BAB ll TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976), bahwa hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2009 : 44). Proses pembangunan ekonomi

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

Transkripsi:

BAB ll TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Organisasi Teori yang dapat digunakan dalam rujukan penelitian ini adalah teori organisasi dimana teori organisasi berbicara mengenai bagaimana organisasi menjalankan fungsinya dan dipengaruhi oleh orang-orang yang bekerja di dalamnya ataupun masyarakat di lingkup kerja mereka. Hubungan dengan penelitian ini menggunakan teori organisasi dimana pemerintah daerah dalam hal menjalankan tugas dan fungsinya dan dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebut harus tepat dan sesuai terutama dalam pembahasan penelitian ini adalah tentang ketepatan pengalokasian belanja modal. Teori organisasi ada beberapa macam antara lain: a. Teori Klasik Dalam teori ini organisasi digambarkan sebuah lembaga yang yang tersentralisasi dan tugas-tugasnya terspesialisasi serta memberikan petunjuk mekanistik struktural yang kaku tidak mengandung kreatifitas. Teori organisasi klasik berkembang dalam tiga aliran yang dibangun atas dasar sebuah anggapan dan dampak yang sama. Tiga aliran tersebut terdiri dari teori birokrasi, teori adminstrasi dan manajemen ilmiah. 13

14 b. Teori Neoklasik Teori neoklasik dikembangkan dari teori klasik. Teori tersebut menekankan adanya perbedaan individu dalam organisasi dan meningkatkan adanya pengaruh faktor sosial budaya terhadap organisasi. Secara sederhana, teori neoklasik merupakan teori atau aliran yang menjelaskan hubungan antar manusia. Teori neoklasik menjelaskan dalam hal pembagian kerja perlu adanya partisipasi, perluasan kerja dan manajemen button-up. c. Teori Modern Teori modern menyatakan bahwa semua unsur organisasi sebagai satu kesatuan yang saling bergantung dan tidak bisa dipisahkan. Organisasi merupakan suatu sistem yang terbuka. 2. Teori Desentralisasi Menurut Soenobo Wirjosoegito (2004), memberikan definisi sebagai berikut: Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu. Dengan demikian, sistem desentralisasi mengandung makna pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dengan menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang

15 dengan kewajiban masyarakat yang demokratis. Desentralisasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Desentralisasi teritorial adalah otonomi dan batas pengaturannya adalah daerah. Sedangkan Desentralisasi fungsional adalah otonomi dan batas pengaturannya adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya dalam hal pertahanan, kesehatan dan pendidikan. 3. Anggaran Daerah/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Menurut Mardiasmo (2002), anggaran adalah pernyataan mengenai estimasi suatu kinerja yang akan dicapai dalam periode waktu yang ditentukan dan dinyatakan dalam ukuran finansial. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut dengan APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugastugas desentralisasi. APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. APBD terdiri dari tiga struktur utama yaitu: a. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk kenaikan aktiva dan penurunan utang dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.

16 Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. b. Belanja daerah adalah pengeluaran dalam bentuk pengurangan ekuitas lancar yang merupakan kewajiban daerah di dalam satu tahun anggaran. c. Pembiayaan adalah semua transaksi keuangan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya penerimaan maupun pengeluaran dengan tujuan untuk menutup defisit anggaran atau memanfaatkan surplus anggaran. Anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional diguanakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Misalnya adalah belanja rutin yaitu pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi pemerintah. Sedangkan anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Pada dasarnya pemerintah tidak mempunyai uang yang dimiliki sendiri, sebab seluruhnya adalah milik publik. 4. Belanja Modal Menurut Abdul Halim (2008): Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Penggolongan belanja modal dibagi menjadi lima kategori utama yaitu belanja modal tanah,

17 belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan dan belanja modal fisik lainnya. a. Belanja modal tanah yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan, pembelian, pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. b. Belanja modal peralatan dan mesin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, dan peningkatan jumlah peralatan dan mesin, serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari satu tahun dan sampai dalam kondisi siap pakai. c. Belanja modal gedung dan bangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah jumlah gedung dan bangunan sampai dalam kondisi siap pakai. d. Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah jumlah jalan, irigasi dan jaringan sampai dalam kondisi siap pakai.

18 e. Belanja modal fisik lainnya yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan dan perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan. Termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah. Kriteria belanja modal terdiri dari: a. Pengeluara bersifat tetap, menambah aset, menambah masa umur, dan masih dalam kapasitas yang relatif tinggi. b. Pengeluaran tersebut melebihi batas minimum kapitalis atas aset tetap suatu pemerintahan. c. Niat dari pembelanjaan tersebut tidak untuk dibagikan. d. Suatu belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa manfaat dan kapasitas, perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual, pengeluaran tersebut melebihi minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah serta pengeluaran tersebut dilakukan sesudah perolehan aset tetap atau aset lainnya dengan syarat pengeluaran mengakibatkan masa manfaat, kapasitas, kualitas dan

19 volume aset yang dimiliki bertambah serta pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimum nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya. 5. Pendapatan Asli Daerah Menurut Abdul Halim (2004), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah. Adapun kelompok PAD dipisahkan menjadi tiga jenis pendapatan yaitu : a. Pajak daerah, merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah provinsi antara lain : pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan bakar bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota meliputi: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengelolahan bahan galian golongan C, pajak parkir. b. Retribusi daerah, merupakan pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau

20 badan. Retribusi digolongkan menjadi retribusi jasa umum, retribusi jasa khusus dan retribusi perijinan tertentu. c. Hasil pengelolan kekayaan yang dipisahkan, terdiri dari bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah daerah/negara dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, penerimaan jasa giro, penerimaan bunga, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah, komisi denda keterlambatan pekerjaan, dan lain-lain. 6. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom di dalam setiap tahunnya sebagai dana yang diguanakan untuk pembangunan. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen belanja dan komponen pendapatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sebagai pendanaan kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU digolongkan menjadi DAU untuk daerah provinsi dan DAU untuk daerah kabupaten/kota. Besarnya DAU diterapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang dterapkan dalam APBN. DAU ini merupakan seluruh alokasi umum daerah provinsi dan daerah

21 kabupaten/kota. Kenaikan DAU akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Jumlah DAU bagi semua daerah provinsi dan jumlah DAU bagi semua daerah kabupaten/kota masing-masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAU untuk suatu daerah provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah DAU untuk suatu daerah provinsi yang ditetapkan dalam APBN dikalikan dengan rasio bobot daerah provinsi yang bersangkutan, terhadap jumlah bobot seluruh provinsi. Porsi daerah provinsi ini merupakan persentase bobot daerah provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah provinsi di seluruh Indonesia. Dasar hukum yang melandasi DAU adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 7. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk dana perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU). Jumlah DAK yang telah ditetapkan di dalam setiap tahunnya, didasarkan oleh pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. DAK dapat dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa diduga/diperkirakan

22 secara umum. Kegiatan yang di luar DAK yaitu biaya persiapan proyek fisik, biaya administrasi, biaya perjalanan pegawai daerah, biaya penelitian serta biaya lain-lain umum yang sejenis. Tujuan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah: a. Menunjang adanya pembangunan sarana dan prasarana di daerah daerah tertinggal dan terpincil, pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan banjir/longsor, serta daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata. b. Peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi di daerah pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur yang lainnya. c. Mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah. d. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan. e. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. f. Mengalihkan secara bertahap tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen

23 Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan. g. Meningkatkan kualitas hidup, mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan pengurangan risiko bencana, serta meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana h. Meningkatkan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementrian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD. Perhitungan Dana Alokasi Khusus didasarkan pada tiga kriteria: a. Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah, kemudian kemampuan keuangan daerah juga dihitung berdasarkan indeks fiskal netto dan ditetapkan setiap tahun. KU=(PAD+DAU+DBH-DBH DR)-Belanja Gaji PNSD Daerah dengan KU dibawah rata-rata KU secara Nasional adalah daerah yang menjadi prioritas mendapatkan DAK. b. Kriteria khusus ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus (Papua & Papua Barat) serta karakteristik daerah. Karakteristik daerah meliputi: 1) Daerah Tertinggal; 2) Daerah perbatasan dengan negara lain; 3) Daerah rawan bencana;

24 4) Daerah Pesisir; 5) Daerah ketahanan pangan; 6) Daerah potensi pariwisata Kriteria ini berdasarkan pertimbangan dari berupa kondisi kerusakan infrastruktur masing-masing bidang DAK dan ditetapkan oleh kementerian teknis. Proses penetapan DAK dimulai dengan memperhitungkan kriteria umum kemampuan keuangan daerah atau yang lebih dikenal dengan Indeks Fiskal Netto (IFN), kemudian memperhitungkan kriteria khusus dengaan pertimbangan peraturan perundang-undangan. Karakteristik Daerah yang dituangkan dalam Indeks Fiskal Wilayah (IKW) dan selanjutanya dinilai dari kriteria teknis yang ditentukan oleh kementerian teknis. Setelah semuanya diformulasikan akan menjadi Indeks Teknis (IT). Indeks Fiskal Wilayah dan Teknis (IFWT) dengan formulasi = f(ifn.ikw.it). Kemudian akan ditentukan Bobot DAK dengan formulasi = (IFWT*IKK) kemudian akan dihitung Alokasikan DAK per Bidang (ADB) = ADB*Pagu per Bidang, setelah itu akan diakumulasi menjadi alokasi per daerah =ADB1+..(ADBn).

B. Hasil Penelitian Terdahulu No Nama Penulis / Tahun Tabel: 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Judul Hasil Sumber Pustaka Keterangan 1 Mentayani Rusmanto, 2013 2 Nuarisa, 2013 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal Pada Kota dan Kabupaten di Pulau Kalimantan Pengaruh PAD, DAU dan DAK Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal pada kota dan kabupaten di Pulau Kalimantan. Berdasarkan pengujian secara parsial diketahui bahwa Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal pada kota dan kabupaten di Pulau Kalimantan. Berdasarkan pengujian secara parsial diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal pada kota dan kabupaten di Pulau Kalimantan. Berdasarkan pengujian secara parsial diketahui bahwa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal pada kota dan kabupaten di Pulau Kalimantan. PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. DAK berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Jurnal Infestasi Vol.9 No.2 2013 Accounting Analysis Journal Vol. 2 No.1 (2013) Sangat Mendukung Sangat Mendukung 13

3 Setyowati dan Suparwati, 2012 4 Gunantara dan Dwirandra, 2014 5 Sholikhah dan Wahyudi, 2014 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD Terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum pada Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal Sebagai Variabel Permoderasi di Bali Analisi Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak berpangaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM). Dana Alokasi Umum (DAU) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM). Dana Alokasi Khusus (DAK) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM). Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan Belanja Modal (BM) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) PAD, DAU berpengaruh positif dan siginifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi secara parsial, sedangkan Belanja Modal berpengaruh negatif dan signifikan secara parsial. Hasil uji simultan menunjukkan PAD, DAU, dn belanja Modal berpengaruh secara simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, sedangkan massuknya Belanja Modal sebagai variabel pemoderasi tidak mampu memoderassi pengaruh DAU terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Secara parsial PAD, DBH, DAU, dan Luas Wilayah Daerah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal Prestasi Vol.9 No.1-Juni 2012 E-Journal Akuntansi Universitas Udayana 7.3 (2014): 529-546 Accounting Analysis Journal 3 (4) (2014) Sangat Mendukung Sangat Mendukung Sangat Mendukung 26

6 Sugiarthi dan Supadmi, 2014 7 Nobianto dan Hanafiah, 2015 8 Sharma, 2012 Pengaruh PAD, DAU dan SiLPA pada Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi sebagai Pemoderasi Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat Goverment Expenditure and Economic Growth in Nepal a Minute Analysis Pendapatan Asli Daerah berpenaruh positif dan signifikan pada belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Bali tahun anggaran 2007-2011. Dana Alokasi Umum berpangaruh positif dan signifikan pada belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Bali tahun anggaran 2007-2011. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh positif dan signifikan pada belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Bali anggaran 2007-2011. Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan pada belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Bali tahun anggaran 2007-2011. Pendapatan asli Daerah merupakan variabel yang paling dominan diantara variabel lainnya yang mempengaruhi belanja modal di kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun anggaran 2007-2011. PAD, DAU, DAK, DBH, dan Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah Tahun Sebelumnya secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Modal, sedangkan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Tahun Sebelumnya secara parsial tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Pertama, Pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan pengeluaran berulang dikelola dengan baik dengan cara bahwa itu akan meningkatkan kapasitas produksi bangsa dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kedua, pemerintah harus meningkatkan investasi pada energi, transportasi dan sektor komunikasi, karena E-Jurnal akuntansi Universitas Udayana 7.2 (2014): 477-495 Jurnal Ekonomi Vol.4 No.1 Januari-Juni 2015 Journal of Business Management and Accounts Vol. 1(4) pp. 37-40 October 2012 Sangat Mendukung Sangat Mendukung Referensi 27

9 Felix, 2012 Analysis Of The Effectiveness Of Capital Expenditure Budgeting In The Local Goverment System Of Ondo State, Nigeria. 10 Faridi, 2011 Contribution of Fiscal Deccentralization to Economic Growth: Evidence from Pakistan Sumber: Berbagai jurnal yang digunakan untuk mendukung riset ini akan mengurangi biaya melakukan bisnis serta meningkatkan profitabilitas perusahaan. Ketiga, pemerintah harus mendorong pendidikan dan sektor kesehatan melalui peningkatan pendanaan, serta memastikan bahwa sumber daya yang dikelola dengan baik dan digunakan untuk pengembangan pendidikan dan jasa kesehatan. Terakhir pemerintah harus meningkatkan pendanaan anti korupsi atau lembaga anti korupsi seperti Economic and Financial Crime Commission, (EFCC) Commission for investigation of abuse of authority (CIAA), dan Independent Corrupt Practices Commission (ICPC) audit dan instansi akuntansi untuk menangkap dan menghukum mereka yang mengalihkan dan menggelapkan dana publik. Hasil analisis empiris menunjukkan bahwa ada efektivitas alokasi anggaran modal dan pengeluaran di daerah ini. Sembilan pemerintah daerah yang menjadi sampel untuk penelitian ini. Semua sembilan pemerintah daerah dapat dikatakan menunjukkan efektivitass alokasi anggaran modal dan pengeluaran kecuali untuk beberapa proyek. Berdasarkan hasil studi empiris menunjukkan bahwa pemerintah tingkat provinsi dan daerah harus diberikan otonomi yang lebih dan otoritas dalam masalah fiskal. Journal of Accounting and Taxation Vol. 4 (1), pp: 1-6 Pakistan Journal of Social Sciences (PJSS) Vol.31, No.1 (June 2011), pp. 1-13 Referensi Referensi 28

C. Hipotesis 1. Pengaruh PAD terhadap Pengalokasian Belanja Modal Penerimaan daerah akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah. Dalam hal ini pengeluaran berbanding lurus dengan penerimaan. Salah satu yang menjadi tujuan utama dalam desentralisasi fiskal adalah menciptakan kemandirian suatu daerah. Pemerintah daerah harus menggali sumber-sumber keuangan lokal secara efektif dan optimal, terutama melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Mardiasmo (2002): Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah. Semakin tinggi PAD, maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin tinggi yang akan mempengaruhi tingkat kemandirian daerah. Sehingga jika PAD meningkat, maka kemampuan daerah untuk melakukan suatu pengeluaran belanja modal juga akan mengalami peningkatan. Nobianto dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa PAD, DAU, DAK, DBH, dan tingkat efektifitas keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal, sedangkan tingkat kemandirian keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Sugiarthi dan Supadmi (2014) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan pada belanja modal di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun anggaran 2007-2011. Nuarisa 13

(2013) menyatakan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal, DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan DAK berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Sharma (2012) menyatakan bahwa pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan pengeluaran berulang dikelola dengan baik dengan cara bahwa itu akan meningkatkan kapasitas produksi bangsa dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Faridi (2011) menyatakan bahwa hasil studi empiris menunjukkan bahwa pemerintah tingkat provinsi dan daerah harus diberikan otonomi yang lebih dan otoritas dalam masalah fiskal. Berdasarkan uraian tersebut dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut: H1: Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif signifikan terhadap pengalokasian belanja modal 2. Pengaruh DAU terhadap Pengalokasian Belanja Modal Desentralisasi merupakan dasar pelaksanaan di dalam pembiayaan pemerintah daerah. Desentralisasi dilakukan dengan cara pemberian dana perimbangan untuk pemerintah daerah. DAU merupakan transfer sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom di dalam setiap tahunnya sebagai dana yang digunakan untuk pembangunan. Dalam jangka panjang, dana transfer/perimbangan akan mempengaruhi belanja modal dan berkurangnya jumlah dana transfer/perimbangan bisa mengakibatkan menurunnya pengeluaran belanja modal. Hal ini berarti bahwa belanja daerah termasuk di dalamnya belanja modal dipengaruhi 14

oleh DAU. Nobianto dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa PAD, DAU, DAK, DBH, dan tingkat efektifitas keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal, sedangkan tingkat kemandirian keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Nuarisa (2013) menyatakan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal, DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan DAK berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Sharma (2012) menyatakan bahwa pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan pengeluaran berulang dikelola dengan baik dengan cara bahwa itu akan meningkatkan kapasitas produksi bangsa dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Faridi (2011) menyatakan bahwa hasil studi empiris menunjukkan bahwa pemerintah tingkat provinsi dan daerah harus diberikan otonomi yang lebih dan otoritas dalam masalah fiskal. Berdasarkan uraian tersebut dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut: H2: Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif signifikan terhadap pengalokasian belanja modal 3. Pengaruh DAK terhadap Pengalokasian Belanja Moda Perwujudan dari otonomi daerah adalah penyerahan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dapat diketahui dengan adanya dana perimbangan. Salah satu dana perimbangan adalah DAK, yaitu alokasi dari APBN kepada provinsi, kabupaten/kota tertentu 15

dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dalam jangka panjang, dana transfer/perimbangan akan mempengaruhi belanja modal dan berkurangnya jumlah dana transfer/perimbangan bisa memgakibatkan menurunnya pengeluaran belanja modal. Hal ini berarti bahwa belanja daerah termasuk di dalamnya belanja modal dipengaruhi oleh DAK. Nobianto dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa PAD, DAU, DAK, DBH, dan tingkat efektifitas keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal, sedangkan tingkat kemandirian keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Nuarisa (2013) menyatakan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan DAK berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Sharma (2012) menyatakan bahwa Pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan pengeluaran berulang dikelola dengan baik dengan cara bahwa itu akan meningkatkan kapasitas produksi bangsa dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Faridi (2011) menyatakan bahwa hasil studi empiris menunjukkan bahwa pemerintah tingkat provinsi dan daerah harus diberikan otonomi yang lebih dan otoritas dalam masalah fiskal. 16

Berdasarkan uraian tersebut dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut: H3: Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif signifikan terhadap pengalokasian belanja modal 4. Pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap Pengalokasian Belanja Modal Menurut Sidik (2002), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara yaitu dengan transfer DAU dan DAK. Nobianto dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa PAD, DAU, DAK, DBH, dan tingkat efektifitas keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal, sedangkan tingkat kemandirian keuangan daerah tahun sebelumnya secara parsial tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Nuarisa (2013) menyatakan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal, DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dan DAK berpengaruh terhadap 17

pengalokasian anggaran belanja modal. Sharma (2012) menyatakan bahwa pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan pengeluaran berulang dikelola dengan baik dengan cara bahwa itu akan meningkatkan kapasitas produksi bangsa dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Faridi (2011) menyatakan bahwa hasil studi empiris menunjukkan bahwa pemerintah tingkat provinsi dan daerah harus diberikan otonomi yang lebih dan otoritas dalam masalah fiskal. Berdasarkan uraian tersebut dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut: H4: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif signifikan terhadap pengalokasian belanja modal D. Model Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yakni untuk mengetahui pengaruh antara variabel X terhadap variabel Y. Dengan metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Melalui metode ini dapat dilihat masalah yang akan diteliti pada masing-masing variabel. Dalam penelitian yang mempelajari suatu pengaruh, terdapat variabel penyebab (X) atau variabel bebas, variabel akibat (Y) atau variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebas yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Sedangakan variabel terikatnya yaitu belanja modal. Sehingga, dapat digambarkan model penelitian pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap pengalokasian belanja modal adalah sebagai berikut: 18

PAD (X1) DAU (X2) DAK (X3) + + + BELANJA MODAL (Y) + Gambar: 2.1 Kerangka Pemikiran 19