PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO S K R I P S I

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi

KAMIS DALAM PEKAN SUCI. Misa Krisma

5. Pengantar : Imam mengarahkan umat kepada inti bacaan, liturgi yang akan dirayakan saat itu.

Tugas Agama. Mengapa Ekarisi menjadi pusat dan sumber liturgi Gereja Katolik?

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

Pendidikan Agama Katolik

KELUARGA DAN PANGGILAN HIDUP BAKTI 1

Biar Kanak-kanak datang kepada-ku : Evaluasi dan Refleksi Perayaan Ekaristi bersama Anak-anak (missis cum pueris)

SPIRITUALITAS EKARISTI

BAB II EKARISTI SEBAGAI SUMBER DAN PUNCAK HIDUP KRISTIANI. Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. Modul ke: Fakultas MKCU. Program Studi Psikologi

Selama ini selain bulan Mei, kita mengenal bulan Oktober adalah bulan Maria yang diperingati setiap

KESEJATIAN IMAM YANG BERTINDAK IN PERSONA CHRISTI MELALUI PELAYANAN SAKRAMEN EKARISTI DALAM TERANG ENSIKLIK ECCLESIA DE EUCHARISTIA NO.

TANDA SALIB DAN SALAM Umat berdiri

IBADAT PEMBERKATAN PERTUNANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanda nyata dari cinta Tuhan kepada manusia dinyatakan melalui sakramen-sakramen

Pendidikan Agama. Katolik IMAN DAN GLOBALISASI ( PEMBAHARUAN KONSILI VATIKAN II ) Modul ke: 12Fakultas Psikologi

Spiritualitas Organis, Pengiring Lagu Liturgi dalam dokumen Gereja

Written by Tim carmelia.net Published Date

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat menghasilkan keindahan melalui kegiatan bernyanyi. Bernyanyi adalah

MUSIK LITURGI BERNUANSA ETNIS

Liturgi Anak yang Hidup

PASTORAL DIALOGAL. Erik Wahju Tjahjana

Kumpulan Soal Olimpiade Pengetahuan Iman Bidang Pembinaan Iman Keuskupan Bogor

USAHA MENEMUKAN MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN UMAT LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS JOTON PAROKI SANTO YUSUF PEKERJA GONDANGWINANGUN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perancangan

1/14/2018 RUANG SAKRA. Paroki St. Odilia Citra Raya 14 Januari 2018 M.F. Dinar Ari Wijayanti. Dasar Biblis

UKDW BAB I PENDAHULUAN

LITURGI SABDA. Tahun C Minggu Paskah III. Bacaan Pertama Kis. 5:27b b-41. Kami adalah saksi dari segala sesuatu: kami dan Roh Kudus.

diberikan Tuhan, meminta tolong kepada Tuhan, menenangkan pikiran dan memusatkannya untuk menuju ke fase kesederhanaan, absolusi / penebusan, epifania

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN UKDW

(mempelai wanita) & (mempelai pria) MISA KUDUS SAKRAMEN PERKAWINAN. Dipimpin oleh

EKARISTI DAN PERAN SERTA UMAT PAROKI

BAB I PENDAHULUAN. SEKAMI adalah gerakan Internasional anak-anak yang tertua di seluruh dunia. Serikat

Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN 2

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 18 JUNI 2017 (MINGGU BIASA) BERSEDIA DIPILIH DAN DIUTUS

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang permasalahan

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

KISI-KISI PENULISAN SOAL. kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Dunia dalam berbagai bidang kehidupan mempengaruhi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan yang kedua, Gereja adalah umat Katolik itu sendiri. Perkembangan

TAHUN SUCI LUAR BIASA KERAHIMAN ALLAH

Meneladan Maria Menjadi Pribadi Ekaristis

RELIGIUS SEBAGAI MISTIK DAN NABI DI TENGAH MASYARAKAT Rohani, Juni 2012, hal Paul Suparno, S.J.

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjadi seorang murid Kristus memiliki jalan yang berbeda-beda. Panggilan itu ada dua

Pendidikan Agama Kristen Protestan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

STUDI PERBANDINGAN ALIRAN KRISTEN: "KATOLIK ROMA"

Tahun C Pesta Pembaptisan Tuhan LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Yes. 40 :

GPIB Immanuel Depok Minggu, 29 Mei 2016 TATA IBADAH HARI MINGGU II SESUDAH PENTAKOSTA

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

EVANGELISASI BARU. Rohani, Desember 2012, hal Paul Suparno, S.J.

Th A Hari Minggu Biasa VIII 26 Februari 2017

KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI PERGURUAN TINGGI UMUM

RINGKASAN SKRIPSI INKULTURASI MUSIK GAMELAN JAWA PADA MUSIK LITURGI DALAM EKARISTI DI GEREJA HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN YOGYAKARTA

GPIB Immanuel Depok Minggu, 31 Januari 2016 TATA IBADAH MINGGU IV SESUDAH EPIFANI

SILABUS MATA PELAJARAN Satuan Pendidikan

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KESENIAN SHOLAWATAN DI GEREJA KATOLIK MATER DEI BONOHARJO, KULON PROGO, YOGYAKARTA

dibacakan pada hari Sabtu-Minggu, 1-2 Maret 2014

Gereja Katolik Kristus Raja di Wasuponda, Luwu Timur, Sulawesi Selatan BAB I PENDAHULUAN

Perayaan Ekaristi Hari Minggu Adven ke-1

UJIAN SEMESTER I SEKOLAH BINA NUSANTARA Tahun Ajaran

PENGARUH PERAYAAN EKARISTI TERHADAP KETERLIBATAN UMAT DALAM HIDUP MENGGEREJA DI STASI PUSAT PAROKI SALIB SUCI NANGA TEBIDAH KALIMANTAN BARAT

HOME. Written by Sr. Maria Rufina, P.Karm Published Date. A. Pembentukan Intelektual dan Spiritual Para Imam

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 24 JUNI 2018 (MINGGU BIASA - HIJAU) DALAM BADAI TUHAN BERTINDAK

TATA GEREJA PEMBUKAAN

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Mengenal Buku TPP. Bahan Bulan Liturgi Nasional Mengenal Buku TPP. Komisi Liturgi KWI

KEBAHAGIAAN HIDUP MENGHAMBA

Tahun A-B-C : Hari Raya Paskah LITURGI SABDA

Pnt. : Biarlah orang yang takut akan TUHAN berkata:

BAB IV HIERARKI DAN AWAM

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 23 APRIL 2017 (MINGGU PASKAH II) KEBANGKITAN-NYA MENGOBARKAN KEBERANIAN DAN PENGHARAPAN

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB)

GPIB Immanuel Depok Minggu, 14 Agustus 2016

KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS) DALAM PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG KALIMANTAN BARAT

RANGKUMAN PELAJARAN AGAMA KATOLIK KELAS 3 SEMESTER

Tahun C Minggu Tri Tunggal Maha Kudus LITURGI SABDA

PENDADARAN. HOSANA : berilah kiranya keselamatan! PERJAMUAN KUDUS PASKAH. Minggu, 5 April 2015 GEREJA KRISTEN JAWA JOGLO

TANTANGAN RELIGIUS DALAM MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DI ZAMAN GADGET

TATA IBADAH HARI MINGGU. Minggu Pemuliaan Kristus

BERIMAN CERDAS, TANGGUH, DAN MISIONER BERSAMA

ABSTRAK Kastiana, Dasar Dan Tujuan Partisipasi Umat Paroki Parenggean Dalam Perayaan Ekaristi (Suatu Tinjauan Teologis),

Pada waktu itu Musa berkata kepada bangsanya tentang hal-ikhwal persembahan katanya,

Perayaan Ekaristi HARI RAYA PASKAH KE-6

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 30 JULI 2017 (MINGGU BIASA) POLA HIDUP KERAJAAN ALLAH

KADERISASI PENDAMPING KATEKESE UMAT DI STASI SANTO YOHANES PEMBAPTIS LONG LUNUK KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI

ADORASI EKARISTI SEBAGAI USAHA UNTUK MENINGKATKAN SPIRITUALITAS UMAT DALAM HIDUP MENGGEREJA DI PAROKI ADMINISTRATIF SANTO PAULUS PRINGGOLAYAN

Editorial Merawat Iman

5 Bab Empat. Penutup. Dalam bab empat ini akan dibahas mengenai kesimpulan yang

Perayaan Ekaristi HARI MINGGU BIASA KE-31

Untuk mengenal arti pembaruan karismatik, baiklah kita tanyakan apa tujuan yang ingin dicapainya.

SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2018 KELUARGA KATOLIK YANG BERKESADARAN HUKUM DAN MORAL, MENGHARGAI SESAMA ALAM CIPTAAN

Transkripsi:

PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pendidikan Agama Katolik Oleh: Anastasia Ranasita Windi Hartoyo NIM: 121124060 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

ii

iii

PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tua (Bernadus Hartoyo dan Anastasia Budi Winarti) dan keluarga umat Stasi Fransiskus Xaverius Kemranggen iv

MOTTO Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-ku diberikan-nya kepadamu (Yohanes 15:16) v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaiamana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 26 Januari 2017 Penulis Anastasia Ranasita Windi Hartoyo vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Anastasia Ranasita Windi Hartoyo Nomor Mahasiswa : 121124060 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan wewenang kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulisan yang berjudul PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 26 Januari 2017 Yang menyatakan, vii (Anastasia Ranasita Windi Hartoyo)

ABSTRAK Judul skripsi PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO dipilih berdasarkan rasa keingintahuan penulis akan tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo salah satu Gereja yang sampai saat ini masih mempertahankan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Penulis ingin menguraikan inkulturasi yang digunakan sebagai sarana penghayatan iman umat dalam Gereja. Penulisan skripsi ini bertolak dari Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa setempat akan lebih bermanfaat bagi umat. Gereja menyatakan keterbukaan dirinya akan dunia luar dengan inkulturasi sebagai pemanfaatan budaya setempat untuk mempermudah menyampaikan kabar gembira dari Tuhan. Persoalan pokok dalam penulisan skripsi ini ialah tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di zaman sekarang, terutama yang dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda di zaman sekarang ini cenderung kurang memperhatikan budaya sendiri, mereka lebih mudah mengikuti perkembangan zaman. Diperlukan kesadaran kaum muda untuk tetap berpegang pada kebudayaan supaya tidak hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka diperlukan data yang akurat untuk dapat memperoleh gagasan-gagasan sebagai upaya untuk dapat membantu meningkatkan penghayatan kaum muda dalam Perayaan Ekaristi. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh kaum muda di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen untuk dapat menyadarkan kaum muda agar dapat mempelajari Bahasa Jawa sehingga mereka mampu untuk menghayati Perayaan Ekaristi ialah dengan katekese dengan model Shared Christian Praxis. Katekese yang digunakan ialah untuk membantu kaum muda dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dalan mengikuti Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa berdasarkan pengalaman yang mereka alami. Katekese ini berdasarkan pengalaman hidup dan melibatkan umat secara aktif selama proses berkatekese. viii

ABSTRACT The title of this undergraduate thesis is USING JAVANESE LANGUAGE IN EUCHARIST CELEBRATION IN ST. FRANCIS XAVIER DISTRICT KEMRANGGEN, ST. JOHN PARISH, KUTOARJO was selected to satisfy the writer s curiosity of people s response about the use of Javanese in the celebration of the Eucharist. St. Francis Xavier District Kemranggen is one of the Church until today which still maintains the Javanese in the celebration of the Eucharist. The writer would like to explain the inculturation used as a means of appreciation of the faith of the Church. This was based on Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 which states that the use of local languages will be more beneficial to the people. The Church expresses her openness to the outside world as the inculturation of the local cultural use to facilitate to convey the good news of God. A key issue in this undergraduate thesis is the notion of people's use of Javanese in the celebration of the Eucharist today, particularly that of young people. Young people these days tend to pay less attention to their own culture, and they are easier to keep abreast of the times. Needed awareness of young people need to be aware of sticking on their own culture so that it does not disappear the times. To solve the problems it is necessary to gain accurate data in order to obtain ideas in an effort to help increassing the appreciation of young people of the Eucharist. One way that can be done by young people in the St. Francis Xavier District Kemranggen is to learn Javanese so that they are able to live in the celebration of the Eucharist by means of catechesis with Christian Shared Praxis model. Catechesis used is to help young people facing difficulties following the celebration of the Eucharist in Javanese based on their experiences. This catechesis is based on experiences and involves the people activity in the process of catechesis. ix

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah Bapa karena kasih dan penyertaannya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui pandangan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen. Bahasa Jawa yang merupakan bahasa seharihari menjadi sarana untuk mempermudah umat dalam berkomunikasi lebih mendalam kepada Allah ditengah arus kebudayaan lain pada zaman sekarang ini. Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan memberikan masukanmasukan, sehingga penulis dapat termotivasi dalam penulisan skripsi ini. 2. YH. Bintang Nusantara SFK, M.Hum selaku dosen penguji kedua yang telah memberikan waktu dan senantiasa membimbing dengan penuh kesabaran serta memberi masukan demi penyelesaian penulisan skripsi ini. 3. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M.Hum selaku dosen penguji ketiga yang telah menguji dan memberi masukan demi penyelesaian penulisan skripsi ini. 4. Segenap Staf Dosen Prodi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini. x

5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi Pendidikan Agama Katolik, serta seluruh karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 6. Rm. Y Lasono Wibowo MSC dan Rm. Al Y Sukirdi MSC selaku romo Paroki St. Yohanes Rasul Kutoarjo yang telah memberikan izin dan dukungan untuk mengadakan wawancara kepada umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen. 7. Kedua orangtua (Bernadus Hartoyo dan Anastasia Budi Winarti) dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Agustinus Dwi Riyanto sahabat terkasih yang telah memberikan perhatian dan dukungan dalam penulisan skripsi ini. 9. Kepada seluruh umat Stasi St. Fransiskus Xaverius yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi responden penelitian sehingga penulis dapat memperoleh data untuk dijadikan sumber penelitian. 10. Teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan tulus memberikan bantuan hingga selesainya penulisan skripsi ini. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari apara pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap xi

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Yogyakarta, 26 Januari 2017 Penulis Anastasia Ranasita Windi Hartoyo xii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN... PERSEMBAHAN... MOTTO... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN... xiii i ii iii iv v vi vii viii ix xi xiii xviii BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penulisan... D. Manfaat Penulisan... E. Metode Penulisan... F. Sistematika Penulisan... BAB II. PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI... 7 A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II... 1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru... 2. Pembaharuan Liturgi... 3. Maksud Pembaharuan Liturgi... B. Inkulturasi dalam Gereja Katolik... 1. Inkulturasi Gereja... 2. Inkulturasi Liturgi... C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik... 4 4 4 5 5 5 7 7 8 12 14 14 16 17

1. Bahasa Liturgi... 2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi... a. Bahasa Jawa... b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi... D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk membantu Penghayatan Iman Umat... 1. Perayaan Ekaristi Menurut Konsili Vatikan II... a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja... b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja... c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi... d. Ekaristi sebagai Kurban... e. Ekaristi sebagai Perjamuan... f. Ekaristi sebagai Sakramen... 2. Memaknai dan Menghayati Perayaan Ekaristi melalui Bahasa Jawa... a. Ritus Pembuka... b. Liturgi Sabda... c. Liturgi Ekaristi... d. Ritus Penutup... 3. Partisipasi Umat dalam Ekaristi Bahasa Jawa... E. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi pada Masa Sekarang... 1. Menghayati Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari... 2. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi... BAB III. PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI ST. FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN... 42 A. Gambaran Umum Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 1. Sejarah Singkat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 2. Letak Geografis Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 3. Jumlah Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... xiv 17 18 18 20 21 21 22 23 24 24 25 26 26 27 27 29 32 35 37 37 40 43 43 44 45

4. Pelaksanaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 5. Tantangan yang dihadapi oleh Umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... B. Penelitian Mengenai Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo... 1. Latar Belakang Fokus Penelitian... a. Keadaan Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... b. Penelitian yang Relevan... 2. Rumusan Masalah... 3. Tujuan Penelitian... 4. Metode Penelitian... 5. Responden Penelitian... 6. Teknik Pengumpulan Data... 7. Tempat dan Waktu Penelitian... 8. Variabel Penelitian... 9. Kisi-kisi Penelitian... C. Pembahasan Hasil Penelitian tenang Pengunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 1. Hasil Penelitian... a. Hasil Penelitian Wawancara... b. Hasil Penelitian (Focused Group Discussion) FGD... 2. Pembahasan Penelitian... a. Pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen tentang Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi... b. Penggunaan Bahasa Jawa dan Penghayatan Perayaan Ekaristi Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... c. Usulan atau Harapan Umat terhadap Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... D. Kesimpulan Penelitian... BAB IV. KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN AKAN PERAYAAN EKARISTI BAGI KAUM MUDA DI 45 47 48 48 48 49 51 51 51 52 53 53 54 54 57 57 57 66 74 74 80 84 86 xv

STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN... 91 A. Berbagai Upaya untuk Meningkatkan Penghayatan akan Perayaan... 1. Pentingnya Penjadwalan Misa... 2. Perayaan Ekaristi untuk Kaum Muda... 3. Katekese bagi Kaum Muda dengan Model SCP... B. Katekese bagi Kaum Muda sebagi salah satu Upaya Meningkatkan Penghayatan akan Perayaan Ekaristi... 1. Pengertian Katekese... 2. Tujuan Katekese... 3. Model Katekese... a. Tiga komponen utama dalam SCP... b. Langkah-langkah Model SCP... C. Usulan Program Katekese dengan Model SCP... 1. Latar Belakang Pemilihan Program... 2. Tema dan Tujuan Program... 3. Petunjuk Pelaksanaan Program... 4. Penjabaran Program... D. Contoh Satuan Program Katekese Model SCP... BAB V. PENUTUP... 129 A. Kesimpulan... B. Saran... Lampiran Lampiran 1. Surat ijin penelitian (1) Lampiran 2. Hasil wawancara. (2) Lampiran 3. Teks Lagu SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS). (29) 92 92 93 94 95 95 97 99 100 102 105 105 107 109 111 114 129 133 xvi

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Teks Kitab Suci Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: dengan pengantar dan catatan singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende:Arnoldus. 1984/1985, hal. 8. B. Singkatan Dokumen Gereja CT :Catechesi Tradendae, Anjuran Apostoik Paus Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979. GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965 LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964 PO : Presbyterium Ordinis, Dekrit dalam Konsili Vatikan II tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam, 7 Desember 1965 SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi dalam Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963 C. Singkatan Lain AYD : Asian Youth Day EKM : Ekaristi Kaum muda FX : Fransiscus Xaverius FGD : Focused Group Discussion KAS : Keuskupan Agung Semarang KWI : Konferensi Waligereja Indonesia xvii

Mgr MSC OMK PIOM PKKI PUMR PWI St. SJ Pr : Monsinyur : Missionari Sacratissimi Cordies Jesu (Misionaris Hati Kudus Yesus) : Orang Muda Katolik : Pembinaan Iman Orang Muda : Pertemuan Kateketik Keuskupan se Indonesia : Pedoman Umum Misale Romawi : Panitia Waligereja Indonesia : Santa/Santo : Societas Jesu (Serikat Yesus) : Presbiter (Imam Diosesan) xviii

BAB I PENDAHULUAN Pada Bab I ini, penulis akan menjelaskan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan. A. Latar Belakang Konsili Vatikan II yang diselenggarakan pada tahun 1962 dan berakhir tahun 1965, Paus Yohanes XXIII sebagai pemarkasa diadakannya suatu konsili, namun beliau wafat sebelum konsili tersebut selesai, kemudian di lanjutkan oleh Paus Paulus VI. Paus Yohanes XXIII mempunyai gagasangagasan baru mengenai konsili yang akan diadakan, jika pada Konsili Vatikan I diselenggarakan guna memecahkan masalah sengketa doktrin dan yurisdiksi di dalam Gereja, Konsili kedua ini bersifat pastoral (Beding, 1997:21). Konsili ini membawa Gereja ke dalam dunia modern dan masalah yang dihadapi. Paus Yohanes XXIII juga meyakini bahwa Konsili Vatikan II ini menjadi peluang bagi Gereja untuk memahami dan menghadapi dunia yang baru ini dengan terang Injil Yesus Kristus, menyadari tugas perutusan ditengah dunia serta kebudayaan semakin disekularisasikan. Konsili Vatikan II menghasilkan 16 dokumen yang terdiri dari 4 konstitusi, 9 dekrit dan 3 pernyataan yang mencakup berbagai topik yang luas mengenai ekumene, liturgi, pendidikan imam, misi dan kerasulan awam serta

2 kebebasan dalam beragama. Pada akhirnya konsili yang dipimpin oleh Paus Paulus VI sebagai pengganti Paus Yohanes XXIII menyadari apa yang menjadi harapan dari Paus Yohanes XXIII yaitu suatu arggiornamento yaitu suatu pembaharuan Gereja dari segi internal (Beding, 1997:21-22). Sacrosanctum Concilium (SC) Salah satu konstitusi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai pembaharuan liturgi dengan tujuan supaya umat senantiasa dapat memahami dan memperoleh berkah dari apa yang umat rayakan secara bersama-sama, pemaharuan yang dimaksud ialah unsur-unsur yang disesuaikan dengan keadaan umat. Seperti apa yang menjadi keyakinan Paus Yohanes XXIII bahwa kebudayaan semakin disekurarisasikan, tidak luput apabila bermula dari Gereja Lokal, yaitu gereja yang tumbuh dan berakar di tengah-tengah rakyat (Madya Utama,Ig. 2010:26). Di Indonesia perlahan menjadi Gereja Lokal yang mandiri dengan lahirnya biarawan biarawati pribumi, salah satunya yaitu Soegijapranata SJ, beliau merupakan uskup pribumi yang pertama (Beding, 1997:24). Berbicara Gereja Lokal maka tidak lepas dari inkulturasi di mana Gereja Lokal yaitu Gereja yang sungguh-sungguh bertumbuh dari kebudayaan setempat, menghargai nilai-nilai dan tradisi setempat serta bahasa yang diinkulturasikan ke dalam tata cara Katolik. Syarat inkultursi yang benar yaitu menyadari dan mengakui adanya interaksi timbal balik antar agama dan kebudayaan (Kirchberger, 1995:92). Salah satu inkulturasi yang diterima dalam Gereja Indonesia ialah penggunaan bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi yang dirasa lebih mempermudah dan

3 dimengerti oleh umat setempat serta sanara pengungkapan iman umat kepada Allah. Demi terjalinnya suatu komunikasi dua arah antara manusia dengan Tuhan maka harus memperhatikan bahasa, walaupun Tuhan maha mengetahui apapun bahasa yang digunakan oleh manusia. Inkulturasi bahasa inilah yang terjadi di Stasi Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo, Keuskupan Purwokerto yang mengunakan Bahasa jawa dalam setiap Perayaan Ekaristi maupun ibadat-ibadat lainnya. Melihat kenyataan yang terjadi bahwa kebudayaan setempat khususnya bahasa yang semakin luntur dengan kebudayaan baru, maka menimbulkan masalah tersendiri di dalam Perayaan Ekaristi. Orang tua dirasa masih mahir dalam berbahasa Jawa dan dengan mudah mengerti dan dapat membantu menghayati dalam Perayaan Ekaristi tanpa terkendala bahasa, karena bahasa jawalah yang sejak dulu menjadi bahasa mereka. Namun untuk anak-anak jaman sekarang ataupun umat pendatang, mereka cenderung tidak mengerti arti bahasa jawa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi sehingga tidak sungguh-sungguh memahaminya. Konsili Vatikan tentang Liturgi yang merangkul budaya setempat telah diterapkan oleh Gereja Indonesia. Berbagai inkulturasi dengan budaya setempat telah masuk kedalam Gereja, seperti halnya penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi khususnya di daerah Jawa sebagai sarana untuk mempermudah pengungkapan iman umat. Namun, dengan melihat perubahanperubahan manusia dimasa modern ini, kebudayaaan setempat seringkali tersingkirkan dan berganti dengan budaya baru. Dengan demikian apakah kebudayaan setempat sungguh-sungguh masih dapat membantu umat dalam

4 menghayati imannya di tengah arus budaya modern yang semakin menggerus kebudayaan setempat. Untuk dapat mengetahui tanggapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kutoarjo khususnya di Stasi Kemranggen. Penulis mengemukakan gagasan-gagasan sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh umat setempat, sehingga penulis mengambil judul: PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS KEMRANGGEN, PAROKI KUTOARJO B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi? 2. Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu penghayatan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi? 3. Apakah yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pendapat umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. 2. Mengetahui peran Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi terhadap umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.

5 3. Mengetahui harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi. D. Manfaat Penelitian 1. Dapat mengetahui pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. 2. Dapat mengetahui penghayatan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen dalam mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa, sehingga Perayaan Ekaristi sungguh dirayakan oleh seluruh umat yang hadir. 3. Mengetahui yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ialah dengan metode pendekatan deskriptif analisis yaitu memaparkan, menguraikan dan menganalisis data yang ada, untuk melengkapi data digunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui pengalaman dan wawancara untuk dapat membantu memperoleh data dari lapangan. F. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan penulisan ini dibagi menjadi lima bab. Perincian ialah sebagai berikut:

6 BAB I: Pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II: Bagian ini memaparkan unsur-unsur peranan penggunaan bahasa dalam Perayaan Ekaristi meliputi dua hal pokok yaitu: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkuturasi dalam Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang. BAB III: Bab ini berisi Penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen yang meliputi: gambaran umum umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, penggunaan bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penelitian serta pembahasannya. BAB IV: Bab ini memaparkan mengenai usulan program untuk meningkatkan penghayatan umat dalam mengikuti Ekaristi. BAB V: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI Pada Bab II menguraikan penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi yang meliputi dua hal pokok yaitu: penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatan Sakramen Ekaristi. Berawal dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya pembahasan tentang penggunaan Bahasa Jawa meliputi: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkulturasi dalam Gereja Katolik. Pembahasan tentang penghayatan Sakramen Ekaristi meliputi: Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatannya. A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II 1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru Konsili Vatikan II yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII telah membuat gebrakan baru dalam sejarah Gereja. Beliau menyerahkan seluruh agenda konsili kepada para uskup. Dengan harapan yang berkali-kali diserukan oleh Paus Yohanes XXIII yaitu suatu pembaharuan untuk menghadapai dan membaca tanda-tanda jaman, serta upaya menyatukan

8 kembali Gereja-Gereja Protestan. Gereja ingin melahirkan kesetiakawanan kepada kaum miskin dan menjadi Gereja kaum miskin. Gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri malainkan terbuka untuk setiap orang. Konsili yang diselenggarakan tidak hanya memecahkan doktrindoktrin dalam Gereja. Paus Yohanes XXIII berpandangnya membawa Gereja kepada dunia luar dan masalah-masalahnya. Para peserta konsili membuka konsili dengan membahas mengenai pembaharuan liturgi. Upaya pembaharuan liturgi pada saat itu sudah mulai ditangani, sehingga mengawali konsili dengan pembaharuan liturgi menjadi keuntungan yaitu karena merupakan pembaharuan gerejawi yang serentak dirasakan oleh seluruh umat Katolik sedunia. 2. Pembaharuan Liturgi Sacrosanctum Concilium sebagai salah satu dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II pada bagian tiga secara lebih rinci membahas pembaharuan liturgi dengan tujuan supaya umat dapat memahami dan memperoleh berkah melimpah dari apa yang mereka rayakan. Dalam liturgi terdapat unsur-unsur yang tidak dapat diubah karena berasal dari Allah dan ada pula unsur-unsur yang lebih baik disesuaikan dengan keadaan umat. Dengan memperbaharui naskah-naakah dalam upacara perayaan menjadi lebih sederhana dan jelas bagi umat, sehingga dapat diikuti secara penuh dan aktif dengan cara khas umat (SC 21). Namun hak dan wewenang dalam

9 pembaharuan liturgi ialah Tahta Apostolik dengan menurut kaidah-kaidah (SC 22). Pembaharuan dalam Sacrosanctum Concilium antara lain dengan membacakan Kitab Suci dengan jelas, dan mazmur dinyanyikan. Melalui pembacaan Kitab Suci maka umat dapat menghaturkan permohonan, doa dan mahda-mahda liturgi (SC 24). Peninjauan buku-buku liturgi (SC 25). Liturgi sebagai suatu perayaan bersama sebagai sakramen kesatuan, hendaknya umat ikut serta secara aktif (SC 26). Petugas misa harus sungguh-sungguh menghayati sepenuh hati apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab demi kelancaran Perayaan Liturgi (SC 29). Keaktifan umat dengan aklamasi, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur. Saat hening dan khidmat (SC 30). Penggunaan bahasa pribumi yang dirasa lebih bermanfaat bagi umat dalam menghayati apa yang mereka rayakan bersama-sama (SC 36) Kata liturgi berasal dari kata Yunani leitorgia yang berarti pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa Allah mengikutsertakan manusai dalam misteri Paskah melalui pewartaan dan tanda sakramental. Dengan demikian, seseorang yang telah diselamatkan mampu mengucapkan syukur kepada Allah. Dokumen SC menegaskan kembali bahwa liturgi bukan hanya sebagai kegiatan manusia melaikan suatu karya Allah melalui liturgilah, terutama dalam kurban Ilahi Ekaristi, terlaksana karya penebusan. Segala karya penyelamatan Allah tertuang bagi manusia dan manusia memberi jawaban melalui ucapan syukur dan membagikan kepada sesama. Liturgi ialah suatu

10 perayaan bersama dimana karya penyelamatan Allah dikenangkan, dengan ibadat maka karya Allah terlaksana (Rukiyanto, 2012: 145-150). Paus Fransiskus dalam homilinya, mengenang 50 tahun setelah Konsili Vatikan II menegaskan maksud dari pembaharuan liturgi, melalui liturgi diharapkan setiap umat beriman sungguh mendengarkan suara Tuhan yang senantiasa menuntun kearah kebenaran dan kesempurnaan dalam beriman Kristen. Pembaharuan liturgi bermaksud untuk mengaitkan liturgi dengan kehidupan sehari-hari, liturgi dengan Sabda Tuhan. Sehingga apa yang telah didengarkan, dihayati dan diperoleh dalam liturgi senantiasa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Liturgi menjadi lebih sederhana dan melibatkan umat untuk turut serta merayakan liturgi. Dalam Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, artikel 50 dijelaskan mengenai pembaharuan liturgi dengan lebih sederhana dan mudah ditangkap oleh umat. Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa sehingga lebih jelaslah makna setiap bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian, umat beriman akan lebih mudah ikut serta dengan khidmat dan aktif.maka dari itu hendaknya upacara-upaara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sementara beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu tampaknya memang berguna atau perlu. SC 50 membahas lebih luas terlebih mengenai keperluan pengguanaan bahasa setempat dalam Perayaan Ekaristi. Pola menyederhanakan ini pula bertolak dari Gereja Romawi yang lebih praktis dan mudah dipahami oleh

11 umat, sehingga umat diharapkan akan lebih berperan aktif dalam setiap ritus perayaan. Demi terwujudnya peran serta oleh seluruh umat yang mengikuti perayaan Ekaristi maka dibutuhkan kesederhanaan sehingga mudah dimengerti dan diserap oleh umat. Pembaharuan liturgi ini bertolak dari tuntutan kebutuhan umat dalam merayakan Perayaan Ekaristi sehingga umat dapat mengikuti secara sadar, utuh dan penuh untuk dapat menghidupi seluruh hidup dengan menjadi umat yang ekaristis. Demi terwujudnya SC 50 maka hal-hal praktis dalam pembaharuan dengan kesederhanaan supaya mudah dimengerti, diawali dengan keberadaan tempat untuk Liturgi Sabda ialah mimbar, sedangkan altar digunakan untuk Liturgi Ekaristi. Kursi pemimpin tempat imam untuk memimpin ritus pembuka ataupun penutup. Sabda Allah dibacakan dengan menghadap arah umat, serta dalam penerimaan komuni disertai kata-kata Tubuh Kristus dan umat menjawab dengan Amin. Untuk lebih mengidupi peran serta umat, disediakanlah bahan-bahan perarakan (Cunha, 2012:111-115). Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) no. 387 dikatakan bahwa sejumlah penyesuaian liturgi menjadi wewenang Uskup diosesan atau Konferensi Uskup. Uskup yang berwewenang haruslah menjadi penggerak, pengatur dan pengawas kehidupan liturgi di wilayah keuskupannya. Dengan berdasar pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Hingga pada akhirnya seluruh penyesuaian terhadap liturgi ke dalam budaya maupun bahasa setempat dilaksanakan sesuai dengan yang tercantum dalam SC 50.

12 3. Maksud Pembaharuan Liturgi Pembaharuan liturgi dalam Konsili Vatikan II mengubah wajah baru dalam hal liturgi. Pada mulanya seorang imam yang merayakan Misa, sedangkan umat-awam hanya duduk diam sambil berdoa secara pribadi. Seluruh Perayaan Ekaristi dibisikkan oleh pastor dalam Bahasa Latin. Posisi duduk Pastor yang membelakangi umat, rumusan selalu sama dan sudah baku, sehingga imam senantiasa sudah hafal namun ada pula yang masih menggunakan buku misa. Misa berlangsung sangat singkat tidak lebih dari 20 menit karena imam membacakan rumusan dengan terburu-buru (Madya Utama, 2015:11). Adapun yang menjadi maksud pembaharuan liturgi bukan hanya pembaruan demi pembaharuan melainkan seperti yang dicita-citakan dalam SC 1 antara lain memperkembangkan hidup Kristen bagi umat beriman, menyesuaikan tata hidup dalam dunia sekarang, mengusahakan demi tercapainya kesatuan umat yang percaya kepada Kristus serta memperteguh iman akan Yesus Kristus. Seluruh pembaharuan liturgi pada akhirnya mengarah kepada penghayatan iman umat. Namun perlu disadari pula pembaharuan liturgi bukan hanya mengenai bentuk-bentuk dan naskah liturgi yang diubah melinkan demi keikutsertaan umat secara aktif dalam perayaan liturgi sehingga umat dapat menghidupi kehidupan kristiani dan menemukan sumber serta puncak dalam Perayaan Liturgi (Stolk, 1979:7-9). Dalam homili mengenang 50 tahun Konsili Vatikan II dalam Misa mengunakan Bahasa Italia di Paroki Segala Orang Kudus, Roma, Paus

13 Fransiskus menegaskan kembali pembaharuan liturgi yang tercantum dalam SC 14, pembaharuan liturgi bukan hanya memahami doktrin Gereja ataupun suatu ritus yang harus dipenuhi, melainkan lebih dipahami sebagai sumber kehidupan dalam perjalanan iman seluruh manusia. Liturgi merupakan suatu perayaan kehidupan, merefleksikan kembali apa yang diimani dalam kehidupan sehari-hari kehadapan Allah. Gereja mengundang umatnya supaya apa yang mereka rayakan dan alami dalam kehidupan sehari-hari dapat seimbang (Madya Utama, 2015:25-26). Dalam hal ini liturgi menunjukan bagaimana mewujudkan dalam hidup sehari-hari apa yang telah diterima dalam iman dan apa yang telah dirayakan. Merayakan sakramen-sakramen terutama dalam Sakramen Ekaristi yang diubah sedemikian dari sebelum Konsili Vatikan II. Umat tidak lagi hanya menghadiri Perayaan Ekaristi yang diyarakan oleh imam melainkan turut terta merayakannya Misa secara bersama-sama. Perubahan Bahasa Latin ke bahasa setempat menyatakan cara Gereja memaknai persekutuan jemaat. Menyambut hasil dari Konsili Vatikan II, setiap keuskupan di Indonesia dengan penuh semangat melaksanakan sosialisasi khususnya dokumen Sacrosanctum Concilium. Mgr. Van Bekkum, Uskup Ruteng pada saat itu memberikan warna dan sebagai penasihat dalam pelaksaaan pembaharuan liturgi. Gereja Indonesia disebut sebagai salah satu yang paling awal dalam menerbitkan dan mensosialisasikan dekrit-dekrit pembaharuan liturgi. Pengesahan SC pada tanggal 4 Desember 1963, pada Pekan Suci 1964 Pusat kateketik Indonesia sudah memberikan kebebasan dalam penggunaan

14 bahasa lokal dalam liturgi. Di Jawa sudah diterbitkan buku-buku Misa dalam menggunakan Bahasa Jawa. Hal ini menjadi bukti bahwa Gereja Indonesia tergolong cepat dalam mempraktekan dan mensosialisakan pembaharuan liturgi (Martasudjita. 2014:61). B. Inkulturasi Dalam Gereja Katolik 1. Inkulturasi Gereja Inkulturasi gereja adalah suatu usaha untuk mengikutsertakan manusia dalam karya penciptaan baru dan penyelamatan yang dikerjakan oleh Allah. Allah senantiasa hadir, berkarya, dihayati dan diungkapkan oleh umat melalui perbuatan dan perkataan. Dengan demikian sesuatu kebiasan baik dalam peristiwa kehidupan sehari-hari ditafsirkan dengan iman yang ditunjang dengan adat-istiradat yang ada dalam suatu masyarakat. Hal ini dilakukan demi pengungkapan iman melalui kekayaan adat setempat, sehingga umat dapat dengan bebas mengungkapkan iman dan ikut serta dalam karya penyelamaan Allah (Sekretariat PWI Liturgi, 1980: 281) Dalam seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta yang digerakkan dan diatur oleh Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma, dirumuskan pengertian inkulturasi sebagai berikut: Inkulturasi adalah suatu proses dimana persekutuan gereja menghidupi iman dan pengalaman kristennya dalam konteks kebudayaan tertentu, sehingga penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan setempat, melainkan menjadi satu kekuatan yang menjiwai, membentuk dan secara mendalam membaharui kebudayaan itu, sehingga terciptalah pola-pola

15 baru persekutuan dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri (Muda, 1992:34). Pengertian tersebut dikatakan bahwa inkulturasi merupakan relasi dinamis antara keselamatan Kristen dengan berbagai kebudayaan. Di dalamnya terdapat proses dua arah yaitu percampuran antar warta kristen dan kekhasan kristiani dengan kebudayaan. Penerimaan dalam kebudayaan terhadap warta khas kristen, sebagai sikap keterbukaan diantaranya. Inkulturasi tidak hanya terbatas pada cara pengungkapan iman, melainkan harus lebih mendalam yakni pada satu perayaan/selebrasi iman (Muda, 1992:87). Seperti yang dihasilkan Konsili Vatikan II dalam SC yaitu usaha inkulturasi liturgi dengan kebudayaan setempat. Hal ini menjadi penekanan kembali penyesuaian inkulturasi dengan berbagai bangsa dan kebudayaan di seluruh dunia. Gereja sangat mendukung penyesuaian liturgi, karena dengan demikian Gereja ikut serta dalam mengambil bagian dalam kebudayaan asal supaya tidak terjadinya kekeliruan dalam liturgi. Dengan demikian, mulailah dilaksanakannya pembaharuan liturgi dengan merevisi kitab-kitab liturgi yang memberikan tempat perbedaan sesuai dengan berbagai kebudayaan bangsa dan daerah. Hal ini menunjukan pula keterbukaan dalam Gereja dengan menerima dan masuk ke dalam kebudayaan setempat guna mempermudah setiap umat dalam menghayati iman dalam Perayaan Ekaristi. Konstitusi Liturgi dalam pembaharuannya tidak menggunakan kata inkulturasi melainkan dengan kata penyesuaian.

16 Melalui pengesahan dokumen Sacrosanctum Concilium, Gereja secara resmi menyatakan diri bahwa Gereja tidak terikat hanya pada satu kebudayaan saja, misalnya kebudayaan Romawi/Latin saja yang dipakai dalam seluruh Tata Perayaan Liturgi sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi dalam Liturgi, maka hal ini semakin memanfaatkan harta kekayaan budaya setempat sebagai cara pengungkapan iman (Muda, 1992:87-93). 2. Inkulturasi Liturgi Kemungkinan penyesuaian adaptasi Tata Perayaan Ekaristi dilakukan oleh dua cara yaitu: akomodasi, penyesuaian ini berkaitan dengan unsurunsur perayaan tanpa mengubah struktur perayaan. Dalam hal ini yang dapat disesuaikan ialah penggunaan bahasa, pilihan bacaan, doa-doa presidensial, juga sikap tubuh yang disesuaikan dengan situasi dalam Perayaan Ekaristi. Kedua ialah: adaptasi, penyesuaian ini berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Istilah adaptasi dikenal dengan kata inkulturasi sebagai penyesuaian budaya secara umum. Wewenang adaptasi ialah Konferensi Waligereja karena menyangkut hal-hal yang bersifat permanen. Misalnya gerak-gerik dan sikap badan, nyanyian pembuka dan rumusan teks. Rumusan teks dapat dimengerti sebagai usaha menerjemahkan ungkapan kata dari Bahasa Latin kedalam Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Dayak dan sebagainya. Namun yang menjadi persoalan ialah apakah pengungkapan bahasa tersebut sesuai dengan bahasa setempat. Dalam hal ini yang menjadi perhatian ialah unsur kultural

17 secara teologis dan unsur kultural dalam masa sekarang ini (Cunha, 2012:119-122). Kemungkinan inkulturasi liturgi yang diperbolehkan oleh Gereja Indonesia antara lain musik misalnya dengan mengunakan gamelan dalam budaya jawa, penggunaan bahasa jawa, musik rebana. Gedung Gereja diinkuturasikan dengan ciri budaya setempat misalnya dengan mengusung arsitek lokal, misalnya terdapat tokoh dalam wayang serta ornamen dalam budaya Jawa. Lambang dalam Tabernakel dengan lambang gunungan wayang, serta ritus dalam Perayaan Ekaristi, misalnya dengan menggunakan bahasa setempat, misa syukur. Ruang penyesuaian yang terjadi dalam Gereja antara lain bahasa, musik dan kesenian lainnya, hal ini seperti yang terdapat dalam SC 36, sebagai berikut: Akan tetapi, dalam Misa. Dalam pelayanan sakramen-sakramen, dan dalam bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang mengunakan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi umat. Maka seyogyanyalah hal ini diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dalam berbagai doa dan nyanyian Di daerah-daerah tertentu terdapat berbagai macam kesenian yang dimiliki yang berfungsi penting dalam kelangsungan beragama dan bermasyarakat. Begitu juga dengan bahasa yang sangat berperan sebagai alat berkomunikasi dengan sesama, hendaknya juga sarana sebagai komunikasi dengan Tuhan dengan bahasanya sendiri (Mariyanto, 1997:274-275).

18 C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik 1. Bahasa Liturgi Dalam Sacrosantum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci art. 36, dikatakan bahwa Bahasa Latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain. Namun dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen, maupun bagian liturgi lainnya, bahasa pribumi lebih bermanfaat dan lebih dikenal oleh umat. Oleh sebab itu maka diberi kelonggaran yang lebih luas. Pengunaan bahasa inilah hendaknya mendapatkan persetujuan ataupun pengesahan dari Tahta Apostolik. Penyesuaian bahasa dengan Gereja setempat dimaksudkan supaya pesan Injil sungguh nyata diterima oleh umat. Bahasa setempat membuat liturgi lebih mudah diikuti dan dimengerti, mulai dari doa-doa, bacaan dan nyanyian dalam liturgi bisa langsung diserap dan dihayati oleh umat setempat. Dengan bahasa setempat juga memungkinkan umat untuk menyusun doa spontan dengan lebih mendalam dan ekpresif sesuai dengan apa yang diinginkan. Bahasa setempatpun membuat umat lebih berperan aktif, misalnya untuk menjadi lektor. Karena mengunakan bahasa setempat, bahasa yang digunakan sehari-hari maka lebih mudah dari pada menggunakan bahasa yang asing. Begitu juga dengan nyanyian yang telah tersedia dengan bahasa setempat dengan teks yang telah tersedia dan telah disahkan, misalnya dengan Kidung Adi untuk Bahasa Jawa, yang berisi doa-doa, tata Perayaan Ekaristi serta nyanyian (Mariyanto, 1997:278-279).

19 2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi a. Bahasa Jawa Magnis Suseno dalam buku Etnologi Jawa mendefinisikan mengenai suku bangsa Jawa yaitu sebagai berikut: Suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa. Asal usul suku Jawa berkaitan juga dengan bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Jawa. Ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa, yaitu: bahasa Jawa Ngoko yaitu bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab, dengan usia yang sepadan ataupun kepada orang yang status sosialnya lebih rendah. Bahasa Jawa Krama digunakan kepada orang yang belum akrab, orang muda kepada orang yang lebih tua ataupun kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi (Endraswara, 2015:169). Sifat, karakter, pendidikan dan wawasan seseorang terlihat dari tutur kata dan pilihan dalam berbahasa. Begitu juga dalam perayaan liturgi, bahasa menjadi sangat penting yang menjadikan simbol liturgi. Sebelum Konsili Vatikan II, Bahasa Latin merupakan bahasa resmi yang menyatukan seluruh umat Katolik di dunia. Namun seiring dengan kebutuhan dan keterlibatan umat dalam liturgi, dalam SC 36 memperkenankan pengunaan bahasa pribumi yang dirasa lebih bermanfaat bagi seluruh umat. Begitu juga bagi masyarakat Jawa maka akan lebih bermanfaat apabila perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa. Seringkali beberapa umat yang kurang

20 berminat dengan liturgi yang menggunakan Bahasa Jawa walaupun mereka orang jawa. Namun masih banyak pula yang masih mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi. Bahasa yang memang menjadi bahasa sehari-hari yang tentu saja akan lebih mudah umat dalam menghayati Ekaristi. Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi menyangkut segala aspek mulai dari nyanyian, doa, maupun khotbahnya. Tata Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa yang digunakan yaitu Bahasa Jawa Krama Inggil, sedangkan dalam khotbah biasanya menggunakan bahasa yang santai yang biasa digunakan oleh umat. b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Bahasa sebagai sarana komunikasi bagi manusia mendapatkan perhatian yang tinggi di dalam masyarakat pada umumnya. Begitu juga dalam Gereja yang senantiasa memperhatikan kebutuhan umatnya. Seperti halnya penggunaan bahasa dalam Ekaristi di daerah Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan. Hal ini bermula dari para misionaris sebagai pembawa Agama Katolik yang menyadari bahwa keberhasilan misinya di daerah Jawa tergantung dari penguasaan bahasanya. Romo Van Lith, SJ salah satu misionaris dari Belanda yang datang ke Indonesia pada bulan Oktober 1896, jauh sebelum konsili Vatikan II diadakan. Beliau ditugaskan sebagai misionaris di Jawa Tengah, yang sejak kedatangannya di semarang Beliau berusaha keras untuk belajar Bahasa Jawa serta adat istiadatnya sebagai salah satu kunci penting dalam menjalankan

21 misi perutusannya. Beliau mengecam bahwa kemacetan dalam menjalankan misi di Jawa kerena keterbatasan tentang bahasa dan perilaku orang Jawa. Dalam misinya di Muntilan Romo Van Lith menampilkan figur Gereja yang menyatu dan hidup berdampingan dengan umat walaupun di sisi lain ada pula yang menganggapnya terlalu keras kepala. Beliau juga menerjemahkan buku pelajaran agama dan doa-doa kedalam Bahasa Jawa bukan hanya menerjemahkan dari Bahasa Belanda dan Latin saja melainkan lebih mendalam lagi mengenai makna dan perasaan yang mau diungkapkannya. Hal ini memerlukan waktu yang lama karena beliau harus berkontak langsung dengan masyarakat sampai kraton Yogyakarta (Hendarto, 1990: 114-118). D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat 1. Perayaan Ekaristi menurut Konsili Vatikan II Istilah Ekaristi yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II terdapat dalam dokumen Sacrosanctum Concilium, Lumen Gentium, Presbyterorum Ordinis. Konsili Vatikan II tidak secara sistematis menyampaikan tema Ekaristi. SC 47 secara singkat merumuskan mengenai Ekaristi, sebagai berikut: Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian, Ia mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-nya: sakramen cinta kasih, lambang

22 kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dipenuhi jaminan kemuliaan akan datang. Berdasarkan artikel dari SC dapat diperoleh beberapa kesimpulan pokok dari Ekaristi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II. a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja, Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh kegiatan Gereja, walaupun liturgi tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Liturgi sebagai puncak seluruh kegiatan Gereja dan sebagai sumber dayakekuatan (SC 10). Liturgi mendorong umat beriman supaya setelah mereka dipuaskan dengan sakramen-sakramen dipersatukan dalam persekutuan, mereka mampu mengamalkan apa yang mereka peroleh kedalam hidup sehari-hari. Liturgi Ekaristi sebagai sumber yang mengalirkan rahmat kepada umatnya. Kerena hidup ialah suatu ibadah maka istilah Perayaan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja menunjuk perhatian Konsili Vatikan II yang menghubungkan Ekaristi dengan seluruh spiritualitas hidup Gereja. Dalam Lumen Gentium (LG), Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja, art. 11 menyatakan beberapa hal mengenai Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja. Dengan ikut serta dalam korban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-nya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur,

23 melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkrit menampilkan kesatuan umat Allah yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengangumkan. Dari artikel diatas terdapat tidak poin pokok mengenai makna Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja. Pertama, melalui Perayaan Ekaristi umat beriman mempersembahkan Kristus dan diri sendiri sebagai Gereja kepada Allah. Kedua, dalam Ekaristi diharapkan umat beriman berpartisipasi menurut cara dan perannya masing-masing. Ketiga, dalam Perayaan Ekaristi umat beriman memperoleh kekuatan untuk mewujudkan kesatuan umat melalui perutusan (Martasudjita, 2012:16). b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja Melalui liturgi, terutama dalam kuban Ilahi Ekaristi terlaksanalah karya penebusan kita (SC 2). Ekaristi sebagai karya penebusan (SC 47). Melalui Ekaristi maka Gereja memperoleh misteri penyelamatan Allah dalam nama Kristus. Ekaristi pula yang menjadi anugerah kebersamaan dan kesatuan dengan Allah dan dengan sesama manusia. Merayakan Ekaristi Gereja senantiasa mengungkapkan dirinya sebagai karya keselamatan Allah. Liturgi Ekaristi membantu umat beriman dalam menghayati misteri Kristus, maka dari liturgi Ekaristi maka terbentunya suatu Gereja. LG 26 menegaskan bagaimana Gereja lahir dari Ekaristi Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan kesatuan Tubuh Mistik ini, syarat mutlak untuk keselamatan. Dan jemaat-jemaat itu,

24 meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus dan berkat kekuatan-nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Dengan demikian Gereja lahir dari Ekaristi. SC 26 menyebutkan bahwa Ekaristi bukan suatu perayaan perorangan melainkan perayaan bersama yang dirayakan oleh seluruh Gereja (Martasudjita, 2009:298-300). c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi Ekaristi sebagai pusat seluruh liturgi memiliki kedudukan khusus dalam beberapa tempat. Karya penebusan terlaksana dalam liturgi terutama dalam kurban Ekaristi (SC 2). Dalam liturgi terutama bagian Ekaristi umat beriman memperoleh rahmat dari Allah (SC 10). Kesatuan umat sebagai Gereja menuntut adanya keikutsertaan penuh dan aktif dalam perayaan liturgi terutama dalam bagian Ekaristi (SC 41). Ekaristi sebagai pusat liturgi menunjukan pemahaman SC yang melihat dari dua sudut pandang antara lain Ekaristi sebagai perwujudan tertinggi dan memandang liturgi lain dari sudut Ekaristi. Selain memberikan Ekaristi sebagai pusat liturgi juga memberikan kedudukan tertinggi pada perayaan Sabda dimana Kitab Suci menjadi pusat, perayaan sakramen lain, dan ibadat harian (Martasudjita, 2009:301). d. Ekaristi sebagai Kurban Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai kurban (SC 2,7,47). Kurban disini berhubungan dengan tradisi Trente. Kristus hadir

25 dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan (SC 7). Bapa Konsili mengutip kata kurban dalam Trente. SC menghubungkan kurban Ekaristi dengan perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Yesus dan juga kurban salib. Pada perjamuan malam terakhir Yesus sudah mengorbankan Tubuh dan Darah-Nya. Namun hal ini tidak juga berarti bahwa perjamuan malam terakhir ialah perjamuan Ekaristi. Perayaan Ekaristi yang pertama baru terlaksana sesudah Yesus Kristus wafat dan bangkit. Kata kurban Ekaristi yang diadakan oleh Yesus pada perjamuan malam terakhir menunjukkan pada penyerahan diri Yesus kepada Bapa bagi keselamatan dunia. Peristiwa salib Kristus itulah yang dirasakan dan dihadirkan di setiap Perayaan Ekaristi. Maka kesatuan kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus. Dalam hal ini maka Ekaristi juga sebagai perayaan kenangan dimana perjamuan malam terakhir dikenang dan diabadikan dalam Perayan Ekaristi (Martasudjita, 2009: 293-295). e. Ekaristi sebagai Perjamuan SC 47 menyebutkan Ekaristi sebagai perjamuan Paskah. Istilah perjamuan Paskah menunjukan perjamuan Ekaristi yang berasal dari perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus Kristus, yang disebut perjamuan Paksah (Yahudi). Perayaan Paskah ini dimengerti secara keseluruhan Perayaan Ekaristi, artinya Ekaristi sebagai perayaan kenangan. Istilah Paskah mendapat penolakan oleh beberapa Bapa Konsili Vatikan II karena bagi orang beriman istilah Paskah berarti kebangkitan Tuhan, tetapi