkan gaya untuk gerakan dan perimbangan. 7) Beban diusahakan sedekat mungkin terhadap garis vertikal yang melalui pusat gravitasi tubuh. 4. Postur kerja Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan aktivitas kerja yang biasanya terkait dengan desain area kerja dan peralatan kegiatan kerja. Postur kerja mencerminkan hubungan antara dimensi tubuh pekerja dan dimensi alat pada tempat kerjanya (Pheasant, 1986) dalam (Hudang, 2013). Menurut Bridger (1995) dalam (Primantari, 2014) menjelaskan bahwa tujuan utama dilakukannya penelitian mengenai postur adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip untuk mendesain lingkungan kerja agar tingkat postural stress pada tenaga kerja rendah. Penggunaan desain lingkungan kerja tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat insiden fatigue (kelelahan) dan ketidaknyamanan di tempat kerja.

12 Pertimbangan-pertimbangan ergonomi yang berkaitan dengan postur kerja dapat membantu mendapatkan postur kerja yang nyaman bagi tenaga kerja, baik itu postur kerja berdiri, duduk, angkat maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan postur kerja tertentu yang terkadang tidak menyenangkan. Kondisi kerja seperti ini memaksa tenaga kerja selalu berada pada postur kerja yang tidak alami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh, cacat produk bahkan cacat tubuh. Untuk menghindari postur kerja yang demikian, pertimbangan-pertimbangan ergonomis antara lain menyarankan hal-hal sebagai berikut: a. Mengurangi keharusan tenaga kerja untuk bekerja dengan postur kerja membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengatasi hal ini maka stasiun kerja harus dirancang terutama sekali dengan memperhatikan fasilitas kerja seperti meja, kursi dan lain-lain yang sesuai dengan data anthropometri agar pekerja dapat menjaga postur kerjanya tetap tegak dan normal. Ketentuan ini terutama sekali ditekankan bilamana pekerjaan harus dilaksanakan dengan postur berdiri. b. Tenaga kerja tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum. Pengaturan postur kerja dalam hal ini dilakukan dalam jarak jangkauan normal (konsep/prinsip ekonomi gerakan). Disamping itu pengaturan ini bias memberikan postur kerja yang

13 nyaman. Untuk hal- hal tertentu pekerja harus mampu dan cukup leluasa mengatur tubuhnya agar memperoleh postur kerja yang lebih leluasa dalam bergerak. c. Tenaga kerja tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang lama, dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam postur kerja miring. d. Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekwensi atau periode waktu yang lama dengan tangan atau lengan berada dalam posisi di atas level siku yang normal (Puspitaningrum, 2015). 5. Musculoskeletal Disorders (MSDs) a. Pengertian MSDs Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem musculoskeletal (Grandjean, 1993; Lemasters, 1996 dalam Tarwaka, 2011). Pembebanan pada otot dengan pemberian beban kerja yang terlalu berat dan statis dalam durasi yang cukup lama adalah salah satu faktor penyebab gangguan MSDs. Keluhan otot ini kecil kemungkinan

14 terjadi apabila dalam batasannya, yaitu antara 15%-20% dari kekuatan otot maksimum, apabila kontraksi otot lebih dari 20%, peredaran darah ke otot akan berkurang seiring dengan tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan, suplai oksigen menurun, proses metabolisme terhambat dan akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan rasa nyeri (Tarwaka, 2011). Menurut Peter (2000) dalam Tarwaka (2011) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal yaitu: 1) Peregangan Otot yang Berlebihan Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampui kekuatan otot optimum. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat mnyebabkan terjadinya cidera otot skeletal. 2) Aktivitas Berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkut-angkut dan sebagainya. Keluhan ini terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan relaksasi.

15 3) Sikap Kerja yang Tidak Alamiah Sikap kerja yang tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi possisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjean, 1993; Anis and McCanville, 1996; Waters and Andeson, 1996 dan Manuaba, 2000 dalam Tarwaka, 2011). b. Pencegahan MSDs Berdasarkan rekomendasi dari Occupatioanal Safety and Health Administration (OSHA) dalam Tarwaka (2011), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik, seperti: desain stasiun dan alat kerja dan rekayasa manajemen, seperti: kriteria dan organisasi kerja. Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengeliminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja tidak alamiah. 1) Rekayasa Teknik, rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut:

16 a) Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada. b) Subtitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/ bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan proses prosedur penggunaan peralatan c) Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran dan sebagainya. 2) Rekayasa manajemen a) Pendidikan dan pelatihan. Melalui pendidikan dan pelatihan tenaga kerja menjadi lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap resiko sakit akibat kerja. b) Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang dalam arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya.

17 c) Pengawasan yang intensif. Melaui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemunginan terjadinya resiko sakit akibat kerja. 6. Metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan, dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi oleh faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas tenaga kerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Hignett & McAtamney, 2000) dalam (Modul REBA, 2012). Pengembangan REBA bertujuan untuk mengembangkan sistem analisis postural sensitif terhadap risiko muskuloskeletal dalam berbagai tugas, membagi tubuh ke dalam berbagai segmen yang harus dikodekan dengan mengacu pada gerakan, menyediakan sistem penilaian untuk aktivitas otot yang disebabkan oleh statis, dinamis, berubah atau tidak stabil, postur merefleksikan proses coupling dalam penanganan beban, memberikan hasil tingkat tindakan dengan indikasi yang mendesak.

18 Penilaian menggunakan metode REBA yang telah dilakukan olehnhignett dan McAtamney (2000) melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Tahap 1: Pengambilan data postur tenaga kerja dengan menggunakan bantuan video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) tenaga kerja dan leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya. b. Tahap 2: Penentuan Sudut-sudut dari bagian tubuh tenaga kerja Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari tenaga kerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing-masing segmen tubuh yang meliputi punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan, dan kaki. Pada metode REBA segmen-segmen tubuh terdsebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher, dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing-masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A

19 dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing-masing tabel. Langkah dalam proses penilaian postur dengan menggunakan lembar kerja REBA menurut Tarwaka (2013) adalah sebagai berikut: 1) Penilaian Postur Grup A a) Postur Badan (Trunk) Anggota tubuh pertama yang dievaluasi pada grup A adalah badan. Hal ini akan dapat menentukan apakah tenaga kerja melakukan pekerjaan dengan posisi badan tegak atau tidak, dan kemudian menentukan besar kecilnya sudut fleksi atau ekstensi dari badan yang di amati, dan memberikan skor berdasarkan posisi badan, seperti di ilustrasikan dengan piktogram pada gambar 1 dibawah ini (Tarwaka, 2013). Gambar 1. Penilaian Postur Badan Sumber : REBA Employee Assessment Worksheet, 2015 Adapun skor penilaian untuk bagian badan (trunk) dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

20 Tabel 1. Skor awal postur badan Skor Posisi Skor Perubahan 1 Posisi badan tegak lurus +1 jika posisi 2 Posisi badan fleksi antara 0 o - badan 20 o dan ekstensi antara 0 o -20 o membungkuk dan 3 Posisi badan fleksi antara 20 o - atau memuntir 4 60 o dan ekstensi >20 o secara lateral Posisi badan membungkuk fleksi >60 o Sumber: Tarwaka, 2013 b) Postur Leher (Neck) Setelah selesai menilai bagian badan, maka langkah kedua adalah menilai postur leher. Metode REBA mempertimbangkan kemungkinan dua posisi leher. Pertama, posisi leher menekuk fleksi antara 0 o -20 o dan yang kedua posisi leher menekuk fleksi atau ekstensi >20 o. Skor hasil perhitungan tersebut kemungkinan dapat ditambah jika posisi leher tenaga kerja membungkuk atau memuntir secara lateral (Tarwaka, 2013) Gambar 2. Penilaian Postur Leher Sumber: REBA Employee Assessment Worksheet, 2015 Adapun skor penilaian untuk bagian leher (neck) dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

21 Tabel 2. Skor awal Postur Leher Skor Posisi Skor Perubahan 1 Posisi leher fleksi 0 o -20 o +1 jika posisi leher 2 Posisi leher fleksi atau membungkuk dan ekstensi >20 o atau memuntir secara lateral. Sumber: Tarwaka (2013) c) Postur Kaki (Leg) Untuk melengkapi alokasi skor pada grup A, maka selanjutnya adalah mengevaluasi posisi kaki. Berdasarkan pada ilustrasi piktogram pada gambar 3 dibawah ini akan memungkinkan penilaian awal pada kaki berdasarkan distribusi berat badan (Tarwaka, 2013). Skor kaki akan meningkat jika salah satu atau kedua lutut fleksi atau ditekuk. Kenaikan tersebut mungkin sampai dengan 2 (+2) jika lutut menekuk >60 o, seperti diilustrasikan dengan piktogram pada gambar 3 di bawah ini. Namun demikian, jika tenaga kerja duduk, maka keadaan tersebut dianggap tidak menekuk dan karenanya tidak meningkatkan skor pada kaki (Tarwaka, 2013). Gambar 3. Penilaian Postur Kaki Sumber: REBA Employee Assessment Worksheet, 2015

22 Adapun skor penilaian untuk bagian kaki (leg) dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Skor awal postur kaki Skor Posisi Skor Perubahan 1 Posisi kedua kaki +1 jika salah satu atau tertopang dengan baik kedua kaki ditekuk di lantai dalam keadaan fleksi antara 30 o -60 o berdiri maupun berjalan 2 Salah satu kaki tidak +2 jika salah satu atau tertopang di lantai kedua kaki ditekuk Dengan baik atau fleksi antara >60 o terangkat Sumber: Tarwaka (2013) d) Skoring Awal grup A Skor individu yang diperoleh dari posisi badan, leher, dan kaki pada grup A, akan memberikan skor pertama berdasarkan tabel A. Gunakan skor pada langkah a- c pada tabel A untuk menemukan skor awal grup A (Tarwaka, 2013). Tabel 4. Skoring Awal Group A Tabel A Leher 1 2 3 Badan Kaki Kaki kaki 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 1 2 3 4 1 2 3 4 3 3 5 6 2 2 3 4 5 3 4 5 6 4 5 6 7 3 2 4 5 6 4 5 6 7 5 6 7 8 4 3 5 6 7 5 6 7 8 6 7 8 9 5 4 6 7 8 6 7 8 9 7 8 9 9 Sumber: Tarwaka, 2013

23 2) Penilaian Grup B Pada grup B terdiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm) dan pergelangan tangan (wrist). a) Lengan Atas (Upper Arm) Untuk menentukan yang dilakukan pada lengan atas, maka harus diukur sudut antara lengan dan badan. Piktogram di bawah ini menunjukkan posisi lengan yang dianggap berbeda, yang bertujuan untuk memberikan pedoman pada saat melakukan pengukuran. Skor yang di peroleh akan sangat tergantung pada besar kecilnya sudut yang terbentuk antara lengan dan badan selama tenaga kerja melakukan pekerjaannya (Tarwaka, 2013). Skor untuk lengan harus dimodifikasi, yaitu ditambah atau dikurangi jika bahu tenaga kerja terangkat, jika lengan di putar, diangkat menjauh dari badan, atau kurangi 1 jika lengan di topang selama kerja. Masingmasing kondisi tersebut akan menyebabkan suatu peningkatan atau penurunan skor postur pada lengan. Jika tidak ada situasi lengan seperti tersebut, maka skor dapat langsung menggunakan skor dengan tanpa modifikasi (Tarwaka, 2013).Adapun skor penilaian untuk bagian lengan atas dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

24 Tabel 5. Skor Awal Postur Lengan Skor Posisi Skor Perubahan 1 Posisi lengan fleksi atau + 1 jika bahu diangkat ekstensi antara 0 o -20 o atau lengan diputar atau Dirotasi 2 Posisi lengan fleksi antara + 1 jika lengan diangkat 21 o -45 o atau ekstensi >20 o menjauh dari badan 3 Posisi lengan fleksi antara -1 jika berat lengan 46 o -90 o ditopang untuk menahan gravitasi 4 Posisi lengan fleksi >90 o Sumber: Tarwaka, 2013 b) Lengan Bawah (Lower Arm) Berikutnya yang harus di analisis adalah posisi lengan bawah. Skor postur untuk lengan bawah juga tergantung pada kisaran sudut yang dibentuk oleh lengan bawah selama melakukan pekerjaan. Piktogram pada gambar 4 di bawah ini menunjukkan perbedaan kisaran sudut yang mungkin terjadi. Setelah dilakukan penilaian terhadap sudut pada lengan bawah, maka skor postur pada lengan bawah langsung dapat dihitung (Tarwaka, 2013). Gambar 4. Penilaian Postur Lengan Bawah Sumber: REBA Employee Assessment Worksheet, 2015 Adapun skor penilaian untuk bagian lengan bawah dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

25 Tabel 6. Skor Awal Postur Lengan Bawah Skor Posisi 1 Posisi lengan bawah fleksi antar 60 o -100 o 2 Posisi lengan bawah fleksi antar <60 o atau >100 o Sumber: Tarwaka, 2013 c) Pergelangan Tangan (wrist) Terakhir dari pengukuran pada grup B adalah menilai posisi pergelangan tangan. Piktogram pada gambar 5 di bawah ini menunjukkan dua posisi yang perlu dipertimbangkan dalam metode ini. Setelah mempelajari sudut menekuk pada pergelangan tangan, maka akan dilanjutkan dengan penentuan berdasarkan besar kecilnya sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan (Tarwaka, 2013). Gambar 5. Penilaian Postur Pergelangan Tangan Sumber: REBA Employee Assessment Worksheet, 2015 Adapun skor penilaian untuk bagian pergelangan tangan dapat dilihat pada tabel 7 berikut.

26 Tabel 7. skor awal postur pergelangan tangan Skor Posisi Skor Perubahan 1 Posisi pergelangan +1 jika pergelangan Tangan Fleksi atau tangan pada saat ekstensi antara 0 o -15 o bekerja mengalami torsi atau deviasi baik ulnar 2 Posisi pergelangan Tangan Fleksi atau ekstensi antara >15 o Sumber: Tarwaka, 2013 d) Skoring Awal Grup B maupun radial Skor individu yang diperoleh dari posisi lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan pada grup B, akan memberikan skor pertama berdasarkan tabel B. Gunakan skor pada langkah a-c pada tabel B di bawah ini untuk menemukan skor awal grup B (Tarwaka, 2013). Tabel 8. Skor Awal Group B TABEL B Lengan Bawah 1 2 Lengan Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan 1 2 3 1 2 3 1 1 2 2 1 2 3 2 1 2 3 2 3 4 3 3 4 5 4 5 5 4 4 5 5 5 6 7 5 5 7 8 7 8 8 Sumber: tarwaka, 2013

27 c. Tahap 3: penentuan berat benda yang diangkut, coupling dan aktivitas pekerja Selain skoring pada masing-masing segmen tubuh, faktor lain yang perlu disertakan adalah berat beban yang diangkut, coupling, dan aktivitas pekerjaannya. Masing-masing faktor tersebut juga mempunyai kategori skor. 1) Skoring untuk Beban (Force) Besar kecilnya skor untuk pembebanan atau force akan sangat tergantung dari berat ringannya beban yang dikerjakan oleh tenaga kerja, penentuan skor didasarkn pada tabel yang selanjutnya disebut skor A (Tarwaka, 2013). Tabel 9. Skor untuk Pembebanan atau Force grup A Skor Posisi +0 Beban atau force <5 kg +1 Beban atau force 5-10 kg +2 Beban atau force >10kg Pembebanan atau force secara tiba-tiba atau mendadak Sumber: Tarwaka, 2013 2) Skoring untuk Jenis Pegangan (coupling) Jenis pegangan akan dapat meningkatkan skor pada grup B (lengan, lengan bawah dan pergelangan tangan), kecuali dipertimbangkan bahwa jenis pegangan pada container adalah baik. Tabel dibawah ini menunjukkan kenaikan untuk penerapan pada jenis pegangan. Setelah itu, skor grup B data dimodifikasi

28 berdasarkan jenis pegangan, yang selanjutnya disebut Skor B (Tarwaka, 2013). Tabel 10. Skoring untuk Jenis Pegangan Skor Posisi +0 Pegangan Bagus Pengangan kontainer baik dan kekuatan pegangan berada pada posisi tengah atau pegangan ideal +1 Pegangan Sedang Pegangan tangan dapat diterima, tetapi tidak ideal atau pegangan optimum yang dapat diterima untuk menggunakan bagian tubuh lainnya +2 Pegangan Kurang Baik Pegangan ini mungkin dapat digunakan tetapi tidak diterima atau objek tidak memiliki pegangan namun bentuk objek beraturan +3 Pegangan Jelek Pegangan ini terlalu dipaksakan, atau tidak ada pegangan atau genggaman tangan, pegangan bahkan tidak dapat diterima untuk menggunakan bagian tubuh lainnya atau objek tidak memiliki pegangan dan bentuk objek tidak beraturan sehingga sangat sulit untuk diangkat Sumber: Tarwaka, 2013 3) Skoring untuk Jenis Aktivitas Otot Tabel 11. Skoring Aktivitas Otot Skor Aktivitas +1 Satu atau lebih bagian tubuh dalam keadaan statis, misalnya ditopang lebih dari 1 menit. +1 Gerakan berulang-ulang terjadi, misalnya repetisi lebih dari 4 kali per menit (tidak termasuk berjalan). +1 Terjadi perubahan yang signifikan pada postur tubuh atau postur tubuh tidak stabil selama bekerja. Sumber: Tarwaka, 2013 d. Tahap 4: Perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan Setelah didapatkan skor dari tabel A kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat beban yang diangkat sehingga

29 didapatkan nilai bagian A. Sementara skor dari tabel B dijumlahkan dengan skor dari tabel coupling sehingga didapatkan nilai bagian B. Dari nilai bagian A dan bagian B dapat digunakan untuk mencari nilai bagian C dari tabel C berikut. Tabel 12. Skor C Tabel 12. Skor C terhadap Skor A dan Skor B SKOR A SKOR B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1 1 1 2 3 3 4 5 6 7 7 7 2 1 2 2 3 4 4 5 6 6 7 7 8 3 2 3 3 3 4 5 6 7 7 8 8 8 4 3 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9 5 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9 9 6 6 6 6 7 8 8 9 9 10 10 10 10 7 7 7 7 8 9 9 9 10 10 11 11 11 8 8 8 8 9 10 10 10 10 10 11 11 11 9 9 9 9 10 10 10 11 11 11 12 12 12 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 Sumber: Tarwaka, 2013 Nilai REBA didapatkan dari hasil penjumlahan nilai bagian C dengan nilai aktivitas otot pekerja. Dari nilai REBA tersebut dapat diketahui tingkat risiko pada musculoskeletal dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko serta perbaikan kerja. Berikut adalah standar kinerja berdasarkan skor akhir REBA yang disajikan pada tabel 13.

30 Tabel 13. Standar Kinerja Berdasarkan Skor Akhir Skor Tingkat Tingkat Risiko Tindakan Akhir Aksi 1 0 Sangat Rendah Tidak ada tindakan yang Diperlukan 2-3 1 Rendah Mungkin diperlukan Tindakan 4-7 2 Sedang Diperlukan tindakan 8-10 3 Tinggi Diperlukan tindakan Segera 11-15 4 Sangat Tinggi Diperlukan tindakan sesegera mungkin Sumber : Tarwaka, 2013 Dari tabel risiko di atas dapat diketahui dengan nilai REBA yang didapatkan dari hasil perhitungan sebelumnya dapat diketahui tingkat resiko yang terjadi dan perlu atau tidaknya tindakan yang dilakukan untuk perbaikan. Perbaikan kerja yang mungkin dilakukan antara lain berupa perancangan ulang peralatan kerja berdasarkan prinsip-prinsip ergonomi.

31 B. Kerangka Pemikiran Aktivitas produksi PT. X Plant Pegangsaan Manual Handling Postur Kerja Penilaian Keluhan Sistem Musculoskeletal OWAS RULA REBA NBM Checklis Risiko Sangat Rendah Risiko Rendah Risiko Sedang Risiko Tinggi Risiko Sangat Tinggi Tidak diperlukan Tindakan Diperlukan Tindakan Gambar 6. Kerangka Pemikiran