HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
sub divisi : Angiospermae

MATERI. Lokasi dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Rataan Hasil Pengamatan Konsumsi, PBB, Efisiensi Pakan Sapi PO selama 48 Hari Pemeliharaan

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis

Lampiran 1. Data Konsumsi Pakan Segar Domba Selama Penggemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan waktu, pertambahan jumlah penduduk,

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kampung. Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

MATERI DAN METODE. Materi

BAB I PENDAHULUAN. ada kebanyakan hanya untuk menghasilkan hewan kesayangan dan materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

BAB III MATERI DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Ternak Domba. Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Puyuh mengkonsumsi ransum guna memenuhi kebutuhan zat-zat untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelinci lokal dengan

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Efisiensi Penggunaan Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan jumlah konsumsi pakan pada setiap perlakuan selama penelitian dapat. Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707

II. TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat makanan yang masuk ke dalam tubuh ternak dan digunakan untuk keperluan pertumbuhan dan produksi (Parakkasi, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci adalah temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, bobot badan, dan kecepatan pertumbuhan (NRC, 1977). Hasil penelitian terhadap konsumsi ransum pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi Ransum Kelinci Penelitian Perlakuan Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) Konsumsi BK per Bobot Badan (%) R0 84,14 76,40 4,02 R1 86,01 77,02 3,92 R2 73,86 66,46 3,49 R3 97,87 88,47 4,10 R4 89,11 79,88 3,77 SEM 4,41 3,98 0,11 Keterangan : R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana Berdasarkan uji sidik ragam pemberian ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap jumlah konsumsi ransum harian dan konsumsi bahan kering. Hasil penelitian terhadap konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Rizqiani (2011), konsumsi bahan kering kelinci lokal peranakan New Zealand White yang diberi pelet ransum komplit yaitu sebesar 117,78 g/ekor/hari dan menurut NRC (1977) kelinci dengan bobot badan 1,8-3,2 kg, mengkonsumsi bahan kering sebesar 112-173 g/ekor/hari. Pakan perlakuan yang mengandung daun lamtoro menyebabkan konsumsi ransum yang rendah diduga disebabkan oleh masih adanya antinutrisi mimosin pada lamtoro. Menurut Onwudike (1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibandingkan daun 19

gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna coklat) pada kelinci. Oleh karena itu Onwudike (1995) merekomendasikan penggunaan daun lamtoro dalam ransum kelinci tidak lebih dari 50% total ransum. Konsumsi ternak dipengaruhi oleh faktor pakan dan ternak. Ternak lebih suka mengonsumsi pakan berkualitas dengan tingkat palatabilitas tinggi. Faktor ternak yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah kondisi fisiologi ternak yang membutuhkan zat makanan dengan jumlah berbeda pada setiap fasenya. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi ternak kelinci adalah kadar bahan kering. Menurut Okerman (1994), kelinci mengonsumsi bahan kering sebanyak 5% dari bobot badannya. Persentase rataan konsumsi bahan kering harian pada penelitian pada setiap perlakuan berkisar antara 3,77%-4,10% dari bobot badan. Konsumsi bahan kering pada perlakuan lebih rendah dari 5%, kondisi ini disebabkan karena konsumsi ransum harian yang rendah sehingga konsumsi bahan kering penelitian ini belum memenuhi kebutuhan bahan kering kelinci. Pertambahan Bobot Badan Harian dan Efisiensi Pakan Hasil penelitian terhadap PBBH (pertambahan bobot badan harian) dan efisiensi pakan menghasilkan tidak adanya perbedaan yang nyata (Tabel 6). Tabel 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian dan Efisiensi Pakan Perlakuan PBBH (g/ekor/hari) Efisiensi Pakan R0 6,01 0,06 R1 4,88 0,05 R2 4,09 0,06 R3 7,00 0,08 R4 7,65 0,09 SEM 1,19 0,01 Keterangan : R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana 20

Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zatzat makanan dari ransum yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan akan diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak (Chruch dan Pond, 1980). Hasil penelitian terhadap pertambahan bobot badan kelinci pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Perlakuan secara statistika memberikan pengaruh yang tidak berbeda (P>0,05) terhadap nilai pertambahan bobot badan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap pertambahan bobot badan harian kelinci. Pertambahan bobot badan harian kelinci pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizqiani (2011) yang juga menggunakan kelinci peranakan New Zealand White, yaitu sebesar 17,60 g/ekor/hari. Menurut Cheeke (1987) kelinci di didaerah tropis mempunyai pertambahan bobot badan harian sekitar 10 20 g/ekor/hari. Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi pakan yang rendah karena kelinci tumbuh berada di kondisi yang kurang opimal sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang rendah. Menurut Rasyid (2009) salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah konsumsi pakan. Konsumsi pakan yang tinggi akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak nutrien yang diserap oleh tubuh ternak tersebut Faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan kelinci yang meliputi suhu kandang, cuaca, dan kebersihan kandang. Rataan suhu kandang pada saat penelitian sebesar 28,3 C dan kelembaban sebesar 91,3%. Nilai suhu tersebut kurang sesuai untuk pertumbuhan kelinci, Direktorat Jendral Peternakan (2008) menyatakan bahwa suhu optimal kandang untuk perkembangbiakan kelinci sebesar 15-20 C, dengan kelembaban sebesar 45%-70%. Ternak kelinci yang tumbuh pada suhu yang kurang optimal, akan menyebabkan kelinci stress sehingga konsumsi terhadap pakan menjadi rendah yang mengakibatkan pertambahan bobot badan harian menjadi rendah. 21

Efisiensi Pakan Efisiensi pakan dikatakan tinggi jika kuantitas pakan yang dikonsumsi rendah, ternak dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Hasil penelitian terhadap efisiensi pakan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Rataan efisiensi pakan pada setiap perlakuan pada penelitian ini berkisar antara 0,05-0,09. Perlakuan tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai efisiensi pakan. Nilai efisiensi pakan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi pakan kelinci yang dilakukan oleh Rizqiani (2011) yaitu 0,15. Hal ini dapat disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian yang rendah pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Rizqiani (2011). Cheeke (1987) menyatakan bahwa kandungan energi ransum mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum yakni dengan semakin tinggi kandungan energi dalam ransum akan menurunkan konversi pakan dan meningkatkan efisiensi pakan. Pakan berkualitas rendah dapat memperlambat pertambahan bobot hidup dan memperkecil efisiensi penggunaan ransum (Lebas et al., 1986). Bobot Potong, Persentase Karkas dan Kadar Lemak Daging Hasil penelitian terhadap bobot potong persentase karkas, dan kadar kemak daging kelinci pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Bobot Potong, Persentase Karkas, dan Kadar Lemak Daging Kelinci Perlakuan Bobot Potong (g) Persentase Karkas Kadar Lemak daging (%) R0 1736 51,58 ab 0,90 b R1 1867 50,15 ab 0,49 a R2 1815 46,69 b 0,80 ab R3 2067 53,77 a 0,71 ab R4 2046 50,29 ab 0,46 a SEM 68,25 0,89 0,07 Keterangan :Superscrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,15) R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana 22

Bobot Potong Bobot potong merupakan bobot hidup akhir ternak sebelum dipotong pada saat kelinci sudah siap dipotong pada umur dan bobot badan yang ditentukan. Bobot potong yang tinggi menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula (Muryanto dan Prawirodigdo, 1993). Hal ini disebabkan proporsi bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh ternak. Perlakuan ransum tidak memberikan pengaruh (p>0,05) terhadap bobot potong kelinci. Hal ini diduga karena konsumsi kelima ransum perlakuan relatif sama dalam menunjang pertumbuhan kelinci. Rizqiani (2011) menyatakan bahwa bobot potong dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dan nutrien yang diserap dalam tubuh kelinci. Nutrien yang diserap lebih banyak oleh ternak kelinci akan memberikan bobot hidup lebih tinggi. Hal ini dikarenakan perkembangan jaringan-jaringan tubuh ternak dan pendepositan lemak akan banyak dilakukan oleh tubuh ternak. Bobot awal kelinci juga mempengaruhi bobot hidup kelinci, ketika bobot awalnya lebih tinggi, maka memungkinkan hasil bobot akhirnya lebih tinggi juga. Persentase Karkas Karkas adalah tubuh ternak setelah dilakukan pemotongan yang dihilangkan kepala, kaki dari bagian carpus dan tarsus, darah serta organ-organ internal (Soeparno, 1992). Produksi karkas dinyatakan dalam bobot dan persentasenya, dimana persentase karkas merupakan hasil dari perbandingan bobot karkas dengan bobot tubuh kosong atau bobot potongnya Persentase karkas erat hubungannya dengan bobot potong kelinci. Semakin tinggi bobot potong, maka persentase karkas daging kelincinya juga semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentase karkas pada semua perlakuan berkisar 46,69%-53,77%. Berdasarkan uji sidik ragam perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda (P<0,15) terhadap persentase karkas. Persentase karkas kelinci yang diberi perlakuan R3 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan perlakuan R2 mempunyai persentase bobot karkas paling rendah karena mempunyai bobot potong yang rendah. Persentase karkas perlakuan R0, R1, dan R4 mempunyai persentase yang relatif sama. 23

Menurut Gillespie (2004), bobot hidup sekitar 1,8-2,1 kg menghasilkan - karkas dengan persentase karkas sebesar 50%-59%. Menurut Yurmiaty (1991), semakin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi, semakin baik pula pertumbuhan seekor ternak yang selanjutnya akan berpengaruh pada bobot karkas, karena bobot karkas mempunyai kaitan yang erat dengan bobot potong yang dihasilkan. Zotte (2002) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bobot karkas dibedakan menjadi tiga, yaitu faktor genetik, biologi, dan pakan. Kadar Lemak Daging Lemak pada penelitian ini diambil bagian paha kanan dan dianalisis menggunakan metode Soxhlet. Sudarmadji et al. (1989) menyatakan bahwa penentuan kadar lemak dalam analisis proksimat menggunakan metode Soxhlet. Penentuan kadar lemak yang menggunakan metode ini, selain lemak juga dihasilkan fosfolipida, sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen yang lain, sehingga hasil analisisnya sering disebut dengan lemak kasar. Nilai rataan kadar lemak daging yang diperoleh oleh Rizqiani (2011) menggunakan metode Soxhlet pada lemak bagian paha kanan yaitu sebesar 0,65%. Pengamatan terhadap kadar lemak daging pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Rataan kadar lemak daging pada setiap perlakuan berkisar antara 0,46%-0,90%. Berdasarkan uji sidik ragam perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda (P<0,15) terhadap kadar lemak daging. Kadar lemak daging dipengaruhi oleh zat makanan yang dikonsumsi oleh kelinci. Kadar lemak daging pada perlakuan R1 dan R4 masing-masing sebesar 0,49% dan 0,46% cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain, hal ini dapat disebabkan karena kadar lemak ransum yang juga rendah yaitu sebesar 6,46% dan 5,29%. Penggunaan hijauan I. zollingeriana 30% dan lamtoro 30% atau tanpa kombinasi dalam pelet ransum komplit dapat menurunkan kadar lemak daging. Kadar lemak daging pada R2 dan R3 relatif sama yaitu masing-masing sebesar 0,80% dan 0,71%, namun pelet ransum komersil (R0) mempunyai kadar lemak daging yang cenderung lebih tinggi yaitu sebesar 0,90%. Penggunaan pelet ransum komplit tanpa kombinasi (R1 dan R4) dapat menurunkan kadar lemak hingga 50% dibandingkan pelet ransum komersil (R0). 24

Organ Dalam Kelinci Rataan persentase bobot hati, jantung, dan ginjal yang diperoleh dari tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Rataan persentase bobot hati, jantung, dan ginjal berturut-turut sebesar 2,09%-3,21%; 0,28%-0,32%; dan 0,48%-0,58%. Data persentase bobot hati, jantung, dan ginjal pada penelitian ini cenderung sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohmatin (2010) yaitu sebesar 2,31%-2,76%; 0,21%- 0,23%; dan 0,52%-0,59% untuk kelinci lokal jantan. Tabel 8. Rataan Persentase Bobot Hati, Jantung dan Ginjal Perlakuan Bobot Hati (%) Bobot Jantung (%) Bobot Ginjal (%) R0 3,21 a 0,32 0,58 R1 2,63 b 0,29 0,54 R2 2,47 b 0,31 0,52 R3 2,09 b 0,28 0,48 R4 2,24 b 0,29 0,52 SEM 0,18 0,02 0,02 Keterangan :Superscrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase bobot jantung dan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa ransum perlakuan tidak mengandung bahan yang dapat memicu aktivitas organ jantung dan ginjal yang berlebih, sehingga tidak meningkatkan bobot organ tersebut. Namun pada organ hati, perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda (P<0,05). Kelinci yang diberi perlakuan R0 nyata menghasilkan bobot hati yang lebih berat dibandingkan perlakuan lain, namun persentase bobot hati tersebut masih dalam kisaran normal yang sesuai dengan pernyataan Steven et al. (1974) bahwa persentase bobot hati kelinci berkisar antara 2,45%-3,29%. Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Fungsi hati antara lain : mensekresikan empedu, mengatur aktivitas karbohidrat, metabolisme protein, metabolisme lemak, pembentukan darah, 25

menyimpan vitamin, mengatur produksi panas, serta mengatur kadar protein dan gula dalam darah (Thakur dan Puranik, 1981; Leach, 1961). Persentase Bobot Non Karkas Bobot non karkas meliputi kepala, kaki, kulit dan saluran pencernaan. Hasil rataan persentase bobot non karkas dapat dilihat pada Tabel 9. Pada penelitian ini perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini kemungkinan besar dikarenakan semua faktor yang mempengaruhi bobot kepala, kaki, kulit, dan saluran pencernaan antar perlakuan relatif sama. Tabel 9. Rataan Persentase Bobot Kepala, Kaki, Kulit, dan Saluran Pencernaan Perlakuan Kepala (%) Kaki (%) Kulit (%) Sal. Pencernaan (%) R0 10,43 3,09 10,59 16,78 R1 10,27 3,66 10,40 15,29 R2 10,62 3,64 11,37 14,43 R3 10,24 3,48 10,70 11,79 R4 9,94 3,07 10,44 15,58 SEM 0,19 0,12 0,26 0,64 Keterangan : R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana Rataan persentase bobot kepala, kaki, kulit, dan saluran pencernaan yang diperoleh dari tiap perlakuan berturut-turut sebesar 9,94%-10,62%; 3,07%-3,66%; 10,40%-11,37%; 11,79%-16,78%. Data persentase bobot kepala, kaki dan kulit yang diperoleh dari penelitian ini cenderung sama dibandingkan dengan data persentase bobot kepala, kaki, dan kulit yang dilaporkan oleh Rohmatin (2010), yaitu 9,99%- 10,34%; 2,81%-3,19%; 10,02%-10,70%; 13,55%-15,42%. Menurut Rao et al. (1977), kepala dan kaki merupakan organ yang masak dini, pertumbuhan dan perkembangan kepala terjadi sangat cepat, sedangkan setelah dewasa pertumbuhannya menjadi lambat. Cheeke et al. (2000) menyatakan bahwa bobot kulit kelinci dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, dimana dengan tercukupinya asupan protein maka akan meningkatkan bobot potong dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap bobot kulit. Kandungan protein kasar ransum perlakuan 26

yaitu 15,74%-21,06% belum dapat mempengaruhi bobot kulit kelinci pada penelitian ini. Rataan persentase bobot saluran pencernaan yang diperoleh dari tiap perlakuan, yaitu sebesar 11,79%-16,7%. Bobot saluran pencernaan berhubungan dengan nilai retensi makanan didalam saluran pencernaan, ransum yang bermutu rendah cenderung memerlukan waktu yang lama, hal ini sehubungan dengan usaha ternak yang bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Perkembangan saluran pencernaan dipengaruhi oleh adanya perubahan anatomis dan enzimatis, hal ini berhubungan dengan jenis pakan yang dikonsumsi (Mulyaningsih et al., 1984). Berat non karkas sangat mempengaruhi berat karkas, karena semakin meningkat berat non karkas maka perolehan karkas yang dihasilkan akan semakin menurun. Hal ini disebabkan jumlah non karkas yang dihasilkan lebih banyak dari pada jumlah karkas dari ternak tersebut. Income Over Feed Cost (IOFC) Income Over Feed Cost merupakan pendapatan yang dihasilkan setelah dikurangi biaya pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IOFC perlakuan dengan pemberian ransum komplit mengandung daun I. zollingeriana dan lamtoro memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 8). Capaian ini membuktikan bahwa pemberian pelet ransum komplit mengandung daun I.zollingeriana dan lamtoro mampu menghasilkan IOFC relatif sama dibanding pelet ransum komersil pada usaha penggemukan kelinci peranakan New Zealand White. Tabel 8. Rataan Nilai IOFC Perlakuan PBB (kg) Harga kelinci/kg hidup Konsumsi pakan (kg) Harga pakan/kg IOFC (Rp) R0 0,2105 100000 2,9446 6600 1616 R1 0,1708 100000 3,0105 4700 2931 R2 0,1430 100000 2,5853 4900 1632 R3 0,2450 100000 3,4255 5400 6002 R4 0,2678 100000 3,1188 5700 9003 SEM - - - - 790 Keterangan : R0= Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana R1= Pelet ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana R2= Pelet ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana R3= Pelet ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana R4= Pelet ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana 27