IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul setiap perlakuan. Kadar Total Protein Darah Ulangan P1 P2 P3 P4 P5 ---------------------------------(g/dl)------------------------------ 1 4,86 4,60 5,65 4,27 4,45 2 3,80 5,78 6,08 4,60 4,35 3 4,64 4,49 4,80 5,15 4,29 4 4,70 4,80 5,06 4,86 4,76 Total 18 19,67 21,59 18,88 17,85 Rataan 4,5±0,48 4,92±0,59 5,40±0,58 4,72±0.37 4,46±0,21 Keterangan : P1 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 15% P2 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 17% P3 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19% P4 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 15% P5 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 17% Dari Tabel 6 dapat dilihat rataan total protein darah ayam Sentul berada pada kisaran 4,46-5,40 g/dl, rataan tertinggi dicapai oleh perlakuan 3 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19%) yaitu 5,40 g/dl sedangkan rataan terendah dicapai oleh perlakuan 5 (Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 17%) yaitu 4,46 g/dl, disini terlihat bahwa semakin tinggi pemberian protein ransum akan memberikan total protein darah yang tinggi pula. Konsentrasi protein plasma yang normal pada unggas berkisar antara 4,0-5,2 g/dl (Swenson, 1984), hasil yang diperoleh pada setiap perlakuan memperlihatkan peningkatan
Total Protein g/dl 33 total protein yang berada pada kisaran normal yang menandakan ternak tersebut dalam keadaan sehat. Perlakuan 3 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19%) memiliki nilai rataan yang lebih tinggi diantara perlakuan yang lainnya, hal ini disebabkan karena pemberian protein dalam ransum yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya. Apabila digambarkan secara grafik batang dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Ilustrasi 1. Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul setiap perlakuan. 6 5 4 3 2 1 Kadar Total Protein 0 p1 p2 p3 p4 p5 Perlakuan Keterangan : P1 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 15% P2 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 17% P3 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19% P4 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 15% P5 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 17% Pada Tabel 6 dan Ilustrasi 1 dapat dilihat bahwa penambahan tingkat protein ransum dapat meningkatkan kadar total protein dalam darah. Hal ini disebabkan karena semakin besar tingkat pemberian energi dan protein dalam ransum maka semakin besar kadar total protein yang diserap dan masuk kedalam
34 darah. Protein yang terdapat di dalam pakan dipecah menjadi asam amino dan diserap dari usus halus, dibawa ke dalam hati melalui pembuluh darah vena, tetapi di dalam hati asam amino digunakan untuk membentuk protein sesuai dengan kebutuhan tubuh ternak, sebagian mungkin diubah menjadi energi dalam bentuk glukosa atau lemak. Penyerapan protein dimulai ketika makanan masuk kedalam usus. Mukosa usus terdiri atas lapisan otot licin, jaringan ikat dan epitel kolumnar sederhana dekat lumen. Secara umum asam amino setelah diserap oleh usus halus akan masuk ke dalam pembuluh darah (Widodo, 2002) dan dibawa ke dalam hati melalui pembuluh darah vena. Hati mensintesis dan melepaskan lebih dari 90% protein plasma (Martini dkk, 1992). Menurut Kaneko dkk, (1997) terdapat tiga fraksi utama protein dalam darah, yaitu albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin, fibrinogen, dan globulin (50-80% globulin) disintesis di organ hati, sedangkan sisa globulin lainnya dibentuk di jaringan limfoid. Protein total merupakan senyawa organik yang sangat penting, salah satu bagian dari protein total yang sangat penting adalah protein plasma. Protein plasma terdiri dari campuran yang sangat kompleks yaitu protein sederhana dan protein konjugasi seperti glikoprotein dan berbagai bentuk lipoprotein (Girindra, 1989). Beberapa fungsi protein plasma dikemukakan R. D. Frandson, (1992) yaitu sebagai fungsi angkutan, fungsi imunitas, fungsi buffer, dan mempertahankan tekanan osmotik. Pentingnya protein plasma menyebabkan protein total dalam darah di distribusikan secara merata untuk kebutuhankebutuhan organ tubuh sehingga protein total yang ada di dalam darah meningkat seiring dengan bertambahnya kandungan protein dalam ransum. aktor-faktor yang
35 dapat mempengaruhi konsentrasi total protein secara fisiologis dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, hormonal, jenis kelamin, nutrisi, lingkungan dan kehilangan cairan (Kaneko, 1997). Guna mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap kadar total protein dalam darah maka dilakukan analisis statistika menggunakan sidik ragam. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Fhit<0,05) terhadap total protein darah, artinya bahwa tingkat protein pada setiap perlakuan memberikan pengaruh yang sama. 4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap kerapuhan sel darah merah ayam Sentul Pengaruh pemberian tingkat energi protein dalam ransum terhadap kerapuhan sel darah merah pada ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kerapuhan sel darah merah ayam Sentul setiap perlakuan Konsentrasi NaCl (%) P1 P2 P3 P4 P5 Hemolisis(%) 0,1-0,3 95.24 91.46 92.94 94.07 91.56 0,4-0,5 16.27 17.66 23.75 7.70 8.88 0,55-0,70 5.49 2.66 2.88 2.41 2.64 0,75-0,90 2.93 2.74 3.00 2.67 3.05 Keterangan : P1 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 15% P2 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 17% P3 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19% P4 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 15% P5 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 17% Tabel 7 menyajikan rataan kerapuhan sel darah merah ayam Sentul pada berbagai perlakuan, kerapuhan yang tinggi pada setiap konsentrasi larutan NaCl umumnya dicapai oleh perlakuan 1 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein
Hemolisis (%) 36 15%) sedangkan kerapuhan yang rendah pada setiap konsentrasi larutan NaCl umumnya dicapai oleh perlakuan 3 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19%). Adapun rincian hemolisis pada setiap konsentrasi larutan NaCl tertera pada lampiran 4. Apabila digambarkan secara grafik batang dapat dilihat pada ilustrasi 2. Ilustrasi 2. Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap kerapuhan sel darah merah ayam Sentul. Kerapuhan Sel Darah Merah 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 0.1 0.2 0.3 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 Konsentrasi Larutan NaCl (%) p1 p2 p3 p4 p5 Keterangan : P1 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 15% P2 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 17% P3 = Ransum dengan Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19% P4 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 15% P5 = Ransum dengan Energi Metabolis 2950 k.kal/kg dan Protein 17% Tabel 7 dan Ilustrasi 2 menunjukan bahwa penambahan tingkat protein dalam ransum dapat menurunkan kerapuhan sel darah merah ayam Sentul, dari Tabel 7 dan Ilustrasi 2 dapat dilihat bahwa terjadinya hemolisis yang paling besar berada pada konsentrasi 0,1-0,40% larutan NaCl, penelitian ini sesuai dengan temuan Mafudvadze dan Erlwanger (2007) yang melaporkan bahwa hemolisis maksimum terjadi pada unggas antara 0,20-0,40%. Selanjutnya setiap penambahan konsentrasi larutan NaCl kerapuhan sel darah merah pada setiap
37 perlakuan menunjukan peningkatan kekuatan membran sel darah sehingga mengalami penurunan kerapuhan sel darah merah. Pada konsentrasi larutan NaCl 0,45%-0,5% kerapuhan masih telah mengalami penurunan. Umumnya pada konsentrasi larutan NaCl 0,40% - 0,70% hemolisis masih terbilang tinggi, tetapi pada penelitian ini perlakuan 0,40% - 0,70% larutan NaCl kerapuhan sel darah merah sudah mulai menurun, hal ini disebabkan karena penambahan protein di dalam ransum sehingga protein melapisi membran dan kerapuhan menjadi menurun. Pada konsentrasi 0,55-0,70% larutan NaCl darah sudah dapat mempertahankan kerapuhannya sehingga hemolisis sudah mulai mengecil dan stabil. Secara keseluruhan terlihat perlakuan 1 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 15%) memiliki kecenderungan hemolisis tinggi pada konsentrasi 0,45-0,70% larutan NaCl, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan protein dalam ransum maka hemolisis semakin kecil akibat peranan protein yang dapat mencegah kerapuhan sel darah merah. Kerapuhan sel darah merah mulai stabil pada larutan NaCl konsentrasi 0,75-0,90%, hal ini disebabkan karena konsentrasi larutan sama dengan konsentrasi cairan sel darah merah (isotonis). Apabila darah berada pada cairan yang kondisinya tidak sesuai maka akan mengalami lisis tinggi tetapi pada konsentrasi larutan NaCl 0,45% sudah menunjukan adanya penurunan kerapuhan sel darah merah dan berangsur-angsur stabil hingga 0,85%. Hal ini disebabkan oleh pemberian protein yang dapat meningkatkan protein membran darah karena protein memiliki molekul yang lebih besar sehingga membran sel darah tidak mudah dimasukki oleh cairan yang ada di luar sel darah merah. Tabel 7 dan Ilustrasi 2 menunjukan kecenderungan perlakuan 3 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19%) memberikan hemolisis yang paling
38 rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, hal ini karena pemberian protein yang ada dalam ransum meningkat yang menyebabkan total protein yang ada didalam darah juga meningkat dan dialirkan salah satunya digunakan sebagai penyusun membran sel darah merah sehingga sel darah merah lebih kuat berada pada larutan yang hipertonis/hipotonis. Berbeda dengan perlakuan 3 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19%), perlakuan 1 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 15%) menunjukan kecenderungan hemolisis yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini karena pemberian protein yang ada dalam ransum lebih sedikit dibandingkan perlakuan 2, 3, dan 5 sehingga menyebabkan total protein yang ada dalam darah rendah dan dialirkan salah satunya digunakan sebagai penyusun membran sel darah merah, hal tersebut menyebabkan sel darah merah tidak dapat mempertahankan kerapuhannya dalam larutan isotonis dan terjadilah hemolisis. Membran plasma eritrosit bersifat permeable terhadap molekul air (H2O). Sel darah merah yang dimasukkan dalam larutan hipertonis akan mengalami krenasi (pengerutan) sel karena lebih banyak air yang keluar sel daripada yang masuk. Demikian sebaliknya, apabila eritrosit berada dalam lingkungan yang hipotonis, maka osmosis akan terjadi dari luar ke dalam sel yang akan menyebabkan sel akan menggembung. Apabila membran plasma tidak dapat menahan tekanan tinggi intrasel sebagai akibat dari tercapainya critical volume, maka sel akan pecah dan hemoglobin akan dilepaskan (Paleari dkk, 2008). Sel darah merah terdiri antara lain adalah eritrosit, sebagian besar eritrosit bersirkulasi dalam waktu yang terbatas dengan kisaran bervariasi dari 2-5 bulan pada hewan domestikasi dan tergantung spesies. Masa hidup eritosit unggas lebih pendek dari mamalia yaitu berumur 28 45 hari dan pada hewan umumnya kira-
39 kira 25 hingga 140 hari (Guyton, 1986), sehingga kebutuhan protein dan energy untuk pembentukan eritrosit dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk menghindari kekurangan eritrosit. Eritrosit dari hewan dewasa dibentuk didalam sumsum tulang belakang sedangkan pada waktu masih janin dihasilkan oleh hati, limpa, dan nodus limpatikus (R. D. Frandson, 1992). Menurut Guyton (1997) sel darah merah yang sudah mati dihancurkan di dalam hati. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fragilitas eritrosit secara fisiologi, menurut Swenson (2005) yaitu status nutrisi, temperatur lingkungan, dan genetik dapat memengaruhi fragilitas eritrosit. Status nutrisi memengaruhi komposisi penyusun membran eritrosit, seperti pendapat Tortora dan Graboeski (1993) bahwa penyusun eritrosit terdiri dari komponen fosfolipid, glikolipid, kolesterol, dan protein (glikoprotein), yang sangat tergantung pada status nutrisi yang dikonsumsi oleh hewan. Sementara itu Oyewale (1991) melaporkan bahwa hewan yang berada di lingkungan yang lebih panas mempunyai fragilitas eritrosit lebih rendah dari pada hewan yang hidup di daerah basah. Selanjutnya Oyewale, (1993) menyatakan bahwa penyimpanan darah pada refrigator dan penggunaan antikoagulan Ethylene Diamine Tetra Aceticacid (EDTA) dapat meningkatkan fragilitas eritrosit. Guna mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap kerapuhan sel darah merah maka dilakukan analisis statistika menggunakan analisis sidik ragam (Lampiran 5). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Fhit<0,05) artinya bahwa tingkat protein pada setiap perlakuan memberikan pengaruh yang sama. Akan tetapi kecenderungan untuk dapat mempertahankan kerapuhan sel darah merah yang baik dengan pemberian perlakuan 3 (Energi Metabolis 2750 k.kal/kg dan Protein 19%). Protein yang ada
40 di dalam membran sel darah merah meningkat akan tetapi karena penyusun sel darah merah terdiri dari lipid dan protein sehingga sel darah merah tidak dapat mempertahankan keutuhannya dengan maksimal.