BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

PEMANFAATAN DATA SPACIAL UNTUK REFRENSI KERUANGAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

III. METODOLOGI PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Interpretasi Citra dan Foto Udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB 3 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Informasi Geografis untuk Kepadatan Lalu Lintas

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

MODEL DATA SPASIAL DALAM SIG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Studi Perhitungan Jumlah Pohon Kelapa Sawit Menggunakan Metode Klasifikasi Berbasis Obyek

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kabupaten Jombang merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

Session_02 February. - Komponen SIG - Unsur-unsur Essensial SIG. Matakuliah Sistem Informasi Geografis (SIG)

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

LAYERING INFORMASI PETA DAN TABULASI UNTUK INFORMASI KEPADATAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO

Bab III Pelaksanaan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2013) ISSN: ( Print) 1 II. METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia dikenal dan diarahkan menjadi negara agraris sejak puluhan tahun lalu. Perkembangan pertanian Indonesia setiap periode mengarah ke tujuan yang lebih baik. Pembangunan pertanian Indonesia mengarah pada kedaulatan pangan agar Indonesia menjadi bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk kemampuan bangsa salah satunya dalam hal mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri (Kementerian Pertanian, 2015). Tanaman padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting bagi Indonesia. Swasembada padi sebagai tanaman pangan merupakan salah satu rencana strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 (Kementerian Pertanian, 2015). Berdasar Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, produksi padi sawah merupakan produksi padi nasional dalam memenuhi kebutuhan beras di Indonesia. Produksi padi diperkirakan berdasarkan data lapangan yang dihimpun dari mantri tani disetiap kecamatan berdasarkan hasil ubinan secara acak terpilih (bps.go.id). Data produksi padi diperoleh dari parameter luas area panen dan produktivitas padi per hektar (Maksum, dkk, 1998 dalam Wahyunto, dkk, 2006). Data produksi padi digunakan sebagai salah satu aspek penentu ketahanan dan ketersediaan pangan yang dimiliki instansi terkait. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang/galengan, saluran untuk menahan/menyalurkan air, biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut (bps.go.id). Luas lahan yang dijadikan media tanam kurang dari luas lahan yang terdaftar sebagai persil tanah. Hal tersebut berpengaruh terhadap data yang dimiliki instansi terkait. Terjadi perbedaan luas karena adanya pematang yang merupakan pembatas tiap petak sawah. Perbedaan tersebut mempengaruhi produksi padi jika dibandingkan dengan luas lahan efektif yang digunakan sebagai media tanam. 1

2 Kementerian Pertanian dalam web BPS (bps.go.id) menjelaskan luas bersih adalah luas sawah secara keseluruhan (luas kotor) dikurangi dengan luas pematang/galengan dan luas saluran air. Luas bersih digunakan dalam perhitungan produksi dan produktivitas padi. Luas bersih atau luas panen bersih ini mempengaruhi hasil produksi dan produktivitas padi (Indrawati dan Brodjol, 2012). Pengukuran koefisien galengan selama ini dilakukan dengan pengukuran secara manual dengan mengambil sampel kecil di beberapa wilayah. Sedangkan koefisien di berbagai tempat di suatu desa berbeda-beda. Sampel tersebut dapat tidak mewakili populasi yang besar. Maka dari itu diperlukan metode efektif untuk mengetahui dan melakukan perhitungan koefisien. Data penginderaan jauh yang dapat mencakup kawasan yang luas. Pengambilan sampel besar dapat dilakukan dengan menyeluruh dan lebih efisien daripada cara manual. Cara tersebut diintergrasikan dengan teknologi SIG, maka dapat didapat koefisien galengan yang diperoleh dengan perhitungan geometri. SIG memiliki kemampuan lebih dalam operasi data spasial yang direpresentasikan sebagai geometri. Geometri dapat berupa titik, garis, maupun luasan. Operasi yang dapat diilakukan pada geometri diantaranya perhitungan panjang, luas, keliling, dan keterkaitan (hubungan) antar geometri dalam suatu lokasi. Operasi geometri dapat pula menentukan perbandingan luasan yang direpresentasikan sebagai poligon. Pada penelitian ini, dilakukan operasi untuk menentukan koefisien galengan sawah terhadap luas sawah secara keseluruhan. I.2. Rumusan Masalah Koefisien galengan didapat dari perbedaan luas lahan sawah yang memperhitungkan luas galengan dengan luas sawah yang memperhatikan luas galengan. Perbedaan tersebut dapat diketahui dari data penginderaan jauh baik dari data citra satelit maupun foto udara. Bertolak dari konsep perhitungan koefisien galengan dan data yang tersedia, penelitian ini merumuskan masalah yang dibahas mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Koefisien galengan lahan sawah dapat diperoleh dari data foto udara dan citra satelit.

3 2. Koefisien galengan lahan sawah yang diperoleh dari dua lokasi dan kondisi lahan yang berbeda. 3. Koefisien galengan lahan sawah secara keseluruhan di lokasi studi diperoleh dari data yang tersedia. I.3 Pertanyaan Penelitian 1. Berapa luas media tanam dan koefisien galengan dari data foto udara dan data citra WorldView-2 di desa Demen? 2. Berapa luas media tanam dan koefisien galengan dari data citra World View dan persil BPN di desa Karangsari? 3. Berapa koefisien galengan lahan sawah keseluruhan pada lokasi studi? I.4. Cakupan Penelitian Penelitian dilakukan pada tahun 2016 dengan data utama berupa model data vektor dari persil tanah dan digitasi media tanam dari tiap lokasi. Pembatasan masalah dalam penelitian meliputi: 1. Lokasi penelitian yang digunakan adalah lahan sawah di Desa Demen dengan karakteristik sawah datar dan Desa Karangsari dengan karakteristik sawah terasering. 2. Data utama dalam perhitungan koefisien galengan lahan sawah pada penelitian ini adalah poligon media tanam hasil digitasi data citra satelit dan foto udara. Luas dari data vektor tersebut dihitung untuk menjadi parameter dalam perhitungan koefisien galengan. Parameter lain dalam perhitungan adalah data persil lahan sawah dari BPN dan interpretasi wilayah lahan sawah. 3. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan luas bersih dan koefisien galengan lahan sawah di kedua lokasi studi ya I.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan galengan lahan sawah dari data citra satelit dan foto udara. Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan

4 dengan memperhatikan cakupan penelitian, maka penelitian ini dibuat dengan tujuan khusus: 1. Mengetahui luas galengan dan media tanam dari data UAV dan data citra WorldView-2 di desa Demen. 2. Mengetahui luas galengan dan media tanam dari data citra WorldView-2 dan data persil dari BPN di desa Karangsari. 3. Mengetahui koefisien pematang terhadap luas sawah di lokasi studi. I.6 Manfaat Penelitian Penggunaan data penginderaan jauh dan penerapan sistem informasi geografis untuk penentuan koefisien galengan lahan sawah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap Kementerian Pertanian. Selain itu, hasil koefisien galengan dapat dijadikan pertimbangan untuk instansi terkait dalam penyediaan data produksi padi. Metode dan pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan dalam bidang geodesi, pertanian, maupun tata guna lahan. I.7. Tinjauan Pustaka Produksi padi diperoleh dari hasil perkalian antara luas panen (bersih) dengan produktivitas (Badan Pusat Statistik, 2008). Data luas panen yang dilaporkan dari tingkat kecamatan masih merupakan luas kotor, sehingga harus dikoreksi dengan besaran konversi galengan/pematang untuk mendapatkan luas panen bersih (Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, 2015). Penggunaan teknologi penginderaan jauh dapat diterapkan dalam mengestimasi luas bersih. Teknologi penginderaan jauh sudah banyak dimanfaatkan untuk pemetaan pertanian. Teknologi ini terutama digunakan dalam klasifikasi tutupan lahan dan penggunaan lahan. O Connell dkk (2015) melakukan protokol klasifikasi untuk pemetaan fitur yang bukan tanaman pertanian di wilayah pertanian. Citra dengan resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian Debats dkk (2016) efektif dalam membedakan tutupan lahan pertanian yang heterogen. Penelitian tersebut melakukan klasifikasi untuk sejumlah tutupan lahan pertanian dari petani kecil yang memiliki lahan kecil dan tidak beraturan.

5 Segmentasi citra yang dilakukan untuk wilayah pertanian yang beraturan tidak menunjukkan heterogenitas yang besar (Avici dan Sunar, 2015). Berdasar penelitian tersebut, parameter segmentasi yang paling tepat dalam prosedur segmentasi adalah menggunakan analisis visual. Vandysheva, dkk (2000), mengidentifikasi kelas-kelas penutup lahan pada level yang berbeda dengan data satelit dengan resolusi spasial yang berbeda. Terjadi perbedaan hasil klasifikasi dan terjadi gap antar kelas karena menggunakan skala/resolusi yang berbeda pada saat klasifikasi. Penelitian tersebut menggunakan data raster dalam pengolahan data, sedangkan dalam penelitian ini yang akan diolah adalah data vektor. Citra lebih sering digunakan dalam pemetaan pertanian. Hasil pemetaan menggunakan wahana pemetaan udara dan hasil pemetaan terrestrial tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Rokhmana, 2015). Hamsa (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui luas bersih sawah menggunakan pengolahan citra digital dengan citra WorldView-2. Widhiasih (2014) dalam penelitiannya menyebutkan estimasi jumlah produktivitas padi dengan parameter-parameter sawah secara langsung yaitu jumlah petakan sawah, luas sawah per petak, keliling sawah per petak. Penelitian tersebut membahas tentang luas bersih lahan sawah dan koefisien galengan sawah di Sulawesi menggunakan data citra WorldView-2. Berdasar penelitian tersebut didapat angka koefisien galengan untuk lahan sawah dataran tinggi/kawasan berbukit rata-rata lebih tinggi yaitu sebesar 0,29 bila dibandingkan dengan angka koefisien galengan pada sawah dataran rendah/datar sebesar 0,18. I.8. Landasan Teori I.8.1. Lahan Sawah Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang/galengan, saluran untuk menahan/menyalurkan air, biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut (Badan Pusat Statistik, 2015).

6 I.8.2. Luas bersih lahan sawah Luas bersih adalah luas sawah secara keseluruhan (luas kotor) dikurangi dengan luas pematang/galengan dan luas saluran air (bps.go.id) atau dapat dituliskan dalam persamaan (I.1). L = L k Apabila yang dicari adalah k g, maka berdasar persamaan (I.1) diperoleh: k = L L Koefisien galengan lahan sawah dari persamaan (I.2) dibandingkan dengan luas kotor keseluruhan untuk mendapatkan presentase koefisien galengan lahan sawah. Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai persamaan (I.3) berikut: (I.1) (I.2) dengan L L k = Luas bersih = Luas kotor sawah = koefisien galengan k = L L L (I.3) Persamaan (1.3) ini selanjutnya menjadi dasar perhitungan koefisien galengan lahan sawah pada penelitian ini. Parameter persamaan yaitu luas bersih dan luas kotor dalam penelitian ini didapat dari digitasi data citra satelit dan foto udara, serta persil sawah dari BPN. I.8.3. UAV dan Data Foto Salah satu data dari penelitian ini diakuisisi dengan UAV dan hasilnya berupa data peta foto yang telah dilakukan koreksi geometrik. Data hasil UAV digunakan karena dapat diperoleh peta foto dengan resolusi spasial tinggi. UAV (Unmanned Aerial Vehicle) meliputi semua wahana terbang tanpa awak dengan kemampuan untuk dikendalikan dari jarak jauh (Shen dkk, 2015). Istilah ini biasanya digunakan dalam ilmu computer dan komunitas ilmu artifisial, namun istilah seperti Remotely Piloted Vehicle (RPV), Remotely Operated Aircraft (ROA), Remote Controlled Helicopter (RC-Helicopter), Unmanned Vehicle Systems (UVS) dan model helicopter juga sering digunakan.

7 Penggunaan utama dari UAV adalah penggunaan untuk observasi, pemeliharaan, pengawasan, monitoring, penginderaan jauh, dan keamanan. Pada tahun-tahun terakhir, semakin banyak penggunaan UAV sebagai alat fotogrametri. Perkembangan ini ada seiring perkembangan system GPS/INS yang dapat melakukan navigasi terhadap helicopter dengan tingkat presesi tinggi. Teknologi UAV telah digunakan untuk berbagai aplikasi managemen sumber daya alam (Rango, 2010 dalam Shen dkk, 2015). Salah satu contoh penggunaan UAV dalam pemetaan kawasan sawah ditampilkan dalam Gambar I.2 dengan persegi bernomor sebagai wilayah uji ketelitian. Gambar I.1 Kawasan sawah produk pemotretan UAV (Sumber: Rokhmana, 2015) I.8.4. Data Citra Satelit Cita adalah model dua dimensional dari objek atau kenampakan bumi yang sudah ada (Danoedoro, 2012). Citra diperoleh dari perekaman sensor yang dibawa oleh suatu wahana. Wahana tersebut dapat berupa satelit, pesawat udara, roket, ballon stratosfer, maupun ballon kaptif (Purwadhi et al, 2015). Pada sub bab ini dijelaskan mengenai citra yang diperoleh dengan wahana satelit. Sensor yang digunakan oleh wahana satelit biasanya adalah scanner. Scanner atau pemindai adalah suatu alat optik-elektronik yang dapat dipakai untuk menangkap informasi pantulan atau pancara gelombang elektromagnetik dari suatu permukaan secara tidak serentak (Danoedoro, 2012).

8 Data Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra WorldView-2 di wilayah Kabupaten Kulonprogo. Data tersebut diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kulon Progo. WorldView-2 adalah satelit pencitraan resolusi tinggi yang diluncurkan pada bulan Oktober 2009. Satelit mengorbit pada altitude 770 km dengan membawa 8 band sensor multispektral, pankromatik, dan 4 band tambahan. Satelit tersebut menyediakan resolusi pankromatik 46 cm dan resolusi multispektral 1.85 m. Resolusi sendiri adalah kemampuan suatu system optic-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdakatan atau secara spektrak mempunyai kemiripan (Swain dan Davis, 1978 dalam Danoedoro, 2012). Konsep resolusi yang biasanya dikenal dalam penginderaan jauh digital adalah resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, resolusi temporal, dan resolusi layar. Konsep resolusi yang merupakan perhatian dalam penelitian ini adalah resolusi spasial. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat terdeteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin tinggi resolusi spasial artinya semakin kecil objek yang dapat dideteksi. Gambar I.3 menunjukkan perbedaan resolusi spasial Cartosat-1 (2,5m/pixel) dan WorldView-1 (0,5 m/pixel). Perbedaan terlihat pada kejelasan objek yang dapat diidentifikasi dan cakupan (coverage) citra. Gambar I.2 Perbedaan resolusi dan cakupan citra Cartosat-1 dan WorldView-1di Catalonia, Spanyol (Sumber: Tang dkk, 2016)

9 I.8.5. Interpretasi visual Data penginderaan jauh menggambarkan objek permukaan bumi yang serupa dengan wujud permukaan bumi nyata. Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan kegiatan mengidentifikasi objek dalam citra. Interpretasi citra digital terdiri dari dua cara, yaitu interpretasi visual dan interpretasi digital. Interpretasi citra visual sesuai kebutuhan pengguna untuk mengelompokkan objek permukaan bumi yang homogen dengan teknik kuantitatif. Interpretasi visual banyak diperngaruhi akal manusia dalam pengenalan objek secara spectral melalui rona/warna objek dan melalui unsur sekunder (ukuran, tekstur, dan bentuk), unsur tersier (pola, bayangan, tinggi) objek, dan unsur yang lebih tinggi (situs, dan asosiasi) dalam melakukan interpretasi citra penginderaan jauh (Purwadhi, dkk, 2015). 1. Warna/rona Gambar I.3 Susunan tingkat interpretasi citra (Sumber: Estes dkk, 1983 dalam Purwadi dkk, 2015) Interpretasi citra secara visual didasarkan pada unsur interpretasi yang mengacu pada karakteristik spasial dan spektral citra. Unsur interpretasi yang menunjukkan karakteristik spraktral adalah warna atau rona objek. Setiap objek memantulkan karakteristikwarna tau rona yang berbeda. Perbedaan panjang gelombang yang merekam objek juga menghasilkan warna atau rona yang berbeda pada setiap objek. Rona atau warna citra merupakan unsur dasar dalam pengenalan objek permukaan bumi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan objek pada citra

10 atau tingkatan hitam ke putih atau sebaliknya, sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh mata yang menunjukkan tingkat keragaman warna dari kombinasi band citra. 2. Bentuk Bentuk adalah variabel kualitatif yang menguraikan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk dapat berupa bentuk persegi, membulat, memanjang, atau bentuk lainnya. Bentuk juga menyangkut susunan tau struktur yang lebih rinci. 3. Ukuran Ukuran merupakan atribut objek yang berupa jarak, lias, tinggi, kelerengan, dan volume. Ukuran suatu objek tergantung skala dan resolusi spasial citra. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra.tekstur pada citra resolusi tinggi sering dinyatakan salam wujud kasar (bangunan), halus (air), atau bercak-bercak (jalan dengan kendaraan). 5. Pola Pola merupakan ciri objek buatan manusia dan beberapa objek alamiah yang membentuk susunan keruangan. 6. Bayangan Bayangan merupakan objek yang tampak samar-samar atau tidak tampak sama sekali (hitam) sesuai dengan bantuk objeknya. Bayangan yang sering tampak di citra antara lain bayangan awan, bayangan gedung, bayangan bukit. Bayangan sering dihasilkan dari objek yang memiliki ketinggian. 7. Situs Merupakan hubungan antar objek dalam suatu lingkungan yang dapat menunjukkanobjek di sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain. Situs mencirikan objek secara tidak langsung. 8. Asosiasi Asosiasi merupakan unsur antar objek yang berkaitan, sehingga berdasarkan asosiasi tersebut dapat membentuk suatu fungsi objek dalam suatu lokasi atau kawasan tertentu.

11 Unsur interpretasi visual yang diterapkan dalam penelitian ini adalah unsur rona/warna, ukuran, dan bentuk. Resolusi citra yang tinggi memudahkan interpretasi hanya berdasar unsur utama dan sekunder. I.8.6. Perhitungan Luas Media tanam dari data citra dan foto didigitasi. Hasil digitasi ini berupa poligon. Luas adalah jumlah areal yang terproyeksi pada bidang horisontal dan dikelilingi oleh garis-garis batas. Luas bidang yang dihitung didalam peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal sehingga selisih-selisih tinggi dari titik batas diabaikan (Basuki, 2006). Penentuan luas poligon dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satu diantaranya adalah metode koordinat. Metode koordinat adalah metode yang digunakan untuk mencari atau menghitung luas poligon berdasarkan koordinat titiktitik batas poligon (Aji, 2014). Dimisalkan sebidang areal yang dibatasi oleh titik-titik A(X 1,Y 1 ), B(X 2,Y 2 ), C(X 3,Y 3 ), dan D(X 4,Y 4 ). Maka luas segi empat ABCD dapat dihitung dengan cara sebagai berikut (Basuki, 2006): Gambar I.4 Luasan dengan angka koordinat (Sumber: Basuki, 2006) Luas ABCD = luas trapesium A ABB + luas trapesium B BCC luas trapesium D DCC luas trapesium A ADD

12 Luas ABCD = 1 2 (X X )(Y + Y ) + 1 2 (X X )(Y + Y ) 1 2 (X X )(Y + Y ) 1 2 (X X )(Y + Y ) (I.4) Persamaan (I.4) dapat disederhanakan menjadi: 2 Luas ABCD = [(X X )(Y + Y )] (I.5) Apabila jumlah titik poligon banyak maka dari persamaan (I.5) didapat: Luas = 1 2 (X. Y ) (X. Y ) (I.6) Dimana i adalah titik ke i dan n adalah jumlah titik poligon. Dengan memasukkan nilai-nilai koordinatnya ke dalam persamaan tersebut, maka luas poligon dapat dihitung. I.8.2. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah berkembang sejak tahun 1960 sebagai hasil riset yang dikolaborasi dengan Ilmu Kartografi, Ilmu Komputer dan Remote Sensing (Ji and Cui, 2011). Longley dkk (2001), menyatakan belum ada definisi yang pasti untuk SIG, namun pengertian yang biasa digunakan antara lain: a. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem computer yang memiliki empat kemempuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Aronoff, 1989 dalam Longley dkk, 2001). b. SIG adalah sistem yang terorganisir dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personil yang dirangcang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan meampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (Esri, 1990 dalam Longley dkk, 2001).

13 c. SIG adalah sistem computer yang digunakan untuk merekam, menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memenipulasi, menganalisis, dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi (Rice, 2000 dalam Longley dkk, 2001). SIG secara umum bekerja pada dua model data, yaitu model data raster dan model data vector. Kedua model data tersbut memiliki perbedaan karakteristik dan penyimpanannya. I.8.2.1 Model data raster Beberapa data awal dalam penelitian ini adalah data UAV dan citra satelit yang merupakan data dengan model raster. Model data raster menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Setiap piksel memiliki atribut yang unik, yaitu kootdinat dan nilai piksel. Data raster dapat diperoleh dari hasil pemotretan udara, penginderaan jauh satelit, dan hasil scaning peta analog. Gambar I.5 Contoh data raster (Sumber: dokumentasi pribadi) I.8.2.2 Model data vektor Data dalam penelitian ini diolah dalam bentuk data vektor. Model data vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dalam bentuk titik, garis atau kurva, atau polygon beserta atribut-atributnya. Bentuk-

14 bentuk dasar representasi data spasial ini, didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian (x, y, z). a. Entity Titik Entitas titik meliputi semua objek grafis atau geografis yang dika itkan dengan pasangan koordinat (x,y). b. Entity garis Entitas garis dapat didefinisikan sebagai semua unsur-unsur linier yang dibangun dengan menggunakan segmen-segmen lurus yang dibentuk oleh dua titik koordinat atau lebih (Burrough, 1994) c. Entity Area atau Poligon Poligon direpresentasikan sebagai sekumpulan koordinat yang tersusun dengan loop tertentu untuk menghasilkan sebuah luasan. Penelitian ini menggunakan model data raster yang dilakukan digitasi berdasar objek menjadi bentuk poligon. I.9. Hipotesis Hipotesis pada penelitian yang dilakukan adalah lahan sawah yang memperhitungkan luas galengan kurang dari luas lahan sawah yang terdaftar sebagai persil tanah. Berdasar penelitian terdahulu oleh Widhiasih (2014), koefisien galengan lahan sawah yang diperoleh dari data citra WorldView-2 dengan kondisi lahan datar dan terasering berkisar antara 0,18-0,30. Bertolak pada penggunaan data pada penelitian ini, yaitu citra WorldView-2 dan foto udara yang memiliki resolusi spasial yang sama dan lebih besar, maka hipotesis koefisien galengan lahan sawah pada penelitian ini kurang dari 0,18 karena resolusi salah satu data lebih besar.