IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan penelitian, pertumbuhan bobot individu rata-rata, pertumbuhan panjang individu rata-rata, dan laju pertumbuhan spesifik rata-rata (SGR) ikan nila merah. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Persentase jenis kelamin jantan rata-rata dan derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata perlakuan di akuarium dan kolam pemeliharaan ikan nila merah untuk masing-masing perlakuan. Perlakuan % Jantan Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) Derajat Kelangsungan Hidup (SR) di Akhir Penelitian(%) AI 0 mg/l 59,90±3,100 a 100,00±0,000 a 84,55±0,000 a AI 25 mg/l 95,53±0,481 b 98,18±0,525 a 80,91±4,098 a AI 50 mg/l 96,83±1,728 b 98,41±0,777 a 76,59±2,787 a AI 75 mg/l 96,88±0,994 b 98,64±0,263 a 80,00±5,049 a MT 5 mg/l 96,55±1,405 b 98,64±0,455 a 91,36±2,275 a Catatan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); rata-rata ± SE. Tabel 4. Bobot individu rata-rata akhir dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) rata-rata ikan nila merah masing-masing perlakuan. Perlakuan Bobot Individu Rata rata Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR) Akhir (g) (%) AI 0 mg/l 36,38±0,500 a 9,93±0,026 a AI 25 mg/l 39,44±1,461 ab 10,06±0,060 ab AI 50 mg/l 39,28±0,986 ab 10,05±0,040 ab AI 75 mg/l 41,10±0,819 b 10,13±0,032 b MT 5 mg/l 42,05±0,450 b 10,17±0,017 b Catatan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); rata-rata ± SE. Hasil analisis ragam persentase jenis kelamin jantan rata-rata yang diperoleh di akhir penelitian pada umur ikan 2,5 bulan menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan MT 5 mg/l (kontrol positif) terhadap perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) (P<0,05).
Sedangkan antara perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif) tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05). Dari hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan AI pada dosis 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l dapat menggantikan penggunaan 17α-metiltestosteon 5 mg/l (kontrol positif) yang dapat dilihat dari nilai bobot individu rata-rata akhir, laju pertumbuhan spesifik rata-rata, derajat kelangsungan hidup rata-rata dan yang paling utama adalah nilai persentase jantan rata-rata yang relatif sama dan tidak berbeda secara signifikan (P>0,05). Aromatase inhibitor tidak mempengaruhi derajat kelangsungan hidup setelah perlakuan. Hal ini dibuktikan pada Tabel 3 dimana derajat kelangsungan hidup rata-rata ikan nila merah yang diatas 98 % dan tidak berbeda secara signifikan antara perlakuan AI 0 mg/l, 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan MT (kontrol positif) (P>0,05). Pada akhir penelitian terjadi kematian tetapi juga tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI dan MT (kontrol positif) (P>0,05). Derajat kelangsungan hidup baik setelah perlakuan maupun di akhir percobaan yang diperoleh pada semua perlakuan dan kontrol cukup tinggi yaitu lebih dari 75 %. Derajat kelangsungan hidup akhir perlakuan menunjukkan nilai yang sangat tinggi yaitu di atas 98 %. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa penggunaan aromatase inhibitor terbukti tidak mempengaruhi derajat kelangsungan hidup ikan uji hingga akhir penelitian (P>0,05). Pada bobot individu rata-rata akhir terlihat perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI 75 mg/l dan MT 5 mg/l (kontrol positif) terhadap perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) (P<0,05). Pada perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif), 25 mg/l, dan 50 mg/l tidak terjadi perbedaan yang signifikan (P>0,05). Hal yang sama juga terjadi antara perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan MT 5 mg/l (kontrol positif) (P>0,05). Untuk laju pertumbuhan spesifik (SGR) rata-rata, terjadi perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI 75 mg/l dan MT 5 mg/l (kontrol positif), terhadap perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) (P<0,05). Nilai SGR pada perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) tidak berbeda nyata dengan perlakuan AI 25 mg/l dan 50 mg/l (P>0,05). Hal sama juga terjadi pada perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l dan MT (kontrol positif). Perlakuan aromatase inhibitor terbukti memberikan hasil yang relatif sama dengan MT (P>0,05).
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa bobot individu rata-rata akhir yang tertinggi diperoleh pada perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif). Sedangkan pertumbuhan bobot individu rata-rata yang terendah diperoleh pada perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif). Untuk perlakuan AI 25 mg/l dan 50 mg/l mengalami petumbuhan bobot rata-rata yang relatif sama dari awal hingga akhir pemeliharaan. Untuk perlakuan AI 75 mg/l mengalami pertumbuhan bobot ratarata yang sama dengan perlakuan AI 25 mg/l dan AI 50 mg/l sejak awal pemeliharaan, namun terjadi peningkatan pertumbuhan bobot rata-rata pada hari ke 50. Secara umum semua perlakuan dan kontrol mengalami pertumbuhan bobot rata-rata yang seragam sejak awal pemeliharaan, namun pada hari ke 40 mulai terlihat perbedaan pertumbuhan pada masing-masing perlakuan dan kontrol. Perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l terbukti memiliki pertumbuhan bobot rata-rata yang relatif sama dengan perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif) (P>0,05). Keterangan : 5 ppm Gambar 2. Pertumbuhan bobot individu rata-rata ikan nila merah di dalam hapa pemeliharaan. (AI : aromatase inhibitor; MT : 17α-metiltestosteron)
Pada Gambar 3 secara umum terlihat bahwa ikan mengalami pertumbuhan panjang individu rata-rata seiring dengan waktu pemeliharaan pada semua perlakuan dan kontrol. Ikan mulai mengalami perbedaaan pertumbuhan panjang rata-rata pada hari ke 45. Panjang individu rata-rata akhir yang tertinggi diperoleh pada perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif). Kemudian hingga yang terendah adalah perlakuan AI 50 mg/l, AI 75 mg/l, AI 25 mg/l, dan AI 0 mg/l (kontrol negatif). Perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l memiliki pertumbuhan panjang rata-rata yang relatif sama dengan perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif). Keterangan : 5 ppm Gambar 3. Pertumbuhan panjang rata-rata ikan nila merah di hapa pemeliharaan. (AI : aromatase inhibitor; MT : 17α-metiltestosteron). Tabel 5. Kualitas air media pemijahan induk, akuarium perlakuan perendaman, awal penebaran di kolam dan akhir penelitian di kolam pemeliharaan ikan nila merah. Pemijahan Awal Kualitas Air Inlet Perlakuan Akhir Induk Penebaran NH 3 0,1 ppm 0,22 ppm 0,05 ppm 0,47 ppm 0,52 ppm Suhu min-max 28-33 o C 28-33 o C 28 o C 28-33 o C 28-33 o C ph 5,7 5,8 5,1 5,7 5,5 DO 4,2 ppm 5,2 ppm 6,8 ppm 5,1 ppm 4,8 ppm
Kualitas air pada media pemijahan induk masih berada dalam toleransi induk ikan nila merah sehingga mendukung terjadinya pemijahan secara alami dan telur yang dihasilkan sangat baik dengan derajat penetasan telur diatas 90 %. Kualitas air pada media perlakuan perendaman juga masih mendukung kehidupan larva ikan nila merah umur 1 hari setelah menetas. Begitu juga kualitas air media pemeliharaan pada awal penebaran di hapa dalam kolam pemeliharaan hingga akhir penelitian masih dalam toleransi ikan nila merah. Ikan nila merah mengalami pertumbuhan yang baik dalam pertumbuhan bobot dan panjang ratarata. Suhu air kolam yang relatif tinggi selama waktu pemeliharaan di hapa yaitu antara 28-33 o C, namun masih di dalam batas ambang toleransi ikan nila merah. 3.2 Pembahasan Pemberian aromatase inhibitor telah terbukti mempengaruhi persentase jenis kelamin jantan pada ikan nila merah, yang dapat dilihat dari peningkatan persentase jenis kelamin jantan sebesar 36,98 % yaitu dari kontrol negatif sebesar 59,9 % menjadi 96,88 % pada perlakuan AI 75 mg/l. Pemberian aromatase inhibitor juga telah terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Kwon (2000) yang diberikan melalui pakan yang dicampur dengan aromatase inhibitor jenis fadrozole dengan dosis 500 mg/kg pakan dengan hasil jenis kelamin jantan sebesar 96 %. Hasil peneliian Kwon (2000) hampir sama dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yang menghasilkan ikan nila merah berkelamin jantan sebesar 96,88 % dengan dosis aromatase inhibitor jenis imidazole 75 mg/l. Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurlaela (2002) melalui perendaman embrio dengan aromatase inhibitor jenis imidazole dengan dosis 20 mg/l selama 10 jam pada fase bintik mata yang menghasilkan jenis kelamin jantan ikan nila merah sebesar 82,2 %. Keberhasilan diferensiasi kelamin melalui penghambatan enzim aromatase dengan aromatase inhibitor dipengaruhi oleh dosis, lama perlakuan dan waktu perlakuan (Brodie, 1991). Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi keberhasilan diferensiasi kelamin. Keberhasilan maskulinisasi ikan nila merah pada penggunaan aromatase inhibitor dengan dosis 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l melalui perendaman larva umur satu hari setelah menetas telah melebihi persentase diatas 95 %.
Jenis kelamin ikan secara genetik telah ditentukan pada saat terjadinya pembuahan (Matty, 1985) dan ditentukan oleh faktor lingkungan dan genetik Yatim (1986). Namun gonad ikan yang baru menetas belum terdeferensiasi menjadi jantan atau betina (Junior, 2002). Apabila faktor jantan lebih dominan dari faktor betina maka zigot akan berkembang menjadi jantan, demikian pula sebaliknya (Yamamoto, 1969). Proses determinasi dan diferensiasi seks pada ikan sangat labil dan memungkinkan untuk dimanipulasi secara ploidi, menggunakan hormon, kejutan suhu, dan faktor lingkungan lainnya (Pandian dan Sheela, 1995). Proses diferensiasi sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Pada kondisi normal tanpa adanya gangguan, perkembangan gonad akan terjadi secara normal. Akan tetapi, apabila ada intervensi dari luar dengan bahan tertentu seperti hormon, maka perkembangan gonad dapat berlangsung berlawanan dari yang seharusnya (Junior, 2002). Lama waktu pemberian berbagai dosis aromatase inhibitor dan MT dalam penelitian ini masih sesuai dalam mempengaruhi terbentuknya kelamin jantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase jenis kelamin jantan pada perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) sebesar 59,9 %, perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif) sebesar 96,55%, dan perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l antara 95,53% sampai dengan 96,88%. Hasil analisis statistik persentase jenis kelamin jantan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI 75 mg/l dan MT 5 mg/l (kontrol positif) terhadap perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) pada taraf kepercayaan 95%, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan MT 5 mg/l (kontrol positif). Hasil ini menerangkan bahwa pemberian aromatase inhibitor dengan dosis 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan hormon MT 5 mg/l (kontrol positif) pada penelitian ini memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap pembentukan jenis kelamin jantan ikan nila merah (P>0,05). Dengan pemberian aromatase inhibitor pada masa diferensiasi kelamin ikan nila merah, maka akan mempengaruhi jenis kelamin ikan melalui lingkungan menjadi kelamin jantan secara fenotipe. Pemberian aromatase inhibitor pada saat ikan nila merah berumur 1 hari setelah menetas dirasa sudah sangat tepat, yang dilihat dari hasil persentase jantan yang lebih dari 95 %.
Hal ini didukung oleh Kwon et al. (2000) yang menyatakan bahwa masa diferensiasi kelamin ikan nila merah berlangsung sampai dengan umur 30 hari setelah menetas. Sehingga jika pemberian aromatase inhibitor dengan dosis yang sama dengan penelitian ini yang dilakukan pada saat semakin mendekati akhir masa diferensiasi maka akan memberikan hasil yang kurang memuaskan atau bahkan tidak berpengaruh terhadap penghambatan enzim aromatase. Hasil yang tidak berpengaruh ini disebabkan oleh adanya aktivitas enzim aromatase yang semakin mendekati masa akhir diferensiasi kelamin semakin meningkat dan jumlahnya yang semakin banyak. Dengan meningkatnya aktivitas dan jumlah dari enzim aromatase, maka akan membutuhkan aromatase inhibitor yang lebih banyak daripada pemberian yang dilakukan pada saat umur ikan 1 hari setelah menetas. Ikan nila merah yang genotipenya betina kemudian diberi aromatase inhibitor akan menjadi ikan nila merah jantan tanpa mengubah genotipe aslinya sehingga hanya terjadi perubahan fungsional betina menjadi jantan seperti tingkah laku, dan ciri kelamin sekunder atau terjadi maskulinisasi ciri penampakan seksual sekunder. Pemberian aromatase inhibitor akan mengakibatkan konsentrasi enzim aromatase semakin menurun sehingga terjadi penurunan rasio estrogen terhadap androgen. Penurunan rasio estrogen terhadap androgen mengakibatkan terjadinya perubahan penampakan hormonal dari betina menjadi menyerupai jantan atau dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder (Davis et al., 1999). Aromatase inhibitor dapat masuk ke dalam tubuh larva umur 1 hari setelah menetas diduga melalui proses perpindahan zat dari konsentrasi yang lebih tinggi menuju konsentrasi yang lebih rendah atau melalui proses difusi. Seperti halnya hormon 17α-metiltestosteron, aromatase inhibitor diduga masuk ke dalam plasma melalui membran sel secara difusi (Misnawati, 1997). Diduga aromatase inhibitor masuk ke dalam sel berhubungan dengan sisi aktif dari enzim dan mengikatnya sehingga sisi aktif tersebut tidak ditempati oleh substrat alaminya (Brodie, 1991). Oleh karena itu waktu untuk perlakuan aromatase inhibitor harus tepat.
Pemberian aromatase inhibitor melalui perendaman memberikan pengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin melalui dua cara. Pertama, bahan ini menghambat proses transkripsi dari gen-gen aromatase sehingga mrna tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Server, 1999) atau melalui cara bersaing dengan substrat alami (testosteron) sehingga aktivitas aromatase tidak berjalan (Brodie, 1991). Penghambatan ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever, 1999). Dengan membudidayakan ikan monoseks akan didapatkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat dan mencegah pemijahan liar (Junior, 2002). Dalam budidaya ikan nila merah dengan sistem kelamin tunggal jantan (monoseks) jelas akan lebih menguntungkan. Dengan sistem ini akan menghindari adanya pemijahan liar pada suatu populasi ikan nila merah, sehingga energi yang dihasilkan akan digunakan seluruhnya untuk pertumbuhan secara maksimal. Pada budidaya ikan nila merah dengan sistem campuran (mix culture) akan terganggu dengan adanya pemijahan liar yang akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Energi yang dihasilkan tidak digunakan untuk pertumbuhan secara maksimal melainkan untuk proses pematangan gonad dan memijah. Hal ini jelas akan menghambat pertumbuhan ikan nila merah. Pada ikan nila merah betina yang sudah memijah maka akan terganggu dalam proses pertumbuhannya. Hal ini disebabkan karena sifat dari ikan nila itu sendiri yaitu mengerami telurnya. Dalam proses pengeraman telur, ikan nila betina tidak makan sehingga energi yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh berkurang dan tidak digunakan untuk pertumbuhan melainkan untuk mengerami telur. Oleh karena itu bila membudidayakan ikan nila merah dengan sistem kelamin tunggal jantan akan lebih menguntungkan daripada budidaya ikan nila merah dengan sistem campuran (mix culture). Derajat kelangsungan hidup merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dan keberlanjutan suatu produksi akuakultur. Pemberian material dari luar sebagai pemacu baik untuk pertumbuhan atau manipulasi kelamin, secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap derajat kelangsungan hidup ikan.
Dalam penggunaan 17α-metiltestosteron dalam maskulinisasi ikan dengan dosis yang berlebihan akan mengakibatkan keabnormalan dan kematian ikan (Misnawati, 1997). Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa derajat kelangsungan hidup pada akhir perlakuan menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu lebih dari 95 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara semua perlakuan AI dan kontrol (P>0,05). Sehingga penggunaan aromatase inhibitor sebagai pengganti MT terbukti cukup aman bagi ikan dan terutama manusia yang mana sifat dari aromatase inhibitor jenis imidazole ini tidak bersifat karsinogenik. Dari hasil analisis terbukti bahwa aromatase inhibitor yang diberikan melalui perendaman tidak memberikan pengaruh terhadap derajat kelangsungan hidup ikan. Hal ini sesuai dengan Kwon et al. (2000) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan statistik antara mortalitas dengan perlakuan pemberian aromatase inhibitor dan hormon 17α-metiltestosteron. Derajat kelangsungan hidup populasi ikan nila merah pada akhir penelitian secara umum cukup baik karena memiliki nilai lebih dari 98 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l terhadap perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif) dan perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) (P>0,05). Pada penelitian ini ikan mengalami petumbuhan bobot harian yang relatif sama dan mengalami pertumbuhan seiring dengan waktu pemeliharaan. Hal ini ditunjukkan dalam grafik pertumbuhan pada Gambar 2 yang berbentuk sigmoid yang artinya bahwa ikan mengalami pertumbuhan setiap harinya hingga akan mengalami pertumbuhan yang konstan pada waktu tertentu. Pada saat setelah perlakuan, belum memberikan pengaruh pada pertumbuhan ikan, karena ikan masih dalam proses diferensiasi kelamin. Setelah terjadi diferensiasi kelamin menjadi jantan maka terlihat pertumbuhan yang semakin meningkat. Hal ini terlihat dari hasil analisis ragam pada nilai bobot individu rata-rata akhir yang tinggi pada perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, dan 75 mg/l tidak berbeda signifikan terhadap perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif) (P>0,05). Untuk perlakuan AI 75 mg/l dan perlakuan MT 5 mg/l (kontrol positif) berbeda nyata dengan perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) (P<0,05). Namun perlakuan AI 25 mg/l dan 50 mg/l tidak berbeda signifikan terhadap perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) (P>0,05).
Laju pertumbuhan spsesifik yang tinggi terlihat pada perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan MT 5 mg/l (kontrol positif) bila dibandingkan dengan perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif). Dari hasil analisis ragam diperoleh hasil yang berbeda secara signifikan antara perlakuan AI 75 mg/l maupun MT 5 mg/l (kontrol positif) terhadap perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif). Namun antara perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 ppm, dan MT (kontrol positif) tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bobot yang nyata antara populasi ikan nila yang direndam dengan AI 75 mg/l maupun MT 5 mg/l (kontrol positif) dengan AI 0 mg/l (kontrol negatif). Nisbah kelamin jantan yang berbeda nyata antara perlakuan AI 75 mg/l dan MT 5 mg/l (kontrol positif) dibandingkan dengan perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) diduga menjadi faktor penyebab terjadinya keadaan tersebut. Banyaknya jumlah individu benih yang berkelamin jantan pada populasi perlakuan AI 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, dan MT 5 mg/l (kontrol positif) mempunyai laju pertumbuhan spesifik yang lebih cepat sehingga menyebabkan bobot individu rata-rata akhir populasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan populasi perlakuan AI 0 mg/l (kontrol negatif) yang mempunyai individu berkelamin jantan lebih sedikit. Hal ini didukung oleh Popma dan Masser (1999) yang menyatakan bahwa ikan ini terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan antara ikan jantan dengan ikan betina dimana ikan nila jantan tumbuh dua kali lebih cepat dari ikan betina. Pertumbuhan yang cepat ini juga didukung dengan parameter lingkungan seperti suhu air kolam yang menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pada masa pemeliharaan sedang berada dalam musim kemarau, dimana intensitas cahaya matahari yang diserap oleh air lebih banyak sehingga dapat meningkatkan suhu air pada siang hari. Dengan meningkatnya suhu maka metabolisme ikan juga akan meningkat, sehingga menyebabkan pakan yang diberikan lebih banyak dan menghasilkan pertumbuhan yang cepat meningkat dalam pertumbuhan bobot dan panjang. Selain itu, menurut D Cotta et al. (2001), faktor lingkungan seperti suhu juga ikut mempengaruhi proses diferensiasi kelamin, dimana suhu tinggi dapat meningkatkan persentase ikan jantan. Sehingga dengan suhu tinggi ini juga mendukung proses maskulinisasi ikan nila merah.
Kualitas air media pemijahan induk ikan nila merah masih mendukung terjadinya pemijahan ikan nila merah secara alami dan menghasilkan telur yang sangat baik dengan derajat penetasan telur di atas 90 %. Begitu juga pada media perlakuan perendaman masih mendukung kehidupan larva ikan nila merah. Kualitas air kolam pemeliharaan pada umumnya masih layak untuk proses budidaya ikan nila merah, namun terdapat beberapa parameter saja yang kurang optimal seperti kadar amonia yang cukup tinggi namun masih dapat ditolerir oleh ikan nila merah dan tumbuh dengan baik hingga akhir penelitian. Adanya hubungan yang tidak berbeda nyata antara perlakuan AI 25 mg/l dan 50 mg/l terhadap perlakuan AI 0 mg/l diduga karena masa pemeliharaan yang kurang lama sehingga pertumbuhan yang dihasilkan kurang terekspresikan. Menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Wageningen terhadap pertumbuhan ikan nila (Rutten, 2005), perbedaan laju pertumbuhan antara ikan jantan dan betina ini baru terlihat setelah jangka waktu pemeliharaan 150 hari. Dengan semakin lamanya masa pemeliharaan yang dilakukan atau hingga pada proses pembesaran dengan ukuran konsumsi sekitar 200-250 g, diharapkan akan terlihat perbedaan pertumbuhan antara populasi ikan nila merah yang diberi aromatase inhibitor atau populasi ikan nila merah jantan lebih dari 95 % dengan populasi ikan nila merah normal atau campuran (mix culture). Pada populasi ikan nila merah yang diberi aromatase inhibitor diduga akan terjadi pertumbuhan atau bobot akhir yang ingin dicapai akan akan lebih cepat sehingga waktu pemeliharaanya juga lebih cepat daripada populasi ikan nila merah normal atau campuran (mix culture). Dengan membudidayakan ikan nila merah kelamin tunggal jantan (monoseks) akan didapatkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan yang baik, dan menunjang genetika ikan (teknik pemurnian ras ikan) (Junior, 2002). Bila dikaitkan dengan proses produksi maka dengan pemeliharaan monoseks jantan ikan nila merah akan mempercepat waktu produksi dalam suatu proses pembesaran ikan nila merah. Dengan semakin cepat waktu produksi suatu siklus pembesaran maka akan menekan biaya produksi, sehingga lebih efisien dalam segi waktu dan biaya serta dapat mempercepat perputaran uang.
Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kwon et al. (2000), dimana aromatase inhibitor jenis fadrozole diberikan melalui pakan dengan dengan dosis 500 mg/kg pakan dengan hasil jenis kelamin jantan sangat tinggi yaitu sebesar 96 %, maka pemberian aromatase inhibitor dalam penelitian ini yang juga mendekati 96 % pada perlakuan AI 25 mg/l selain sama efektifnya dengan MT 5 mg/l juga akan terasa lebih efisien baik dalam segi waktu dan biaya. Bila melalui pakan maka akan menambah biaya dalam bahan aromatase inhibitor itu sendiri dan memerlukan waktu perlakuan yang lebih banyak. Dengan pemberian aromatase inhibitor melalui perendaman larva umur sehari setelah menetas akan lebih memudahkan para pelaku pembudidaya ikan nila merah dalam aplikasi sex reversal ikan nila merah. Aplikasi sex reversal melalui perendaman memerlukan dosis yang lebih sedikit dan hanya diberikan sekali pada saat umur larva 1 hari setelah menetas. Sedangkan aplikasi sex reversal melalui pakan buatan seperti yang dilakukan oleh Kwon et al. (2000) jelas akan membutuhkan dosis yang lebih banyak dan memerlukan lebih banyak waktu serta bahan dalam persiapan untuk bahan perlakuan aromatase inhibitor. Dengan semakin meningkatnya dosis perlakuan maka juga akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan dalam suatu proses produksi pada aplikasi sex reversal ikan nila merah. Oleh karena itu sex reversal melalui perendaman larva umur satu hari setelah menetas dirasa akan lebih efektif dan efisien dalam segi waktu dan biaya. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa aromatase inhibitor jenis imidazole merupakan salah satu bahan alternatif yang cocok dan dapat digunakan sebagai pengganti hormon 17α-metiltestosteron dalam aplikasi sex reversal ikan nila merah serta usaha produksi populasi monoseks jantan ikan nila merah. Dosis AI 25 mg/l melalui perendaman merupakan metode yang paling efektif dan efisien dalam waktu dan biaya untuk menggantikan penggunaan hormon 17α-metiltestosteron. Dilihat dari segi ekonomi, semakin kecil dosis yang dipakai, maka biaya yang harus dikeluarkan juga akan semakin kecil. Jika akan melakukan penelitian yang serupa, untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang berbeda nyata, maka diperlukan penambahan waktu pemeliharaan ikan nila merah hingga umur ikan minimal 150 hari (Rutten, 2005).