BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

penyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

A. Perspektif Historis

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disabilitas dan interaksi sosial

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

SISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016

2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan


BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

Educational Psychology Journal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang


PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah?

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. meningkat 400% menjadi 1 banding 625 (Mash & Wolfe, 2005). Tahun 2006,

PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena pendidikan inklusif merupakan suatu sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat mengikuti proses belajarmengajar dengan anak pada umumnya dalam satu ruang lingkup yang sama pada sekolah reguler. Pendidikan inklusif dirancang untuk menghargai persamaan hak masyarakat atas pendidikan tanpa membedakan usia, gender, etnik, bahasa, kekurangan, dan keterbatasan lainya yang dimiliki seseorang. Pendidikan inklusif juga disebut-sebut sebagai salah satu komitmen yang dilakukan untuk mencapai target dari kebijakan global yakni Education For All yang diprakarsai oleh UNESCO. Kebijakan Education for All sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Seperti yang tertera pada pasal 26 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menyatakan bahwa: Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. Istilah pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen kebijakan internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on Special Needs Education, Spanyol 1994 bekerjasama dengan UNESCO. 1

2 Dalam konferensi yang dihadiri lebih dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintahan di dunia tersebut mempromosikan tentang kebijakan pendidikan inklusif yang memungkinkan setiap sekolah untuk melayani semua anak, terutama mereka dengan kebutuhan pendidikan khusus. Hadirnya pendidikan inklusif di dunia juga sebagai upaya untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan, khususnya pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas yang jumlahnya tidak sedikit. Menurut data dari PBB seperti dikutip oleh Hikmawati dan Rusmiyati (2011) dalam Sulistyadi (2014:2) menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 12% penyandang disabilitas dari jumlah populasi penduduk di dunia atau sekitar 650 juta jiwa adalah penyandang disabilitas, dimana hampir 25% dari jumlah tersebut atau sekitar 163 juta orang adalah kelompok anak usia sekolah. Sistem pendidikan berbasis inklusif juga turut merubah paradigma masyarakat bahwa anak berkebutuhan khusus harusnya disekolahkan di lembaga-lembaga tertentu seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan inklusif pun dapat mengurangi segala bentuk diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus karena mereka dapat bersekolah di sekolah reguler bercampur dengan anak pada umumnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di berbagai negara menunjukan hal yang positif. Pendidikan inklusif dapat diterima dan berjalan normal sesuai dengan tujuan pemerintah maupun sekolah penyelenggara. Tahun 1997, model pendidikan inklusif telah diterapkan di Taiwan, sejak saat itu departemen pendidikan secara khusus menerbitkan peraturan tentang Taiwan Special Education Act (TWSE). Regulasi tersebut mengatur terkait

3 pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang diikutsertakan dalam kelas umum dan diberikan jadwal yang sesuai dengan kurikulum pendidikan umum di Taiwan. Melalui regulasi tersebut, di tahun ajaran 2012 sebanyak 84% anak dengan kebutuhan khusus (ABK) menerima pendidikan di kelas umum dan berbaur dengan siswa normal lainya (Chen dan Chiu, 2015: 204-205). Pendidikan inklusif juga dikembangkan di Australia dengan menggunakan bahasa lokal yang diberikan dari guru di masing-masing sekolah yang meliputi precision teaching, task analysis, baselines dan ecological analysis. Mereka meyakini bahwa kontribusi sekecil apapun dari guru akan berpengaruh terhadap kelas inklusif yang dijalaninya. Bentuk dukungan dari orang tua dan masyarakat setempat juga diperlukan dalam model pendidikan inklusif tersebut. Yang terpenting ialah tidak perlu membeda-bedakan dan meragukan seorang siswa dengan jenis kekuranganya layak untuk masuk ke dalam sekolah tertentu (Jenkinson, 2000: 5-6). Negara-negara di Eropa timur, pendidikan inklusif dikembangkan dengan metode pendekatan berbasis kompetensi. Dimana kesiapan guru menjadi prioritas utama dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan inklusif. Adapun pendekatan berbasis kompetensi yang dimaksudkan terbagi ke dalam tiga hal; (a) akademik, dimana pendekatan ini mengadopsi nilai-nilai pendidikan inklusif, pengetahuan tentang Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan sebagainya. (b) profesional, pendekatan ini lebih merujuk pada ketrampilan yang dimiliki guru meliputi kemampuan menganalisis, membentuk model pembelajaran inklusif, dan kemampuan melihat kepribadian anak. (c) kepribadian sosial, sedangkan pendekatan ini meliputi

4 sikap seorang guru dalam menghadapi berbagai situasi sosial di lingkungan pendidikan inklusif (Hitryuk, 2013: 72-73). Dari beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan inklusif diatas, pendidikan inklusif menjadi sangat esensial keberadaanya di dunia pendidikan. Namun tentunya juga dipengaruhi oleh beberapa hal yakni adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang mendukung pendidikan inklusif, kontribusi dari sekolah penyelenggara (meliputi guru, orang tua murid, masyarakat) dan sistem pendidikan berbasis inklusif yang mendukung proses belajar-mengajar di sekolah. Konsep pendidikan inklusif yang juga muncul ialah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang dikeluarkan oleh PBB Pada tanggal 13 Desember 2006. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani konvensi tersebut pada Maret 2007 di New York. Konvensi ini secara keseluruhan membahas tentang hak-hak kaum difabel di seluruh dunia. Salah satu isi konvensi yang menyinggung tentang pendidikan inklusif ialah pada pasal 24 disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. (http://www.kompasiana.com/anin.rianto/sekolahinklusif-dan-abk, diakses 22 september 2015) Di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan dari tahun ke tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) jumlah penyandang difabilitas cenderung mengalami peningkatan. Data terakhir yang diperoleh pada tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penyandang difabilitas di Indonesia mencapai sekitar 2% dari

5 total 244.775.796 jiwa penduduk Indonesia, atau sebesar 3.654.356 jiwa. Sedangkan di tahun yang sama, jumlah penyandang difabilitas usia sekolah di Indonesia sebesar 532.130 jiwa, atau sekitar 14,56% dari total penduduk penyandang difabilitas di Indonesia. Sebagai salah satu negara yang turut dalam konvensi dunia, Indonesia juga berperan cukup aktif untuk mendukung terselenggaranya pendidikan inklusif. Pada tanggal 8-14 Agustus 2004, Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju Pendidikan Inklusif menjadi langkah awal tumbuhnya pendidikan inklusif di negara ini. Dari hasil deklarasi tersebut berisi tentang himbauan kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat menjamin dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan akses dan kesempatan yang sama dengan anak pada umumnya. Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Bandung, pemerintah melalui Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menerbitkan kebijakan pendidikan inklusif untuk diselenggarakan disetiap kabupaten/ kota. Pengertian dari pendidikan inklusif sendiri sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 1 ialah: Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya Adapun peserta didik yang dimaksudkan sesuai Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 3 ialah :

6 1. Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusiff pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. 2. Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas: Tunanetra; Tunarungu; Tunawicara; Tunagrahita; Tunadaksa; Tunalaras; Berkesulitan belajar; Lamban belajar; Autis; Memiliki gangguan motorik; Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; Memiliki kelainan lainnya; Tunaganda. Kehadiran pendidikan inklusif di Indonesia merupakan salah satu bentuk tindak lanjut pemerintah dalam upaya memberikan kesamaan dan kesetaraan akses pendidikan bagi masyarakat. Meskipun dalam praktiknya, tentu masih terdapat banyak kekurangan. Di tahun 2013 jumlah anak berkebutuhan khusus yang yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif baru berjumlah 116.000 anak dari total 300.000 anak. (http://www.antaranews. com/berita, diakses 24 September 2015). Pendidikan inklusif memiliki tingkat kesulitan yang cukup rumit. Hal ini disebabkan perlunya peran dan partisipasi dari banyak pihak, mulai dari orang tua, sekolah dan tentunya masyarakat sekitar. Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Yakni sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan tidak memandang suatu perbedaan sebagai masalah yang kompleks. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1 telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga pendidik yang

7 mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Sebagai kelanjutan dari regulasi-regulasi yang telah diterbitkan pemerintah, banyak daerah-daerah di Indonesia yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai kota inklusif. Namun penyelenggaraan kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia tidak selalu membuahkan hasil sesuai dengan tujuan. Di Surakarta, implementasi pendidikan inklusif pada tiga sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan hasil bahwa masih banyak komponen yang belum terpenuhi dalam rangka kesiapan sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusif (Septianingrum, 2012: 130-131). Sedangkan kajian lainya yang mengambil sampel di salah satu sekolah menengah atas (SMA), menyebutkan bahwa peran dari guru pendamping khusus (GPK) masih sekitar 60%. Dengan kata lain, peran GPK dalam membantu penyelenggaraan pendidikan inklusif di SMA di Surakarta masih belum optimal (Prawesti, 2013: 77-78). Di daerah lainnya, yakni Kabupaten Wonogiri implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di salah satu SMP Negeri dapat dikatakan kurang berhasil. Hal ini ditengarai oleh beberapa hal seperti kurangnya kemampuan guru reguler dalam mengajar siswa ABK, tidak tersedianya GPK dalam sekolah tersebut, serta kurangnya anggaran untuk memberikan sarana prasarana guna memfasilitasi ABK yang ada di sekolah tersebut (Wulanningsih, 2013: 89-90). Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sidoarjo, sebagai salah satu kabupaten yang memiliki jumlah sekolah inklusif paling banyak di Jawa

8 Timur tentunya juga menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya. Diantaranya ialah kurangnya pemahaman bagi sekolah-sekolah yang ditunjuk terhadap isi pedoman umum dan khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif. Selain itu juga kualitas dari GPK yang disediakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo yang kurang optimal dalam proses belajar mengajar, dan yang terakhir terkait minimnya anggaran yang disediakan pemerintah yang berakibat pada sekolah-sekolah penyelenggara tidak dapat memberikan sarana dan prasarana yang sesuai standar kebutuhan (Sulistyadi, 2014: 8-9). Melihat masih banyaknya daerah-daerah penyelenggara pendidikan inklusif yang kurang berhasil dalam implementasinya, menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji salah satu daerah yang juga menyelenggarakan pendidikan inklusif di Provinsi Jawa Timur, yakni Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah yang memiliki peraturan khusus tentang pendidikan inklusif. Melalui Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan, telah ditunjuk dan ditetapkan 90 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dibawah Keputusan Kepala Dinas Kabupaten Pacitan baik formal maupun non formal dan Keputusan Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pacitan yang terdiri dari pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah pertama (SMP). Kabupaten Pacitan juga merupakan salah satu dari enam kota di Provinsi Jawa Timur yang meraih predikat Inclusive Award yaitu penghargaan bagi pelopor pembudayaan pendidikan inklusif di Indonesia yang diberikan oleh

9 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 2013 (http://surabaya. tribunnews.com, diakses pada 2 Oktober 2015). Hal ini tentunya menimbulkan banyak spekulasi apakah implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan juga mengalami ketidakberhasilan seperti daerah yang telah disebutkan diatas, atau justru Kabupaten Pacitan dapat memberikan perubahan yang positif khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia. Dibandingkan 6 Kabupaten di Jawa Timur yang memperoleh predikat Inclusive Award yakni Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Trenggalek, di tahun 2012-2013 Kabupaten Pacitan memiliki peringkat cukup rendah perihal pendidikan yakni dalam Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Pada tahun 2013 di kelompok usia 7-12 tahun APK Kabupaten Pacitan menduduki peringkat ketiga setelah Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang dengan angka 103,08. Sedangkan di kelompok usia 13-15 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang yakni diangka 91,58. Untuk APS sendiri pada tahun 2013, di kelompok usia 7-12 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Blitar dan Kota Malang dengan angka 99,14. Dan di kelompok usia 13-15 tahun, Kabupaten Pacitan menduduki peringkat kelima sebelum Kota Malang dengan angka 93,62. Sedangkan untuk APM pada tahun 2013 di kelompok usia 7-12 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat ketiga setelah Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang dengan angka 93,93 dan di kelompok usia 13-

10 15 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Bojonegoro dan Kota Malang dengan angka 74,33. Berikut merupakan APK, APM, dan APS Kabupaten Pacitan pada tahun 2012-2013. Tabel 1.1 Angka Partisipasi Menurut Kelompok Usia Sekolah di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Kelompok Usia APK (Angka Partisipasi Kasar) APM (Angka Partisipasi Murni) APS (Angka Partisipasi Sekolah ) Sekolah (Dalam Persen) 2012 2013 2012 2013 2012 2013 Usia 7-12 Thn (SD) 102,29 103,08 92,54 93,93 98,68 99,14 Usia 13-15 Thn (SMP) 95,60 91,58 76,29 76,19 90,34 93,62 Usia 16-18 Thn (SMA) 67,49 51,28 50,81 37,21 61,05 48,19 Sumber: Badan Pusat Statistik, Provinsi Jawa Timur, 2015 Sebagai salah satu daerah yang menyandang predikat Inclusive Award namun masih memiliki angka partisipasi pendidikan yang cukup rendah di Provinsi Jawa Timur, tentunya menimbulkan berbagai macam dugaan. Sebab pendidikan formal non inklusif yang semestinya menjadi prioritas pemerintah daerah pada faktanya masih di posisi rendah, namun bagaimana mungkin pendidikan inklusif yang baru saja ditetapkan justru meraih penghargaan dari Provinsi Jawa Timur. Hal ini yang menjadi salah satu daya tarik untuk melakukan kajian penelitian di Kabupaten Pacitan. Menurut data dari WHO (2005) terdapat sekitar 7 10 % anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di suatu wilayah. Ini berarti terdapat sekitar 14 ribu anak berkebutuhan khusus dari 143.975 jiwa anak di

11 Kabupaten Pacitan. Di tahun 2014, jumlah ABK yang mengenyam bangku pendidikan di sekolah inklusi hanya sekitar 1.136 anak. Dengan demikian dapat dikatakan ABK yang mendapatkan pelayanan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan belum ada sepertiganya. Adapun jumlah siswa inklusif di Kabupaten Pacitan sesuai dengan jenjang pendidikan ialah sebagai berikut : Tabel 1.2 Rekapitulasi Pendataan ABK Tahun 2014 Di Kabupaten Pacitan Jenjang Jumlah TK 307 SD 798 SMP 31 SMA /SMK 2 JUMLAH 1.136 Sumber : Pokja Pendidikan Inklusif Kab. Pacitan, diolah Melihat dari kondisi di atas Kabupaten Pacitan yang telah memiliki peraturan khusus pendidikan inklusif dan menjadi salah satu kota dengan predikat Inclusive Award, namun belum merangkul seluruh ABK untuk menikmati bangku pendidikan menjadikan penulis tertarik untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan khususnya pada sekolah-sekolah penyelenggara. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada studi implementasi, sebab implementasi merupakan sebuah tahap perealisasian suatu kebijakan sehingga dapat diketahui apa saja yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan untuk mencapai tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan. Chief J. O. Udoji, 1981 dalam Leo Agustino (2008: 140) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip

12 apabila tidak diimplementasikan. Hal serupa juga dipertegas oleh pernyataan Nugroho (2011: 119) : Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. selain itu ancaman utama adalah konsistensi implementasi. Dengan demikian dapat disimpulkan betapa pentingnya sebuah studi implementasi kebijakan guna mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan dari program atau kebijakan yang telah dijalankan tersebut. Dengan merujuk atas dasar pemikiran tersebut peneliti merumuskan penelitian dengan judul Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif Di Kabupaten Pacitan (Studi Implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Pada Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah:

13 1. Untuk menganalisa implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara. 2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan ilmu kebijakan publik khususnya studi implementasi kebijakan dengan praktik lapangan dalam hal ini adalah kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan. 2. Manfaat Praktis a. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat dan pengambil keputusan bagi pemerintah Kabupaten Pacitan dalam Pengimplementasian Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan. b. Penulisan ini diharapkan agar masyarakat peka terhadap pendidikan khusunya bagi anak berkebutuhan khusus, sehingga turut mendukung kegiatan pemerintah mengimplementasikan kebijakan.