BAB II LOKASI PENELITIAN. pada tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono ke II. Ditilik secara mendasar,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. (Syam 2007 : 13), bahwa agama adalah sebagai sistem kebudayaan. Sebagai sitem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG

Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3. Karakteristik tari

BAB I PENDAHULUAN. didapat dalam semua kebudayaan dimanapun di dunia. Unsur kebudayaan universal

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

INTERAKSI KEBUDAYAAN

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB IV STUDI ANALISIS TENTANG SIMBOL. A. Simbol Menurut Masyarakat Desa. Kedungrejo, Kecamatan. Kerek,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

TUGAS AKHIR. KARAKTERISTIK BENTUK MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA Kasus : Masjid Agung Surakarta dan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran

BAB I PENDAHULUAN Deskripsi

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. Daerah penghasil batik banyak terdapat di pulau Jawa dan tersebar. di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009

I. PENDAHULUAN. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

BAB II SELAYANG PANDANG KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam

GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

1.1.1 KONDISI TEMPAT WISATA DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangannya Keraton Kasunanan lebih dikenal daripada Keraton

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

Blangkon gaya Yogyakarta ditinjau dari bentuk motif dan makna simbolisnya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG HARI JADI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Kesenian tradisional pada

BAB I PENDAHULUAN. menarik. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keindahan, manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kain Sebagai Kebutuhan Manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat. hidup berdampingan merupakan kekayaan dalam khasanah budaya

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Setiap manusia hidup dalam suatu lingkaran sosial budaya tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan unsur atau bagian dari kebudayan yang hidup di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya kebudayaan. Beberapa kekayaan

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB II BATIK BASUREK SEBAGAI IDENTITAS BENGKULU

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

No Nama Umur Pekerjaan Alamat. 1 Yohanes 60 tahun Pensiunan Pegawai. 2 Adrianus 45 tahun Guru Agama Desa. 3 April 25 Tahun Pembuat senjata Desa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASAL MULA DESA TALAKBROTO

KHM 203 ONLINE PR SEKSI 10. NAMA : SRI CICI KURNIA NIM : TEMA BLOG : WARNA WARNI YOGYAKARTA :

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat

BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

MOTIVASI MELAKUKAN RITUAL ADAT SEBARAN APEM KEONG MAS DI PENGGING, BANYUDONO, BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. atau pola kelakuan yang bersumber pada sistem kepercayaan sehingga pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman budaya tersebut mempunyai ciri khas yang berbeda-beda sesuai

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Definisi Batik

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak ini, Indonesia mempunyai potensi kekayaan yang sangat beraneka

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya. Terdiri

Transkripsi:

BAB II LOKASI PENELITIAN 2. 1. Letak Keraton Surakarta Karaton Kasunanan juga disebut Keraton Surakarta Hadiningrat, dibangun pada tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono ke II. Ditilik secara mendasar, keseluruhan desain bangunan keraton mengikuti pola bangunan dan tata letak keraton-keraton Jawa sebelumnya, yaitu membujur dari utara ke selatan. Masuk dari alun-alun Lor (utara), akan memasuki sebuah bangunan yang disebut dengan Sasono Sumewo. Melangkah beberapa langkah ke selatan terdapat bangunan yang letaknya lebih tinggi dari bagian lainnya yang disebut dengan Siti Hinggil, disinilah tempat duduk Sinuhun atau Raja ketika merayakan Grebegan. Keluar dari Siti Hinggil ke arah selatan kita melewati dua pintu yang dinamakan Kori Renteng dan Kori Mangu (renteng = pertentangan dalam hati, mangu = ragu-ragu). Seterusnya kita menemui pintu raksasa dari kayu yang dinamakan Kori Brodjonolo Lor. Kata Brodjonolo mengandung arti yaitu brodjo artinya gaman (senjata) yang sangat tajam, sedangkan nolo artinya pikir. Jadi arti yang terkandung di dalamnya, kalau kita mau melewati pintu ini kita diminta agar segala sesuatu harus kita pikirkan dalam-dalam dulu, dengan kata lain kita diminta selalu waspada. Melalui pintu masuk Brodjonolo ini kita sampai di pelataran yang dinamakan Pelataran Kamandungan, disebelah kiri dan kanan pelataran ada dua barak. Di belakang kori Kamandungan ini terdapat suatu pelataran yang disebut 26

27 Sri Manganti. Pintu masuk ditandai dengan patung Sinuhun Pakubuwono X di depan Sidikoro dan dibelakangnya terdapat Panti Pidono, yang dipergunakan untuk mengadili kerabat keraton yang bersalah dan perlu dihukum. Melangkah masuk ke pelataran keraton akan dijumpai hamparan pasir dan rimbunnya pohon sawo kecik. Di pelataran ini terdapat menara yang disebut dengan Panggung Songgobuwono. Menara ini digunakan untuk semedi raja dan bertemu dengan Nyai Ratu Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Terlepas benar-tidaknya mitos itu, sesungguhya Panggung Songgobuwono merupakan alat pelengkap benteng pertahanan. Gambar 2.1. Keraton Surakarta Hadiningrat. Sumber : Bunga, 2009 Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun

28 Kidul. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini. Lokasi penelitian adalah di Keraton Surakarta, Kelurahan Balurwati, Kecamatan Pasar Kliwon, Kotamadya DT II Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Lingkungan budaya di Keraton Surakarta, selain lambang budaya Jawa, juga menjadi pusat pelestarian adat kebiasaan yang diwarisi secara turun menurun. Kalau diluar tembok Keraton sudah mulai terasa adanya erosi budaya, di dalam Keraton masih di usahakan berlangsungnya gaya hidup dan tata cara tradisional, walaupun berskala terbatas. Dengan demikian, fungsi simbolis Keraton sebagai pemeliharaan adat istiadat Jawa mampu menghalangi proses erosi budaya dan kepunahan adat istiadat Jawa. Keraton Surakarta termasuk daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta, lebih dikenal dengan nama kota Solo. Berada pada dataran rendah, merupakan pertemuan antara Sungai Pepe, Jenes, dengan Bengawan Solo di tepi sebelah timur. Letak antara 110, 45, 15-110, 45, 35 BT dan antara 70, 36-70, 56 LS. Tinggi tempat ±92 M dari permukaan laut, yang berarti lebih rendah atau hampir sama tingginya dengan Bengawan Solo. Tanah lingkungan Keraton terdiri dari endapan lumpur, karena dahulu daerah rawa-rawa, dan beriklim panas. Luas wilayah Surakarta 4.404.059,3 Ha dengan

29 perincian luas wilayah Keraton Surakarta hanya 40.7000 Ha, masuk Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon, seperti yang terlihat pada gambar 2.2 (data statistik Kotamadya Dati II Surakarta 1994 : 2-50). Letak Keraton Surakarta berbatasan dengan : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo Gambar 2.2. Peta Lokasi Keraton Surakarta Sumber : http://petakotaindonesia.wordpress.com Keberadaan Keraton Surakarta sudah tidak asing lagi bagi sejarawan, budayawan, dan khalayak umum. Selama 200 tahun telah banyak menyimpan nilai-nilai budaya bangsa serta sejarah yang wajib dihormati dan dihargai oleh setiap warga negara Indonesia. Orang asing banyak yg mengagumi dan mempelajari kebudayaan yang ada di Keraton Surakarta. Akhirnya Keraton

30 sekarang menjadi sasaran objek wisata. Keraton Surakarta sekarang juga strategis karena terletak di jantung kota Solo dan dekat dengan pasar Klewer, disamping itu juga dekat dengan jalur bis kota. 2. 2. Sejarah Keraton Surakarta Karaton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Wujudnya berupa fisik bangunan Karaton, benda artefak, seni budaya, dan adat tata cara Keraton. Keberadaannya yang sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan yang panjang, dan merupakan terminal akhir dari perjalanan budaya Karaton Surakarta. Usaha memahami keadaannya yang sekarang tidak bisa lepas dari usaha mempelajari asal usul dan keberadaanya di masa lampau. Sebab sepenggal cerita dan deskripsi sejarah suatu peristiwa kurang memberi makna yang berarti, jikalau tidak dikaitkan dengan proses dan peristiwa yang lain. Oleh karena itu peristiwaperistiwa yang terjadi dalam satu alur yang sama akan memberikan pemahaman yang menyeluruh dan utuh dari situasi yang sama saat ini. Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Keraton. Menurut KRHT Wirodiningrat (Kantor Sasono Wilopo), ada tujuh pengertian (saptawedha) yang tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan. Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan (Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti penjelmaan Wahyu nurbuwat dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen.

31 Keempat, Karaton berarti istana, kedaton Dhatulaya (rumah). Kelima, bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. Keenam, Karaton sebagai Culture historische instelling (lembaga sejarah kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai Badan (juridische instellingen), artinya Karaton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti. Secara resmi pada hari Rabu Pahing tanggal 14 Suro (Muharam), tahun Je 1670 Wuku Landep, Windu sancaya atau 17 Februari 1745. Keraton Kartosuro ditinggalkan oleh ISKS PakuBuwono II untuk berpindah ke Keraton baru di desa Sala, atau Surakarta. Kepindahan tersebut terjadi setelah pemberontakan penduduk Cina di Ibukota Kartasura. Peristiwa ini dikenal dengan nama Perang Pacinan, yang terjadi pada sekitar tahun 1741 Masehi. Menurut kepercayaan kuno di Jawa, jika Keraton telah dimasuki oleh musuh, maka Raja serta kerabatnya harus pindah dan membangun pusat Kerajaan baru. Dengan demikian Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan bimbingan Kumpeni Belanda mulai mencari daerah yang akan dijadikan pusat Kerajaan yang baru. Atas nasehat Kumpeni Belanda, yang telah sangat terlibat dan berperan dalam urusan pemerintahan Paku Buwono II, dua orang pujangga Kerajaan, yaitu Pangeran Wijil dan Raden Tumenggung Tirtawiguna diperintah untuk mencari daerah baru yang sesuai dijadikan pusat Kerajaan. Menurut Serat Nitik Karaton,

32 pada waktu Tumenggung Tirtawiguna dan Pangeran Wiji sedang bersemedi terdengarlah suara yang menasehatkan supaya mereka pergi ke Desa Sala, yang nanti dapat menjadi kota besar dan makmur. Dengan demikian Sri Susuhunan Paku Buwono II memutuskan untuk pindah Karatonnya ke desa tersebut. Versi lain menyatakan bahwa kumpeni Belanda mengusulkan desa Sala yang letaknya di tepi Kali Bengawan untuk dijadikan pusat Kerajaan. Alasannya memilih desa tersebut adalah Sri Susuhunan dapat membawa kayu jatinya dari hutan kidul (daerah Wonogiri) melalui Kali Bengawan. Walaupun pada mulanya para pujangga Sri Susuhunan tidak setuju dengan pilihan tersebut dengan alasan bahwa daerah tersebut sangat rendah, akhirnya desa Sala yang terpilih sebagai tempat baru. Pada waktu Keraton dan kompleksnya mulai dibangun, timbul kesulitan, karena apa yang sudah di khawatirkan oleh pihak Keraton ternyata benar. Desa Sala berupa rawa yang cukup dalam. Pada mulanya rawa tersebut merupakan hambatan bagi pembangunan akibat sumber air tidak dapat dihentikan. Sri Susuhunan serta kalangan Keraton sudah putus asa. Akhirnya sumber air itu dapat dihentikan dengan cara Sri Susuhunan meminta tolong kepada Kyai Sala, kepala desa tersebut dan beberapa orang penari untuk melakukan ritual khusus agar rawa tersebut dapat dikeringkan. Pada saat hari perpindahan seluruh keluarga, menteri-menteri abdi dalemnya, tentaranya, binatangnya, dan seluruh rakyatnya berlangsung Sri Susuhunan memerintahkan bahwa desa Sala yang telah dikunjungi diganti nama menjadi Surakarta Hadiningrat. Sedangkan Kartasura, bekas ibukotanya diganti nama menjadi desa Wonokarto. Pada waktu perpindahan pusat Kerajaan Paku

33 Buwono II terjadi, pemerintahan Keraton telah secara langsung dibawah kekuasaan Pemerintah Belanda. Keadaan tersebut dapat terjadi karena Paku Buwono II telah dipengaruhi sepenuhnya oleh Kumpeni Belanda untuk menandatangani sebuah perjanjian pada tanggal 11 Desember 1749. Dalam perjanjian tersebut Paku Buwono II yang sedang dalam keadaan sakit berat menyerahkan seluruh Kerajaan Mataram kepada pemerintahan Belanda tanpa syarat. Kejadian inilah yang mengakibatkan ketegangan-ketegangan dikalangan Bangsawan Mataram yang menimbulkan peristiwa Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Dua tahun kemudian Raden Mas Said atau Pangeran Arya Mangkubumi tidak setuju atas perbuatan Paku Buwono II maupun anaknya Paku Buwono III. Lalu Pangeran Arya Mangkubumi diberi gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I dan kekuasaan atas satu daerah di dalam Kerajaan Surakarta. Seluruh kejadian tersebut telah diatur oleh pihak Belanda, sehingga secara langsung pemerintah Belanda pun berkuasa atas Kerajaan Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Campur tangan bangsa Belanda bukan hanya dalam bidang pemerintahan, tetapi juga dalam bidang pembangunan dan hiasan rumah. Dapat dilihat dengan jelas dalam bangunan Keraton dimana banyak terdapat patung-patung dengan gaya Eropa yang dipadu dengan bangunan adat Jawa, seperti yang terlihat pada gambar 2.3.

34 Gambar 2.3. Patung Bergaya Eropa Di Dalam Keraton Surakarta Sumber : Bunga, 2009 Patung-patung yang terdapat dalam Keraton Surakarta dibuat dari perunggu atau semen putih sama seperti benda seni barat yang lain ini merupakan persembahan dari Pemerintah Belanda kepada Sri Susuhunan. Bangunan-bangunan Keraton sebelumnya dibangun dalam bentuk rumah adat Jawa, dengan menggunakan bahan-bahan bangunan setempat. Lama kelamaan pengaruh dari luar, yaitu kebudayaan Islam, Cina, dan Eropa yang menghasilkan bangunan Keraton seperti sekarang ini. Walaupun bangunan di Keraton Surakarta banyak mengandung unsur Eropa, nama-nama setiap bangunan pada dasarnya mengandung makna yang erat hubungannya dengan peran bangunan tersebut dan menggunakan nama Jawa. Disamping itu, letak setiap bangunan didasari oleh falsafah hidup yang berasal dari agama dan kepercayaan yang telah ada. Kini wilayah Keraton Surakarta tinggal meliputi wilayah Karesidenan Surakarta. Hal tersebut sudah barang tentu mulai mengakibatkan beberapa pergeseran di keraton Surakarta. Apalagi dengan berubahnya status keraton Surakarta menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak

35 Proklamasi Kemerdekaan RI, membuat peran dan kedudukan keraton mengalami perubahan yang signifikan. Sejak saat itu, keraton sudah tidak mempunyai kekuasaan politis apapun kecuali dari sisi simboliknya. Pergolakan politik 1965-1966 meninggalkan catatan tersendiri di wilayah Surakarta. Pengawasan secara khusus (meskipun tidak secara vulgar) telah mempersempit ruang politik kerajaan untuk menghidupkan pamornya di masa lalu. Dan bagaimanapun hal ini dihayati secara sadar oleh kalangan keraton sendiri. Dalam alam kemerdekaan, keraton sudah tidak mempunyai wilayah kekuasaan. Tinggallah bangunan keraton merupakan sumber kebudayaan Jawa lahiriah maupun batiniah. Maka lepas dari soal-soal kekuasaan daerah namun dipandang dari segi tuntutan duniawi maupun ketentraman batin tetap adanya (K.R.M.H Yosodipuro1994: 14). Perubahan status dari sebuah wilayah kekuasaan politik ke wilayah budaya merupakan suatu proses revolusioner yang sangat dahsyat. Memiliki implikasi yang yang cukup jauh berkenaan dengan eksistansi keraton itu sendiri. Penegasan mengenai status keraton tersebut juga ditemui dari Keputusan Presiden (KEPPRES) no. 23 tahun 1988 yang mengatur tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Dalam KEPPRES yang terdiri atas tiga pasal tersebut ditegaskan mengenai: Tanah, bangunan, kelengkapan keraton adalah milik kasunanan Surakarta dan merupakan peninggalan budaya bangsa - pasal 1 ayat 1. Kemudian dalam pasal 3 ayat 3 dikatakan bahwa pengelolaan dalam rangka pariwisata dilakukan oleh Dirjen Pariwisata dan Telekomunikasi (Parpostel), Pemda II Surakarta dan Kasunanan. Sementara dalam ayat selanjutnya dikatakan bahwa Dirjen Parpostel melapor kepada Presiden.

36 Keputusan ini telah secara tegas memposisikan keraton sebagai aset pariwisata yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan aktivitas politik dan kekuasaan. Dalam posisinya sebagai sumber kebudayaan Jawa, keraton Surakarta artinya tidak lagi punya otoritas yang berpengaruh secara politis terhadap masyarakat. Garis hubungan antara penghuni keraton dengan masyarakat disekelilingnya tidak bisa dikatakan simplitis sebagai hubungan kawula-gusti dalam pengertian lama. Akan tetapi lebih mendekati hubungan antara masyarakat dengan aset budaya tradisional yang harus dijaga. Sebenarnya, keraton Surakarta mulai mengalami perubahan sejak masa pemerintahan Paku Bowono X. Sejak Paku Buwono X dilantik, berlaku peraturan seremoni baru yang menyangkut penerimaan tamu agung, yaitu jika datang secara resmi di kerajaan Surakarta dan berkunjung ke keraton. Pada masa pemerinahan raja ini keraton lebih bersikap terbuka terhadap pengaruh dari luar. Keraton sebagai suatu komunitas mengadakan interaksi dengan komuitas lain di luar dunia keraton. Interaksi ini menjadi lebih intens sesudah sunan bersikap terbuka bagi kebudayaan Barat. Dengan demikian, keraton terbuka untuk masuknya tradisi kecil dan disamping itu keraton juga banyak meminjam unsur-unsur peradaban Barat, seperti potongan pakaian, pendidikan, penyelenggaraan pesta dan lain-lain. Etika Jawa masih dapat dipertahankan, terutama yang diberikan secara lisan termasuk pendidikan moral untuk anak-anak putri.

37 2. 3. Pengaruh Keraton Terhadap Masyarakat Surakarta dan Kebudayaan Pada jaman dahulu Keraton merupakan pusat pemerintahan di Ibukota Kerajaan, dimana Raja serta kerabatnya tinggal. Sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha penduduk Indonesia masih percaya kuat kepada animisme, belum bersatu dibawah satu pemerintahan, dan masih hidup berkelompok dengan kepala desanya masing-masing. Dengan pengaruh agama Hindu penduduk Pulau Jawa maupun Pulaupulau lain di Indonesia berkembang sehingga timbul suatu lingkungan yang sangat teratur dibawah satu pemerintahan. Pemerintahan tersebut dipimpin oleh seorang Raja, yang diberi sokongan oleh para Brahmana maupun saudaranya sendiri dan menteri-menterinya. Agama Hindu dan Budha yang berpegang pada kepercayaan Kedewaan menyatakan bahwa Raja itu selain seorang manusia, juga penjelmaan Dewa. Dengan demikian, Raja yang telah dianggap sebagai perantara kehidupan Dewa-dewa dengan kehidupan di dunia ini merupakan lambang kekuasaan yang tertinggi. Menurut kepercayaannya, Raja adalah orang yang terpilih oleh Tuhan, maka Ia bukan orang sembarangan, tetapi orang yang hebat dengan segala kelebihan di atas manusia biasa. Akibat dari kedudukan Raja yang demikian besarnya, maka pengaruhnya kepada masyarakat pun sangat besar. Rakyat patuh karena kepatuhan tersebut dianggap sebagai suatu kewajiban utama yang harus tetap dijunjung tinggi. Dengan demikian, Raja dan Keratonnya menjadi pusat perhatian bagi masyarakat, dimana segala tingkah laku Raja dijadikan cita-cita, khususnya bagi orang Jawa. Mengabdikan diri kepada Raja merupakan sesuatu yang akan

38 membawa hikmah dan rejeki, karena rakyat yang mengabdi telah menyerah kepada keturunan dewa. Bila seorang rakyat biasa telah diterima sebagai abdi dalem di Keraton, bagi keluarganya pun ini merupakan suatu penghargaan yang luar biasa. Apalagi jika seorang perempuan yang telah dipersunting oleh Rajanya menjadi Garwa Ampeyan (sebutan untuk isteri atau selir Sri Susuhunan) berhasil melahirkan anak Raja. Bayi itu, karena anak Raja maka akan dianggap sebagai keturunan Dewa seperti bapaknya, sehingga ibunya maupun keluarganya dapat meningkat martabatnya di pandang Keraton dan masyarakat. Kehidupan di dalam Keraton bagi keluarga Raja maupun pejabat-pejabat Keraton banyak terikat oleh peraturan-peraturan Keraton. Peraturan dan tata cara Keraton membuat para penghuni Keraton nampak lain daripada yang lain. Maka dari itu masyarakat memandang Keraton sebagai yang serba halus dan bagus, dengan Raja di paling atas sebagai lambang manusia yang telah sempurna. Dalam kehidupan sehari-hari para penghuni Keraton harus mematuhi tata cara dalam Keraton. Tata cara di Keraton itu disebut Dasa Sila Etiket Keraton. Selain pelajaran dan peraturan ini yang dapat dikatakan praktis, ada pula peraturan falsafah yang menyatakan bahwa sikap seorang Jawa harus dibentuk oleh tiga faktor, sehingga ia dapat menjadi orang : 1. halus dan baik, yaitu tulus yang berarti ikhlas atas kehilangan maupun kekecewaan. 2. sabar yang berarti tidak mudah naik darah, tidak dendam dan benci. 3. rela yang berarti tidak mengeluh seandainya mendapatkan sesuatu yang tidak berkenan di hati.

39 Falsafah dan peraturan-peraturan tersebut memang perlu dipelajari dalam Keraton karena banyak syarat-syarat yang menentukan cara hidup dan tingkah laku. Peraturan-peraturan dan tata cara ini dijadikan pedoman bagi masyarakat Jawa, sehingga mereka selalu melihat ke Raja dan Keratonnya untuk mendapat pengarahan hidup. Dalam masa pemerintahan Islam, anggapan mengenai Raja berubah dan disesuaikan dengan kepercayaan dan agama baru. Raja yang dahulu dianggap sebagai keturunan Dewa, sekarang dinamakan Kalipatulah (gelar untuk Imam dari agama Islam ; wali ; wakil Tuhan) dengan sebutan lengkap Kalipatulah Hing Tanah Jawa (wakil Tuhan di tanah Jawa ; setiap Raja di Jawa diberi gelar tersebut). Walaupun kedudukan Raja dalam dunia ini diberi nama baru, Ia tetap menempati posisi yang sangat penting dan tetap dianggap sebagai penghubung antara kehidupan penguasa alam semesta (Ilahi) dan kehidupan dunia ini. Dengan demikian, sinar wahyu Ilahi dari diri Raja tersebut tetap akan membawa pengaruh pada kesejahteraan rakyat di seluruh Kerajaan maupun dalam sikap pemerintahan. Banyak penduduk daerah Kerajaan masih berpegang terhadap kepercayaan lama atau mencampur ajaran yang terdahulu dengan ajaran yang baru, sehingga anggapan mereka terhadap Raja dan Keratonnya merupakan suatu perpaduan antara beberapa kepercayaan dan agama. Keadaan tersebut sampai kini masih dapat ditemukan dalam Keraton Surakarta Hadiningrat. Sesuai dengan peranan Keraton sebagai pusat pemerintahan atas suatu daerah Kerajaan, maka Keraton pun timbul sebagai pusat sumber kebudayaan. Raja disamping terpenting dalam Kerajaannya, juga merupakan orang terkaya, sehingga Ia dapat mengumpulkan dan memerintah para seniman atau pengrajin.

40 Keraton sebagai lambang kekuasaan dan kehebatan Raja dihias sekaya dan seindah mungkin, disamping menjadi pusat kelahirang kagunan yang halus dan serba baik. Di sini dapat timbul berbagai macam kesenian antara lain seni tari dengan gaya khusus Keraton, seni batik, wayang kulit, sastra, puisi, seni gamelan dan nyanyian. Di samping kesenian-kesenian ini, yang dicipta maupun dilakukan dalam Keraton, timbul pula keahlian-keahlian dalam filsafat, sejarah dan agama. Sesuai dengan penghormatan yang diutarakan kepada kesenian secara keseluruhan, maka seorang pujangga, yaitu kerabat Keraton yang mempunyai keahlian dalam berbagai bidang kebudayaan dan kesenian merupakan pejabat penting dalam Keraton. Pujangga tersebut diberi bermacam tugas oleh Raja, supaya Keratonnya berkembang sebagai pusat pengetahuan dan kesenian. Seorang pujangga harus mempunyai keahlian dalam menulis syair, mencipta gendhing, dalam pengetahuan agama maupun kepercayaan. Selain itu sesuai dengan jabatannya, maka ia dipercaya oleh rajanya untuk menyusun syair mengenai peristiwa-peristiwa dalam Keraton. Di samping pujangga, Raja sendiri pun biasa mencipta berbagai macam kesenian, dan ciptaan tersebut dianggap sebagai suatu bukti dari kewahyuan Raja. Sebelum Raja bercipta atau berkreasi maka Ia akan bertapa lebih dahulu, sehingga Ia dapat diarahkan sedemikian rupa hingga ciptaannya akan mengandung banyak makna yang sangat istimewa. Dalam suasana dan lingkungan tersebut seorang Raja dapat menambah keistimewaannya karena dikelilingi oleh benda kesenian yang disamping sangat indah merupakan tanda kebesaran dan kesucian Raja tersebut. Diantara bendabenda kesenian tersebut ada yang dinamakan pusaka, yang dianggap sebagai

41 sesuatu yang sangat sacral, sehingga telah dikeramatkan. Pusaka tersebut yang pada umumnya terdiri dari senjata, merupakan bukti dari kedudukan Raja sebagai kepala Kerajaannya, dipercaya terisi dengan roh-roh tersendiri sehingga bendabenda tersebut sangat dikagumi maupun ditakuti oleh kerabat dan masyarakat Kerajaan. Setiap malam jumat dan selasa kliwon para pusaka diberi sesajen oleh anak laki-laki Raja yang tertua dengan bantuan abdi dalemnya. Selain itu, sekali setahun pada tanggal 1 Suro, semua benda pusaka di Dalem Ageng (kamar untuk menyimpan pusaka yang telah dianggap sangat keramat) dibersihkan lantas dalam satu pawai ditengah-tengah malam dibawa keliling kota Surakarta oleh para Pangeran dan kerabat Keraton. Upacara tersebut merupakan tontonan bagi umum, sehingga sepanjang setiap jalan para penduduk daerah setempat menunggu lewatnya pawai yang diterangi dengan obor, supaya dapat meyaksikan kebuktian atas kedudukan Rajanya. Di samping benda dan senjata ada yang lain yang dapat dianggap sebagai pusaka, yaitu gendhing dan tarian. Seorang Raja dapat menguatkan kedudukan dalam pandangan masyarakatnya apabila ia mempunyai gendhing dan tarian yang telah dianggap sakral. Dengan demikian ia semakin memperlihatkan kekuasaannya sebagai Raja yang bisa menguasai segala-galanya karena dapat menciptakan gendhing atau tarian di Keraton. Ciptaan tersebut sering dianggap sebagai suatu wahyu Ilahi yang telah diterima oleh Raja, maka dapat disebut sebagai pusaka. Dengan demikian, yang bersumber dari Keraton merupakan pengaruh besar terhadap pandangan hidup masyarakat maupun perkembangan kebudayaan di Jawa.

42 2. 4. Hubungan Antara Tari Bedhaya Ketawang Dengan Keraton Surakarta Mitos asal usulnya kelahiran tari di Jawa banyak persamaan dengan mitos kelahiran tari di India, yang menyatakan bahwa penari-penari pertama merupakan bidadari yang dicipta oleh para Dewa. Dengan kedatangan masa pengaruh India, tari di Jawa dapat berkembang dengan pesat dan tarian-tarian yang sudah ada yang merupakan kelanjutan dari kepercayaan animism berpaduan dengan tarian dari kepercayaan Brahmin dan Hindu. Pada abad ke delapan, tari yang khusus untuk Keraton mulai dikenal, dan pada dinding Borobudur dapat dilihat gambaran dari kehidupan di Keraton-Keraton masa lalu dimana Raja dan kerabatnya dihibur oleh para penari. Dengan demikian, tari Jawa dipengaruhi oleh tiga unsur, yaitu : Tarian kuno yang berdasarkan kepercayaan animism dan merupakan tari ritus Tari dari agama dan kebudayaan Brahmana dan Hindu pada waktu kehidupan Keraton sudah muncul dan juga berdasarkan ritus walaupun dalam bentuk lain yaitu kedewaan Tari drama yang berasal dari mitos-mitos dan sejarah Hindu. Unsur-unsur tersebut dipadukan, disesuaikan maupun dibentuk supaya dapat disesuaikan dengan sifat dan kepribadian penduduk Jawa. Dari gambar relief di dinding Candi Borobudur dapat dilihat bahwa pada masa itu gaya tari khas Jawa sudah mulai timbul, gambaran penari-penari disitu walaupun tetap dipengaruhi oleh gaya India, sudah mulai berubah sehingga gaya yang lebih tertahan dan terbatas dari pada gaya asli India timbul. Dengan

43 demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tari Jawa telah memiliki gaya dan perasaan tersendiri jauh sebelum jaman Majapahit. Tari di Jawa dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tarian rakyat, tarian klasik, dan tarian modern. Tari klasik di Jawa terdiri dari tarian yang khusus ditarikan dalam Keraton, tari upacara yang bersifat keagamaan maupun magissakral dan khusus ditarikan untuk upacara yang tradisional dan tarian drama. Dengan kejadian pecahnya Kerajaan Mataram, menjadi dua pusat Kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta maka timbul dua gaya tari Jawa Tengah yang walaupun terdiri dari jenis tarian yang sama, masing-masing mempunyai gaya tersendiri, yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Perbedaan antara kedua gaya tersebut adalah gerakan tari, percakapan, dan pakaian penarinya. Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta dapat ditemukan dua macam tarian, yang tinggi sekali usianya, yaitu Bedhaya dan Serimpi. Kedua tarian tersebut merupakan tarian wanita yang bernafaskan feodal keistanaan. Jika memperhatikan tarian-tarian wanita di India Utara yang beragama Islam yang merupakan kelanjutan dari tarian kuil pada jaman Hindu, dapat dilihat banyak persamaan dengan tarian keistanaan Bedhaya dan Serimpi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarian-tarian Bedhaya dan Srimpi pun merupakan kelanjutan dari tari-tarian candi pada jaman Hindu, walaupun fungsi dari kedua tarian tersebut telah berubah sesuai dengan perubahan jaman dan masa. Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian di Keraton Surakarta yang sangat khusus dan istimewa. Disamping itu tarian tersebut dianggap sakral karena usianya serta hubungannya yang erat dengan kepercayaan magi-religius.

44 Disamping menggambarkan kecintaan antara Kangjeng Ratu Kidul dan Sultan Agung atau Panembahan Senopati, Bedhaya Ketawang juga merupakan perlambangan kekuasaan Sri Susuhunan atas dunia nyata maupun dunia halus, sehingga tingkatannya sama pentingnya dengan peralatan lambang kebesaran. Dengan pertunjukkan Bedhaya Ketawang sekali setahun pada peringatan ulang tahun kenaikan tahta, Sri Susuhunan dapat memperkuat dan meningkatkan kerabat-kerabatnya atas kekuasaannya maupun keagungannya. Upacara tersebut secara magis memperkuat kedudukan Sri Susuhunan dalam wiswa (kosmos), sehingga pada waktu pertunjukkan Sri Susuhunan seolah-olah disirami, dalam arti figurative, dengan tenaga dan ilmu bathin baru. Dari sindhenan Bedhaya Ketawang, para kerabat dan masyarakat dapat gambaran bahwa Sang Rajanya sangat baik, bagus, dan indah di samping pula sebagai Raja penguasa tanah Jawa, sampai Ratu dari segala makhluk halus sendiri mencintai dan tunduk kepadanya. Disamping itu sindhenan tersebut juga melukiskan dengan jelas rayuan yang bermaksud untuk menimbulkan rasa birahi dan rasa belas kasih, sehingga dapat diperkirakan bahwa Bedhaya Ketawang juga digolongkan dalam tarian kesuburan. Gerak-gerik para penari pun melambangkan bagaimana Kangjeng Ratu Kidul mengajak dan memohon akan dapat wor saluluh (wor berarti campur, bercampur ; saluluh berarti bersetubuh) dengan Panembahan Senopati. Jika pendapat tersebut betul, maka dapat dikatakan ada kaitannya dengan kepercayaan-kepercayaan yang menyatakan bahwa tari Bedhaya Ketawang berasal dari tarian candi-candi pada jaman Hindu, yang juga merupakan tarian

45 kesuburan. Suatu tanda lagi atas pengaruh kepercayaan dan kebudayaan Hindu terhadap tarian tersebut adalah bahwa sepanjang tarian dari awal sampai akhir Sri Susuhunan merupakan pusat dari tarian tersebut. Dengan arti lain dapat dikatakan bahwa melambangkan Shiwa, atau merupakan pusat dari wiswa (kosmos). Busana para penari Bedhaya Ketawang pun melambangkan wiswa, dengan kain dodot yang bermotif alas-alasan. Busana tersebut merupakan pakaian yang dipakai oleh putri dalem Keraton Surakarta pada waktu upacara pernikahan, yang juga perlambang kesediaan Kangjeng Ratu Kidul untuk menjadi isteri sang Raja. Disamping itu busana tersebut menggambarkan suasana yang sangat istimewa, sebab seorang pengantin maupun pakaiannya melambangkan yang serba suci, indah dan bagus. Sesuai dengan kedudukan tari Bedhaya Ketawang yang sakral maka tarian tersebut bukan untuk tontonan umum, sehingga sampai saat ini belum pernah dibawa keluar dari Keraton Surakarta. Pada jaman dahulu, karena sangat dijaganya suasana kudus dalam pendapa, maka selama Bedhaya Ketawang berlangsung tidak ada hidangan apapun yang disediakan untuk Raja serta kerabatnya. Makanan, minuman, dan rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhitmatan jalannya upacara adat yang suci ini. Oleh sebab itu tari Bedhaya Ketawang memegang peranan yang begitu berarti dalam adat istiadat Keraton Surakarta. Walau apapun yang terjadi, dalam rangkaian upacara kenaikan tahta atau peringatannya Bedhaya Ketawang akan tetap dipentaskan. Keadaan seperti itu pernah terjadi pada waktu masa tahtanya Paku Buwono XI. Beliau sedang sakit

46 keras pada waktu hari peringatan kenaikan tahta, sehingga tidak dapat hadir dalam upacara tersebut. Tetapi tari Bedhaya Ketawang tetap dijalankan dan dhampar kencana (tahta yang dibuat dari emas) Paku Buwono XI tetap dikeluarkan, walaupun tidak ada yang mendudukinya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa upacara Bedhaya Ketawang sangat berarti bagi lingkungan Keraton, sebagai suatu hubungan antara dunia makhluk dan dunia nyata, maupun sebagai suatu pemujaan nenek moyang.