4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODE PENELITIAN. Gambar 4. Lokasi penelitian di Perairan Selat Nasik, Belitung, April 2010.

2 TINJAUAN PUSTAKA DIC ƩCO 2 C T = [CO 2 ] + [HCO 3 - ] + [CO 3 2- ]... (1)

UDARA-LAUT DI PERAIRAN SELAT NASIK, BELITUNG

PESISIR: STUDI KASUS DI SELAT NASIK, BELITUNG DAN ESTUARI DONAN, CILACAP A F D A L

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

Manajemen Kualitas Air

PENDAHULUAN Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

Lampiran 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN KUALITAS AIR

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

MANAJEMEN KUALITAS AIR

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

SIKLUS CARBON DI PERAIRAN DANAU

Heny Suseno Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN ALGORITMA ZHU UNTUK ANALISIS KARBON LAUT DI TELUK BANTEN ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

I. PENENTUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE OKSIGEN. Secara sederhana fotosintesis dapat dinyatakan dalam reaksi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO 2 ) Antara Laut dan Udara di Perairan Indonesia dan Sekitarnya

EKOSISTEM. Yuni wibowo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Praktikum m.k Sedimentologi Hari / Tanggal : PRAKTIKUM-3 ANALISIS SAMPEL SEDIMEN. Oleh

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

DARI KONFERENSI KOPENHAGEN

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

PARAMETER KUALITAS AIR

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

3. ARUS ENERGI DAN DAUR MATERI DALAM EKOSISTEM

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Biogeokimia adalah pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup.

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

Perhitungan Fluks CO2 di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Pendekatan Empirik

2.2. Struktur Komunitas

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

21 RQ = Respiration Quotient (1) N = Lama inkubasi (4 jam) 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sistem CO 2 4.1.1 Selat Nasik Parameter sistem CO 2 yang diukur terdiri dari ph, DIC, total alkalinitas dan tekanan parsial CO 2 (pco 2 ). Gambar 6 menunjukkan nilai ph pada pagi, siang dan malam hari di perairan Selat Nasik. ph merupakan parameter penting dalam sistem CO 2 karena sangat mempengaruhi keseimbangan karbonat dalam laut. Nilai ph yang rendah akan menggeser keseimbangan ke arah kiri yang - menyebabkan HCO 3 dan CO 2 bebas lebih banyak terbentuk, sebaliknya pada kondisi ph yang tinggi keseimbangan akan bergeser ke kanan sehingga ion karbonat lebih banyak terbentuk. Selanjutnya perubahan keseimbangan karbonat tersebut akan berpengaruh terhadap pco 2 dalam air laut. 8,10 8,00 7,90 ph 7,80 7,70 7,60 6:35-8:15 12:00-13:25 19:00 7,50 1 2 3 Gambar 6. Nilai ph di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari, April 2010 ph perairan Selat Nasik berkisar antara 7,71 8,03. Nilai ph yang tinggi ditemukan pada Stasiun 3 (perairan laut) dan rendah pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove). Variabilitas ph di wilayah studi diduga disebabkan oleh pengaruh pasang surut yang mendistribusikan massa air tawar ke arah laut. ph

22 yang tinggi cenderung ditemukan pada saat pasang dan rendah pada saat surut. Hal ini disebabkan oleh masuknya massa air laut dengan ph yang tinggi pada saat pasang sehingga perairan pesisir didominasi oleh massa air laut, sedangkan pada saat surut perairan pesisir didominasi oleh air tawar dengan ph yang rendah. Secara umum ph yang tinggi ditemukan pada pagi hari dan rendah pada siang hari. Khusus di Stasiun 3 ph yang rendah ditemukan pada malam hari. Rendahnya ph pada malam hari disebabkan oleh aktivitas organisme yang melakukan respirasi pada malam hari. Karbon dioksida yang dihasilkan dalam proses respirasi bereaksi dengan air laut menghasilkan H 2 CO 3 yang bersifat asam sehingga ph air laut menjadi turun. Gambar 7 menunjukkan konsentrasi DIC pada pagi, siang dan malam hari di perairan Selat Nasik. Konsentrasi DIC menggambarkan total konsentrasi CO 2 dalam air laut. Konsentrasi DIC di perairan Selat Nasik berkisar antara 1912,15 2119,03 µmol/kg. Secara umum konsentrasi DIC yang tinggi ditemukan pada Stasiun 1 yang dekat dengan ekosistem mangrove dan yang paling rendah pada Stasiun 2 di perairan sekitar terumbu karang. Secara umum konsentrasi DIC pada pagi hari lebih tinggi dibanding siang hari. 2150 konsentrasi DIC (µmol/kg) 2100 2050 2000 1950 1900 1850 6:35-8:15 12:00-13:25 19:00 1800 1 2 3 Gambar 7. Konsentrasi DIC di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari, April 2010. Gambar 8 menunjukkan konsentrasi total alkalinitas (TA) pada pagi, siang dan malam hari di perairan Selat Nasik. TA menggambarkan perbedaan muatan antara kation-kation dan anion-anion konservatif dalam air laut, sehingga TA akan

23 berubah dengan perubahan ion-ion konservatif yang bervariasi terhadap salinitas. Total alkalinitas di perairan Selat Nasik berkisar antara 2130,28 2247,28 µmol/kg. Sebaran TA di perairan selat Nasik mirip dengan sebaran ph dan salinitas, dimana secara umum total alkalinitas yang tinggi ditemukan pada Stasiun 3 dan rendah pada Stasiun 1. Hal ini disebabkan oleh alkalinitas yang cenderung bersifat basa sehingga dengan meningkatnya ph, TA juga meningkat. konsentrasi TA (µmol/kg) 2250 2200 2150 2100 2050 2000 1950 1900 1850 1800 1 2 3 6:35-8:15 12:00-13:25 19:00 Gambar 8. Konsentrasi total alkalinitas di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari. Berdasarkan Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa pada Stasiun 2 di perairan sekitar terumbu karang, konsentrasi DIC cenderung rendah sedangkan TA relatif lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi DIC dan TA berbeda meskipun di perairan sekitar terumbu karang kedua parameter tersebut dipengaruhi oleh laju kalsifikasi (TA lebih banyak diserap dibanding DIC). Konsentrasi DIC berubah oleh perubahan CO 2 akibat keseimbangan udara dan laut atau akibat fotosintesis dan respirasi, sedangkan TA tidak berubah (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001). Rendahnya konsentrasi DIC di Stasiun 2 diduga karena laju fotosintesis oleh fitoplankton, zooxanthella dan makroalga lebih dominan dibanding laju kalsifikasi.

24 tekanan parsial CO 2 (µatm) 1050 900 750 600 450 300 150 6:35-8:15 12:00-13:25 19:00 0 1 2 3 Gambar 9. Tekanan parsial CO 2 di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari. Gambar 9 menunjukkan tekanan parsial CO 2 (pco 2 ) di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari. Perbedaan tekanan parsial CO 2 antara kolom air dan atmosfir akan menentukan peranan perairan tersebut sebagai penyerap atau pelepas CO 2. Tekanan parsial CO 2 kolom air di perairan Selat Nasik berkisar antara 591,80 1002,01 µatm. Nilai tekanan parsial CO 2 dalam kolom air ini lebih tinggi dibanding tekanan parsial CO 2 di udara yang berkisar antara 307 409 µatm dengan rata-rata 373,38±25,95 µatm. Distribusi tekanan parsial CO 2 dalam kolom air mirip dengan sebaran DIC yaitu cenderung lebih tinggi di Stasiun 1 dan rendah di Stasiun 2. 4.1.2 Estuari Donan Sebaran parameter sistem CO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap disajikan dalam bentuk grafik (Gambar 10 13). Gambar 10 menunjukkan sebaran ph di perairan Estuari Donan Cilacap pada bulan Juni 2010. Nilai ph perairan Estuari Donan Cilacap relatif lebih rendah dibanding perairan Selat Nasik yaitu berkisar antara 7,65 7,95 dengan rata-rata 7,83±0,117. ph yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat dengan laut atau mulut sungai dan semakin rendah pada stasiun bagian hulu sungai. Rendahnya nilai ph pada stasiun bagian hulu sungai berhubungan dengan rendahnya salinitas (23 psu) karena besarnya massa air tawar yang berasal dari darat.

25 ph 7,95 7,90 7,85 7,80 7,75 7,70 7,65 7,60 7,55 7,50 1 2 3 4 5 Gambar 10. Distribusi nilai ph di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. Gambar 11 menunjukkan sebaran konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan Cilacap pada bulan Juni 2010. Konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan berkisar antara 1842,25 1957,82 µmol/kg dengan rata-rata 1901,57±49,76 µmol/kg. Sebaran konsentrasi DIC berbanding terbalik dengan sebaran ph, dimana konsentrasi DIC yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat ke arah sungai dan relatif lebih rendah pada stasiun yang dekat ke arah laut. Namun pada stasiun 2 yang dekat dengan laut juga ditemukan konsentrasi DIC yang tinggi. 1950 konsentrasi DIC (µmol/kg) 1900 1850 1800 1750 1700 1650 1600 1 2 3 4 5 Gambar 11. Distribusi konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010.

26 Total alkalinitas di perairan Estuari Donan Cilacap berkisar antara 1954,27 2032,44 µmol/kg dengan rata-rata 1901,57±49,76 µmol/kg. Sebaran parsial total alkalinitas di perairan Estuari Donan mirip dengan sebaran DIC dimana total alkalinitas yang tinggi cenderung ditemukan di perairan sungai dan semakin rendah pada stasiun yang mengarah ke laut (Gambar 12). Tingginya TA dan DIC di perairan estuari yang mengarah ke sungai berhubungan dengan adanya disolusi/larutnya kalsium karbonat pada sedimen estuari yang ditandai dengan keruhnya perairan. Hal yang sama juga terjadi di perairan estuari Changjiang Cina (Zai et al. 2007) Total Alkalinitas (µmol/kg) 2050 2000 1950 1900 1850 1800 1750 1700 1650 1600 1 2 3 4 5 Gambar 12. Distribusi Total Alkalinitas di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. Gambar 13 menunjukkan bahwa sebaran pco 2 di perairan Estuari Donan Cilacap juga sangat mirip dengan pola sebaran DIC, dimana pco 2 cenderung lebih tinggi pada stasiun yang lebih dekat dengan sungai dan rendah pada stasiun yang dekat dengan laut. Tekanan parsial CO 2 di perairan Estuari Donan berkisar antara 1018,53 1152,52 µatm dengan rata-rata 1077,08±32,70 µatm. pco 2 dalam kolom air lebih tinggi daripada pco 2 atmosfir yang berkisar antara 340 376 µatm dengan rata-rata 358,20±15,27 µatm.

27 1200 tekanan parsial CO 2 (µatm) 1000 800 600 400 200 1 2 3 4 5 Gambar 13. Distribusi tekanan parsial CO 2 Juni 2010. di perairan Estuari Donan Cilacap, 4.2 Produktifitas Primer 4.2.1 Selat Nasik Produktifitas primer perairan Selat Nasik cukup bervariasi antar lokasi dan waktu penelitian. Laju produksi primer kotor/fotosintesis (GPP), respirasi, dan produksi primer bersih (NPP) disajikan dalam Gambar 14. Secara umum aktifitas biologi di perairan Selat Nasik lebih tinggi pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove). Hal ini ditunjukkan oleh nilai laju fotosintesis, respirasi dan produktifitas primer bersih yang lebih tinggi pada Stasiun 1. Laju fotosintesis dan respirasi di perairan Selat Nasik masing-masing berkisar antara 0,069 0,094 mgc/m 2 /hari dan 0,082 0,092 mgc/m 2 /hari. Fitoplankton pada Stasiun 1 cenderung bersifat autotrofik (laju fotosintesis lebih tinggi daripada laju respirasi), sedangkan pada Stasiun 2 dan 3 cenderung bersifat heterotrofik (laju respirasi lebih tinggi dibanding laju fotosintesis). Secara umum laju fotosintesis dan respirasi meningkat pada siang hari.

28 Produktifitas primer (mgc/m 2 /hari) 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 (A) 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 (B) GPP Respirasi NPP 1 2 3 1 2 3 Gambar 14. Laju fotosintesis (GPP), respirasi, dan produksi primer bersih (NPP) di perairan Selat Nasik, April 2010. [A=pagi (6:35 8:15), B=siang (12:00 13:25)] 4.2.2 Estuari Donan Sebaran laju fotosintesis (GPP), repirasi dan produktifitas primer bersih (NPP) di perairan Estuari Donan disajikan dalam Gambar 15. 0,08 Produktifitas primer (mgc/m 2 /hari) 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 GPP Respirasi NPP 1 2 3 4 5 Gambar 15. Laju fotosintesis (GPP), respirasi dan produksi primer bersih (NPP) di perairan Estuari Donan, Cilacap, Juni 2010. Sebaran produktifitas primer di perairan Estuari Donan cukup berfluktuasi. Secara umum perairan Estuari Donan bersifat autotrofik dimana laju fotosintesis lebih tinggi dibanding laju respirasi. Sebaran laju fotosintesis di perairan Estuari Donan berbanding terbalik dengan sebaran DIC dan pco 2. Berdasarkan Gambar

29 15 terlihat bahwa semakin ke arah laut laju fotosintesis dan respirasi semakin tinggi, namun laju fotosintesis selalu lebih tinggi dibanding laju respirasi kecuali di Stasiun 4. Perairan di Stasiun 4 cenderung bersifat heterotrofik karena laju respirasi lebih tinggi dibanding fotosintesis. Hal ini diduga karena stasiun empat mempunyai suhu yang relatif lebih tinggi (29,6 o C). Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh suhu secara langsung yakni untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al. 1997). Suhu yang tinggi dapat menaikkan laju maksimum fotosintesis (P max ). Secara umum, laju fotosintesis fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, namun laju respirasi meningkat lebih cepat dibanding fotosintesis pada suhu tinggi. Laju fotosintesis dan respirasi di perairan Estuari Donan masing-masing berkisar antara 0,022 0,070 mgc/m 2 /hari dan 0,015 0,045 mgc/m 2 /hari. 4.3 Pertukaran CO 2 udara-laut 4.3.1 Selat Nasik Fluks atau pertukaran aliran gas CO 2 antara udara dan laut merupakan fungsi 2 parameter yaitu perbedaan konsentrasi CO 2 antara laut dan udara yang merupakan fungsi daya larut dan kecepatan transfer gas CO 2 di permukaan laut. Gambar 16 menunjukkan bahwa secara umum perairan Selat Nasik merupakan pelepas (source) CO 2 ke atmosfir yang ditunjukkan oleh fluks CO 2 positif. Source atau pelepasan CO 2 ke atmosfir ini disebabkan oleh tekanan parsial CO 2 (pco 2 ) dalam kolom air lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial CO 2 di atmosfir sehingga terjadi aliran gas CO 2 dari air ke atmosfir.

30 fluks CO 2 (mmol/m 2 /hari) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00-0,50 1 2 3 6:35-8:15 12:00-13:25 19:00 Gambar 16. Fluks CO 2 di perairan Selat Nasik, April 2010. Emisi CO 2 di perairan Selat Nasik berkisar antara 0,96 mmolc/m 2 /hari atau 0,35 molc/m 2 /th sampai 3,19 mmolc/m 2 /hari atau 1,17 molc/m 2 /th. Secara umum emisi CO 2 yang tinggi ditemukan pada Stasiun 1 di sekitar perairan mangrove dan rendah pada Stasiun 2 di sekitar perairan terumbu karang. Tingginya fluks CO 2 di perairan sekitar mangrove disebabkan oleh tingginya konsentrasi DIC dan tekanan parsial CO 2 dalam kolom perairan dan rendahnya ph. 4.3.2 Estuari Donan Gambar 17 menunjukkan bahwa perairan Estuari Donan pada pengamatan Juni 2010 juga berperan sebagai pelepas (source) CO 2 ke atmosfir yang ditunjukkan oleh fluks CO 2 positif. Fluks CO 2 di perairan Estuari Donan tidak begitu berfluktuasi, namun cenderung lebih tinggi pada Stasiun 2 dan Stasiun 5. Stasiun 2 adalah stasiun yang berada dekat ekosistem mangrove, sedangkan stasiun 5 berada pada bagian paling hulu dari lokasi penelitian.

31 Fluks CO2 (mmol/m2/hari) 8 7 6 5 4 3 2 1 0-1 1 2 3 4 5 Fluks CO2 Gambar 17. Fluks CO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. Fluks CO 2 perairan Estuari Donan berkisar antara 6,76 7,72 mmolc/m 2 /hari atau 2,47 2,72 molc/m 2 /th dengan rata-rata 7,14±0,43 mmolc/m 2 /hari atau 2,54±0,11 molc/m 2 /th. Nilai fluks CO 2 di perairan Estuari Donan ini relatif lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik. 4.4 Pembahasan 4.4.1 Selat Nasik Hasil di atas menunjukkan bahwa secara umum perairan Selat Nasik (perairan sekitar mangrove, terumbu karang dan laut) adalah source CO 2 ke atmosfir. Hasil ini menegaskan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perairan laut dan pesisir di daerah tropis adalah source CO 2 ke atmosfir (Cai et al., 2003; Wang and Cai, 2004; Borges, 2005; Fagan and Mackenzie, 2007; Chen and Borges, 2009). Fluks CO 2 yang tinggi di perairan Selat Nasik ditemukan pada Stasiun 1 yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang disebabkan oleh tingginya tekanan parsial CO 2 dalam kolom perairan. Tingginya tekanan parsial CO 2 dalam kolom air di perairan sekitar mangrove, dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi DIC dan rendahnya ph dan salinitas. Tingginya konsentrasi DIC diperairan sekitar mangrove diduga disebabkan oleh pasokan karbon organik dan anorganik baik yang berasal dari ekosisitem mangrove maupun yang berasal dari luar ekosistem mangrove yang dibawa oleh arus pasang surut.

32 Gambar 18 menunjukkan siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) yang ditampilkan secara sederhana dari kondisi sesungguhnya yang rumit. Pembahasan mengenai siklus karbon di perairan ekosistem mangrove ini dibatasi hanya pada lapisan permukaan, karena pertukaran CO 2 udara-laut terjadi pada lapisan permukaan. Kajian siklus karbon dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada peranan fitoplankton dalam penyerapan CO 2. Fitoplankton mengambil nutrien dan CO 2 melalui proses fotosintesis, laju dimana proses ini terjadi disebut produktivitas primer. Fitoplankton pada waktu yang sama juga melakukan respirasi yang meningkatkan konsentrasi CO 2 dalam kolom air. Peningkatan konsentrasi CO 2 dalam kolom air juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi (diremineralisasi) karbon organik menjadi CO 2. (A) CO2 atm CO2 atm (B) FCO2 GPP NPP FCO 2 GPP NPP + 3,19 0,094 0,02 +3,06 0,087 0,015 DIC Fitoplankton POC DIC Fitoplankton POC Respirasi Respirasi 0,089 0,087 Dekomposisi Dekomposisi 3,121 2,988 Gambar 18. Skema siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolc/m 2 /hari. Siklus karbon di perairan sekitar mangrove menunjukkan bahwa dekomposisi karbon organik diperkirakan memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO2 ke atmosfir yaitu 3,121 mmolc/m 2 /hari pada pagi hari dan 2,988 mmolc/m 2 /hari pada siang hari. Kemampuan fitoplankton dalam menyerap CO 2 sangat kecil yaitu 0,02 mmolc/m 2 /hari pada pagi hari dan 0,015 mmolc/m 2 /hari pada siang hari. Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Gattuso (1998) bahwa fluks CO 2 udara-laut yang heterotrofik bersih di perairan sekitar mangrove di dorong oleh tingginya pasokan sedimen yang sebagian besarnya adalah bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove, sedangkan produksi primer biasanya rendah tergantung kepada geomorfologi, waktu tinggal massa air, kekeruhan, dan pasokan nutrient. Menurut Bouillon and

33 Boskher (2006), masukan karbon organik ke perairan sekitar mangrove bisa bersifat autochtonous (berasal dari perairan itu sendiri) atau allochtonous (berasal dari luar). Masukan karbon organik yang autotochtonous berupa detritus mangrove dan mikrofitobentos, sedangkan yang allochtonous berupa fitoplankton, material yang berasal dari ekosistem lamun, dan karbon organik yang berasal dari daratan. Karbon organik yang masuk ke perairan sekitar mangrove kemudian mengalami dekomposisi dan remineralisasi menjadi karbon anorganik. Selanjutnya Borges et al. (2003) menyatakan bahwa pengayaan DIC di perairan sekitar mangrove juga disebabkan oleh masukan air poros yang kaya CO 2 pada saat surut. Pasang surut memompa air poros yang ada dalam sedimen yang kaya akan karbon organik (Bouillon et al. 2008). Jennerjahn dan Ittekkot (2002) memperkirakan bahwa ekosistem mangrove menyumbang >10% dari total karbon organik sungai yang masuk ke laut. Berdasarkan nilai fotosintesis dan respirasi menunjukkan bahwa fitoplankton di perairan sekitar mangrove cenderung bersifat autotrofik karena laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan laju respirasi, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan emisi CO 2 ke atmosfir. Hal ini disebabkan oleh laju dekomposisi material organik baik yang berasal dari fitoplankton sendiri ataupun dari sumber autochtonous dan allochtonous, lebih dominan dibanding laju produktifitas primer fitoplankton. Nilai pco 2 di perairan sekitar mangrove Selat Nasik masih dalam kisaran pco 2 yang ditemukan pada perairan sekitar mangrove lain di wilayah tropis, namun sedikit lebih rendah. Di perairan sekitar mangrove Nagada Creeks Papua New Guinea tekanan parsial CO 2 berkisar antara 540 1680 µatm (Borges et al. 2003), di Kieng Vang Vietnam berkisar antara 1435 8140 µatm (Kone and Borges 2008), dan di Tam Giang creeks India 770 11480 µatm (Kone and Borges 2008). Menurut Kone dan Borges (2008) tingginya tekanan parsial CO 2 pada perairan sekitar mangrove terkait dengan 2 mekanisme yaitu (a) massa air di perairan sekitar mangrove mempunyai waktu tinggal (residence time) yang lama sehingga menstimulasi aktivitas biologi dan kimia dengan mendegradasi bahan organik lokal yang disediakan oleh kanopi mangrove dan sumber allokhtonus, (b) masuknya air poros yang bercampur dengan air sungai juga mempengaruhi sifat-

34 sifat kimia dalam mendegradasi bahan organik dan ditunjang oleh volume air yang lebih kecil dan waktu tinggal yang lebih lama. Fluks dan tekanan parsial CO 2 yang paling rendah ditemukan pada Stasiun 2 yaitu di perairan sekitar terumbu karang. Rendahnya fluks CO 2 pada Stasiun 2 disebabkan oleh rendahnya konsentrasi DIC. Konsentrasi DIC di perairan sekitar terumbu karang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perairan sekitar mangrove dan laut baik pada pagi maupun siang hari. Hal ini disebabkan oleh proses metabolisme terumbu yang menyebabkan pergeseran dalam sistem karbon anorganik yang menyebabkan perubahan besar dan arah gradien pco 2 antara air laut dan atmosfer. Gambar 19 menunjukkan siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang. Siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang relatif lebih kompleks dibandingkan perairan sekitar mangrove dan laut, karena banyaknya organisme yang terlibat dengan siklus karbon, diantaranya proses fotosintesis oleh fitoplankton, zooxanthella dan makroalga, proses respirasi dan kalsifikasi oleh terumbu karang dan dekomposisi oleh bakteri, namun dalam Gambar 19 hanya dibatasi pada lapisan permukaan yang hanya melibatkan fitoplankton dalam penyerapan CO 2. CO2 atm (A) CO2 atm (B) FCO2 GPP NPP FCO 2 GPP NPP +1,45 0,080 0,009 +0,96 0,080 0,010 DIC Fitoplankton Respirasi POC DIC Fitoplankton Respirasi POC 0,086 0,084 Dekomposisi Dekomposisi?? Gambar 19. Skema siklus karbon pada Stasiun 2 (perairan sekitar terumbu karang) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolc/m 2 /hari. Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa penyerapan CO2 oleh fitoplankton relatif kecil yaitu 0,009 mmolc/m 2 /hari pada pagi hari dan 0,010 mmolc/m 2 /hari pada siang hari. Fitoplankton di perairan sekitar terumbu karang

35 cenderung bersifat heterotrofik karena laju respirasi lebih tinggi dibanding fotosintesis. Tingginya laju respirasi fitoplankton di perairan sekitar terumbu karang seharusnya meningkatkan fluks CO 2 ke atmosfir, karena proses respirasi akan menyumbang CO 2 kedalam kolom perairan dan meningkatkan tekanan parsial CO 2. Namun hal ini tidak terlihat di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik karena fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang lebih rendah dibanding perairan sekitar mangrove dan laut dan fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik lebih rendah dibanding emisi CO 2 global dari sistem terumbu karang yang diperkirakan oleh Borges (2005) yaitu sekitar 2 mmolc/m 2 /hari. Rendahnya fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik diduga disebabkan oleh tingginya konsumsi CO 2 oleh makroalga. Seperti yang dikemukakan oleh Gattuso et al., (1996) bahwa terumbu tepi di bawah pengaruh tekanan manusia telah bergeser dari dominasi karang ke dominasi makroalga, seperti yang terjadi di terumbu Shiraho, pulau Ryukyu. Hal ini akan menyebabkan peningkatan produksi ekosistem bersih dan penurunan kalsifikasi dan memungkinkan pergeseran peran ekosistem terumbu karang dari source ke sink untuk CO 2 atmosfir. Fluks CO2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik juga di pengaruhi oleh proses kalsifikasi oleh terumbu karang. Gattuso et al. (1996) mengemukakan bahwa di perairan terumbu karang, produksi primer kotor dan respirasi oleh zooxanthella hampir seimbang dan produksi bersih mendekati nol, sehingga kalsifikasi bersih merupakan proses utama yang mempengaruhi sistem CO 2 air laut pada ekosistem terumbu karang. Bukti terjadinya kalsifikasi di sekitar perairan terumbu karang terlihat pada adanya perbedaan yang mencolok dari nilai TA dan DIC pada pagi dan siang hari. Nilai TA dan DIC pada siang hari jauh lebih rendah dibanding pagi hari. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi TA dan DIC dalam proses kalsifikasi pada siang hari. Menurut Gattuso et al. (1996) bahwa laju kalsifikasi meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya pada siang hari. Pembentukan kalsium karbonat meningkatkan konsentrasi CO 2, tapi pada saat yang sama proses ini menkonsumsi 2 mol bikarbonat (HCO - 3 ). Perilaku berlawanan tersebut menyebabkan berkurangnya total alkalinitas (TA) dan DIC dengan perbandingan 2:1 (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001). Ware et al.

36 (1992) menunjukkan bahwa proses kalsifikasi berpengaruh terhadap sistem karbon anorganik air laut dan menyebabkan terumbu karang adalah sedikit source CO 2 ke atmosfir. CO2 atm (A) CO2 atm FCO 2 GPP NPP FCO 2 GPP NPP +2,98 0,069 0,001 +2,81 0,080 0,004 DIC Fitoplankton POC DIC Fitoplankton POC Respirasi Respirasi 0,081 0,092 Dekomposisi Dekomposisi 2,90 2,722 Gambar 20. Skema siklus karbon pada Stasiun 3 (perairan laut) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolc/m 2 /hari. Gambar 20 menunjukkan bahwa di perairan laut Selat Nasik laju dekomposisi memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO 2 yaitu 2,973 mmolc/m 2 /hari pada pagi hari dan 2,802 mmolc/m 2 /hari pada siang hari. Fitoplankton merupakan satu-satunya organisme yang menyerap CO 2 di perairan laut, namun penyerapan CO 2 oleh fitoplankton di perairan laut Selat Nasik sangat kecil yaitu 0,0001 mmolc/m 2 /hari pada pagi hari dan meningkat pada siang hari menjadi 0,0003 mmolc/m 2 /hari sehingga produktivitas primer memberikan kontribusi yang kecil terhadap pengurangan fluks CO 2 ke atmosfer. Penyerapan dan pelepasan CO 2 di perairan laut Selat Nasik diduga lebih dipengaruhi oleh konsentrasi DIC dan faktor fisis (suhu permukaan laut). Seperti yang dikemukakan oleh Wang et al. (2006) bahwa konsentrasi DIC dan suhu permukaan laut memainkan peranan utama dalam mengontrol fluks CO 2 di perairan laut tropis. 4.4.2 Estuari Donan Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa perairan Estuari Donan adalah source atau pelepas CO2 ke atmosfir. Secara umum fluks CO 2 di perairan Estuari Donan lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik. Tingginya fluks CO 2 di perairan Estuari Donan disebabkan oleh tingginya kecepatan angin pada lapisan permukaan (2,50 m/s) dan tingginya tekanan parsial CO 2 dalam kolom air. Source (B)

37 atau pelepasan CO 2 ke atmosfir ini disebabkan oleh tekanan parsial CO 2 (pco 2 ) dalam kolom air lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial CO 2 di atmosfir sehingga terjadi aliran gas CO 2 dari air laut ke atmosfir. Tingginya pco 2 kolom air berhubungan dengan konsentrasi DIC, salinitas dan laju fotosintesis fitoplankton. Tekanan parsial CO 2 meningkat dengan meningkatnya konsentrasi DIC dan menurun dengan meningkatnya salinitas dan laju fotosintesis. Sebaran pco 2 di Estuari Donan sangat mirip dengan sebaran DIC, pco 2 dan konsentrasi DIC yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat ke arah sungai dan relatif lebih rendah pada stasiun yang dekat ke arah laut. Hal yang serupa juga terjadi di perairan estuari Changjiang Cina (Chen et al., 2008), Godavari India (Bouillon et al., 2003) dan Chilka India (Gupta et al., 2008). Namun pada stasiun 2 yang dekat dengan laut juga ditemukan konsentrasi DIC yang tinggi. Hal ini disebabkan karena stasiun 2 berada pada lokasi yang berada dekat dengan ekosistem mangrove. Tingginya konsentrasi DIC pada lokasi ini diduga karena adanya pasokan karbon organik dan anorganik dari sungai dan ekosistem mangrove. Seperti yang dikemukakan oleh Cai and Wang (1998) bahwa perairan estuari menerima pasokan DIC yang berasal dari eksternal dan internal estuari. Pasokan eksternal berasal dari air tawar dari sungai, air laut dari pantai, tidalflush, dan perairan sekitarnya. Sedangkan pasokan internal berasal dari degradasi material organik (repirasi aerobik dan fotodegradasi). Gambar 21 menunjukkan siklus karbon di perairan Estuari Donan yang ditampilkan secara sederhana dari kondisi sesungguhnya yang rumit. Pembahasan mengenai siklus karbon di perairan Estuari Donan ini dibatasi hanya pada lapisan permukaan. Kajian siklus karbon dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada peranan fitoplankton dalam penyerapan CO 2. Fitoplankton mengambil nutrien dan CO 2 melalui proses fotosintesis, laju dimana proses ini terjadi disebut produktivitas primer. Fitoplankton pada waktu yang sama juga melakukan respirasi yang meningkatkan konsentrasi CO 2 dalam kolom air. Peningkatan konsentrasi CO 2 dalam kolom air juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi (diremineralisasi) karbon organik menjadi CO 2.

38 CO2 atm FCO 2 GPP NPP +7,14 0,051 0,028 DIC Respirasi Fitoplankton POC 0,027 Dekomposisi 7,14 Gambar 21. Skema siklus karbon di perairan Estuari Donan. FCO 2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolc/m 2 /hari. Gambar 21 menunjukkan bahwa laju dekomposisi memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO 2 di perairan Estuari Donan yaitu 7,14 mmolc/m 2 /hari. Laju dekomposisi material organik di perairan Estuari Donan jauh lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik, demikian juga dengan laju produktivitas primer fitoplankton. Tingginya laju dekomposisi di perairan Estuari Donan diduga disebabkan oleh besarnya pasokan material organik dari sungai. Gattuso et al. (1998) mengemukakan bahwa tingginya beban nutrien yang masuk ke perairan estuari menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ekosistem bersih, sedangkan degradasi karbon organik antropogenik menurunkan produksi ekosistem bersih. Secara keseluruhan, ekosistem estuari adalah sumber bahan organik, nutrien dan karbon anorganik untuk perairan sekitarnya dan berpotensi sebagai sumber CO 2 ke atmosfir (Borges 2005). Sebaran laju fotosintesis di perairan Estuari Donan menunjukkan bahwa laju fotosintesis cenderung meningkat ke arah mulut sungai (laut). Hal ini berbanding terbalik dengan sebaran DIC dan pco 2. Meningkatnya laju fotosintesis ke arah laut disebabkan karena jumlah material organik terestrial yang tersedia untuk dekomposisi telah berkurang, dan kondisi cahaya yang lebih baik setelah terjadi pengendapan partikel tersuspensi. Meningkatnya aktifitas biologis pada stasiun yang lebih dekat ke arah laut menyebabkan pco 2 lebih rendah. Selanjutnya, karena ada pencampuran dengan air laut yang lebih rendah pco 2, maka pco 2 air permukaan dengan cepat turun ke dekat titik jenuh. Lebih jauh, air

39 permukaan dapat menjadi net autotrofik jika CO 2 lebih banyak dikonsumsi oleh produksi biologis (Chen et al., 2008). Nilai pco 2 yang ditemukan di perairan Estuari Donan masih dalam kisaran tekanan parsial CO 2 yang ditemukan di perairan estuari yang lain di daerah tropis, namun sedikit lebih rendah. Di perairan estuari sungai Hooghly India tekanan parsial CO 2 berkisar antara 80 1520 µatm (Mukhopadhyay et al. 2002), sedangkan di estuari Mandovi-Zuari India pco 2 berkisar antara 500 3500 µatm (Sarma et al. 2001). Rendahnya tekanan parsial CO 2 di perairan Estuari Donan juga berhubungan dengan tingginya salinitas, karena pengambilan sampel dilakukan pada saat pasang, sehingga perairan estuari masih didominasi oleh air laut. Pada stasiun 5 yang sudah berada di bagian hulu masih ditemukan salinitas 23 psu. Seperti yang dikemukakan oleh Gupta et al. (2008) dari hasi penelitiannya di Chilka Lake India, bahwa pasang surut dan salinitas mempengaruhi tekanan parsial CO 2 di perairan estuari, pada saat surut dimana nilai salinitas rendah pco 2 di perairan Chilka bisa mencapai 1900 µatm sedangkan pada saat pasang pco 2 hanya mencapai 1050 µatm. Korelasi negatif antara salinitas dan laju fotosintesis dengan pco 2 juga ditemukan di estuari Changjiang (sungai Yangtze) Cina (Zhai and Dai, 2009).