IUU FISHING DI WILAYAH KEDAULATAN DAN YURISDIKSI INDONESIA SERTA DI LAUT BEBAS. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal

dokumen-dokumen yang mirip
IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

SISTEMATIKA PEMAPARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D.

Perkembangan Hukum Laut Internasional

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI]

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.


5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun

PENEGAKAN HUKUM LAUT TERHADAP ILLEGAL FISHING 1. Oleh. Tanty S Reinhart Thamrin 2

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

BAB III JALUR ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) dapat segera membuka jalur ALKI Timur Barat, atau jalur ALKI IV.

Penenggelaman Kapal Asing dalam Upaya Perlindungan Sumber Daya Laut di Indonesia: Perspektif Hukum Indonesia dan Hukum Internasional 1

MASALAH PERBATASAN NKRI

PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berada diantara 2 (dua) samudera yaitu samudera pasifik dan samudera hindia dan

Transkripsi:

Jakarta, 6 Juli 2017 IUU FISHING DI WILAYAH KEDAULATAN DAN YURISDIKSI INDONESIA SERTA DI LAUT BEBAS Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. IUU Fishing bisa terjadi di wilayah laut kedaulatan Indonesia maupun di wilayah yurisdiksinya, di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga, maupun di laut bebas (high seas), terutama yang tercakup dalam RFMOs. Wilayah kedaulatan adalah: a. Internal waters/perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut wilayah (territorial sea). Ini masalah dalam negeri, dan tidak ada persoalan atau pengaturannya dengan negara tetangga. Tetapi Indonesia belum menetapkan batas-batas perairan pedalamannya. b. Perairan kepulauan (archipelagic waters): telah dikonsultasikan dan telah ditetapkan batasnya dan telah didaftarkan di PBB, dan oleh PBB telah diedarkan ke seluruh dunia. Tidak ada tantangan dari negara manapun, kecuali akhir-akhir ini dari Timor Leste di Selat Ombai dan Laut Sawu c. Perbatasan antara kabupaten/provinsi di laut? Tidak ada batas yang jelas, walaupun dalam Undang-Undang dikatakan provinsi punya kewenangan dalam batas 12 mil dari pantai dan kabupaten punya wewenang sepertiganya atau 4 mil. Kecamatan tidak ada/tidak jelas ketentuannya dan kewenangannya di laut, walaupun perbatasan di darat terletak pada batas kecamatan. 2. Batas laut wilayah/territorial sea: sudah ada 3 (tiga) agreements/treaties antara Indonesia dan Singapura di sebelah barat, tengah dan timur Selat Singapura, tetapi batas tersebut belum menyambung dengan perbatasan laut di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia dan perbatasan laut disebelah timur Selat Singapura. 3. Telah ada perjanjian perbatasan laut wilayah di Selat Malaka sebelah selatan antara Indonesia dan Malaysia. 4. Belum ada perbatasan laut wilayah antara Indonesia dan Malaysia di Laut China Selatan (Kalimantan Barat dan Serawak) maupun di Laut Sulawesi (antara Kalimantan Utara dan Sabah). 1

5. Perbatasan laut wilayah Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian selatan belum menyambung dengan perbatasan Indonesia dan Singapura di Selat Singapura. 6. Juga belum jelas apakah ada perbatasan laut wilayah Indonesia dan Malaysia di sebelah timur Selat Singapura, karena putusan Mahkamah Internasional tentang Pedra Branca di Selat Singapura bagian timur tidak terlalu jelas mengenai kedaulatan atas south ledge yang berhadapan dengan pulau Bintan. Perbatasan zona tambahan 7. Menurut hukum laut, Indonesia juga berhak melaksanakan kewenangankewenangan tertentu di zona tambahan sejauh 12 mil lagi di luar laut teritorial yang 12 mil dari perairan kepulauan. Tapi sampai sekarang, Indonesia belum punya Undang-Undang tentang zona tambahan dan karena itu, belum ada agreement atau pengaturan tentang perbatasan zona tambahan dengan negara tetangga. 8. Dalam zona tambahan, negara pantai berhak melaksanakan kewenangan/pengontrolan keuangan/bea cukai, imigrasi, karantina, dan pengawasan penegakan hukum di wilayahnya, yang tentunya termasuk pengawasan atas penegakkan hukum di bidang perikanan. Perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 9. Sudah ada kesepakatan batas ZEE/pengontrolan kegiatan perikanan dengan Australia sejak 1997. Tapi agreement tersebut belum diratifikasi oleh kedua negara. 10. Juga baru saja ada agreement tentang batas ZEE antara Indonesia dan Filipina di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Agreement ini kini dalam proses ratifikasi oleh RI. 11. Pembahasan masalah perbatasan ZEE dengan tetangga Indonesia lainnya tidak berjalan lancar karena mereka merasa batas ZEE dan landas kontinen sebaiknya sama, sedangkan Indonesia berpendapat batasnya bisa berbeda karena kedua konsep tersebut berbeda (ZEE untuk airnya, sedangkan landas kontinen untuk dasar lautnya). Tanpa adanya batas ZEE yang jelas antara Indonesia dan negara tetangganya, dapat menyulitkan penegakkan hukum dan pencegahan IUUF oleh Indonesia dan tetangganya yang terkait. 2

12. Dalam beberapa hal, perbatasan laut wilayah dan ZEE juga bisa terpengaruh oleh adanya ketentuan tentang traditional fishing right agreements antara negara tetangga. Sampai sekarang Indonesia hanya mempunyai 2 traditional fishing right dengan negara tetangga, yaitu dengan Malaysia di sekitar Pulau Anambas bagi nelayan-nelayan tradisional Malaysia dan di Kepulauan Ashmore dan Carter (MoU Box) di utara Australia bagi nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Landas Kontinen/Continental Shelf 13. Sudah ada perjanjian tentang batas landas kontinen antara Indonesia dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam, PNG, Australia. 14. Perlu dicatat bahwa pengaturan sedentary fisheries adalah termasuk rezim landas kontinen. Karena itu ketidak jelasan batas landas kontinen di luar ZEE juga dapat menimbulkan persoalan dalam penanggulangan IUUF/sedentary species di continental margin di luar ZEE. 15. Indonesia belum banyak memikirkan landas kontinennya di luar 200 mil ZEE (continental margin), khususnya di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dan karena itu juga batas continental margin-nya di luar 200 mil ZEE juga belum jelas. 16. Di laut bebas di luar ZEE juga dapat terjadi IUUF terutama di laut bebas yang berdekatan dengan ZEE yang telah diatur dalam RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations), seperti di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (WCPFC dan IOTC). Illegal Fishing 17. Legal/illegal fishing activities banyak tergantung kepada berbagai faktor, antara lain: 1) asal nelayannya, 2) kawasan penangkapan ikan, 3) jenis ikan tangkapan, 4) jenis alat tangkap, 5) cara penangkapan, 6) apakah nelayannya adalah nelayan kecil/nelayan tradisional atau bukan, 7) transhipment di laut, 3

8) pengaturan sustainable perikanan di laut, 9) izin penangkapan ikan dari pemerintah, 10) izin kapal pengangkut ikan, dll. 18. Aturan yang dipergunakan dalam konteks illegal fishing, baik nasional, regional, maupun internasional. Menurut aturan nasional Indonesia: a) setiap kapal penangkapan ikan harus punya izin kapal, dan b) setiap kapal tersebut harus punya izin penangkapan ikan, terutama menyangkut daerahnya yang jelas, tangkapan/ikan yang diizinkan, ukuran kapal yang jelas, ukuran jaring yang jelas, pemilik dan nasionalitas perusahaan yang punya kapal dan yang mendapat izin penangkapan, petugas yang melakukan penangkapan yang jelas, dan wewenangnya yang sah. 19. Dalam hal ini, yang sering menjadi persoalan adalah kemampuan petugas, terutama kelengkapan alat-alat pengontrol dan pengawasan kapal terutama kapal-kapal ilegal yang modern. 20. Undang-Undang Indonesia yang terkait dengan soal illegal fishing, antara lain adalah UU No. 45/2009 yang merevisi UU No. 31/2004 yang sebelumnya juga merevisi UU No. 5/1985 tentang Perikanan. 21. Di samping itu, juga ada UU No. 5/1983 tentang ZEE Indonesia dan UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah di perairan. 22. Sebagai ilustrasi, IUU Fishing terkait juga dengan kategori tangkapan yang dilakukan oleh nelayan, yang seringkali tidak memperhatikan sustainabilitas, seperti menangkap juvenile, ikan yang bertelur, ikan yang dilindungi, serta kategori alat tangkap, misalnya menggunakan pukat harimau, trawling, mempergunakan bom/sianida, ataupun membuang jala yang tidak dipakai lagi yang dapat merusak lingkungan, terumbu karang, dan sustainabilitas perikanan, serta kapal ikan yang melakukan archipelagic sealanes passage tanpa menyimpan alat tangkap ikannya di dalam palkah. Aturan internasional 23. Agreement FAO tentang Compliance with International Conservations by fishing vessels on the high seas, 1963. Indonesia sebagai anggota FAO juga 4

harus mengikuti Agreement ini, dan telah menjadi anggotanya beserta puluhan negara lainnya. 24. International code of conduct for responsible fisheries dari FAO, Oktober 1995, yang mengandung 19 prinsip pokok perikanan yang harus ditaati, dan Pasal 10 WCPFC 2000 yang menetapkan berbagai kewenangan WCPFC dalam mengatur masalah perikanan dalam rangka mencegah IUUF. Indonesia telah meratifikasi WCPFC 2000 ini dengan Perpres No. 61/2013 tanggal 2 September 2013. 25. Agreement FAO on Port State Measures to prevent, deter and eliminate IUU Fishing, 2009, dimana Indonesia telah menjadi salah satu dari puluhan negara pesertanya 26. Regional Programme of Action (RPOA) tentang IUU Fishing bersama dengan negara-negara kawasan lainnya di Asia Tenggara, termasuk Australia, Brunei, Kamboja, Malaysia, PNG, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam. 27. UNFSA (UN Fish Stock Agreement, 1995) yang merupakan implementasi dari Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai pengelolaan jenis perikanan straddling stocks antara ZEE dengan laut bebas atau ZEE tetangganya, dan highly migratory species yang bermigrasi ke seluruh samudera luas, seperti tuna. Indonesia juga sudah meratifikasi UN Fish Stock Agreement ini. 28. Convention on the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), 1993, yang berpusat di Canberra. Indonesia sangat berkepentingan dengan konservasi SBT ini dan karena itu, telah meratifikasi CCSBT tersebut. 29. WCPFC ( West and Central Pacific Fisheries Convention, Honolulu, 2000) sebagai implementasi dari UN Fish Stock Agreement 1995, setelah melalui proses yang panjang, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ini (Perpres No. 61/2013 tanggal 2 September 2013), yang antara lain juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan illegal fishing, termasuk masalah pengaturan transhipment di laut (dan yang disarankan dilakukan di pelabuhan, Pasal 29 WCPFC) dan lain-lain. WCPFC berpusat di Ponape (FSM). Indonesia belum secara jelas menetapkan transhipment port nya untuk kawasan WCPFC. 5

30. Indonesia juga sudah menjadi pihak dari Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), 1993 yang merupakan suatu konvensi tentang pengelolaan perikanan di Samudera Hindia di bawah naungan FAO dan bermarkas di Seychelles. 31. Dalam pada itu, Indonesia juga ikut dalam pengelolaan perikanan di kawasan Asia Tenggara melalui SEAFDC ( South East Asian Fisheries Development Cooperation ) yang berkantor pusat di Bangkok, walaupun SEAFDC lebih banyak bertugas dalam pengembangan kemampuan perikanan daripada pencegahan IUU Fishing. Aturan Indonesia 32. Salah satu masalah dalam pencegahan IUU Fishing bagi Indonesia adalah mengembangkan koordinasi yang mantap/efektif antara penegak hukum/instansi di laut seperti PNS KKP, Bakamla, TNI AL, Bea Cukai, Imigrasi, Polair, dan pejabat-pejabat daerah yang terkait. 33. UU No. 45/2009 tentang Perikanan antara lain menyebutkan bahwa setiap kapal perikanan harus mempunyai SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Di laut, halhal ini memerlukan verifikasi oleh para penegak hukum Indonesia untuk mencegah IUUF. 34. UU tersebut antara lain menyebut 21 poin yang bisa dianggap sebagai illegal fishing, disertai ancaman berbagai hukuman kurungan dan denda antara lain: - Melebihi jumlah tangkapan yang dibolehkan; - Menyalahi ukuran alat tangkap yang dibolehkan; - Menyalahi musim penangkapan ikan; - Melanggar ketentuan tentang pencemaran wilayah perikanan; - Menyalahi ukuran dan berat minimum ikan yang boleh ditangkap; - Menangkap ikan yang dilindungi ; - Kapal ikan asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesia yang tidak memiliki SIPI; - Kapal ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di ZEE negara lain tanpa mendapat persetujuan/izin dari pemerintah Indonesia; - Memiliki/mengoperasikan kapal pengangkut ikan yang tidak punya SIKPI; 6

- Kapal berbendera Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia, dan kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Indonesia wajib mempekerjakan paling tidak 70% awak kapal berkewarganegaraan Indonesia; - Kapal Indonesia yang beroperasi di laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia; - Ikan tangkapan harus didaratkan di pelabuhan perikanan untuk mencegah transhipment di laut (Ketentuan ini kemudian menjadi persoalan di Indonesia yang kelihatannya juga pernah membolehkan transhipment di laut, katanya untuk menghemat biaya); - Kapal ikan asing yang lewat di ALKI dilarang menangkap ikan sewaktu lewat dan harus menyimpan alat alat tangkapnya di dalam palkah - Penuntut umum di bidang perikanan harus memiliki syarat dan pengetahuan di bidang perikanan; 35. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sudah cukup banyak ketentuan nasional, regional dan internasional yang mengatur perikanan, termasuk pencegahan IUU Fishing di laut, termasuk di daerah perbatasan. Yang sering menjadi masalah adalah pemahaman masyarakat tentang masalah hukumnya, terutama di daerah perbatasan, serta kemampuan peralatan alat-alat penegak hukum dalam melaksanakan berbagai ketentuan yang menyangkut IUU Fishing tersebut. 36. Pasal 76A Undang Undang No. 45/2009 antara lain menyatakan bahwa: Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri. 37. Sedangkan Pasal 76B Undang Undang tersebut menyatakan bahwa: (1) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri. (2) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. 7

38. Dan Pasal 76C ayat (1) menyatakan: Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk negara. Usaha-usaha Indonesia 39. Indonesia juga sudah berusaha untuk membuat kesepakatan dengan negara-negara di sekitarnya untuk mencegah IUU Fishing, misalnya dalam Deklarasi Bersama Presiden RI dan Presiden RRC di Jakarta tentang Strategic Partnership tanggal 25 April 2005 yang dalam paragraf 19 menyatakan bahwa kedua negara akan memperkuat kerja sama Against Illegal Logging and Illegal Fishing. 40. Kemudian dalam MOU kerjasama perikanan antara Menteri Kelautan dan Perikanan RI dengan Menteri Pertanian RRC yang di tanda tangani di Jakarta tanggal 2 Oktober 2013, dinyatakan dalam Pasal II (1)c bahwa para pihak wajib mendukung tindakan tindakan Negara Pelabuhan untuk mencegah, menghalangi, dan menghapuskan perikanan illegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur. 41. Akhir-akhir ini Indonesia juga berusaha menggalang kerjasama regional di Asia dengan mengadakan pertemuan tentang pembentukan Regional Convention Against IUU Fishing di Bali bulai Mei 2016 yang lalu, yang antara lain dihadiri oleh Cina dan beberapa negara anggota ASEAN serta organisasi internasional terkait, seperti FAO dan lain-lain. 42. Belakangan ini tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah sikap RRC terhadap negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan, termasuk Indonesia, dalam mengatasi IUU Fishing di Laut Cina Selatan. Berdasarkan apa yang disebutnya sebagai sejarah, katanya menunjukkan bahwa Cina telah lama mempunyai sebagian besar dari Laut Cina Selatan tersebut. Pada tahun 1947, Pemerintah Cina waktu itu (Chiang Kai Shek) yang menunjukkan 9 garis putus-putus sebagai kawasan dalam kewenangan Cina di Laut Cina Selatan. Tidak jelas koordinat dari garis-garis putus tersebut karena pada umumnya garis-garis tersebut bengkok-bengkok dan tidak jauh dari pantai negara-negara Asia Tenggara, dan juga tidak jelas bagaimana caranya menyambungkan garis-garis yang bengkok-bengkok tersebut. Apalagi juga tidak jelas apakah yang di-klaim Cina yang terlingkungi oleh garis-garis yang tidak 8

jelas itu, apakah klaim teritorial/sovereignty atau semacam garis-garis yang menunjukkan kepentingan Cina di Laut Cina Selatan. 43. Pemerintah Cina Komunis kemudian mengalahkan Chiang Kai Shek yang pada tahun 1949 memindahkan pusat pemerintahannya ke Taiwan, tetapi pemerintah komunis Cina mewarisi klaim Chiang Kai Shek tersebut, dan garis tersebut kemudian telah berubah menjadi 11, 10, dan kemudian sampai sekarang 9 garis putus-putus. 44. Cina kemudian mengambil Pulau Paracel dari Viet Nam selatan pada tahun 1974. Waktu itu Cina sangat membantu perjuangan Viet Nam utara menentang AS yang mendukung pemerintahan Viet Nam selatan. Mungkin karena itu, Viet Nam yang juga mengklaim kepulauan Paracel sebagai wilayahnya tidak banyak terdengar mengecam sikap Cina tersebut, yang notabene sama-sama negara komunis. Nyatanya, sampai sekarang Viet Nam tetap mengklaim kepulauan Paracel yang telah diduduki oleh Cina tersebut. 45. Kemudian setelah Konvensi Hukum Laut 1982, Cina juga menetapkan garis-garis pangkalnya untuk mengukur lebar laut wilayah, economic zone, dan landas kontinennya ke samudera. Dalam konteks ini, Cina juga memperlakukan prinsipprinsip hukum laut dalam menarik garis-garis pangkal negara kepulauan seperti Indonesia dan Filipina. Cina kelihatan menarik pula garis-garis pangkal lurus di sekitar kepulauan Paracel dan sepanjang pantainya di benua Asia tanpa memperhatikan kriteria yang ada dalam hukum laut internasional. Beberapa negara kemudian menentang sikap Cina ini karena kepulauan Paracel bukan negara kepulauan. Cina juga kemudian membayangkan bahwa ia akan memakai cara-cara penarikan garis pangkal di sekitar kepulauan Paracel tersebut untuk kepulauan Spratly di sebelah selatan. 46. Cina kemudian mulai melakukan kegiatan-kegiatan dan penelitian kekayaan alam di Laut Cina Selatan, terutama migas dan mineral lainnya serta kekayaan sumbersumber perikanan. Dalam konteks ini pada tahun 1988 Cina merampas Fiery Cross di kepulauan Spratly yang diduduki oleh Viet Nam, hal mana menimbulkan pertempuran-pertempuran laut yang menyebabkan beberapa kapal Viet Nam tenggelam dan puluhan anggota angkatan laut Viet Nam meninggal. 9

47. Dalam konteks ini barangkali perlu pula dicatat bahwa dalam persoalan Kamboja pada waktu itu Viet Nam mendukung Hun Sen menjadi penguasa di Kamboja yang menentang pemerintahan Sihanouk. Cina marah kepada Viet Nam, malah pernah menyerbu Viet Nam dari utara untuk mengajar Viet Nam yang masih menentang kebijakan Cina dalam beberapa hal. 48. Memperhatikan situasi perkembangan di Laut Cina Selatan ini, Indonesia kemudian mengambil inisiatif pada tahun 1989 untuk berusaha mencari sikap bersama dengan negara-negara ASEAN pada waktu itu, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina yang kemudian sepakat untuk mengadakan pertemuan-pertemuan informal yang dimulai di Bali pada tahun 1990 untuk mencari jalan bagaimana menenangkan situasi di Laut Cina Selatan. Usaha Indonesia tersebut secara informal masih berjalan sampai sekarang. Di dalam diskusi-diskusi terkait masalah teritorial dan yurisdiksional (kedaulatan dan kewenangan) selalu terjadi pertengkaran antara pihak-pihak yang berbeda pandangan mengenai Laut Cina Selatan, terutama karena adanya garis-garis putus Cina tersebut dan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tentang batas-batas maritim seperti perairan pedalaman, perairan kepulauan, perairan teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen dan laut bebas, dan terbentur kepada sikap Cina (dan Taiwan) yang selalu mengemukakan 9 garis putus-putus tersebut. Cina kemudian mulai menduduki batu-batu karang dan pulau-pulau yang dituntut termasuk dalam batas zona ekonomi di sepanjang pantai negara-negara lainnya di Asia Tenggara, khususnya Viet Nam, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filipina. 49. Atas persoalan-persoalan ini Indonesia kemudian pada tahun 1994 mengirim nota resmi kepada Cina yang secara diplomatik/resmi mempertanyakan apa sesungguhnya yang diklaim Cina di Laut Cina Selatan tersebut dan apa dasar-dasar hukumnya. Setahu saya, Cina tidak pernah membalas nota resmi tersebut, tetapi secara lisan hanya menyatakan bahwa mereka tidak punya persoalan dengan Indonesia dan bahwa kepulauan Natuna adalah bagian dari Indonesia. Indonesia kemudian menetapkan garis-garis batas landas kontinen dengan Malaysia dan dengan Viet Nam di Laut Cina Selatan yang tidak diprotes oleh Cina, walaupun mencakup garis klaim putus-putus Cina tahun 1947. Indonesia juga kemudian menetapkan Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Undang- 10

undang Perikanan yang berlaku di perairan-perairannya. Setahu saya, Cina tidak memprotes kedua undang-undang ini. 50. Viet Nam dan Malaysia kemudian melanjutkan garis batas landas kontinen dengan Indonesia tersebut ke utara. Cina mengajukan protes atas perjanjian Viet Nam Malaysia ini dalam notanya ke PBB dan melampirkan kembali peta Laut Cina Selatan yang dibuatnya tahun 1947 tersebut. Di dalam notanya ke PBB antara lain dinyatakannya bahwa secara historis Cina mempunyai kedaulatan atas features yang dikelilingi oleh 9 garis putus-putus tersebut dan atas surrounding waters/relevant waters yang mengelilingi features tersebut. Tidak jelas definisi dari historical context, surrounding waters ataupun relevant waters maupun features yang dimaksud. Istilah-istilah yang dipakai ini tidak terdapat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sekali lagi Indonesia dalam tahun 2010 mempertanyakan lagi kepada Cina berbagai persoalan di Laut Cina Selatan yang juga tidak dijawab oleh Cina. Dalam pada itu, Filipina pada tahun 2013 malah mengajukan/mempertanyakan/ mempersoalkan masalah ini ke Mahkamah Arbitrase International di Den Haag, tetapi Cina menentangnya dan tidak mau ikut di dalam proses arbitrase tersebut. Akhirnya, Mahkamah Arbitrase tersebut dalam keputusannya lebih banyak membenarkan kebijakan Filipina, tetapi Cina tetap menolak keputusan Mahkamah Arbitrase tersebut. 51. Akhirnya, beberapa pertanyaan yang muncul dalam pencegahan IUUF ini adalah: Ketentuan Pasal 73 UNCLOS yang menyatakan bahwa: The coastal State may, in the exercise of its sovereign right to explore, exploit, conserve and manage the living resources in the exclusive economic zone, take such measures, including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings, as may be necessary to ensure compliance with the laws and regulations adopted by it in conformity with this Convention. Pasal ini berkaitan dengan Bab UNCLOS tentang ZEE, dan bukan yang berkaitan dengan pelanggaran peraturan hukum di wilayah kedaulatan suatu negara. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa: a. Selama ini, sepanjang pengetahuan saya, tidak ada tawaran dari pemilik kapal yang ditangkap untuk menyediakan reasonable bonds or other security yang disepakati dengan Indonesia untuk melepaskan kapal-kapal yang ditangkap 11

tersebut (Pasal 73 ayat (2)) tanpa mengurangi kewenangan negara pantai untuk membawa kapal-kapal/pemilik kapal tersebut ke pengadilan di negara pantai. b. Juga tidak pernah terdengar bahwa penegak hukum Indonesia melakukan penindasan secara fisik (corporal punishment) ataupun penganiayaan terhadap awak-awak kapal yang ditangkap oleh Indonesia karena melakukan IUUF di ZEE Indonesia. Mereka malah biasanya langsung dipulangkan. Yang ditahan hanya kapalnya untuk dijadikan jaminan dalam perkaranya di pengadilan dan kemudian diambil tindakan-tindakan penegakkan hukum. c. Saya merasa bahwa setiap ada penangkapan kapal ikan asing yang melakukan IUUF di ZEE Indonesia, negara benderanya segera diberitahu oleh Indonesia melalui jalur komunikasi yang normal, baik melalui perwakilannya di Jakarta ataupun melalui perwakilan pemerintahnya. 52. Pasal 102 UU Perikanan Indonesia menyatakan bahwa ketentuan tentang pidana penjara dalam UU ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (yaitu ZEE Indonesia), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Dengan demikian maka ketentuan ini hanya berlaku terhadap pelanggaran aturan perikanan di ZEE, bukan terhadap pelanggaran aturan perikanan yang terjadi di perairan kedaulatan Indonesia, yaitu di perairan Kepulauan/Nusantara dan laut wilayah Indonesia. Seperti diketahui, IUUF juga sering terjadi di perairan kedaulatan Indonesia. 53. Tentang penindakan atas pelanggaran hukum di ZEE suatu negara oleh kapal penangkap ikan asing, pada mulanya negara yang banyak mempunyai kapal ikan yang beroperasi di perairan yang kemudian menjadi ZEE negara lain, terutama AS dan Jepang, menghendaki agar negara pantai yang melakukan penangkapan atas kapal asing yang melakukan pelanggaran di ZEE nya, segera menghubungi negara bendera dan meminta negara bendera yang melakukan pengadilan atas pelanggaran tersebut dan kemudian menyampaikan/ memberitahukan hasil penanganan/pengadilan mereka atas kapal-kapal tersebut ke negara-negara pantai yang memiliki ZEE yang dilanggar. Sikap negara-negara ini mendapat tantangan dari negara-negara yang memiliki ZEE yang 12

menjadi ladang penangkapan ikan negara-negara lain, khususnya Australia, New Zealand, dan negara-negara berkembang lainnya yang tidak menyukai usaha/usul AS dan Jepang tersebut dan menghendaki agar yang berwenang mengadili masalah tersebut adalah negara yang memiliki ZEE yang dilanggar. 54. Larangan penjatuhan hukuman imprisonment dan corporal punishment terhadap awak kapal sering dihormati di berbagai negara, tetapi pemusnahan kapal yang melanggar juga sering terjadi di berbagai negara. Seperti diketahui, Australia misalnya, seringkali menangkap kapal-kapal ikan Indonesia yang melakukan illegal fishing di perairannya, baik di perairan kedaulatan maupun perairan kewenangannya, dan Australia sering menenggelamkan kapal-kapal tersebut terutama di dekat Darwin dan memulangkan awak-awak kapalnya yang terutama berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Timur serta dari Sulawesi Selatan dan Tenggara. Justru karena itu, maka Indonesia dan Australia kemudian merundingkan masalah ini dan sepakat dalam sesuatu kesepakatan yang menyangkut MoU Box Area, yaitu di tempat-tempat di mana nelayan-nelayan Indonesia secara tradisional telah lama melakukan penangkapan ikan-ikan tertentu. Australia malah kemudian memfasilitasi nelayan-nelayan tradisional tersebut dengan membantu mengembangkan persediaan air tawar bagi mereka jika mereka kemudian mendarat di pulau-pulau dalam MoU Box Area tersebut, dengan ketentuan bahwa mereka tidak boleh merusak atau melanggar UU lingkungan Australia yang berlaku di kawasan tersebut. Dalam kesepakatan tersebut, pengertian traditional fishing rights mencakup beberapa point, misalnya: a. Nelayannya haruslah nelayan tradisional dari daerah-daerah tertentu, alat tangkapnya juga harus menggunakan kapal-kapal/alat-alat tangkap tradisional, daerah yang mereka kunjungi haruslah daerah yang sama/tradisional, serta hasil tangkapan yang mereka lakukan haruslah tangkapan-tangkapan yang sudah tradisional (bukan jenis tangkapan baru, seperti yang akhir-akhir ini banyak dilakukan, misalnya dengan menangkap ikan hiu untuk mengambil siripnya, yang tidak biasa mereka lakukan sebelumnya. b. Di samping ada kesepakatan traditional fishing rights antara Indonesia dan Australia, juga sudah ada kesepakatan traditional fishing rights tersebut antara Indonesia dan nelayan-nelayan Malaysia di kawasan tertentu di sekitar 13

Kepulauan Anambas, dengan catatan bahwa nelayan tradisional Malaysia tidak diperkenankan memasuki kawasan 12 mil dari pantai pulau-pulau Indonesia di daerah tersebut, sedangkan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di MoU Box di utara Australia diperbolehkan sampai masuk ke darat. 55. Mengenai kemungkinan penerapan pidana kurungan pengganti denda terhadap kapal-kapal ikan asing yang melakukan illegal fishing, hal ini kiranya dapat dilakukan terhadap kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di perairan kedaulatan Indonesia dan mungkin sulit dilakukan terhadap pelaku IUU Fishing di perairan kedaulatan Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 102 UU Perikanan Indonesia. Barangkali perlu diingat bahwa yang pernah terjadi sebelumnya di sekitar tahun 1970-an, yang terjadi malah pidana kurungan diganti dengan denda damai, yang kalau saya tidak salah ingat, berdasarkan suatu keputusan/ketentuan dari Kejaksaan Agung pada waktu itu. Prinsip penerapan denda damai ini kemudian mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari dalam Indonesia sendiri karena dituduh banyak menimbulkan faktor korupsi di laut yang kemudian prinsip denda damai inipun telah dicabut. 56. Akhirnya, terkait dengan proses hukum terhadap pelaku illegal fishing ini, saya merasa perlunya meningkatkan pengetahuan/pemahaman di kalangan para pejabat negara di pusat maupun di daerah, terutama para pejabat, penegak hukum Indonesia untuk lebih memahami ketentuan-ketentuan hukum laut internasional maupun ketentuan-ketentuan hukum laut lainnya, seperti yang dikembangkan oleh FAO dan berbagai organisasi internasional lainnya. Di samping itu pejabat-pejabat terkait juga perlu memahami berbagai ketentuan RFMOs, di mana Indonesia telah menjadi anggotanya, seperti WCPRC, CCSBT, IOTC dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa kewajiban Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi IUUF ini tidak hanya terbatas kepada perairan kedaulatan dan hakhak berdaulat Indonesia, tetapi juga terhadap laut-laut bebas, khususnya yang sudah tercakup di dalam RFMOs tersebut, seperti pencegahan transhipment di laut, dan lain-lain. Di samping itu, terkait dengan masalah ini, Indonesia juga perlu meningkatkan kemampuannya untuk mencegah IUU Fishing di berbagai kawasan laut Indonesia yang sudah semakin luas. Peningkatan kemampuan tersebut, di samping peningkatan kemampuan personil, diperlukan sekali 14

peningkatan kemampuan teknologi, peralatan dan kerjasama bilateral, regional serta internasional untuk melaksanakan monitoring, surveillance, control, dan enforcement terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di laut, bukan hanya di laut Indonesia tetapi juga di samudera luas, khususnya yang tercakup di dalam RFMOs, bukan hanya monitoring dan surveillace serta control (MSC), tetapi yang lebih penting lagi adalah enforcement (MSCE). 15