KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN POTENSI UNTUK EKOWISATA DI PANTAI TANGSI KABUPATEN LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN SWOT ANALISIS

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

Transkripsi:

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat NTB adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2007 Artika Ratna Wardhani NRP C251040011

ABSTRAK ARTIKA RATNA WARDHANI. Kajian Potensi Kawasan Pesisir bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat NTB. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan UNGGUL AKTANI. Kawasan pesisir Sekotong merupakan salah satu lokasi pengembangan ekowisata di Kabupaten Lombok Barat. Belum optimalnya pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, maka guna mendukung pengembangannya perlu adanya kajian mengenai potensi kawasan tersebut sebagai daerah ekowisata, baik dari segi lingkungan, ekonomi maupun aspek masyarakat setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) mengkaji potensi dan kondisi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong; (ii) memperkirakan daya tampung wisatawan, sebagai kondisi supply; (iii) mengkaji potensi demand dan nilai ekonomi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong serta (iv) mengkaji keterlibatan dan peran stakeholder dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Metode yang dilakukan adalah: (i) identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya melalui analisa supply dan analisa kesesuaian kawasan; (ii) analisa daya tampung wisatawan; (iii) analisa demand melalui TCM dan CVM serta (iv) analisa stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, perairan dan pantai serta gugusan gili atau pulau-pulau kecil di kawasan pesisir Sekotong dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata. Daya tampung wisatawan untuk kegiatan ekowisata di Sekotong adalah 864 sampai 1728 orang per- hari atau dalam setahun adalah sebanyak 250.560 sampai 501.120 HOW (Hari Orang Wisata). Jumlah tersebut merupakan kondisi supply bagi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong. Nilai ekonomi kawasan ekowisata Sekotong melalui metode travel cost adalah sebesar Rp 610.120,65 sedangkan melalui metode contingent value adalah sebesar Rp 30.311.181,00. Apabila daya tampung wisatawan di kawasan ekowisata Sekotong per-tahun dapat terpenuhi, maka nilai ekonomi kawasan tersebut adalah sebesar Rp 35.681.616,00 sampai Rp 71.690.587,00. Masyarakat dan pengusaha wisata setempat merupakan stakeholder utama, yaitu sebagai pelaku dan pemanfaat dari kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Pemerintah daerah setempat dan Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat berperan sebagai stakeholder kunci. Sedangkan stakeholder sekunder adalah instansi pemerintah lainnya, LSM dan akademisi, yang turut berperan sebagai pendukung kegiatan ekowisata di kawasan ini. Kawasan pesisir Sekotong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, namun secara aktual kawasan ini memiliki nilai ekonomi yang relatif rendah dibandingkan potensi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan permintaan wisatawan ke kawasan tersebut masih sangat sedikit dibandingkan kapasitas daya tampungnya. Kawasan ini memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi apabila pengembangan ekowisata di kawasan ini dikelola dengan baik dan benar, sehingga mampu mendatangkan wisatawan sesuai kapasitas daya tampungnya. Pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong harus terintegrasi dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, manajemen dan kelembagaan. Kata kunci: Kawasan pesisir, ekowisata, daya tampung wisatawan, nilai ekonomi, stakeholder

ABSTRACT ARTIKA RATNA WARDHANI. Study on Potency of Coastal Area for Ecotourism Development in Sekotong, West Lombok NTB. Under the direction of ACHMAD FAHRUDIN and UNGGUL AKTANI Coastal area of Sekotong was planned for ecotourism by Government of West Lombok District. Therefore, it was needed to study several aspects of coastal resources to support ecotourism. The objectives of this study were: (1) to identify natural resources for supporting ecotourism in coastal area of Sekotong, (2) to estimate physical carrying capacity for ecotourism activities, (3) to analyzed potential demand of ecotourism and (4) to analyze the involvement and role of stakeholders for supporting ecotourism development in Sekotong. The methods used were: (1) supply analysis; (2) PCC by standard of WTO; (3) demand analysis and (4) stakeholder analysis. The data of coral life form were obtained by line transect sampling and then analyzed by land suitability for coastal ecotourism. The data of socio-economics were collected by interviewing several tourists and then analyzed by TCM and CVM. The results of this study are: (1) coral reefs, mangroves and beach conditions are suitable for ecotourism (2) physical condition of coastal area of Sekotong can support ecotourism for 864 to 1728 tourists per day, (3) the economic values of ecotourism development are Rp 610,120.59 (using TCM analysis) and Rp 30,311,181.00 (using CVM analysis), and (4) the local community and the owner accomodation are act as primary stakeholders, while the local governments are act as key stakeholders and the other institutions are act as secondary stakeholders. The development of ecotourism in coastal area of Sekotong should be implemented by coordination among stakeholders and integrated in all aspects, include: ecology, economic, social, management and institusional. Besides that, needs several activities, such as natural resources conservation, providing appropriate promotion, and infrastructure development, especially freshwater supply and accommodation facilities. Keywords: coastal resource, ecotourism, physical carrying capacity, economic value, stakeholder.

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Kajian Potensi Kawasan Pesisir bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat - NTB : Artika Ratna Wardhani : C251040011 : Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir.Achmad Fahrudin, M.Si Ketua Dr. Unggul Aktani Anggota Diketahui Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 16 Januari 2007 Tanggal Lulus :

PRAKATA Syukur Alhamdulilah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunianya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Bapak Dr. Unggul Aktani atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing penulis. Terimakasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku penguji dan Bapak Dr. Ir Mennofatria Boer, DEA serta Komisi Akademik SPL, yang telah banyak memberikan masukan. Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Bapak Ir.H. Lalu Wardi, MS selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NTB dan Bapak Ir. IB. Made Swastika Jaya, M.Si selaku Kepala Balai Budidaya Laut Sekotong beserta staf, yang telah memberikan dukungan dan bantuan fasilitas selama di lokasi penelitian. Ungkapan terimakasih serta penghargaan yang tiada terhingga, penulis haturkan kepada kedua orangtua yang senantiasa memberikan cinta dan dukungannya, walaupun ternyata tidak dapat menemani hingga selesainya pendidikan yang sedang penulis jalani. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia untuk kedua orangtua yang sangat penulis kagumi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis, baik selama kegiatan perkuliahan maupun pada saat penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini, terutama penyandang dana BPPS-Dikti, instansi (Universitas 45 Mataram), Staf Akademik SPL dan rekanrekan SPL XI. Terimakasih juga kepada keluarga besar penulis (Mbak Ririn, Mbak Nindya, Mas Agung, Mbak Lusy dan Dik Wicaksono), serta keluarga: Mbak Nirmala dan Mbak Yanti, atas segala dukungan dan bantuannya. Teristimewa kepada suami, Mas Haryanto KA dan ananda tersayang: Adhyaksa Aussiedienta, Ayesha Almeria serta Aurellia Amethyssa, permohonan ma af dan terimakasih yang tulus penulis sampaikan, atas segala pengertian, dukungan dan waktu yang telah kita lalui bersama dalam suka dan duka. Semoga Allah SWT memberkati dan melimpahkan RahmatNya kepada kita semua. Akhir kata, seperti ungkapan tiada gading yang tak retak sebagaimana juga karya ilmiah ini yang jauh dari kesempurnaan, namun harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2007 Artika Ratna Wardhani

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 April 1971, dari Ayahanda Agus Suryawardhana (Alm) dan Ibunda Hj. Yun Setyawati (Alm-ah). Penulis merupakan putri kelima dari enam bersaudara. Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis selesaikan di Malang, selanjutnya pada tahun 1990 penulis diterima di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Mataram, NTB dan lulus pada tahun 1994. Kemudian penulis bekerja pada BUKPD NTB sampai tahun 2003. Pada tahun 2004 mendapat rekomendasi dari Universitas 45 Mataram untuk mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa dari BPPS Dikti.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Perkiraan... 4 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 5 Kerangka Pemikiran... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 7 Konsep Ekowisata... 7 Ekosistem dan Sumberdaya Wilayah Pesisir... 9 Perencanaan Pengembangan Ekowisata... 12 Kegiatan Ekowisata... 14 Sediaan Wisata... 15 Permintaan Wisata... 16 Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam... 17 METODE PENELITIAN... 20 Lokasi dan Waktu Penelitian... 20 Teknik Pengumpulan Data... 20 Responden... 24 Analisa Data... 25 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 29 HASIL DAN PEMBAHASAN... 35 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Sekotong... 35 Daya Tampung Wisatawan... 48 Potensi Demand dan Nilai Ekonomi Ekowisata di Sekotong... 54 Keterlibatan dan Peran Stakeholder... 63 Peluang Keterlibatan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata di Sekotong... 72 Potensi Pengembangan Ekowisata di Perairan dan Gugusan Gili di Sekotong... 75 Kendala dalam Pengembangan Ekowisata di Sekotong... 79 Arahan Pengelolaan Ekowisata di Sekotong... 81 KESIMPULAN DAN SARAN... 88 DAFTAR PUSTAKA... 91 LAMPIRAN... 95

DAFTAR TABEL 1 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata pantai 2 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata bahari 3 Kondisi umum oceanografi di Kecamatan Sekotong... 4 Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai berdasarkan standar WTO... 5 Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari berdasarkan standar WTO... 6 Kebutuhan lahan akomodasi dan kebutuhan air tawar berdasarkan jumlah daya tampung wisatawan menurut standar WTO... 7 Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai berdasarkan modifikasi standar WTO... 8 Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari berdasarkan modifikasi standar WTO... 9 Kebutuhan lahan akomodasi dan kebutuhan air tawar berdasarkan jumlah daya tampung wisatawan dengan modifikasi standar WTO... 10 Rata-rata biaya perjalanan wisatawan ke kawasan pesisir Sekotong... 11 Persentase besaran nilai WTP wisatawan... Halaman 26 26 30 48 49 50 51 52 53 58 62

DAFTAR GAMBAR 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian... 2 Lokasi penelitian... 3 Grafik persentase pengamatan terumbu karang... 4 Peta kesesuaian wisata pantai... 5 Peta kesesuaian wisata bahari... Halaman 6 21 38 46 47

DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta administrasi Kecamatan Sekotong... 2 Hasil identifikasi sumberdaya alam di Sekotong... 3 Hasil pengamatan terumbu karang... 4 Interval kelas kesesuaian kawasan...... 5 Identifikasi parameter kesesuaian wisata pantai di pulau-pulau kecil Sekotong... 6 Identifikasi parameter kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Sekotong... 7 Hasil penilaian kesesuaian kawasan untuk wisata pantai... 8 Hasil penilaian kesesuaian kawasan untuk wisata bahari... 9 Data analisa ekonomi... 10 Hasil identifikasi wisatawan... 11 Sarana akomodasi di lokasi penelitian... 12 Matrik analisa stakeholder... 13 Kuisioner untuk wisatawan domestik... 14 Kuisioner untuk wisatawan mancanegara... 15 Kuisioner untuk masyarakat... 16 Kuisioner untuk stakeholders... 17 Kondisi demografi dan sosial Kecamatan Sekotong... 18 Dokumentasi penelitian... Halaman 96 97 102 103 104 106 107 108 109 114 118 119 120 124 128 132 140 144

PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang dengan aneka ikan hiasnya. Pulau Lombok, merupakan salah satu wilayah Nusa Tenggara Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam pesisir yang relatif alamiah, sehingga saat ini menjadi salah satu alternatif tujuan wisata bahari setelah Pulau Bali (Bappeda NTB 2000). Bagi pulau kecil yang memiliki keterbatasan lahan, maka pembangunan pariwisata merupakan alternatif yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi bagi daerah tersebut. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pembangunan pariwisata di Pulau Lombok diharapkan dapat menjadi salah satu andalan sumber pendapatan daerah NTB. Namun demikian, dalam pembangunan pariwisata perlu dipertimbangkan bahwa kegiatan pariwisata merupakan jasa pelayanan, sehingga dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna mendukung pelayanan pariwisata, maka haruslah: (i) tidak merusak tata lingkungan hidup manusia; (ii) dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh, dan (iii) memperhitungkan generasi yang akan datang (Reksohadiprodjo dan Brojonegoro 1992). Dahuri et al. (1996) menambahkan, bahwa dalam perencanaan pengembangan pariwisata di wilayah pesisir hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk diantaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk pariwisata serta perkiraan tentang berbagai dampak terhadap lingkungan pesisir, karena keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama bagi obyek wisata. Secara umum, aktivitas pariwisata yang dikembangkan dewasa ini hanya berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam, sehingga kegiatan tersebut menimbulkan dampak terjadinya kerusakan sumberdaya alam. Demikian juga yang terjadi di Pulau Lombok, dimana seiring dengan pesatnya industri pariwisata yang dibangun di daerah tersebut, dikhawatirkan akan banyak kawasan pesisir yang mengalami tekanan ekologis yang semakin kompleks, baik berupa pencemaran, over eksploitasi sumberdaya alam, degradasi keanekaragaman hayati maupun degradasi fisik habitat pesisir. Salah satu upaya

yang dapat dilakukan untuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan di daerah ini adalah melalui pengembangan kawasan wisata yang ditujukan bagi pemanfaatan yang tidak bersifat eksploitatif, yaitu berkonsep ekowisata. Menurut Western (1993) dan Lindberg (1995), ekowisata diartikan sebagai perjalanan bertanggungjawab ke wilayah-wilayah alami, yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Dalam hal ini terdapat penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya pariwisata massal, tetapi lebih cenderung pada pariwisata minat khusus dengan obyek dan daya tarik wisata alam. Jadi, ekowisata merupakan sebuah konsep pariwisata yang menggabungkan suatu komitmen yang bertanggungjawab terhadap alam, ekonomi dan sosial. Sekotong merupakan salah satu kawasan pesisir Kabupaten Lombok Barat yang terletak di bagian Selatan Pulau Lombok. Dalam RTRW Pesisir dan Laut Kabupaten Lombok Barat Tahun 2004, pemerintah daerah setempat telah menetapkan rencana pengembangan kawasan ekowisata di Pantai Sekotong serta di Gili Gede dan sekitarnya. Kawasan ini memiliki gugusan gili, yaitu pulaupulau sangat kecil yang potensial untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata. Kemudahan aksesnya dari Bali serta keunikan kawasan yang memiliki keindahan panorama yang masih relatif alami hampir di sepanjang pantai, merupakan faktor yang sangat mendukung diupayakannya ekowisata. Konsep pemanfaatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong ini pada dasarnya juga telah sesuai dengan RTRW Pesisir dan Laut Pulau Lombok Propinsi NTB Tahun 2000, dimana disebutkan bahwa kawasan Gili Gede dan sekitarnya yang mencakup dua desa, yaitu Desa Pelangan dan Desa Sekotong Barat merupakan daerah kawasan lindung dan kawasan resapan air, karena di kawasan ini terdapat TWA Bangko-Bangko dan TWA Pelangan. Pengembangan ekowisata dapat menumbuhkan penyediaan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berkembangnya ekowisata juga diharapkan dapat mendorong tumbuhnya upaya masyarakat untuk mengembangkan budaya lokal dan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Namun di sisi lain, pengembangan ekowisata yang tidak didukung oleh pengelolaan yang tepat dapat berakibat pada kurangnya perhatian terhadap keterlibatan masyarakat setempat, daya dukung kawasan dan kelestarian lingkungan. Hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya kerusakan dan

pencemaran oleh adanya kegiatan dan aktivitas-aktivitas lain yang berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat menurunkan nilai ekologi dan nilai ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang mendukung keberlanjutan usaha ekowisata tersebut. Belum optimalnya pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, maka guna mendukung pengembangannya perlu adanya kajian mengenai potensi kawasan tersebut sebagai daerah ekowisata, baik dari segi lingkungan, ekonomi maupun aspek masyarakat setempat. Atas dasar pemikiran tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat - NTB. Perumusan Masalah Aktivitas wisata telah ada di kawasan pesisir Sekotong sejak tahun 1990-an, namun sejauh ini belum mengalami perkembangan yang berarti. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, apakah dari segi potensi sumberdayanya, dari segi permintaannya atau dari dukungan sosial masyarakatnya. Dari segi potensi sumberdaya, kawasan pesisir Sekotong memiliki pantai berpasir putih, ekosistem mangrove dan terumbu karang serta gugusan pulaupulau kecil. Potensi ini dimiliki oleh masing-masing lokasi dengan kondisi yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu diketahui bagaimana kondisi potensi sumberdaya alam di kawasan ini agar dapat menentukan kegiatan ekowisata yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh masing-masing lokasi. Pemilihan lokasi wisata yang sesuai dengan aktivitas wisatawan akan berpengaruh pada tingkat kepuasan dan tingkat kunjungan wisatawan. Pemilihan lokasi yang kurang sesuai dengan kegiatan wisatawan dapat menimbulkan kekecewaan karena ternyata kondisi lokasi tidak seperti yang diharapkan oleh wisatawan, yang pada akhirnya akan menurunkan intensitas kunjungan wisatawan. Dari segi ekonomi, perlu dikaji bagaimana permintaan wisatawan di kawasan ini, agar dapat diketahui nilai ekonomi pemanfaatan ekowisata di kawasan ini. Potensi alami di kawasan ini dapat memiliki nilai ekonomi yang tinggi jika dikelola dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperkirakan daya tampung wisatawan di kawasan pesisir Sekotong, termasuk di pulau-pulau kecilnya. Jumlah daya tampung wisatawan tersebut merupakan kondisi supply yang dapat berfungsi sebagai target jumlah

wisatawan untuk berkunjung ke kawasan pesisir Sekotong. Namun, jumlah wisatawan yang berada di kawasan ini tidak boleh melebihi kapasitas daya tampungnya tersebut, agar tidak menganggu keseimbangan ekosistem yang berada di kawasan ini, sehingga permintaan ekowisata di kawasan ini dapat berkelanjutan. Sedangkan dari segi sosial, perlu dilakukan kajian bagaimana dukungan masyarakat terhadap kegiatan ekowisata di kawasan ini, baik dari masyarakat setempat maupun masyarakat dalam arti luas, yaitu stakeholder yang terdiri dari para pelaku usaha, instansi pemerintah dan lembaga non pemerintah serta akademisi. Hal ini karena dukungan stakeholder sangat berpengaruh bagi prospek pengembangan ekowisata yang berkelanjutan, agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi berbagai pihak. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong adalah: 1. Bagaimana keberadaan potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan sebagai peluang kegiatan ekowisata di kawasan ini? 2. Bagaimana memperkirakan daya tampung wisatawan sebagai kondisi supply bagi pengembangan ekowisata di kawasan ini? 3. Bagaimana potensi demand dan nilai ekonomi pengembangan ekowisata di kawasan ini? 4. Bagaimana keterlibatan dan peran stakeholder dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini? Perkiraan Berdasarkan permasalahan di atas, diajukan perkiraan bahwa potensi supply dan potensi demand serta peranan stakeholder berpengaruh dalam merumuskan arahan pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji kondisi dan potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. 2. Memperkirakan daya tampung wisatawan, sebagai kondisi supply dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. 3. Mengkaji potensi demand dan nilai ekonomi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong.

4. Mengkaji keterlibatan dan peran stakeholder dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai : 1. Bahan pertimbangan bagi pihak pengelola dan instansi terkait dalam pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir, terutama di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. 2. Bahan kajian ilmiah dalam pengembangan ekowisata, khususnya dalam aspek rencana pengelolaan untuk kawasan pesisir. 3. Sarana informasi bagi masyarakat dalam upaya turut berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata, melalui pelestarian budaya dan peningkatan kreativitas usaha. Kerangka Pemikiran Kawasan Sekotong memiliki sumberdaya alam yang berpotensi sebagai obyek wisata. Namun demikian, potensi tersebut akan cepat rusak bila pengelolaannya bersifat eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Agar pengelolaan pariwisata di kawasan tersebut berkelanjutan, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah berdasarkan konsep ekowisata. Upaya pengelolaan kawasan pesisir Sekotong melalui pengembangan ekowisata harus memperhatikan berbagai aspek, baik dari aspek masyarakat setempat, wisatawan, maupun kelestarian potensi wisata yang ada. Agar pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong dapat berkelanjutan, maka diperlukan suatu pengelolaan yang tepat. Salah satu upaya guna mendukung kegiatan tersebut adalah melalui penelitian tentang potensi sumberdaya, potensi permintaan dan nilai ekonomi serta peranan stakeholder (masyarakat, LSM, pemerintah dan swasta) bagi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap proses penelitian. Tahap pertama melakukan identifikasi kondisi dan potensi sumberdaya yang ada di kawasan tersebut melalui analisa supply. Kemudian tahap kedua, melakukan analisa kesesuaian kawasan ekowisata bagi peruntukan aktivitas wisata bahari dan wisata pantai, meliputi: (i) penyusunan matrik kesesuaian (ii) pembobotan dan pengharkatan serta (iii) penentuan kelas kesesuaian. Berikutnya tahap ketiga, memperkirakan daya tampung wisatawan, agar dapat

mengestimasi kebutuhan air tawar serta kebutuhan lahan untuk akomodasi dan penampungan limbah. Selanjutnya, pada tahap keempat melakukan analisa demand, yaitu mengkaji potensi permintaan wisatawan terhadap ekowisata di kawasan ini melalui Travel Cost Method dan Contingent Value Method. Dari hasil analisa demand dan hasil penentuan daya tampung wisatawan tersebut dapat diketahui nilai ekonomi dari pengembangan ekowisata di kawasan ini. Terakhir tahap kelima, melakukan analisa stakeholder, yaitu mengidentifikasi keterlibatan dan peran pihak pengelola (pemerintah, masyarakat, LSM dan dunia usaha atau pihak swasta) dalam menunjang kegiatan ekowisata di kawasan tersebut. Selanjutnya dirumuskan arahan pengelolaan dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, berdasarkan kondisi di lokasi dan studi pustaka yang mendukung. Secara skematik, kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut: Kawasan Pesisir Sekotong Analisa Stakeholder Analisa Supply (Identifikasi Kondisi dan Potensi Sumberdaya) Analisa Demand GIS Analisa Kesesuaian Kawasan TCM CVM Atraksi dan kegiatan Ekowisata Daya tampung wisatawan Nilai Ekonomi Pengelolaan Ekowisata Berkelanjutan Keterangan : Alur penelitian Tool yang digunakan dalam analisis TCM : Travel Cost Method CVM : Contingent TINJAUAN Value Method PUSTAKA Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata Ada berbagai definisi tentang konsep ekowisata yang dikemukakan oleh para ahli, dimana berbagai definisi tersebut menunjukkan masih terus berkembangnya konsep ekowisata. Pengertian ataupun ide yang terkandung dalam ekowisata telah lama dilakukan orang, namun pada banyak makalah disebutkan bahwa Hector Ceballos Lascurain adalah yang pertama kali mempergunakan frasa ecotourism pada tahun 1983, yaitu mendefinisikannya sebagai suatu perjalanan ke daerah yang relatif belum terganggu atau yang bersejarah, dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna serta atraksi budaya (Agrusa dan Guirdy 1999). Cater (1993) dalam Agrusa dan Guidry (1999) juga menyatakan bahwa ekowisata mempunyai berbagai pengertian dari setiap orang yang berbeda latar belakang. Namun, pada prinsipnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah alami yang melindungi budaya dan lingkungan, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata ini memberikan kesempatan pada negaranegara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak sumberdaya alam. Konsep ini didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati dan menghargai alam, mendukung konservasi, berdampak negatif pengunjung yang rendah dan memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan aktif mereka secara sosial ekonomi. Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam. Sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 2001). Sedangkan Boo (1992) membuat batasan ekowisata sebagai wisata alam yang mendorong usaha pelestarian dan pembangunan berkelanjutan, memadukan pelestarian dengan pembangunan ekonomi, membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat serta memberikan pendidikan lingkungan

kepada pengunjung. Wood (2002) juga berpendapat bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bukan semata-mata mencari kesenangan dan hiburan dari suguhan lingkungan alami yang ditontonnya, melainkan diharapkan untuk ikut berpartisipasi langsung dalam membantu konservasi lingkungan sekaligus memperoleh pemahaman lebih dalam tentang seluk beluk ekosistem alam dan budaya, yang pada akhirnya akan membangunkan kesadaran tentang bagaimana ia harus bersikap di masa yang akan datang agar alam dan budaya tetap lestari. Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata yang berlabel ekowisata, yaitu: (i) wisata berbasis alam (nature based tourism), (ii) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (conservation supporting tourism) (iii) wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) dan (iv) wisata yang berkelanjutan (sustainabilty of tourism). The International Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke daerah-daerah alami yang melindungi lingkungan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini berarti bahwa siapa saja yang melaksanakan dan berpartisipasi dalam aktivitas ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip berikut: (i) meminimalisir dampak; (ii) menghargai lingkungan dan budaya; (iii) memberikan pengalaman yang positif, baik pada pengunjung maupun penyelenggara; (iv) memberikan keuntungan dana secara langsung untuk konservasi; serta (v) memberikan keuntungan penghasilan dan memberdayakan masyarakat setempat [TIEShttp://www.ecotourism.org]. Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik dasar kegiatan ekowisata, yaitu: 1. Nature based, yakni ekowisata merupakan bagian atau keseluruhan dari alam itu sendiri, termasuk unsur-unsur budayanya, dimana besarnya keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan kekuatan utama dan sebagai nilai jual bagi pengembangan ekowisata; 2. Ecologically sustainable, yakni bersifat berkelanjutan secara ekologis, artinya semua fungsi lingkungan, baik biologi, fisik dan sosial selalu berjalan dengan baik, dimana perubahan perubahan yang terjadi dijamin tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis; 3. Environmentally educative, yakni melalui kegiatan yang bersifat positif terhadap lingkungan, diharapkan dapat mempengaruhi perilaku wisatawan

dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap konservasi, sehingga membantu kelestarian dalam jangka panjang; 4. Bermanfaat untuk masyarakat lokal, yakni dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat, misalnya penjualan barang kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana wisata, bertambahnya wawasan, biaya konservasi dan sebagainya; 5. Kepuasan wisatawan, yakni kepuasan akan pengalaman yang didapat dari fenomena-fenomena alam sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap konservasi alam dan budaya setempat. Secara umum, tujuan ekowisata menurut Departemen Kehutanan (1993) dalam Arsyad (1999) adalah: (i) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas manusia, (ii) melindungi keanekaragaman genetis melalui perlindungan terhadap keutuhan kawasan konservasi, (iii) menjamin pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam beserta ekosistemnya melalui upaya pemeliharaan terhadap daya dukung dan biodiversity. Ekosistem dan Sumberdaya Wilayah Pesisir Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami antara lain terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 1996). Sumberdaya alam bisa diklasifikasikan berdasarkan tipenya, yaitu: (i) sumberdaya yang tidak pernah habis (renewable-perpetual resources), yakni sumberdaya yang selalu tersedia sepanjang kurun waktu kehidupan manusia, contohnya: energi gelombang, angin, pasut dan sebagainya; (ii) sumberdaya

yang tidak bisa diperbaharui atau tidak dapat pulih (non-renewable or exhaustible resources), contohnya: bahan bakar alam, logam dan non logam, dan mineral lainnya; serta (iii) sumberdaya yang secara potensial bisa diperbaharui (potentially renewable resources), yaitu sumberdaya yang bila pemanfaatannya tidak melampaui batas-batas daya dukung akan mampu secara alami memperbaharui diri, contohnya adalah: terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass bed), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. (Dahuri et al. 1996; Kusumastanto 2000). Ekosistem Mangrove. Ekosistem mangrove seringkali disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau, dimana merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Namun, akibat ketergantungan terhadap aliran air tawar menyebabkan penyebaran mangrove juga terbatas (Dahuri et al. 1996). Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting, yaitu: (i) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen; (ii) sebagai penghasil detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan yang rontok;serta (iii) sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan berbagai biota perairan (Bengen 2004). Selanjutnya, pengelompokan komunitas mangrove menurut Macnae (1968) dalam Supriharyono (2000) dibagi dalam enam zona, yaitu: (i) zona perbatasan dengan daratan; (ii) zona semak-semak tumbuhan Ceriops; (iii) zona hutan Bruguiera; (iv) zona hutan Rhizopora; (v) zona Avicennia; dan (vi) zona Sonneratia. Simbolon (1991) dalam Yahya (1999) membagi manfaat hutan mangrove menjadi dua, yaitu: (i) manfaat langsung, berupa bentuk hasil produksi kayu, buah, daun kulit dan getahnya, serta bentuk jasa sebagai sarana wisata yang saat ini dapat dijual; dan (ii) manfaat tidak langsung, dalam kaitannya sebagai sumber plasma nutfah, iklim dan hidrologis, serta sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Sedangkan bagi wisata, mangrove mempunyai dua fungsi, yaitu: (i) sebagai penyaring polutan dari aliran air sebelum masuk ke laut, sehingga dapat melindungi kualitas air laut dan terumbu karang serta (ii) sebagai tempat

komunitas burung sehingga dapat bermanfaat langsung sebagai area birdwatching, fotografi, dan canoeing (Huttche et al. 2002) Ekosistem Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur merupakan: (i) tempat tumbuh biota laut, yaitu sebagai tempat memijah, mencari makan, dan daerah asuhan berbagai biota laut; (ii) sumber plasma nutfah; (iii) sumber bahan baku berbagai macam kegiatan, yaitu bahan bangunan, perhiasan, dan penghias rumah; serta (iv) obyek wisata bahari. Selain itu, ekosistem ini berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan di laguna dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Nybakken 1992; Dahuri et al. 1996). Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, Dahl (1981) dalam Ongkosongo (1988) membedakan bentuk hewan karang menjadi enam jenis, yaitu: (i) karang bercabang (Branching); (ii) karang padat (Massive); (iii) karang kerak (Encrusting); (iv) karang meja (Tabulate); (v) karang daun (Foliose) dan (vi) karang jamur (Mushroom). Formasi terumbu karang tersebut selanjutnya secara struktural oleh Odum (1971); Sheppard (1963) dalam Ongkosongo (1988); dikelompokkan menjadi tiga tipe umum, yaitu: (i) terumbu karang tepi (fringing reef/ shore reef), (ii) terumbu karang penghalang (barrier reef) dan (iii) terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga struktur tersebut, terumbu karang tepi yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia (Supriharyono 2000). Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan mempunyai produktvitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem serta berperan untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken 1992). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman spesies penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies tersebut adalah adanya variasi habitat yang terdapat di terumbu, dimana ikan merupakan sumberdaya yang paling banyak ditemui. Keunikan dan keindahan ekosistem terumbu karang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata bahari (Dahuri et al. 1996). Selain nilai estetika, terumbu karang juga mempunyai nilai ekonomi dari pengembangan wisata. Hasil studi White dan Cruz-Trinidad (1998), menyatakan bahwa di Philipina diperkirakan 1km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan dari sektor wisata sebesar $2 000 sampai $20 000.

Perencanaan Pengembangan Ekowisata Pengembangan ekowisata merupakan konsep wisata yang relatif baru, sehingga diperlukan perencanaan dan kebijakan agar upaya pengembangan yang dilakukan berjalan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konsep, Depdagri (2000) menyatakan bahwa untuk mengembangkan produk kegiatan ekowisata perlu memperhatikan berbagai hal, antara lain: (i) Tata ruang, aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam tata ruang daerah tujuan ekowisata adalah: peruntukan kawasan, kepemilikan, sarana menuju kawasan ekowisata, ambang batas kawasan terhadap dampak kegiatan ekowisata dan topografi. (ii) Sarana dan prasarana; low invest-high value merupakan konsep dalam pengembangan sarana akomodasi ekowisata, yaitu dengan menggunakan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan. (iii) Atraksi dan kegiatan; dimana keanekaragaman hayati dan ekosistem yang khas serta budaya yang unik merupakan kekuatan sekaligus nilai jual bagi pengembangan ekowisata. (iv) Pendidikan dan penghargaan, dilakukan dalam rangka pengembangan kualitas SDM pelaksana kegiatan ekowisata, misalnya melalui pelatihan ecoguide, tour operator, perencanaan pemasaran dan lain-lain, yang bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Sedangkan aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), diantaranya adalah: (i) adanya konservasi sumberdaya alam yang sedang berlangsung; (ii) tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan; (iii) tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk-beluk ekosistem kawasan; (iv) tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan; (v) tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumberdaya alam di dalam kawasan; dan

(vi) tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata. Hasil studi Isaacs (2000) mengemukakan bahwa ekowisata ditujukan sebagai kegiatan ekonomi yang dapat meminimalisir dampak negatif manusia pada habitat flora dan fauna serta memberikan insentif dalam menjaga alam lingkungan. Namun ternyata potensi ekowisata sebagai sebuah strategi konservasi flora-fauna tersebut dibatasi oleh ketidakmampuannya dalam melindungi kualitas lingkungan secara jangka panjang dan oleh kecenderungannya untuk secara langsung berkontribusi pada degradasi lingkungan. Hal ini dapat terjadi akibat kesalahan dalam menyelenggarakan jasa ekowisata yang cenderung berorientasi ekonomi. Keterbatasan tersebut dapat diatasi jika pemerintah dan pengusaha-pengusaha yang menyelenggarakan jasa ekowisata mampu untuk meminimalisir efek-efek kerusakan dari tingkah laku ekonomi manusia. Jadi dalam mempromosikan ekowisata sebenarnya harus lebih mengutamakan tentang perlindungan lingkungan. Sedangkan studi Wall (1997) menyatakan bahwa kontribusi peranan pariwisata dalam pembangungan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai aspek tunggal, tetapi harus dilihat keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya. Jika pariwisata ditujukan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus meningkatkan secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Dalam hal ini dipercaya bahwa suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan adalah ekowisata. Namun perlu diketahui bahwa pariwisata berkelanjutan dan ekowisata adalah tidak sama. Banyak ekowisata yang mungkin tidak dapat berkelanjutan, jika pengelolaannya tidak benar. Jika ekowisata diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang hati-hati. Pengembangan ekowisata di suatu kawasan perlu mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung kawasan tersebut untuk menampung wisatawan. Menurut Wolters (1991) diacu dalam Ceballos-Lascurain (1996), daya dukung ekowisata tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan sosial terhadap kegiatan wisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata alam. Jika daya tampung tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, akibatnya

kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat. Kegiatan pembangunan dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata, akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata yang dibuang ke lingkungan pesisir hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, yaitu kemampuan sistem lingkungan untuk menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan atau bahaya kesehatan manusia. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resource) hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri 1993). Setiap daerah mempunyai kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, yaitu yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan, melainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan wisata itu (Soemarwoto 1997). Kegiatan Ekowisata Kegiatan ekowisata merupakan hal tentang menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, serta mencegah dampak negatif terhadap ekosistem, kebudayaan dan keindahan (Western 1993 dalam Lindberg dan Hawkins 1993). Ada beberapa bidang dalam kegiatan ekowisata yang berkaitan dengan bidang konservasi, yaitu tentang pengelolaan kawasan yang dilindungi, pembangunan berkelanjutan dan pendidikan lingkungan untuk konsumen (Boo 1993). Berdasarkan hasil penelitian Yahya (1999) dan Fitriani (2004), kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan meliputi:

(i) Kegiatan ilmiah, merupakan kegiatan ekowisata yang ditujukan menambah pengetahuan tentang ekowisata. Kegiatan ini dapat berupa pengenalan: vegetasi mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan pengenalan satwa liar. (ii) Kegiatan penelitian, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan suatu kawasan dan proses pengendalian dalam sistem pengelolaan ekowisata, karena melalui penelitian bisa dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan ekowisata. (iii) Kegiatan rekreasi, merupakan kegiatan ekowisata yang diharapkan memberikan pengalaman yang berarti dan menyenangkan bagi wisatawan, misalnya: menikmati pemandangan (sight seeing), memotret (photo hunting), mengamati burung (bird watching), board walking, jogging, hiking, camping, panjat tebing, berjemur, olahraga pantai, menyelam, berenang, berlayar dan memancing. (iv) Kegiatan budaya, merupakan kegiatan pengenalan budaya masyarakat setempat, berupa upacara-upacara adat, atau melihat kehidupan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan budidaya dan pengolahan hasil perikanan. Sediaan Wisata Kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang memperhatikan tentang keberlanjutan, perlindungan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, serta ekosistemnya (Fandelli 2000). Analisa sediaan wisata diperlukan untuk mencapai suatu pengelolaan areal wisata yang baik, hal ini karena kompleksnya komponen yang ada dalam sistem kepariwisataan. Analisa tersebut akan memberikan informasi kepada publik tentang kemungkinan pengembangan yang akan dijadikan tempat-tempat wisata (Gold 1980 dalam Maryadi 2003). Menurut Gunn (1994) dalam Maryadi (2003), komponen sediaan wisata terdiri dari: atraksi, pelayanan, transportasi, promosi dan informasi. Masingmasing komponen tersebut saling berkaitan dan mempunyai sifat yang independen, dinamis dan sulit dikelola. Oleh karena itu, pemahaman tentang komponen sediaan atau penawaran wisata perlu dipertimbangkan bagi setiap sektor yang akan terlibat dalam sistem kepariwisataan.

Permintaan Wisata Permintaan terhadap suatu komoditas timbul dari kemauan dan kemampuan dalam membeli komoditas tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah yang diminta (quantity demanded) dari suatu komoditas dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditas lain yang berkaitan (substitusi atau komplemen) dan selera konsumen (Kusumastanto 1995). Selanjutnya, hukum permintaan (law of demand) menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat (Gaspersz 2000). Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan wisata menurut Yoeti (1990) adalah: (i) pendapatan, (ii) harga, (iii) struktur keluarga, (iv) kualitas obyek wisata sangat mempengaruhi apakah jasa tersebut akan dibeli orang atau tidak; (v) perubahaan cuaca; dan (vi) faktor hari libur. Sedangkan menurut Douglass (1970) diacu dalam Hermawan (1993) mengemukakan bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan komunikasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Penawaran wisata yang unsur-unsurnya terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi dalam permintaan wisata alam terbuka. Menurut Lindberg dan Huber (1993) dalam Lindberg dan Hawkins (1993), konsep dasar untuk mengevaluasi pasar atau permintaan adalah tingkat kunjungan dan kesanggupan wisatawan untuk membayar suatu atraksi wisata. Faktor-faktor permintaan secara umum ditentukan oleh: i. Pendapatan. Wisatawan yang lebih kaya akan melakukan perjalanan yang lebih banyak dan mampu membayar lebih. ii. Populasi. Semakin banyak populasi akan semakin banyak permintaan wisata. iii. Selera. Permintaan liburan ekowisata tergantung pada tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap konservasi lingkungan. iv. Kesan mengenai lokasi tujuan. Suguhan atraksi yang memberi kesan positif akan mendatangkan lebih banyak wisatawan.

v. Kompetisi antar obyek wisata. Semakin unik suatu obyek wisata, semakin tinggi biaya yang ditetapkan. vi. Biaya perjalanan. Semakin rendah biaya perjalanan, semakin tinggi permintaan. vii. Kualitas obyek wisata yang disuguhkan. Tempat-tempat yang menyuguhkan atraksi wisata yang menarik, beraneka ragam dan mudah untuk dilihat, akan lebih banyak permintaan. viii. Kualitas pengalaman perjalanan. Perjalanan yang memberikan kualitas pengalaman, seperti: kondisi penginapan, makanan, guide dan lain-lain berpengaruh pada permintaan. ix. Stabilitas politik dan ekonomi. Wisatawan cenderung memilih lokasi wisata ke negara yang memiliki kondisi politik dan ekonomi stabil. x. Obyek wisata pendukung. Akan lebih banyak permintaan pada tempattempat yang memiliki banyak lokasi wisata. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam Secara umum nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay = WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam pengukuran nilai sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumberdaya (Fauzi 2004). Kusumastanto (2000) menambahkan bahwa, nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaanya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Secara garis besar nilai ini dibagi dua macam, yaitu: pertama, nilai manfaat (use value), terdiri dari (i) nilai manfaat langsung (direct use value); (ii) nilai manfaat tidak langsung (indirect use value); dan (iii) nilai manfaat pilihan (option value). Kedua, bukan nilai manfaat (non use value), terdiri dari (i) nilai pewarisan (baquest value) yaitu nilai yang berkaitan dengan perlindungan suatu sumberdaya agar dapat diwariskan pada generasi mendatang; dan (ii) nilai keberadaan (existence value) yaitu nilai

keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil. Teknik penilaian atau valuasi ekonomi sumberdaya alam yang tidak dipasarkan (non market valuation) menurut Fauzi (2004) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, teknik pengukuran tidak langsung (revealed WTP), yang meliputi travel cost, hedonic pricing, dan random utility process. Kedua, teknik valuasi secara langsung dari survei (expressed WTP), yaitu contingent valuation method (CVM), random utility model, dan contingent choice. Travel Cost Method. Kusumastanto (2000) mengemukakan beberapa konsep dalam metode valuasi dengan biaya perjalanan (Travel Cost Method), yaitu: (i) dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam; (ii) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (iii) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan; serta (iv) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut. Pada dasarnya, prinsip kerja Travel Cost Method (TCM) menurut Fauzi (2004) cukup sederhana, yakni untuk mengetahui nilai sumberdaya alam yang atraktif dari suatu tempat rekreasi, misalnya pantai, dimana dilakukan melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut. Lebih lanjut Fauzi (2004) menjelaskan, secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Pertama, pendekatan TCM melalui zonasi, yaitu pendekatan TCM yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Kedua, pendekatan individual TCM, dimana secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisa lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif lebih akurat daripada metode zonasi. Sedangkan menurut Grigalunas et al. (1998) pada dasarnya ada tiga model travel cost, yaitu (i) zonal travel cost; (ii) individual travel cost; dan (iii) discrete choice travel cost yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi perjalanan yang tidak kontinyu, dimana individu mengunjungi suatu lokasi sekali

per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak lokasi yang dipilih. Fauzi (2004) menambahkan, dalam menentukan fungsi permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata, pendekatan TCM menggunakan regresi sederhana. Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan (travel cost) dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif. Contingent Value Method. Merupakan metode valuasi ekonomi sumberdaya yang didasarkan atas preferensi atau penghargaan manusia terhadap sumberdaya yang disediakan oleh alam. Preferensi ini sangat tergantung pada karakteristik manusianya, seperti pendapatan, umur, pendidikan dan sebagainya. CVM merupakan suatu teknik yang potensial untuk mengukur nilai barang-barang dan jasa yang tidak dipertukarkan di pasar atau yang tidak mempunyai harga pasar (Adrianto 2006). Fauzi (2004) menambahkan bahwa Contingent Value Method (CVM) merupakan salah satu metode pengukuran nilai ekonomi sumberdaya secara langsung, dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan mereka membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei. Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM, yaitu: (i) membuat hipotesis pasar; (ii) mendapatkan nilai lelang; (iii) menghitung rataan WTP; (iv) memperkirakan kurva lelang dan (v) mengagregatkan data.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong Barat, Desa Pelangan dan Desa Batu Putih (Gambar 2), yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2006. Selanjutnya dilakukan analisa data serta pembuatan laporan atau penulisan tesis. Teknik Pengumpulan Data Data primer diperoleh secara langsung melalui metode observasi atau pengamatan di lapangan, dan juga melalui wawancara berdasarkan kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui berbagai sumber, berupa laporan studi dan penelitian, publikasi ilmiah, publikasi daerah, dan peta-peta yang telah dipublikasikan. Data yang dibutuhkan menurut tahap penelitian adalah sebagai berikut: 1. Analisa supply (identifikasi kondisi dan potensi sumberdaya), diperlukan: a. Data primer, berupa pengamatan tentang: Fasilitas pendukung ekowisata (aksesibilitas menuju lokasi, infrastruktur, akomodasi, kebersihan dan kenyamanan lingkungan). Potensi sumberdaya, meliputi : Profil pulau-pulau kecil dan kawasan pantai Sekotong. Pengamatan yang dilakukan berupa kondisi fisik pantai, seperti tipe pantai, penutupan lahan pantai dan ketersediaan air tanah. Selain itu juga pengamatan terhadap kondisi flora dan fauna. Kondisi terumbu karang. Pengamatan dilakukan di 4 stasiun penelitian pada posisi kedalaman 3m dan 10m, yaitu di perairan Gili Nanggu, Gili Tangkong, Gili Sudak dan Gili Rengit (Gambar 2), dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan lokasi snorkeling dan diving. Metode yang dilakukan berdasarkan English et al. 1994. Pengamatan awal terhadap terumbu karang dilakukan melalui manta tow, selanjutnya dilakukan transek garis menyinggung (line intersept transect atau LIT) pada lokasi yang rataan terumbu karangnya baik. Pengamatan penutupan terumbu karang berpedoman pada analisis struktur bentuk pertumbuhan karang (structural analysis of lifeform).

Gambar 2 Lokasi penelitian

Penutupan terumbu karang adalah persentase penutupan suatu jenis karang hidup pada suatu area tertentu dengan rumus (English et al. 1994), dimana li = panjang C = [ li / l ] x100% transek yang melalui lifeform ke i dan l adalah panjang garis transek. Selanjutnya data kondisi persentase total penutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomes dan Yap (1988), yaitu: a. 0% - 24,9% : penutupan karang kategori jelek b. 25% - 49,9% : penutupan karang kategori sedang c. 50% - 74,9% : penutupan karang kategori baik d. 75% - 100% : penutupan karang kategori sangat baik. Identifikasi Ikan Karang Metode yang dilakukan untuk identifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemui sepanjang garis transek pada saat transek karang. Keberadaan ikan karang dicatat berdasarkan gambar panduan jenis-jenis ikan karang yang dibawa oleh penyelam, dan penentuan jenis ikan karang tersebut berdasarkan nama latin spesiesnya. b. Data sekunder, berupa laporan studi dan penelitian tentang kondisi: terumbu karang di perairan Sekotong, ikan karang, mangrove, flora, fauna dan kondisi fisik kawasan, serta publikasi daerah tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya, demografi dan infrastruktur di lokasi penelitian. 2. Analisa kesesuaian kawasan, yang diperlukan: a. Data primer, berupa pengamatan dan pengambilan data insitu dari hasil identifikasi sumberdaya yang berkaitan dengan parameter kesesuaian kawasan untuk wisata bahari dan wisata pantai. b. Data sekunder, berupa laporan studi dan penelitian yang mendukung, serta peta tematik Kecamatan Sekotong hasil kajian MCRMP NTB (2004), meliputi peta: ekosistem pesisir, penggunaan lahan, infrastruktur, batimetri, kecerahan perairan dan peta kecepatan arus. 3. Analisa daya tampung wisatawan, yang diperlukan: Data sekunder, berupa peta citra Pulau Lombok dan peta tematik Kecamatan Sekotong hasil kajian MCRMP NTB (2004), yaitu peta panjang pantai pasir dan peta ekosistem terumbu karang.

4. Analisa demand a. Data primer, berupa penyebaran kuisioner melalui wawancara pada wisatawan, untuk mengetahui: - Profil wisatawan, yaitu: umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan asal wisatawan - Motivasi kunjungan - Penilaian wisatawan tentang kualitas lingkungan di lokasi - Informasi biaya perjalanan, meliputi biaya: akomodasi, konsumsi serta pengeluaran lain menuju dan selama di lokasi (travel cost) - Informasi contingent value tentang kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap jasa lingkungan yaitu obyek wisata yang dinikmati di lokasi. b. Data sekunder, berupa informasi dan publikasi daerah dari instansi pemerintah atau swasta tentang kegiatan wisata di lokasi. 5. Analisa stakeholder a. Data primer, berupa penyebaran kuisioner pada : masyarakat setempat, untuk mengetahui: - kondisi sosial ekonomi masyarakat - respon masyarakat terhadap wisatawan - persepsi masyarakat tentang ekowisata - peran dan kontribusi masyarakat dalam ekowisata. pihak swasta, untuk mengetahui: - jenis dan aktivitas yang dilakukan di lokasi - persepsinya tentang ekowisata - peran dan kontribusi yang dilakukan dalam kegiatan yang berkaitan dengan ekowisata di lokasi. - jumlah dan asal tenaga kerja LSM, untuk mengetahui: - jenis dan aktivitas yang dilakukan di lokasi - persepsinya tentang ekowisata - peran dan kontribusi yang dilakukan dalam kegiatan yang berkaitan dengan ekowisata di lokasi. instansi pemerintah (mulai tingkat desa sampai propinsi), untuk mengetahui: - profil instansi, yaitu sektor pekerjaan dan asal instansi

- jenis dan aktivitas yang dilakukan di lokasi - persepsi instansi pemerintah tentang ekowisata - peran dan kontribusi instansi pemerintah dalam mendukung pengelolaan ekowisata di lokasi. b. Data sekunder, berupa laporan penelitian dan publikasi yang mendukung. Responden Responden diperlukan untuk pengambilan data primer melalui pengisian kuisioner, yang ditujukan pada: a. Wisatawan Responden untuk wisatawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik atau nusantara (wisnus). Pemilihan responden dari unsur wisatawan dilakukan di tiga titik lokasi, dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah ada aktivitas wisata, yaitu di Gili Nanggu, Gili Gede dan Tanjung Bangko-Bangko. Sedangkan pelaksanaannya secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada dan bersedia menjadi responden (Soeratno dan Arsyad 1993), mengingat jumlah wisatawan yang datang di kawasan tersebut belum begitu banyak. Wisatawan yang bersedia menjadi responden pada penelitian ini berjumlah 53 orang, terdiri dari 39 orang wisman dan 14 orang wisnus. Dengan rincian: 11 orang wisman dan 3 orang wisnus di Tanjung Bangko-Bangko, 7 orang wisman dan 2 wisnus di Gili Gede serta 21 orang wisman dan 9 orang wisnus di Gili Nanggu. b. Masyarakat Populasi dalam menentukan responden dari unsur masyarakat adalah kepala keluarga (KK) yang tinggal di: (i) Desa Sekotong Barat, berjumlah 1918 KK; (ii) Desa Pelangan, berjumlah 2586 KK dan (iii) Desa Batu Putih, berjumlah 1802 KK. Penetapan jumlah responden mengikuti anjuran yang ditulis Soeratno dan Arsyad (1993), yaitu minimum diperlukan 10% responden dari total populasi. Jadi responden dari unsur masyarakat ini berjumlah 62 orang, meliputi: 19 orang penduduk Desa Sekotong Barat, 25 orang penduduk Desa Pelangan dan 18 orang penduduk Desa Batu Putih. Penentuan responden tersebut dilakukan secara purposive sampling, yaitu berdasarkan pertimbangan bahwa yang dipilih merupakan kelompok masyarakat usia produktif yang terlibat dalam kegiatan produktif di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong.

c. Pengelola Pemilihan responden dari unsur pengelola (stakeholder) lain, baik dari instansi pemerintah maupun swasta, ditentukan secara purposive sampling. Responden dipilih dengan pertimbangan merupakan pihak-pihak yang berperan secara langsung dalam pengelolaan wisata di lokasi atau pihak-pihak yang tidak berperan secara langsung namun telah berpengalaman di bidang ekowisata. Pada penelitian ini, responden dari unsur swasta merupakan pihak yang secara langsung berprofesi sebagai pengelola wisata di lokasi, berjumlah tujuh orang, yaitu lima orang merupakan pengelola sarana penginapan (resort), serta pemilik sarana informasi wisatawan (tourism information center), dan pemilik diving club, masing-masing satu orang. Responden dari unsur instansi pemerintah sebanyak 13 orang, yakni merupakan perwakilan instansi pemerintah yang berada di lokasi, yaitu Balai Budidaya Laut Sekotong (dibawah manajemen DKP Pusat), Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Pantai (dibawah manajemen DKP Propinsi NTB) dan kantor pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai kecamatan, serta perwakilan dari instansi pemerintah yang tidak berada di lokasi namun secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam pelaksanaan pengembangan ekowisata di Sekotong, yaitu: Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, Dinas Pariwisata Propinsi NTB, Bappeda Propinsi NTB, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTB, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lombok Barat, serta Dinas Kehutanan dan BKSDA Propinsi NTB. Sedangkan responden dari unsur lembaga non pemerintah sebanyak empat orang, meliputi dua orang perwakilan dari LSM Koslata dan LSM Kenari serta dua orang perwakilan dari akademisi/ lembaga penelitian Universitas Mataram dan Universitas 45 Mataram. Jadi total responden dari unsur stakeholder selain masyarakat setempat adalah sebanyak 24 orang. Analisa Data Analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Analisa supply, yaitu merupakan identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya yang dapat menjadi daya tarik ekowisata di suatu kawasan (Huttche et al. 2002). 2. Analisa kesesuaian kawasan, dibatasi hanya untuk kesesuaian kawasan wisata pantai dan wisata bahari berdasarkan parameter Bakosurtanal

(1996), lalu parameter tersebut di-overlay melalui teknik GIS (Geographic Information System), sehingga dihasilkan peta kesesuaian wisata pantai dan wisata bahari. Parameter yang digunakan dalam matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk kesesuaian wisata pantai adalah seperti Tabel 1 berikut: Tabel 1 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata pantai Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor Kedalaman 10 1-7 4 7 12 3 12-18 2 >18 1 dasar perairan (m) Material dasar perairan 15 Pasir 4 Karang berpasir 3 Karang hidup 2 Lumpur 1 Kecepatan arus (m/det) 10 0.06-0.098 4 0.098-0.105 3 0.105-0.112 2 0.112-0.12 1 Kecerahan 15 <6 4 6 8 3 8-10 2 10-12 1 perairan (m) Tipe pantai 20 Berpasir 4 Berpasir, 3 Pasir dan 2 Lumpur, 1 sedikit karang karang, sedikit terjal karang, terjal Penutupan lahan pantai 1 Ketersediaan air tawar (km) 20 Kelapa, lahan terbuka 4 Semak belukar rendah, savanna 3 Belukar tinggi, hutan 2 Bakau, pemukiman, pelabuhan 10 <0,5 4 0,5-1 3 1 1,5 2 >1,5 1 Total 100 S1 400 S2 300 S3 200 N 100 Sumber: Modifikasi Bakosurtanal (1996). Parameter yang digunakan dalam matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk kesesuaian wisata bahari tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata bahari Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor Kecerahan 20 10-12 4 8 10 3 6-8 2 <6 1 perairan (m) Tutupan 50 >50 4 25 50 3 20 25 2 <20 1 karang hidup (%) Kecepatan arus (m/det) 20 0.06-0.098 4 0.098-0.105 3 0.105-0.112 2 0.112-0.12 1 Kedalaman 10 18 24 4 12 18 3 7-18 2 <7 1 dasar laut (m) Total 100 S1 400 S2 300 S3 200 N 100 Sumber: Modifikasi Bakosurtanal (1996)

3. Analisa daya tampung wisatawan, yaitu jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung oleh suatu kawasan dalam satu waktu kunjungan. Menurut Huttche et al. (2002) daya tampung wisatawan merupakan daya dukung fisik kawasan untuk menerima wisatawan. Rumus yang digunakan adalah: Carrying Capacity (CC) = Area yang digunakan wisatawan Rata-rata kebutuhan area per-individu Daya tampung wisatawan per-hari = CC x Koefisien Rotasi Koefisien Rotasi = Jumlah jam area terbuka untuk wisatawan Rata-rata waktu satu kunjungan a. Daya tampung wisatawan untuk pariwisata berkelanjutan menurut standar WTO (Huttche et al. 2002; Wong 1991), meliputi: (i) Wisata pantai dihitung berdasarkan kapasitas panjang pantai berpasir, yaitu kapasitas: (a) sedang: 15 m per-orang; (b) nyaman: 20 m per-orang dan (c) mewah: 30 m per-orang. (ii) Wisata bahari (diving dan snorkeling) dihitung berdasarkan kapasitas luasan area wisata, yaitu pada penelitian ini adalah luasan tutupan terumbu karang yang dalam kondisi sedang sampai baik, meliputi kebutuhan area per- orang: (a) sedang: 15 m 2 ; (b) nyaman: 20m 2 dan (c) mewah: 30 m 2. b. Daya tampung wisatawan untuk ekowisata dengan modifikasi standar WTO. Pertimbangan ini diambil karena pada kawasan ekowisata, suasana harus alami dan seolah-olah tidak ada wisatawan lain yang berkunjung. Jadi antara wisatawan yang satu dengan wisatawan lain tidak dapat berpapasan. Berdasarkan hal tersebut, pertimbangan yang diambil meliputi: (i) Areal yang dibutuhkan wisatawan untuk wisata pantai adalah pantai pasir sepanjang 100 m per-individu, sedangkan wisata bahari adalah area ekosistem terumbu karang, untuk diving seluas 200 m 2 perindividu dan untuk snorkeling seluas 50m 2 per-individu. (ii) Asumsi dalam sehari area wisata terbuka selama 12 jam dengan ratarata waktu satu kunjungan selama 2 jam. Jadi koefisien rotasi yang digunakan adalah 6.

4. Analisa demand, menggunakan Travel Cost Method (TCM) dan Contingent Value Method (CVM), yang diacu berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006). 5. Analisa stakeholder, merupakan analisa untuk mengetahui sejauh mana peran dan kontribusi masing-masing stakeholder (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha atau pihak swasta) dalam menunjang suatu program atau kegiatan (Chetwynd et al. 2001). Jadi, analisa stakeholder yang dilakukan pada penelitian ini merupakan perangkat (tools) untuk memperoleh pemahaman mengenai siapa saja para stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di Kecamatan Sekotong.

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Secara fisik, Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat merupakan wilayah dataran rendah di tepi pantai, yang mempunyai topografi berbukit dan landai yang membentang di seluruh wilayah, serta pada beberapa kawasan juga terdapat rawa-rawa pasang surut. Adapun letak Kecamatan Sekotong berbatasan dengan: - Sebelah Utara : Kecamatan Lembar - Sebelah Selatan : Samudra Indonesia - Sebelah Timur : Kabupaten Lombok Tengah - Sebelah Barat : Selat Lombok Secara administratif, terdapat 6 desa di Kecamatan Sekotong, yang hampir keseluruhannya memiliki wilayah yang berbatasan dengan pesisir dan laut. Keenam desa tersebut masing-masing adalah Desa Sekotong Tengah, Buwun Mas, Desa Kedaro, Desa Sekotong Barat dan Desa Pelangan serta Desa Batu Putih yang merupakan pemekaran dari Desa Pelangan sejak tahun 2006. Luas wilayah daratan Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat secara administrasi adalah sebesar 34.523 ha. Wilayah pesisir yang dimiliki terdiri dari: 316 ha lahan perikanan; 25 ha rawa-rawa; 5.000 ha hutan dan 2,5 ha hutan bakau atau mangrove (DKP Lobar 2005). Di wilayah pesisir Sekotong, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga tipe pantai, yaitu pantai berpasir, pantai berhutan mangrove, dan pantai berlumpur. Elevasi dataran pantai ini berkisar antara 5 m hingga 50 m. Panjang garis pantai yang dimiliki wilayah Kecamatan Sekotong adalah sepanjang 208.515,88 meter, yang terdiri dari panjang pantai kawasan daratan sepanjang 172.352,97 meter, ditambah keliling pulau-pulau kecil yang ada yaitu sepanjang 36.162,91 meter (DKP Lobar 2005). Kondisi Iklim Wilayah Kecamatan Sekotong sekurang-kurangnya memiliki 75 hari hujan dengan curah hujan sekitar 123 mm per bulan dan kelembaban 97 % serta suhu rata-rata 27 0 C (DKP Lobar 2005).

Kondisi Oceanografi Tabel 3 Kondisi umum oceanografi di Sekotong Parameter Kondisi Keterangan Kecepatan angin Salinitas 35 knot 15 knot < 33 ppm < 37,4 ppm < 34 ppm Saat musim barat (Desember Pebruari). Saat musim timur (Juni September). Pada kedalaman 0-100m Pada kedalaman 125-175m Pada kedalaman 300-400m. Kedalaman laut 30-45 m, kemiringan 7-8% Gelombang 1 1,5m Pasang surut 1 1,5m Kecepatan arus 0,002-0,035 m/det Arah arus Mengalir ke Timur Mengalir ke Barat Sumber : DKP Lobar (2005) Pada jarak 600m dari garis pantai. Saat musim barat Saat musim timur Kondisi Sosial Pendidikan. Kualitas sumberdaya manusia di Desa Sekotong Barat dan Desa Pelangan, termasuk Desa Batu Putih relatif masih rendah. Hal ini terlihat dari masih cukup besarnya jumlah penduduk yang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar. Adanya indikasi banyaknya penduduk yang belum tamat SD tersebut menuntut tingkat kepedulian pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah tersebut agar jumlah penduduk yang berpendidikan lebih tinggi dapat meningkat. Sedangkan peningkatan kualitas SDM pada penduduk dewasa diperlukan guna mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan informal seperti pemberian pelatihan-pelatihan tentang ketrampilan yang berkaitan dengan wisata, seperti pembuatan kerajinan tangan, pemandu wisata, perhotelan dan sebagainya. Mata Pencaharian. Berdasarkan data BPS tentang sektor pekerjaan utama penduduk di Kecamatan Sekotong, diketahui bahwa sektor pertanian menduduki tempat tertinggi, dimana sektor pertanian yang dimaksud adalah dalam arti luas, termasuk peternakan dan perikanan. Jadi dari data tersebut,

jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, padahal cukup banyak penduduk yang bermukim di wilayah pesisir. Curah hujan dan sumber air di kawasan ini terbatas, sehingga sebagian besar penduduk setempat hanya mengusahakan lahannya sebagai tegalan. Lahan yang produktif di kawasan ini sedikit, maka sebagian besar berupa semak belukar. Guna mengatasi hal ini diperlukan upaya pemerintah agar membudidayakan tanaman produktif yang tahan terhadap kekeringan namun bernilai ekonomi yang cukup tinggi. Agama. Mayoritas penduduk di kawasan ini adalah beragama Islam, oleh karena itu, dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini harus mempertimbangkan budaya dan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat. Hal ini agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat sehingga pembangunan ekowisata di kawasan ini dapat menumbuhkan rasa aman dan nyaman baik bagi masyarakat maupun wisatawan. Kondisi Prasarana dan Sarana Transportasi Prasarana transportasi di sepanjang lokasi penelitian merupakan bagian dari sistem transportasi di Kecamatan Sekotong. Sistem transportasi utama di daerah ini meliputi transportasi darat dan transportasi laut. Transportasi Darat. Prasarana transportasi darat yang ada di lokasi penelitian meliputi jaringan jalan sepanjang 86 km yang terdiri dari : jalan di Desa Sekotong Barat sepanjang 39 km, yang meliputi jalan propinsi 16 km dan jalan desa sepanjang 23 km. Sedangkan jaringan jalan di Desa Pelangan sepanjang 47 km, meliputi jalan negara sepanjang 14 km, jalan propinsi sepanjang 11 km, dan jalan desa sepanjang 22 km. Sementara jaringan jalan di Desa Batu Putih belum ada data tersendiri, karena desa ini merupakan pemekaran dari Desa Pelangan, yang secara administratif baru berjalan di tahun 2006 ini. Permukaan jaringan jalan di sepanjang pesisir Desa Sekotong Barat dan Pelangan umumnya dalam kondisi sudah diaspal, namun sebagian dalam kondisi rusak. Jaringan jalan di Desa Batu Putih, terutama mulai dari Dusun Brambangan sampai jalan menuju lokasi Taman Wisata Alam Bangko-Bangko berada dalam kondisi rusak berat. Bahkan akses jalan yang berada di areal TWA tersebut masih berupa jalan tanah berbatu-batu. Jaringan jalan ini merupakan pendukung bagi pengembangan kawasan ini menjadi daerah

pariwisata berbasis ekowisata. Kondisi jaringan jalan yang saat ini terbatas tentu akan menghambat minat wisatawan untuk datang berwisata. Padahal di TWA Bangko-Bangko tersebut selain berupa kawasan hutan juga memiliki perairan pantai yang merupakan areal surfing yang diminati banyak wisatawan mancanegara. Sebagai pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat, pengembangan jaringan jalan di daerah ini merupakan hal yang penting dalam upaya pengembangan wilayah ini menjadi kawasan ekowisata, mengingat peran jalan sebagai akses kegiatan sosial ekonomi, dimana perkembangannya sangat tergantung dengan kondisi dan sarana jalan yang ada. Sarana angkutan umum untuk barang dan penumpang yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari kendaraan roda empat atau angkutan pedesaan dan kendaraan roda dua yang dioperasikan oleh para tukang ojek. Kendaraan lain yang menjadi ciri khas daerah setempat dan juga ciri khas daerah Lombok adalah cidomo, yaitu semacam dokar namun menggunakan roda mobil. Sarana angkutan inilah yang mendukung kegiatan masyarakat sehari-hari. Transportasi Laut. Prasarana transportasi laut sebagai akses menuju kawasan pesisir Sekotong adalah berupa pelabuhan Lembar yang terletak berbatasan dengan Kecamatan Sekotong. Ada juga beberapa pelabuhan tradisional yang dijadikan sebagai sarana penyeberangan, seperti pelabuhan nelayan di Labuan Poh dan beberapa lokasi pelabuhan penyeberangan ke pulau-pulau kecil (gugusan gili). Selain itu, juga ada lokasi pendaratan ikan yang dimanfaatkan masyarakat nelayan setempat sebagai pelabuhan. Disamping itu, beberapa pengelola cottage dan resort juga membangun darmaga kecil atau jeti sebagai akses tempat berlabuhnya kapal-kapal sewa ke kawasan penginapan tersebut. Sarana transportasi penyeberangan ke gugusan pulau-pulau kecil adalah perahu-perahu sewa bermesin, yang disewa dari tempat-tempat penyeberangan yang berada di Pantai Sekotong. Di samping itu, banyak juga wisatawan yang datang ke pulau-pulau kecil tersebut dan ke lokasi surfing di Tanjung Bangko- Bangko melalui kapal-kapal pesiar dari Pulau Bali. Kondisi Prasarana Listrik, Air, dan Komunikasi Penyediaan dan pembangunan ketiga prasarana dasar tersebut sangat penting diperhatikan berkaitan dengan upaya pengembangan daerah ini sebagai kawasan ekowisata.

Listrik. Pelayanan listrik saat ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah daratan kawasan pesisir Kecamatan Sekotong, namun belum sampai menjangkau ke gugusan pulau-pulau kecil.. Begitu juga dengan masyarakat yang ada di areal TWA Bangko-Bangko masih belum dapat menikmati sarana listrik. Perbandingan jumlah penduduk yang menggunakan fasilitas penerangan listrik jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menggunakan penerangan minyak tanah. Hal ini dapat disebabkan oleh masih rendahnya daya beli penduduk terhadap fasilitas listrik, atau dapat juga karena jaringan listrik yang belum menjangkau sampai ke seluruh dusun yang ada di desa lokasi penelitian. Air Bersih. Masyarakat setempat mendapatkan air bersih dari sumber mata air di sumur, perigi atau mata air tanah dan sungai. Sampai saat ini, pelayanan air bersih di Kecamatan Sekotong belum dapat ditangani oleh PDAM. Hal ini tentu harus dipikirkan dan direalisasikan karena kebutuhan masyarakat akan air bersih adalah mutlak, terutama untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini. Sedangkan di gugusan pulau-pulau kecil, sumber mata air tawar terdapat di Gili Gede, Gili Rengit, Gili Layar dan Gili Asahan. Di pulau-pulau kecil yang lain yang telah dihuni oleh beberapa penduduk seperti di Gili Nanggu, Gili Tangkong dan Gili Sudak, hanya terdapat sumber mata air payau. Air payau tersebut hanya dimanfaatkan oleh penduduk untuk MCK, sedangkan untuk air minum dan memasak mereka membeli kebutuhan air tawar dari kawasan daratan Sekotong. Komunikasi. Sarana komunikasi yang menyebar dan dapat dinikmati oleh hampir semua masyarakat di seluruh lokasi penelitian adalah berupa pesawat radio dan pesawat televisi. Sedangkan sarana komunikasi aktif seperti pesawat telepon juga telah menjangkau masyarakat di lokasi, namun kepemilikannya masih terbatas. Berdasarkan data BPS, terdapat sekitar 17 pesawat telepon yang tersebar di seluruh pedesaan. Warung telekomunikasi juga ada di lokasi penelitian, namun jumlahnya juga masih terbatas di sekitar pusat pemerintahan desa. Di kawasan ini juga terdapat jaringan telepon milik salah satu operator telepon swasta, sehingga masalah komunikasi melalui telepon bukan merupakan kendala dalam menunjang pengembangan daerah ini menjadi kawasan ekowisata. Sarana komunikasi lain yang dimiliki oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah Kantor Pos Pembantu yang terdapat di sekitar pusat pemerintahan Kantor Kecamatan Sekotong.

Kondisi Akomodasi Sarana akomodasi merupakan sarana pendukung yang sangat diperlukan bagi daerah wisata. Sarana akomodasi ini terutama berupa penginapan, rumah makan atau restauran, dan sarana penunjang lain seperti tourist information center dan penyewaan peralatan snorkeling dan diving. Berdasarkan survei, dapat diketahui bahwa fasilitas akomodasi di lokasi penelitian masih sangat terbatas, mengingat areal kawasan pengembangan ekowisata yang cukup luas. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat, agar dapat menambah fasilitas akomodasi di kawasan pesisir Sekotong. Penyediaan fasilitas akomodasi guna menunjang kegiatan ekowisata sebenarnya tidak perlu yang mewah, namun yang penting menarik, bersih dan nyaman. Pemerintah dapat bekerjasama dengan pengusaha lokal ataupun dengan memberdayakan tempat tinggal masyarakat setempat melalui pemberian dukungan fasilitasi dan sosialisasi. Dengan tersedianya fasilitas akomodasi yang lebih memadai diharapkan dapat menarik jumlah wisatawan dan kesempatan untuk tinggal lebih lama di daerah tersebut. Adapun data sarana akomodasi yang ada di lokasi dapat dilihat di Lampiran 11.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Sekotong Suatu daerah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai daerah ekowisata apabila daerah tersebut mempunyai kekhasan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Daya tarik kawasan pesisir Sekotong berupa pemandangan alam pantai berpasir putih dengan gugusan pulau-pulau kecil yang masih alami dan ekosistem terumbu karang dengan aneka ikan hias di perairan sekelilingnya. Daya tarik sumberdaya alam tersebut merupakan unsur supply bagi ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Kawasan pesisir Kecamatan Sekotong yang menjadi lokasi penelitian adalah kawasan pesisir yang berada di bagian utara. Kawasan ini memiliki sekitar 14 pulau-pulau kecil yang telah mempunyai nama. Masyarakat Pulau Lombok memberi istilah gili pada pulau-pulau kecil tersebut. Ada juga yang disebut dengan istllah taket yaitu pulau berukuran sangat kecil yang biasanya tenggelam saat pasang tertinggi. Namun ada juga beberapa taket yang disebut gili oleh masyarakat, karena masih ada daratan yang muncul saat pasang tertinggi. Deskripsi singkat tentang masing-masing gili dapat dilihat pada Lampiran 2. Terumbu Karang. Hasil pengamatan terhadap kondisi terumbu karang pada peneltian ini kondisinya relatif karena hanya dilakukan pada diving spot yang baik. Jadi hasil LIT yang dilakukan bukan menggambarkan kondisi keseluruhan ekosistem terumbu karang pada perairan yang diamati. (1) Stasiun I, perairan Gili Nanggu Lokasi titik pengamatan pertama pada posisi 08.42 55.27 LS dan 116.0 28.12 BT, berada kurang lebih sekitar 5 meter dari garis pantai dengan kedalaman sekitar 3 meter. Hasil LIT (line intercept transect), persentase tutupan karang hidup sebanyak 56% dengan lifeform terdiri dari Acrophora tabulate (34%), Acrophora branching (13,4%), Acrophora digitate (3,2%) dan coral massive (5,4%). Menurut Gomes dan Yap (1988), penutupan terumbu karang antara 50 75% termasuk kategori baik. Selain itu juga dijumpai soft coral (14%) dan karang mati yang telah ditumbuhi algae atau dead coral with algae (19,6%) dari jenis massive. Persentase abiotik sebesar 10,4% yang terdiri dari jenis pecahan karang atau rubble sebanyak 6,4% dan pasir (4%).

Lokasi titik pengamatan kedua dilakukan pada kedalaman perairan sekitar 10 meter. Persentase tutupan karang hidup berjenis hard coral sebesar 25%, kondisi ini menurut Gomes fan Yap (1988) ternasuk kategori sedang. Jenis hard coral yang ditemui terdiri dari Acrophora tabulate (11,2%), Acrophora branching (6,4%), coral foliose (2,6%) dan coral massive (4,8%). Selain itu juga terdapat soft coral 5%, dan karang mati dari jenis massive yang telah ditumbuhi alga sebesar 60% serta komponen abiotik berupa substrat pasir (3%) dan rubble (7%). Selanjutnya lokasi pengamatan pada posisi 08.43 1.08 LS dan 116.0 37.96 BT dengan kedalaman 3 meter didapatkan hasil LIT sebagai berikut: lifeform terdiri dari Acrophora tabulate (22%), Acrophora branching (9,6%), Acrophora digitate (2,4%) dan coral massive (11%). Jadi persentase tutupan karang hidup sebanyak 45% atau dapat dikatakan mempunyai penutupan karang dengan kondisi sedang. Disamping itu juga terdapat soft coral (8%) dan dead coral with algae (26,6%) dari jenis massive. Persentase abiotik sebesar 20,4% yang terdiri dari rubble (18,4%) dan pasir (2%). Sedangkan pengukuran pada kedalaman 10 meter pada posisi lokasi pengamatan yang sama, LIT yang didapatkan meliputi: lifeform Acrophora tabulate (14,2%), Acrophora branching (9,5%), coral foliose (2,1%) dan coral massive (8,2%). Jadi total persentase tutupan karang hidup hard coral sebesar 34% atau dapat dikatakan mempunyai tutupan terumbu karang dengan kategori sedang. Untuk persentase tutupan soft coral sebesar 5%, kemudian karang mati dari jenis massive yang telah ditumbuhi alga sebesar 40% serta komponen abiotik berupa substrat pasir (4%) dan rubble (17%). Secara umum dapat dikatakan terumbu karang di Gili Nanggu mempunyai kondisi dari sedang sampai baik. Kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter lebih baik dibandingkan yang berada pada kedalaman 10 meter, karena di masa lalu masyarakat setempat banyak melakukan pengeboman untuk mencari ikan hias dan juga penambangan batu karang untuk bahan bangunan dan bahan kapur. (2) Stasiun II, perairan Gili Tangkong Transek stasiun 2 di perairan Gili Tangkong dilakukan pada posisi 08.43 29.48 LS dan 116.0 59.05 BT Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter adalah sebesar 40% yang terdiri dari jenis Acrophora tabulate (14,6%), Acrophora branching (8,2%), Acrophora encrusting (7%) dan

coral massive (10,2%). Selain hard coral juga ditemukan sedikit soft coral dengan persentase tutupan sebesar 2% serta abiotik berupa substrat pasir (8%) dan rubble sebesar 15%. Pada daerah ini karang mati yang ditemukan sebagian berupa bongkahan karang mati dari jenis massive (20%) dan sebagian lagi berupa dead coral with algae dari jenis karang encrusting (15%). Persentase keseluruhan tutupan karang mati sebesar 35%. Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman perairan sekitar 10 meter adalah sebesar 30% yang didominasi oleh jenis karang massive (10,7%), Acrophora tabulate (11,3%), Acrophora branching (5,2%), Acrophora encrusting (2,8%). Pada daerah ini juga dijumpai soft coral dengan persentase tutupan sebesar 8%, serta substrat pasir sebesar 10% dan rubble (12%). Persentase tutupan karang mati dari jenis massive sebesar 40%. Jadi dapat dikatakan terumbu karang di Gili Tangkong mempunyai kondisi sedang, baik yang berada di kedalaman 3 meter maupun 10 meter. (3) Stasiun III, perairan Gili Sudak Lokasi stasiun ketiga dilakukan di perairan Gili Sudak dengan posisi transek 08.43 31.45 LS dan 116.1 40.66 BT. Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar 50% dengan jenis pertumbuhan karang berupa Acrophora branching (15,2%), coral branching (14,7%) serta jenis coral encrusting (6,2%), coral mushroom (2,7%), coral foliose (3,6%), Acropora digitate (2,8%) dan Acropora tabulate (4,8%) yang tidak begitu melimpah. Persentase tutupan untuk karang mati dari jenis massive yang telah ditumbuhi alga sebesar 30%, soft coral sebesar 15%, sedangkan tutupan abiotik terdiri dari substrat pasir (2%) serta rubble sebesar 3%. Acrophora branching di perairan ini banyak yang berwarna biru, namun belum diketahui pasti apakah termasuk blue coral atau hanya coral yang bersimbiose dengan blue algae. Pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil: lifeform Acrophora tabulate (7,2%), Acrophora branching (19,5%), coral foliose (2,2%) dan coral massive (8,1%). Jadi total persentase tutupan karang hidup hard coral sebesar 37% atau termasuk kategori sedang. Untuk persentase tutupan soft coral sebesar 10%, kemudian karang mati dari jenis massive yang telah ditumbuhi alga sebesar 30% serta komponen abiotik berupa substrat pasir (5%) dan rubble (18%).

(4) Stasiun IV, perairan Gili Rengit Pengamatan dilakukan kurang lebih berjarak 10 meter dari garis pantai pada kedalaman 3 meter. Tipe terumbu karang di daerah tersebut secara umum berupa fringing reef atau terumbu karang tepi, namun sekitar 30 meter dari arah darat, pantainya memiliki slope yang tajam dan perairannya sangat dalam sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran transek pada kedalaman 10 meter. Posisi lintang dan bujur pada stasiun empat ini adalah 08.42 43.6 LS dan 115.54 53.55 BT. Persentase tutupan karang hidup sebesar 80% dengan jenis pertumbuhan didominasi oleh Acrophora tabulate (36,4%), Acrophora branching (13,7%) dan Acropora massive (10,6%). Jenis coral encrusting (5,7 %), coral massive (8,7%) dan coral foliose (4,9%) ditemui di lokasi garis transek. Persentase tutupan untuk soft coral sebesar 7% dan substrat pasir (5%) serta rubble (3%). Tutupan untuk karang mati sebesar 5% dalam bentuk dead coral with algae. Jadi kondisi terumbu karang di Gili Rengit ini termasuk kategori sangat baik. Secara ringkas, hasil pengamatan insitu terhadap kondisi terumbu karang di 9 titik stasiun disajikan pada Gambar 3. 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Nanggu I ( 3m ) Nanggu II ( 3m) Nanggu I (10m) Nanggu II (10m) Tangkong ( 3m) Tangkong (10m) Sudak ( 3m ) Sudak (10m) Rengit ( 3m ) HC (Karang Batu) SC (Karang Lunak) DC (Karang Mati) R (Pecahan Karang) S (Pasir) Gambar 3. Grafik persentase pengamatan terumbu karang Berdasarkan Bakosurtanal (1996), untuk wisata bahari diperlukan syarat kondisi tutupan terumbu karang sebesar 25% sampai lebih dari 75%, maka dari grafik di atas dapat diketahui bahwa di semua titik stasiun dapat digunakan untuk kegiatan wisata bahari. Kondisi terumbu karang pada gili lainnya, mengacu pada penelitian Bachtiar et al. (2003) di Gili Amben, Gili Poh dan Gili Anyaran menunjukkan bahwa secara umum terumbu karang di ketiga pulau kecil tersebut berada dalam

kondisi antara 25% sampai 50% (Lampiran 2). Berdasarkan parameter kondisi terumbu karang yang diacu dari Bakosurtanal (1996), maka di perairan ketiga gili tersebut juga dapat dikembangkan kegiatan wisata bahari. Kondisi terumbu karang di perairan gili yang lainnya, berdasarkan teknik manta-tow yang dilakukan Bachtiar et al., (2003), didapatkan hasil kondisi terumbu karang hidup berkisar antara 10% sampai 30% dan terumbu karang lunak <10%. Adanya perbedaan kondisi terumbu karang dengan hasil penelitian secara insitu dapat disebabkan oleh metode yang digunakan. Pengukuran terumbu karang dengan metode LIT pada penelitian ini, dilakukan pada lokasi yang memiliki rataan penutupan terumbu karang yang baik, sehingga didapatkan persentase kondisi terumbu karang yang lebih tinggi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka seorang pemandu wisata harus mengetahui dengan tepat lokasi perairan di suatu gili yang ekosistem terumbu karangnya dapat digunakan untuk kegiatan wisata bahari, terutama snorkeling dan diving. Hal ini agar tidak menimbulkan kekecewaan wisatawan, sehingga dapat menarik wisatawan untuk berkunjung kembali. Pada perairan yang kondisi terumbu karangnya kurang baik dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata bahari selain snorkeling dan diving, misalnya berperahu dan memancing. Ikan Karang. Pengamatan terhadap ikan karang dilakukan di tempat yang sama terhadap pengukuran persentase penutupan karang, yaitu pada empat stasiun. Berdasarkan pengamatan di keempat stasiun terdapat indikasi bahwa jenis ikan karang yang ditemukan pada umumnya berupa ikan hias yang kebanyakan membentuk schooling fish (kumpulan ikan). Ikan hias tersebut berwarna-warni indah dan bertubuh kecil dengan bentuk yang beraneka ragam. Keragaman jenis ikan karang merupakan salah satu parameter yang digunakan Bakosurtanal (1996) untuk penentuan kesesuaian wisata bahari, yaitu dengan persyaratan dari yang keragamannya sedang sampai sangat beragam. Berdasarkan jumlah jenis ikan yang lebih dari 10 jenis, maka di perairan Sekotong dapat dilakukan kegiatan wisata bahari. Hasil pengamatan jenis ikan hias dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari keempat stasiun, hanya di perairan Gili Tangkong yang selain ikan hias juga banyak dijumpai jenis ikan karang konsumsi, terutama di bagian sisi pantai yang pada perairannya banyak bongkahan batu karang mati dalam ukuran yang relatif besar. Ikan karang konsumsi yang dominan ditemukan di lokasi ini antara lain adalah dari jenis kakatua, baronang dan kerapu.

Berdasarkan kondisi ini, di Gili Tangkong dapat digunakan sebagai lokasi wisata pemancingan. Sedangkan di perairan Gili Rengit memiliki kekhususan dibanding ketiga perairan lainnya, karena di perairan tersebut banyak dijumpai ikan pari yang berukuran besar. Mangrove. Keberadaan mangrove di Kecamatan Sekotong menyebar pada beberapa lokasi, dengan total areal mangrove di sepanjang pantai Sekotong sekitar 183.63 ha. Areal mangrove yang cukup luas yaitu sekitar 154.84 ha berada di kawasan Taman Wisata Alam Bangko-Bangko, yang telah ditetapkan menurut SK Menteri Kehutanan No.664/Kpts-II/92 tanggal 1 Juli 1992. Jenis mangrove di kawasan ini adalah Bruguiera sp., Rhizopora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. (BKSDA NTB 1999). Ekosistem mangrove juga terdapat di Gili Gede dan Gili Asahan namun tidak terlalu luas arealnya, dan hanya terdiri dari Rhizopora sp. (DKP Lobar 2005). Keberadaan mangrove di kedua gili tersebut karena kedua gili itu cukup luas dan memiliki sumber air tawar. Pada ekosistem mangrove tersebut dapat dikembangkan alternatif wisata edukasi tentang jenis-jenis mangrove beserta peranannya sebagai bagian dari ekosistem wilayah pesisir. Hal ini seperti dinyatakan oleh Simbolon (1991) diacu dalam Yahya (1999) bahwa hutan mangrove memiliki manfaat langsung sebagai sarana wisata yang saat ini dapat dijual, serta sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Keberadaan mangrove bagi aktivitas wisata di kawasan ekowisata Sekotong dapat berperan sebagai: (i) penyaring polutan dari aliran air sebelum masuk ke laut, sehingga dapat melindungi kualitas air laut dan terumbu karang serta (ii) tempat komunitas burung, yang dapat bermanfaat langsung sebagai area birdwatching, fotografi, dan canoeing (Huttche et al. 2002). Kondisi Flora Darat. Tipe vegetasi yang terdapat di kawasan pesisir Sekotong dapat digolongkan sebagai tipe vegetasi lahan kering dengan introduksi berbagai jenis tanaman budidaya pada sentra-sentra pemukiman penduduk. Tipe vegetasi lahan kering berupa jenis flora yang dibudidayakan seperti tanaman kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa paradisiaca), ketela pohon (Manihot utilisima) dan tanaman mangga, serta tanaman yang tumbuh secara alami, seperti widuri (Calotrophis gigantea) dan alang-alang (Imperata cylendrica). Selain itu juga terdapat jenis tanaman introduksi yang tumbuh tanpa dibudidayakan, seperti lamtoro gung (Leucaena leucephale) dan akasia (Acacia amiculiformis). Sebagai daerah ekowisata, maka untuk ke depan perlu diusahakan agar lahan-lahan masyarakat ditanami dengan tanaman produktif

yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif agro ekowisata di kawasan ini. Misalnya tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan mempunyai nilai ekonomi, seperti: jambu mete, mangga dan anggur. Secara umum terdapat dua tipe ekosistem yang berada di kawasan TWA Bangko-Bangko, yaitu ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Vegetasi pada ekosistem hutan pantai didominasi oleh famili Rhizopora, Bruguiera, Pandaneceae, Soneratiaceae, sedangkan vegetasi pada hutan hujan rendah antara lain: bayur (Pterospermum javanicum), kesambi (Schleicera oleosa), asam (Tamarindus indica), waru (Hibiscus eliatus) dan lainlain (BKSDA NTB 1999). Adanya kondisi ini merupakan peluang wisata edukasi bagi wisatawan, terutama dari kalangan pelajar, mahasiswa atau peneliti. Wisatawan dapat berwisata hiking sambili mengenal aneka jenis pepohonan yang berada di kawasan tersebut. Vegetasi yang terdapat di pulau-pulau kecil hampir semuanya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu rerumputan, semak-semak dan pepohonan yang umumnya terdiri dari pohon kelapa, waru, lamtoro, dan ketapang. Hanya di Gili Nanggu juga terdapat cemara dan flamboyan yang memang ditanam oleh satusatunya pengelola cottage di gili tersebut. Selain itu, di Gili Tangkong juga memiliki kekhasan khusus yaitu terdapat habitat kaktus yang tumbuh di sisi pantai yang berbatuan terjal. Vegetasi yang tumbuh di sepanjang pantai di lokasi penelitian umumnya adalah kelapa dan semak belukar, jadi di kawasan ini dapat dikembangkan kegiatan wisata pantai. Hal ini sesuai acuan Bakosurtanal (1996), bahwa pada pantai yang memiliki penutupan lahan kelapa dan semak belukar dapat dikembangkan wisata pantai. Sedangkan pantai yang memiliki bakau atau yang didiami oleh penduduk tidak cocok untuk kegiatan wisata pantai, namun mungkin dapat dikembangkan aktivitas wisata lainnya, seperti wisata budaya dan wisata edukasi. Kondisi Fauna. Fauna yang terdapat di gugusan pulau-pulau kecil yang ada di lokasi penelitian umumnya adalah berbagai jenis burung, seperti camar, layang-layang, kecial, puyuh, tekukur dan lain-lain. Adapun beberapa jenis burung yang dapat diidentifikasi pada saat penelitian, baik yang di daratan maupun di gugusan pulau-pulau kecil dapat dilihat di Lampiran 2. Keberadaan jenis-jenis burung tersebut dapat dikembangkan sebagai bentuk wisata bird watching yang diperuntukan bagi wisatawan yang menyukai kegiatan ini. Oleh

karena itu harus ada pelarangan bagi masyarakat yang ingin mengekspolitasinya, agar keberadaan komunitas burung di wilayah ini dapat dipertahankan, sehingga dapat menarik kunjungan wisatawan. Fauna yang ada di kawasan TWA Bangko-Bangko, antara lain adalah elang ikan kelabu (Ichthyophago ichthyaetus), koakkau (Philemon buceroides), elang bondol (Heliastus indus), ayam hutan merah (Gallus varius), kera abu-abu (Macaca fascicularis), trenggiling (Manis javanica), babi hutan (Sus sucrova) dan biawak (Varamus salvator) (BKSDA NTB 1999). Keberadaan fauna yang mulai punah di kawasan tersebut dapat diupayakan dengan penangkaran satwa. Kondisi Fisik Pantai. Hampir di sepanjang pantai kawasan pesisir Sekotong, baik yang di wilayah daratan maupun di pulau-pulau kecil, merupakan tipe pantai yang landai dan berpasir putih, dari yang berbutir halus sampai agak kasar dengan pecahan-pecahan batu karang. Kondisi ini menurut Bakosurtanal (1996) dapat dikembangkan untuk kegiatan wisata pantai. Sedangkan di beberapa lokasi yang memiliki pantai berpasir agak kelabu dan berbutir halus, terutama di lokasi-lokasi yang terdapat ekosistem mangrove, tidak sesuai untuk kegiatan wisata pantai, namun dapat dikembangkan sebagai alternatif kegiatan ekowisata lainnya, yaitu wisata edukasi. Kesesuaian Kawasan. Pada penelitian ini analisa kesesuaian kawasan dibatasi hanya pada peruntukkan kawasan wisata pantai dan wisata bahari. Pertimbangan ini digunakan karena aktivitas wisata yang dapat dilakukan di kawasan ekowisata dapat berupa wisata pantai dan wisata bahari seperti pada daerah pariwisata massal lainnya. Yang membedakan antara ekowisata dan pariwisata massal bukan pada aktivitas wisatanya, tetapi terletak pada sistem pengelolaannya, dimana pada pengelolaan ekowisata lebih ditekankan pada adanya upaya pengelolaan berbasis perlindungan lingkungan, adanya keterlibatan aktif dari masyarakat setempat, dan adanya pembatasan penggunaan fasilitas akomodasi yang berlebihan serta adanya pembatasan daya tampung wisatawan. Penentuan kategori kesesuaian kawasan pesisir Sekotong untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari, sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik kawasan. Hal ini berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan kondisi biofisik kawasan. Atau dengan kata lain, apabila wisatawan berminat untuk melakukan kegiatan wisata tertentu, misalnya berjemur, berenang,

memancing atau menyelam, mereka dapat memilih lokasi-lokasi tertentu yang sesuai untuk aktivitas wisatanya tersebut. Penentuan kesesuaian kawasan untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari di pesisir Sekotong menggunakan data primer dan sekunder sebagai data atribut pada peta-peta tematik berdasarkan parameter yang diadopsi dari Bakosurtanal (1996), selanjutnya di-overlay untuk mendapatkan peta kesesuaian kawasan wisata pantai dan wisata bahari. Adapun kisaran atau interval nilai kelas kesesuaian wisata pantai dan wisata bahari adalah sebagai berikut: - Sangat sesuai (S1) : 350 400 - Sesuai (S2) : 250 349 - Sesuai (S3) : 150 249 - Tidak sesuai (N) : < 149 Pada penelitian ini, kategori sangat sesuai (S1) apabila suatu kawasan tidak memiliki faktor pembatas yang berarti atau tidak berpengaruh secara nyata untuk kegiatan wisata pantai atau wisata bahari. Kategori sesuai (S2) jika suatu kawasan hanya memiliki faktor pembatas yang agak serius sebagai kawasan wisata pantai atau wisata bahari, namun masih dapat diatasi. Kategori sesuai bersyarat (S3) apabila suatu kawasan memiliki faktor pembatas yang serius sebagai kawasan wisata pantai atau wisata bahari, sehingga diperlukan perlakukan tertentu untuk mengatasinya. Sedangkan kategori tidak sesuai (N) jika suatu kawasan memiliki faktor pembatas yang permanen sebagai kawasan wisata pantai atau wisata bahari, sehingga tidak dapat diatasi, atau dengan kata lain daerah tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan wisata pantai atau wisata bahari. Wisata pantai. Wisata pantai merupakan aktifitas wisata yang dilakukan di sisi bentang darat dan perairan tepi pantai, yaitu kegiatan wisata yang berupa olahraga susur pantai, bola volly pantai, bersepeda pantai, panjat tebing pada dinding terjal pantai (cliff), menelusuri gua pantai, bermain layang-layang, berkemah, berjemur, berjalan-jalan melihat pemandangan, berenang dan sebagainya (Sunarto 1998). Berdasarkan analisa kesesuaian kawasan wisata pantai, dihasilkan empat kelas kesesuaian dengan kategori: (i) sangat sesuai (S1) seluas 666,16 ha; (ii) sesuai (S2) seluas 962,25 ha; (iii) sesuai bersyarat (S3) seluas 4339,33 ha dan (iii) tidak sesuai (N) seluas 989,02 ha. Luasan masing-masing kelas tersebut meliputi wilayah daratan dan perairan, termasuk di pulau-pulau

kecilnya. Namun, dari hasil analisa kesesuaian kawasan wisata pantai untuk pulau-pulau kecil yang berada di pesisir Sekotong, hanya dihasilkan dua kelas kesesuaian wisata pantai, yaitu kelas sesuai (S2) dan sesuai bersyarat (S3). Peta hasil kesesuaian wisata pantai dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil analisa kesesuaian kawasan wisata pantai pada pulau-pulau kecil yang ada di pesisir sekotong dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 7. Ada sebelas pulau kecil yang ada di pesisir Sekotong memiliki kategori sesuai (S2) sebagai kawasan kegiatan wisata pantai, artinya di pulau-pulau kecil tersebut masih memiliki faktor pembatas tertentu yang harus diatasi apabila akan dikembangkan sebagai kawasan untuk kegiatan wisata pantai. Ada dua pulau kecil, yaitu Gili Gede dan Gili Gedis yang memiliki kategori sesuai bersyarat (S3). Gili Gede memiliki nilai kesesuaian 245, hal ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor pembatas, diantaranya karena pada beberapa lokasi pantainya memiliki tipe pantai yang berlumpur dan juga tipe pantai karang berpasir. Selain itu di Gili Gede tersebut juga terdapat pemukiman dan areal mangrove. Meskipun tidak cocok untuk dijadikan kawasan wisata pantai, adanya pemukiman dan areal mangrove ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai alternatif bentuk wisata lain, yaitu wisata budaya dan wisata edukasi. Kedua bentuk wisata ini dapat mendukung daerah ini sebagai kawasan ekowisata. Namun tentu saja harus dengan pengelolaan yang lebih lanjut, misalnya melalui penataan pemukiman dengan rumah-rumah adat, sehingga wisatawan dapat belajar tentang budaya masyarakat setempat (suku sasak). Sedangkan pada areal mangrove dapat sebagai area wisata canoeing atau dibuat jalur titian jembatan yang dapat digunakan wisatawan untuk berjalan mengelilingi areal bakau, sehingga wisatawan dapat berwisata sekaligus belajar tentang ekosistem bakau. Gili Gedis memiliki kategori sesuai bersayarat untuk kegiatan wisata pantai dengan nilai 235 karena pada saat pasang tertinggi sebagian tenggelam, sehingga perlu pertimbangan yang lebih lanjut bila akan melakukan kegiatan wisata pantai di kedua pulau kecil ini. Di gili ini tidak memungkinkan untuk dibangun sarana akomodasi, seperti penginapan dan restoran. Wisatawan masih bisa melakukan kunjungan namun tanpa menginap, disamping itu juga harus tetap mempertimbangkan waktu-waktu tertentu pada saat air laut tidak dalam kondisi pasang.

Pada pulau-pulau kecil yang lain, memiliki kisaran nilai antara 275 sampai 335. Umumnya pada pulau-pulau kecil tersebut mempunyai faktor pembatas yang sama, yaitu keterbatasan ketersediaan air tawar. Namun ada beberapa pulau-pulau kecil yang mempunyai air tawar, yaitu Gili Gede, Gili Rengit, Gili Layar dan Gili Asahan. Ketersediaan air tawar ini diidentifikasikan dari adanya sungai yang ada di pulau-pulau kecil tersebut. Wisata bahari. Wisata bahari merupakan wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape), antara lain, memancing (fishing), bersampan yang meliputi mendayung (boating) dan berlayar (sailing), menyelam yang meliputi diving dan snorkeling, berselancar yang meliputi selancar air (wave surfing) dan selancar angin (wind surfing), serta berperahu dengan parasit (parasailing) (Sunarto 1998). Hasil analisa kesesuaian kawasan wisata bahari di pesisir sekotong, diperoleh tiga kelas kesesuaian dengan kategori: (i) sesuai (S2) seluas 126,42 ha; (ii) sesuai bersyarat (S3) seluas 11.922,18 ha dan (iii) tidak sesuai (N) seluas 342,18 ha. Tidak adanya kategori kelas sangat sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori sangat sesuai. Peta hasil kesesuaian untuk wisata bahari dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan dari analisa kesesuaian kawasan wisata bahari di pulau-pulau kecil yang berada di pesisir Sekotong, hanya dihasilkan dua kelas kesesuaian wisata bahari, yaitu kelas sesuai (S2) dan sesuai bersyarat (S3). Hasil analisa kesesuaian kawasan wisata bahari pada pulau-pulau kecil yang ada di pesisir Sekotong dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 8. Pulau kecil yang memiliki nilai terkecil adalah Gili Goleng, yaitu sebesar 220, sehingga merupakan satu-satunya pulau kecil yang termasuk kategori sesuai bersyarat (S3). Gili Goleng ini sesuai untuk wisata bahari dengan persyaratan bahwa wisata bahari yang dilakukan bukan untuk diving atau snorkeling, karena di perairannya tidak memiliki ekosistem terumbu karang. Jadi wisata bahari yang dapat dilakukan di perairan Gili Goleng ini misalnya memancing atau berperahu sambil melakukan pemotretan.

Gambar 4 Peta kesesuaian wisata pantai 46

Gambar 5 Peta kesesuaian wisata bahari 47

Daya Tampung Wisatawan Daya tampung wisatawan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kemampuan atau daya dukung kawasan secara fisik untuk menerima sejumlah wisatawan dengan intensitas maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan. Dengan adanya pembatasan jumlah wisatawan sesuai daya dukung kawasan, diharapkan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan tersebut secara alami dapat berasimilasi, sehingga aktivitas kegiatan ekowisata tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan tersebut. Pemanfaatan suatu kawasan untuk kegiatan ekowisata yang sesuai dengan daya tampungnya akan sangat berpengaruh bagi keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut. Pengembangan ekowisata harus memperhatikan daya tampung wisatawan apalagi jika kegiatan ekowisata dilakukan di daerah pesisir, karena kawasan ini sangat rentan terhadap berbagai kegiatan manusia, baik kegiatan di darat maupun di laut. Adapun faktor yang digunakan dalam menentukan daya tampung wisatawan pada penelitian ini adalah panjang pantai pasir untuk wisata pantai dan luasan areal terumbu karang untuk wisata bahari. a. Daya tampung wisatawan untuk pariwisata berkelanjutan menurut standar WTO (Huttche et al. 2002; Wong 1991). (i) Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai Tabel 4 Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai berdasarkan standar WTO Kawasan Luas (ha) Panjang pantai pasir Daya tampung wisatawan (orang/hari) (m) sedang nyaman mewah Gili Nanggu 13,90 2.091,7 139 104 69 Gili Tangkong 18,59 2.735,3 182 136 91 Gili Sudak 27,84 3.218,0 214 160 107 Gili Gedis 0,16 160,9 10 8 5 Gili Lontar 4,63 1.287,2 85 64 43 Gili Amben 0,78 482,7 32 24 16 Gili Poh 3,45 965,4 64 48 32 Gili Rengit 23,38 2.896,2 193 145 96 Gili Layar 57,80 4.666,1 311 233 155 Gili Gede 323,84 11.400,0 760 570 380 Gili Asahan 104,38 6.436,0 429 322 214 Gili Goleng 5,85 1.448,1 96 72 48 Daratan Sekotong (Bagian utara) 10.394,00 125.341,1 8.356 6.267 4.178 Total 10.978,60 163.128,7 10.871 8.153 5.434 Sumber: Hasil analisa (2006)

Pantai berpasir putih merupakan faktor utama dalam penentuan pemanfaatan kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata pantai. Pertimbangan ini karena pantai berpasir putih memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktifitas wisata pantai, misalnya berjemur, berenang, ataupun hanya dudukduduk di pinggir pantai sambil menikmati pemandangan. Oleh karena itu, perkiraan daya tampung wisatawan untuk kegiatan wisata pantai ditentukan dengan menghitung panjang pantai pasir berdasarkan peta tematik panjang pantai pasir hasil kajian MCRMP NTB (2004). (ii) Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari Tabel 5 Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari berdasarkan standar WTO Perairan Luas terumbu karang (m 2 ) Daya tampung wisatawan (orang/hari) standar nyaman mewah Gili Nanggu 169,10 11 8 5 Gili Tangkong 137,70 9 7 4 Gili Sudak 12,40 0 0 0 Gili Gedis 34,80 2 2 1 Gili Genting 765,70 51 38 26 Gili Lontar 138,40 9 5 4 Gili Amben 581,20 36 29 19 Gili Poh 54,80 4 3 2 Gili Anyaran 557,60 37 28 18 Gili Rengit 767,00 51 38 26 Gili Layar 519,80 35 26 17 Gili Gede 3.562,60 238 178 119 Gili Asahan 90,50 6 5 3 Sekotong Barat 2.051,00 137 103 68 Bangko-Bangko 872,10 58 44 29 Total 10.314,70 687 515 341 Sumber: Hasil analisa (2006) Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, dapat diketahui bahwa daya tampung wisatawan untuk wisata pantai dan wisata bahari menurut standar WTO ditentukan berdasarkan kelas sedang, nyaman dan mewah. Dengan demikian, operator ekowisata di kawasan pesisir Sekotong dapat memilih standar daya tampung wisatawan yang akan digunakan sesuai dengan pilihan konsumennya. Jumlah daya tampung pada masing-masing kawasan tersebut merupakan kapasitas per-hari, sehingga bila operator ekowisata dalam sehari akan menerapkan beberapa kali kunjungan, maka harus membaginya kembali sesuai dengan jumlah kunjungan dalam sehari.

Faktor pembatas dalam menentukan daya tampung wisatawan di kawasan ekowisata Sekotong, selain berdasarkan area wisata juga perlu dipertimbangkan dari faktor ketersediaan lahan akomodasi dan ketersediaan air bersih atau air tawar di kawasan tersebut. Kebutuhan lahan untuk sarana akomodasi dan penampungan limbah, serta kebutuhan air bersih yang harus dipenuhi untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini dapat diperkirakan dari jumlah daya tampung wisatawan untuk wisata pantai dan wisata bahari tersebut, sebagaimana tercantum pada Tabel 6. Tabel 6 Kebutuhan lahan dan kebutuhan air tawar berdasarkan daya tampung wisatawan menurut standar WTO Daya tampung wisatawan 1.Wisata pantai : a. Sedang b. Nyaman c. Mewah 2.Wisata bahari : a. Sedang b. Nyaman c. Mewah Kebutuhan lahan akomodasi (60 100 kamar/ha)* 108,71-181,18 ha 81,53-135,88 ha 54,34-90,57 ha 6,87-11,45 ha 5,15-8,58 ha 3,41-5,68 ha Kebutuhan lahan untuk limbah (0.3ha/1000 orang)* 3,26 ha 2,45 ha 1,63 ha 0,21 ha 0,15 ha 0,10 ha Kebutuhan air (0.5-1 m 3 /hr/ org)* 5.433,5-10.871 m 3 /hr 4.076,5-8.153 m 3 /hr 2.717,0-5.434 m 3 /hr 343,5-687 m 3 /hr 257,5-515 m 3 /hr 170,5-341m 3 /hr Total 254,42-433, 34 ha 7,80 ha 12.948,5 26.000 m 3 /hr Sumber : Hasil analisa (2006) Keterangan : * Standar WTO (Huttche et al. 2002; Wong 1991) Berdasarkan Tabel 6 di atas, faktor kebutuhan lahan untuk akomodasi dan limbah bukan merupakan kendala bagi kawasan pesisir Sekotong karena memiliki wilayah daratan yang relatif luas, sehingga masih bisa mencukupi kebutuhan wisatawan sesuai daya tampungnya. Namun berdasarkan faktor ketersediaan air tawar, kawasan ini memiliki keterbatasan, karena debit mata air di kawasan Sekotong hanya berkisar antara 5 10 liter/det atau sekitar 432 sampai 864 m 3 /hr, sehingga dalam sehari satu mata air di kawasan tersebut hanya mampu menampung 864 1.728 orang. Mengingat keterbatasan ketersediaan air tawar di kawasan ini, maka daya tampung wisatawan di kawasan pesisir Sekotong dapat diestimasi berdasarkan faktor pembatas ketersediaan air tawar, yakni sebanyak 864 sampai 1.728 orang atau dalam setahun sebanyak 250.560 sampai 501.120 HOW (Hari Orang Wisata), dengan asumsi dalam setahun terdapat 75 hari hujan sehingga terdapat 290 hari efektif untuk kegiatan wisata.

b. Daya tampung wisatawan untuk ekowisata dengan modifikasi standar WTO (i) Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai Tabel 7 Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai berdasarkan modifikasi standar WTO Kawasan Luas (ha) Panjang pantai pasir Daya tampung wisatawan (m) (org/kunjungan) (org/hari) Gili Nanggu 13,90 2.091,7 21 126 Gili Tangkong 18,59 2.735,3 27 162 Gili Sudak 27,84 3.218,0 32 192 Gili Gedis 0,16 160,9 2 12 Gili Lontar 4,63 1.287,2 13 78 Gili Amben 0,78 482,7 5 30 Gili Poh 3,45 965,4 10 60 Gili Rengit 23,38 2.896,2 29 174 Gili Layar 57,80 4.666,1 47 282 Gili Gede 323,84 11.400,0 114 684 Gili Asahan 104,38 6.436,0 64 384 Gili Goleng 5,85 1.448,1 14 84 Daratan Sekotong (Bagian utara) 10.394,00 125.341,1 1.253 7.518 Total 10.978,60 163.128,7 1.631 9.786 Sumber: Hasil analisa (2006) Dari Tabel 7 di atas dapat diketahui daya tampung wisatawan untuk wisata pantai secara total adalah 1.631 orang per-kunjungan atau 9.786 orang per-hari. Jumlah tersebut yang memiliki proporsi terbanyak adalah daya tampung di kawasan daratan Sekotong. Hal ini disebabkan kawasan tersebut memiliki areal yang cukup luas yaitu 10.394 ha, dengan panjang pantai pasir sekitar 125,3 km. Sedangkan daya tampung wisatawan di kawasan gili, yang paling sedikit adalah di Gili Gedis dan yang terbanyak di Gili Gede. Dalam pengembangan ekowisata di kawasan gili-gili, harus mempertimbangkan jumlah daya tampung wisatawan sesuai kapasitas masing-masing gili, terutama karena ukurannya yang relatif kecil sehingga mudah terjadi kerusakan pada ekosistemnya. (ii) Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari Terumbu karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan dalam melakukan aktifitas wisata bahari, terutama menyelam. Luasan ekosistem terumbu karang diasumsikan sebagai luasan area yang digunakan untuk menyelam bagi wisatawan. Luasan terumbu karang yang dihitung adalah area terumbu karang yang berada dalam kondisi sedang dan baik, yang

dianalisa dari peta citra Pulau Lombok dan peta tematik ekosistem terumbu karang hasil kajian MCRMP NTB (2004). Pertimbangan ini karena diving dan snorkeling hanya dilakukan pada perairan yang mempunyai ekosistem terumbu karang. Kebutuhan area untuk kegiatan diving adalah 200m 2 perindividu dan untuk snorkeling adalah 50 m 2 per-individu. Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari (diving dan snorkeling) di kawasan pesisir Sekotong tercantum pada Tabel 8. Perairan Tabel 8 Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari berdasarkan modifikasi standar WTO Luas terumbu karang (m 2 ) Daya tampung Wisatawan (orang) (diving) (snorkeling) total/hr Gili Nanggu 169,10 1 3 24 Gili Tangkong 137,70 1 3 24 Gili Sudak 12,40 0 0 0 Gili Gedis 34,80 0 1 6 Gili Genting 765,70 4 15 114 Gili Lontar 138,40 1 3 24 Gili Amben 581,20 3 12 90 Gili Poh 54,80 0 1 6 Gili Anyaran 557,60 3 11 84 Gili Rengit 767,00 4 15 114 Gili Layar 519,80 3 10 78 Gili Gede 3562,60 18 71 534 Gili Asahan 90,50 0 2 12 Sekotong Barat 2.051,00 10 41 306 Bangko-Bangko 872,10 4 17 126 Total 10.314,70 52 206 1512 Sumber: Hasil analisa (2006) Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa daya tampung wisatawan untuk wisata bahari memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan daya tampung wisatawan untuk wisata pantai. Hal ini disebabkan faktor pembatas area pemanfaatan kegiatan wisata bahari yang lebih kecil dibandingkan kegiatan wisata pantai. Aktifitas wisata bahari yang lain seperti rowing dan sailing, tidak dibatasi oleh keberadaan terumbu karang, sehingga areal yang digunakan relatif luas, meliputi seluruh luasan perairan yang berkategori sesuai bagi wisata bahari, yaitu seluas 126,42 ha. Berdasarkan Huttche et al. (2002), standar yang dibutuhkan satu perahu untuk rowing adalah perairan seluas 1 ha dan untuk sailing seluas 0,5 ha. Jadi, daya tampung untuk kegiatan tersebut di perairan Sekotong adalah 126 perahu untuk rowing atau 252 perahu untuk sailing.

Berdasarkan jumlah daya tampung wisatawan untuk wisata pantai dan wisata bahari dengan modifikasi standar WTO, maka dapat diperkirakan kebutuhan lahan untuk sarana akomodasi dan penampungan limbah, serta kebutuhan air bersih yang harus dipenuhi untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini, sebagaimana tercantum pada Tabel 9. Tabel 9 Kebutuhan lahan dan kebutuhan air tawar berdasarkan jumlah daya tampung wisatawan dengan modifikasi standar WTO Daya tampung wisatawan 1. Wisata pantai 2. Wisata bahari Kebutuhan lahan akomodasi (60 100 kamar/ha)* 97,86-163,10 ha 15,12-25,20 ha Kebutuhan lahan untuk limbah (0.3ha/1000 orang)* 2,94 ha 0,46 ha Kebutuhan air (0.5-1 m 3 /hr/ org)* 4.893-9.786 m 3 /hr 756-1.512 m 3 /hr Total 113,00-188,30 ha 3,40 ha 5.649-11.598 m 3 /hr Sumber : Hasil analisa (2006) Keterangan : * Standar WTO (Huttche et al. 2002; Wong 1991) Berdasarkan Tabel 9 di atas, lahan akomodasi yang dibutuhkan sesuai daya tampung wisatawan secara total adalah 113 sampai 188,3 ha, sedangkan kebutuhan lahan untuk limbah adalah seluas 3,4 ha. Kebutuhan lahan untuk akomodasi dan limbah tersebut masih bisa dipenuhi di kawasan pesisir daratan Sekotong, karena masih kurang dari 10% total luas kawasan. Hal ini dinyatakan oleh Wong (1991) bahwa pembangunan akomodasi disarankan kurang dari 10% luas kawasan. Adapun kebutuhan air tawar sesuai daya tampung wisatawan di atas, secara total adalah 5.385 sampai 10.770 m 3 /hr per-hari. Padahal debit mata air di kawasan Sekotong ini hanya berkisar antara 5 10 liter/det atau sekitar 432 sampai 864 m 3 /hr. Dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Lombok Barat yang rata-rata memiliki debit mata air 200 liter/det, maka ketersediaan air di kawasan ini sangat terbatas. Bila standar air yang dibutuhkan setiap individu per hari adalah sekitar 0,5 1 m 3 /hr, maka dalam sehari satu mata air di kawasan tersebut hanya mampu menampung 864 1.728 orang. Jadi, faktor keterbatasan ketersediaan air tawar di kawasan ini merupakan faktor utama yang membatasi daya tampung wisatawan di kawasan pesisir Sekotong, baik daya tampung wisatawan untuk pariwisata berkelanjutan menurut standar WTO maupun daya tampung wisatawan untuk ekowisata yang telah dimodifikasi dari standar WTO, yakni sebanyak 864 1.728 orang per-hari.

Potensi Demand dan Nilai Ekonomi Pengembangan Ekowisata di Sekotong Potensi Demand. Sebagai kawasan ekowisata, Sekotong memiliki karakteristik obyek wisata yang spesifik, dimana peminatnya juga terbatas pada wisatawan yang mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap obyek wisata berupa panorama alam yang ditawarkan di kawasan Sekotong ini. Sejauh ini, Sekotong telah diminati oleh wisatawan, baik yang berasal dari mancanegara maupun nusantara, walaupun jumlahnya masih relatif sedikit. Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengelola penginapan yang ada di lokasi penelitian, biasanya jumlah wisatawan mancanegara yang cukup banyak terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini dapat disebabkan pada bulan tersebut merupakan masa libur musim panas bagi wisatawan yang berasal dari negara-negara Eropa, dan juga masa libur musim dingin bagi wisatawan yang berasal dari Australia dan New Zealand. Sedangkan pada bulan-bulan yang lainnya, permintaan rata-rata per-hari hanya sekitar satu sampai dua orang saja. Kondisi tersebut didukung oleh data jumlah kunjungan wisatawan ke Sekotong per-bulan pada Tahun 2005 (Lampiran 10), yang mengalami puncaknya pada bulan Juli dan Agustus. Persentase kunjungan wisatawan ke Lombok Barat pada Tahun 2005 yang melakukan kunjungan ke Sekotong hanya 0,49% dari total wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata di Lombok Barat (Lampiran 10). Kurangnya permintaan wisatawan ke kawasan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah faktor selera, adanya alternatif wisata lain di sekitar lokasi, atau juga masalah manajemen, misalnya kurangnya promosi dalam menawarkan obyek wisata yang ada di kawasan ini. Hal ini diungkapkan oleh Yoeti (1990), bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Identifikasi Wisatawan. Jumlah responden wisatawan mancanegara lebih banyak dibandingkan responden wisatawan domestik, karena wisatawan domestik yang datang ke lokasi penelitian jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan wisatawan yang datang dari negara lain. Ada berbagai kemungkinan dengan adanya realita tersebut, namun alasan mendasar adalah dapat disebabkan oleh biaya yang dibutuhkan ke lokasi wisata ini cukup besar karena lokasinya yang cukup jauh dari pusat kota Mataram. Bagi masyarakat Indonesia yang secara umum mempunyai standar gaji relatif rendah dibandingkan dengan standar gaji di negara lain, tentu masalah

biaya ini juga merupakan suatu keterbatasan. Selain itu mungkin juga disebabkan oleh umumnya kecenderungan minat masyarakat Indonesia untuk berwisata ke lokasi-lokasi yang penuh keramaian, sehingga kawasan pesisir Sekotong yang jauh dari keramaian kurang diminati. Kedua alasan tersebut berkebalikan dengan kondisi dari wisatawan mancanegara yang saat ini mempunyai trend atau kecenderungan untuk berwisata back to nature, disamping dari sisi ekonomi mereka memang lebih mapan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Yoeti (1990), bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan selera. Profil Wisatawan. Persentase jenis pekerjaan wisatawan yang terbesar adalah sebagai pegawai swasta, baik pada wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Kondisi ini dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pegawai swasta, secara keuangan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berwisata di daerah tersebut, disamping kebutuhan untuk bersantai dari rutinitas pekerjaan yang dijalani. Sedangkan persentase jenis pekerjaan wisatawan yang terkecil adalah sebagai pelajar. Hal ini dimungkinkan karena penelitian dilakukan bukan pada saat masa liburan anak sekolah. Berdasarkan kelompok umur, secara umum wisatawan yang berkunjung ke daerah ini adalah berusia produktif, yaitu antara 25 44 tahun (58,62%). Kondisi ini menunjukkan bahwa secara fisik mereka lebih membutuhkan refreshing dan secara keuangan mereka lebih mempunyai kesempatan untuk berwisata. Dari segi jenis kelamin, wisatawan wanita jumlahnya lebih sedikit (38,72%) dibandingkan wisatawan laki-laki (61,28%). Hal ini dapat menggambarkan berbagai hal, diantaranya kecenderungan sifat wanita yang kurang menyukai tantangan untuk berwisata ke tempat-tempat yang kondisinya alami, atau mungkin juga kecenderungan sifat wanita yang lebih berhemat untuk melakukan kegiatan lainnya dibandingkan untuk berwisata. Pengalaman dan Motivasi Wisatawan. Kedatangan wisatawan ke kawasan pesisir Sekotong umumnya merupakan tujuan utama bagi wisatawan domestik sedangkan bagi wisatawan mancanegara bukan sebagai tujuan utama. Kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah Sekotong merupakan persinggahan dari kunjungan utama mereka di kawasan wisata lain di Pulau Lombok yang sudah lebih dikenal, seperti kawasan wisata pantai Senggigi,

pantai Kuta di daerah Lombok Utara, atau juga merupakan bagian dari paket wisata untuk menikmati seluruh wisata yang ada di Pulau Lombok. Adanya kenyataan ini berarti kawasan pesisir Sekotong merupakan kawasan wisata yang mulai diminati oleh wisatawan mancanegara, sehingga untuk ke depan perlu adanya peningkatan dalam promosi agar dapat menjadi tujuan utama dari kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Lombok. Sumber informasi wisata ke kawasan pesisir Sekotong bagi para wisatawan domestik umumnya mengetahuinya dari teman. Sedangkan bagi wisatawan mancanegara, umumnya mengetahui dari biro-biro perjalanan melalui paket-paket wisata, dan ada juga yang dari internet serta dari organisasi, seperti club-club diving dan surfing. Tidak ada wisatawan domestik yang mendapatkan informasi tentang daerah wisata di kawasan ini dari biro perjalanan, media cetak ataupun internet, karena wisatawan domestik yang menjadi responden merupakan masyarakat yang berdomisili di daerah Mataram dan sekitarnya. Hal ini karena penelitian dilakukan bukan pada saat masa liburan, sehingga yang melakukan kunjungan hanya terbatas pada wisatawan lokal Pulau Lombok. Mereka mengetahui tentang daerah tersebut dari teman-teman, dimana mereka memanfaatkan hari libur akhir pekan Sabtu dan Minggu untuk berwisata ke daerah tersebut. Motivasi kunjungan bagi wisatawan untuk berwisata ke daerah ini yang terutama adalah karena potensi alamnya (54,38%) serta lingkungan yang sepi dan alami (45,62%). Sedangkan faktor yang paling menarik dari kawasan wisata di pesisir Sekotong menurut wisatawan adalah karena alam dan terumbu karangnya (100%). Untuk faktor yang lain seperti masyarakat dan makanan, menurut wisatawan tidak ada kekhasan tersendiri, jadi serupa dengan daerah lain di Pulau Lombok. Sementara fasilitas penginapan justru dirasa kurang memadai bagi wisatawan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Aktivitas Wisatawan. Aktivitas wisatawan yang terbanyak adalah berperahu, biasanya wisatawan berperahu untuk menyeberang ke pulau-pulau kecil atau juga untuk berkeliling menikmati pemandangan di sekitar perairan gugusan pulau-pulau kecil yang ada di lokasi penelitian. Jumlah wisatawan yang melakukan aktivitas berperahu lebih banyak yang berasal dari mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh biaya penyewaan perahu yang relatif mahal, baik untuk penyeberangan ataupun untuk berkeliling ke pulau-pulau kecil. Misalnya, untuk penyeberangan ke Gili

Nanggu biaya sewa perahu yang dikenakan pada wisatawan domestik adalah sebesar Rp 187.500,00 (pp) dan Rp 200.000,00 (pp) untuk wisatawan mancanegara. Namun untuk penyeberangan ke Gili Gede, biaya sewa perahu relatif murah yaitu sekitar Rp 25.000,00 (pp). Hal ini karena Gili Gede juga relatif lebih dekat dengan daratan pesisir Sekotong dibandingkan dengan Gili Nanggu. Aktivitas yang paling sedikit dilakukan wisatawan adalah berenang, dimana hanya dilakukan oleh wisatawan domestik. Yang dimaksud aktivitas berenang dalam hal ini adalah wisatawan yang hanya berenang atau mandi di laut saja, bukan wisatawan yang selain berenang juga melakukan snorkeling. Sedikitnya wisatawan yang berenang kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya fasilitas air tawar untuk pembilas setelah berenang. Aktivitas wisata lainnya seperti surfing dan diving, secara umum juga lebih banyak dilakukan oleh wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah dibutuhkan ketrampilan khusus untuk melakukan kedua aktifitas wisata tersebut, disamping itu juga biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Contohnya, untuk melakukan satu kali dive atau penyelaman selama 45 menit dikenakan biaya sebesar US$ 25. Sementara untuk melakukan surfing, juga diperlukan biaya yang cukup besar untuk peralatan papan surfing serta untuk biaya menuju arena surfing yang lokasinya cukup jauh, yaitu di kawasan perairan TWA Bangko- Bangko. Untuk ke kawasan surfing ini tidak ada kendaraan umum, jadi harus membawa kendaraan sendiri atau menyewa kendaraan. Pendapat Wisatawan tentang Ekowisata di Sekotong. Sebanyak 47 orang dari 53 responden menyatakan setuju dengan pengelolaan wisata berkonsep ekowisata di daerah tersebut. Sedangkan 4 orang lainnya menyatakan tidak setuju dengan alasan agar mudah mendapatkan fasilitas pendukung wisata. Sementara dua orang lainnya tidak menyatakan pendapat, dalam arti mereka menyetujui apa saja yang menjadi pilihan dalam pengelolaan wisata di kawasan ini. Informasi Travel Cost Method (TCM). Metode yang digunakan untuk menghitung biaya perjalanan adalah melalui individual travel cost. Biaya perjalanan yang dihitung merupakan biaya transportasi, konsumsi, akomodasi dan biaya lain-lain yang dikeluarkan selama menuju dan tinggal di lokasi wisata Sekotong. Penghitungan biaya perjalanan dilakukan dari asal kunjungan utama, dengan pertimbangan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara ke kawasan

pesisir Sekotong merupakan kunjungan persinggahan dari kunjungan utama mereka di kawasan wisata lain yang ada di Pulau Lombok. Jadi biaya perjalanan yang dihitung hanya dari lokasi tujuan utama kunjungan sampai ke lokasi wisata di Sekotong. Besarnya rata-rata biaya perjalanan wisatawan ke Sekotong dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Rata-rata biaya perjalanan wisatawan ke kawasan pesisir Sekotong Wisatawan Rata-Rata Biaya Perjalanan ke Kawasan Wisata (Rp.) Total (Rp.) Rata-rata (Rp.) Gili Nanggu Gili Gede Tj Bangko- Bangko Domestik 220.150 212.750 124.533 557.433 185.811 Mancanegara 721.000 693.429 533.000 1.947.429 649.143 Total (Rp.) 941.150 906.179 657.533 2.504.862 834.954 Rata-rata (Rp.) 470.575 453.089 328.766 1.252.431 417.477 Sumber : Data primer diolah (2006). Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata biaya perjalanan di ketiga kawasan wisata bagi wisatawan domestik lebih rendah dibandingkan wisatawan mancanegara. Hal ini mungkin disebabkan pada wisatawan domestik kunjungan wisata dilakukan secara berkelompok bersama anggota keluarga ataupun teman-teman dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga biaya yang ditanggung per-orang menjadi lebih murah. Selain itu, kemungkinan karena wisatawan domestik tidak menginap dan aktifitas wisata yang mereka lakukan umumnya juga hanya menikmati pemandangan alam di pesisir daratan Sekotong. Selain itu juga hanya sedikit yang melakukan penyelaman ataupun penyeberangan ke pulau-pulau kecil, sehingga biaya rata-rata yang mereka keluarkan juga lebih rendah. Kondisi ini menggambarkan bahwa anggaran dana yang diperuntukkan untuk kegiatan wisata bagi wisatawan domestik adalah lebih rendah dibandingkan wisatawan mancanegara, yang tentunya juga disesuaikan berdasarkan rasio pendapatan mereka. Biaya perjalanan ke Gili Nanggu memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan ke Gili Gede dan Tanjung Bangko-Bangko, padahal lokasi penyeberangan ke Gili Nanggu jaraknya yang terdekat dari Kota Kecamatan dibandingkan Gili Gede dan Tanjung Bangko-Bangko. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya karena jarak Gili Nanggu cukup jauh dari daratan lokasi penyeberangan sehingga biaya penyeberangannya lebih mahal dibandingkan penyeberangan ke Gili Gede. Faktor lain penyebab tingginya

biaya perjalanan ke Gili Nanggu adalah permintaan wisatawan ke kawasan ini lebih banyak dibandingkan dengan permintaan ke Gili Gede dan ke Tanjung Bangko-Bangko. Biaya perjalanan ke Tanjung Bangko-Bangko yang paling kecil diantara ketiganya meskipun lokasinya yang paling jauh, namun karena lokasinya di daratan jadi tidak memerlukan biaya untuk menyeberang. Selain itu, kemungkinan kecilnya biaya perjalanan ke Tanjung Bangko-Bangko ini karena tidak tersedia sarana pendukung yang memadai, seperti penginapan atau restoran. Fasilitas pendukung yang ada hanya satu buah warung kecil milik penduduk setempat. Dengan adanya kondisi ini tentu wisatawan tidak dapat maksimal membelanjakan uangnya, meskipun permintaan wisatawan ke kawasan ini relatif lebih banyak jika dibandingkan wisatawan yang ke Gili Gede. Tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan ekowisata Sekotong berkaitan dengan seberapa sering seorang wisatawan berkunjung ke lokasi tersebut. Hal ini juga mencerminkan tingkat kepuasan dan tingkat kesukaan wisatawan terhadap lokasi wisata tersebut. Fungsi permintaan wisatawan di kawasan ekowisata Sekotong diperoleh dengan meregresikan variabel terikat jumlah kunjungan terhadap variabel bebas yang terdiri dari biaya perjalanan, umur, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pendapatan wisatawan. Dengan menggunakan pendekatan log ganda, diperoleh model permintaan sebagai berikut: LnQ = 6,1638-0,2906LnX 1 + 0,0273LnX 2-0,6109LnX 3 + 0,1379LnX 4-0,3426LnX 5 R 2 = 0,5021 Fhit = 9,4809 Hasil koefisien determinasi (R 2 ) menunjukkan nilai sebesar 0,5021 hal ini berarti 50,21% perubahan dari tingkat kunjungan dapat dijelaskan oleh perubahan jumlah kunjungan, biaya perjalanan, umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan wisatawan, sedangkan sisanya sebesar 49,79% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan tersebut, seperti jarak perjalanan, lama kunjungan, musim kunjungan, preferensi wisatawan terhadap lokasi, dan sebagainya. Kondisi ini sebagaimana dinyatakan oleh Fauzi (2004), bahwa tingkat kunjungan wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya biaya perjalanan, karakteristik substitusi tempat wisata lain, persepsi terhadap kualitas lingkungan di lokasi wisata, biaya waktu yang dikeluarkan oleh wisatawan dan pendapatan wisatawan.

Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara tingkat kunjungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung 9,48 > F tabel 2,66 pada selang kepercayaan 95%, dengan p-value 0,0036 < 0,05. Nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel berarti menolak H 0 (H 0 : β 1 =β 2 = β i = 0), yang berarti menerima H 1 (H 1 : minimal ada satu β i 0), yaitu bahwa setidaknya ada satu variabel bebas dalam fungsi permintaan tersebut yang berpengaruh nyata terhadap jumlah kunjungan. Berdasarkan hasil perhitungan regresi di atas, nilai terhadap permintaan sebesar -0, 2906 dapat diartikan apabila terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar 10% maka akan menurunkan tingkat kunjungan sebesar 2,9%. Tanda negatif menunjukkan bahwa pada fungsi permintaan tersebut terdapat hubungan terbalik antara biaya perjalanan dengan tingkat kunjungan. Apabila terjadi kenaikan biaya perjalanan menuju kawasan ekowisata Sekotong, maka akan menyebabkan penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan tersebut. Hal ini berkaitan dengan pendapat Yoeti (1990), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan wisata adalah harga. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Gaspersz (2000) tentang hukum permintaan (law of demand) yang menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat (dengan asumsi nilai-nilai dari variabel lain yang mempengaruhi permintaan produk itu dianggap konstan atau ceteris paribus ). Setelah mengetahui fungsi permintaan, maka dapat mengukur surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP (willingness to pay) wisatawan terhadap lokasi ekowisata di Sekotong. Surplus konsumen pada penelitian ini merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari wisatawan dengan biaya atau harga yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan dalam menikmati jasa alam berupa obyek wisata di kawasan ekowisata Sekotong. Tingkat kepuasan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat dilihat dari intensitas kunjungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin sering seorang wisatawan berkunjung ke kawasan ekowisata Sekotong mencerminkan semakin puas terhadap lokasi wisata tersebut. Hasil perhitungan surplus konsumen dengan menggunakan software Maple 9.5 diperoleh nilai sebesar Rp 212,18 per-individu.

Nilai ekonomi kawasan ekowisata Sekotong berdasarkan metode travel cost diperoleh melalui hasil perkalian nilai surplus konsumen dengan intensitas kunjungan rata-rata wisatawan sebesar 2,66 selanjutnya dikalikan jumlah wisatawan aktual pada tahun 2005 sebanyak 1081 orang. Nilai ekonomi kawasan ekowisata Sekotong yang diperoleh berdasarkan jumlah wisatawan pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 610.120,65. Nilai ekonomi ini merupakan nilai riil pemanfaatan ekowisata di kawasan ini. Nilai tersebut akan meningkat bila jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini bertambah banyak dengan intensitas yang semakin sering. Hal ini dapat terjadi bila potensi daya tarik wisata yang ada di kawasan ini dapat dipertahankan, disertai dengan peningkatan sarana pendukung wisata dan didukung dengan promosi pemasaran paket wisata yang menarik serta lebih meluas. Apabila daya tampung wisatawan di kawasan ekowisata Sekotong pertahun dapat terpenuhi, yaitu sebanyak 250.560 sampai 501.120 HOW, maka nilai ekonomi kawasan tersebut adalah sebesar Rp 35.681.616,00 sampai Rp 71.690.587,00. Informasi Contingent Value Method (CVM). Kawasan pesisir Sekotong membutuhkan pemeliharaan agar daya tarik lingkungan sebagai obyek ekowisata dapat terus berkelanjutan. Melalui metode contingent value yang secara langsung bertanya pada wisatawan tentang kesediaan mereka membayar terhadap obyek ekowisata yang mereka peroleh di lokasi, dapat digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya alam yang berperan sebagai obyek ekowisata di kawasan tersebut. Hasil survei terhadap 53 orang wisatawan tentang pendapat mengenai pembayaran terhadap jasa lingkungan berupa obyek wisata yang mereka nikmati di lokasi, diperoleh 48 orang atau 90,57% menyatakan setuju untuk membayar terhadap jasa lingkungan, 3 orang atau 5,66% menyatakan ragu-ragu dan yang tidak setuju hanya 2 orang atau 3,77%. Wisatawan yang menyatakan ragu-ragu memberikan alasan bahwa mereka ragu kepada siapa dan untuk apa mereka akan membayar, dan yang tidak setuju berpendapat bahwa alam merupakan pemberian Tuhan yang dapat dinikmati dengan gratis atau tanpa membayar. Bentuk pembayaran terhadap obyek ekowisata yang diinginkan wisatawan adalah dalam bentuk access fee atau tarif masuk sebanyak 75% dari 48 orang wisatawan yang setuju dan dalam bentuk penambahan harga pada barang atau

jasa yang disewa sebanyak 14,58% serta 10,42% dalam bentuk penambahan harga pada penginapan dan restoran. Salah satu aspek yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (willingness to pay = WTP) untuk jasa lingkungan berupa obyek ekowisata yang dinikmati oleh wisatawan adalah membangun proxy atau nilai pengganti seandainya jasa lingkungan tersebut dipasarkan melalui mekanisme bentuk pembayaran seperti di atas. Kesadaran dan kepedulian wisatawan pada lingkungan dan sumberdaya alam sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang akan mereka berikan. Besar kecilnya nilai WTP yang akan diberikan menunjukkan tingkat preferensi dan kepedulian wisatawan terhadap perlunya pemeliharaan lingkungan dan sumberdaya alam yang menjadi obyek ekowisata di kawasan pesisir Sekotong ini. Besaran nilai WTP yang akan diberikan oleh wisatawan adalah bervariasi seperti yang tercantum pada Tabel 11 berikut: Tabel 11 Persentase besaran nilai WTP wisatawan Nilai WTP Wisatawan mancanegara (orang) Wisatawan domestik (orang) Persentase (%) 0 sampai Rp 5.000,00 0 5 9,43 Rp 5.000,00 sampai Rp 10.000,00 0 9 16,98 Rp 10.000,00 sampai Rp 20.000,00 14 0 26,42 Rp 20.000,00 sampai Rp 50.000,00 19 0 35,85 Rp 50.000,00 sampai Rp 100.000,00 6 0 11,32 Total 39 14 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Rata-rata nilai WTP wisatawan domestik adalah sebesar Rp 5.714,00. Bila diasumsikan jumlah wisatawan domestik yang berkunjung minimal sebanyak 227 orang dalam setahun, yaitu mengacu pada jumlah kunjungan wisatawan domestik pada tahun 2005, maka nilai WTP adalah sebesar Rp 1.297.078, 00. Sedangkan rata-rata nilai WTP wisatawan mancanegara adalah sebesar Rp 33.974,00. Bila diasumsikan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung minimal sebanyak 854 orang dalam setahun, yaitu berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2005, maka nilai WTP adalah sebesar Rp 29.014.103,00. Secara total nilai WTP wisatawan yang dapat digunakan sebagai proxy nilai ekonomi sumberdaya di kawasan ekowisata Sekotong dalam setahun adalah sebesar Rp 30.311.181,00. Nilai

ekonomi tersebut merupakan nilai potensi pengembangan ekowisata di kawasan Sekotong. Nilai tersebut juga mencerminkan estimasi biaya korbanan yang harus ditanggung jika kawasan ekowisata di Sekotong mengalami kerusakan ekosistem yang dapat menimbulkan hilangnya daya tarik kawasan tersebut, yang pada akhirnya akan menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung ke kawasan ekowisata Sekotong. Keterlibatan dan Peran Stakeholder Keberhasilan pembangunan di suatu kawasan sangat dipengaruhi oleh bentuk respon yang timbul dari para stakeholder, sehingga dapat diketahui apa dan bagaimana suatu kegiatan pembangunan dapat dilaksanakan, siapa yang menjadi pelakunya, serta pada situasi dan kondisi yang bagaimana hal tersebut dapat dilakukan. Demikian halnya dengan pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, akan berhasil dengan baik apabila mendapatkan dukungan respon yang positif dari para stakeholder. Para stakeholder yang terdiri dari masyarakat, pengusaha, pemerintah, lembaga non pemerintah dan pihak akademisi merupakan pihak-pihak yang berperan dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Berdasarkan matrik analisa stakeholder (Lampiran 12), masyarakat dan pengusaha (akomodasi) setempat merupakan stakeholder utama yang memiliki kepentingan secara langsung, yakni sebagai pelaku dan pemanfaat dari kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong ini. Pemerintah daerah setempat, Bappeda NTB dan Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat merupakan stakeholder kunci yang memiliki kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ekowisata di kawasan ini. Sedangkan Dinas Pariwisata Propinsi dan instansi pemerintah lainnya serta LSM dan Akademisi merupakan stakeholder sekunder, karena tidak memiliki kepentingan secara langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan ekowisata di kawasan ini. Pemerintah daerah setempat, yaitu instansi pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai kecamatan berperan sebagai pengorganisir kegiatan yang berkaitan dengan ekowisata di kawasan ini. Bappeda Provinsi NTB dan Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, selain berperan sebagai pengorganisir juga sebagai pengambil keputusan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ekowisata di kawasan ini. Hal ini karena sejak diberlakukannya otonomi daerah,

Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat adalah sebagai penanggungjawab kegiatan wisata di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Barat. Sedangkan Dinas Pariwisata Propinsi NTB hanya berperan sebagai pendukung dan pengontrol kegiatan ekowisata di kawasan ini. Instansi pemerintah yang lain serta LSM dan pihak akademisi juga hanya berperan sebagai pendukung kegiatan ekowisata di kawasan ini. Hasil identifikasi masing-masing stakeholder dapat dideskripsikan di bawah ini. Masyarakat. Secara umum, masyarakat setempat merupakan penduduk pendatang, baik dari wilayah lain di Pulau Lombok, maupun dari Pulau Bali, namun mereka telah tinggal di kawasan tersebut lebih dari 5 tahun. Sedangkan rata-rata tingkat pendapatan per bulan bagi yang bukan PNS adalah sekitar Rp 250.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00. Adapun matapencaharian responden dari unsur masyarakat ini dapat dilihat pada Lampiran 17. Salah satu faktor yang cukup penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong adalah bagaimana sikap masyarakat setempat terhadap program tersebut. Secara umum masyarakat mempunyai sikap yang mendukung terhadap pengembangan ekowisata di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuisioner pada masyarakat di kawasan pesisir Sekotong, sebanyak 56 orang diantaranya atau sebesar 90,32% menyatakan bahwa mereka setuju dengan adanya ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Sedangkan sisanya sebanyak 6 orang atau sebesar 9,68% menyatakan terserah kemauan pemerintah saja karena mereka akan mengikuti apapun keputusan pemerintah. Beberapa hal yang dapat diidentifikasi dari hasil survei di lokasi penelitian adalah bahwa 100% masyarakat mengetahui daerah mereka merupakan daerah tujuan wisata, namun hanya sekitar 20% yang mengetahui tentang istilah ekowisata, yaitu mereka yang bermatapencaharian PNS yakni yang bekerja sebagai guru, pegawai kantor desa dan pensiunan tentara. Sedangkan 80% lainnya, sebagian hanya pernah mendengar dan sebagian lain memang tidak tahu tentang istilah ekowisata. Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas wisata masih terbatas pada mereka yang tinggal di sekitar fasilitas penyeberangan ke pulau-pulau kecil saja. Keterlibatan mereka hanya sebatas untuk mencari nafkah sebagai jasa penyeberangan dengan perahu-perahu motor sewa, beberapa juga ada yang menjual makanan, makanan kecil dan menyewakan alat snorkel. Sedangkan

keterlibatan untuk berpartisipasi aktif dalam hal perencanaan atau menentukan program-program yang dapat mendukung pembangunan wisata berbasis ekowisata masih sangat terbatas. Hanya di Desa Pelangan yang telah terbentuk satu organisasi masyarakat Pokdarwis atau Kelompok Sadar Wisata dibawah binaan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Lombok Barat. Untuk ke depan diharapkan akan lebih banyak kelompok semacam ini di desa-desa yang lainnya, sehingga akan lebih banyak masyarakat yang turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekowisata ini. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat di wilayah ini untuk berpartisipasi dapat disebabkan oleh rendahnya rata-rata tingkat pendidikan dan ketrampilan masyarakat. Selain itu juga karena kurang aktifnya aparat setempat untuk melibatkan masyarakat dalam program-program yang berkaitan dengan wisata di aderah ini. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, tidak dijumpai adanya kegiatan perdagangan yang berkaitan khusus dengan kegiatan wisata, dalam arti belum tersedianya pusat-pusat kerajinan tangan atau handy craft center maupun tempat penjualan kerajinan tangan atau art shop. Menurut hasil wawancara dengan penduduk setempat, sebenarnya pernah ada usaha-usaha skala industri rumah tangga yang menghasilkan aneka kerajinan dari kulit kerang dan juga kerajinan topeng-topeng kayu. Namun karena kurangnya pemodalan dan terbatasnya akses pemasaran maka usaha tersebut tidak berkembang. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, tentu perlu adanya keterlibatan dari instansi terkait, misalnya Dinas Pariwisata serta Dinas Industri Kecil dan Menengah untuk melakukan pembinaan, baik dalam hal dukungan fasilitasi pemodalan maupun akses pemasarannya. Dengan demikian diharapkan pengembangan kawasan ekowisata di daerah ini juga dapat menciptakan diversifikasi lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Guna meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan ekosistem sumberdaya laut yang merupakan asset bagi pengembangan ekowisata di daerah mereka, maka perlu adanya sosialisasi oleh intansi terkait seperti Dinas Pariwisata dan Dinas Perikanan Kelautan di Tingkat Kabupaten kepada aparat setempat melalui pertemuan-pertemuan koordinasi yang melibatkan kelompok masyarakat dan pihak swasta yang mengelola usaha wisata di lokasi ini. Masyarakat juga perlu dilibatkan untuk secara aktif dalam kegiatan-kegiatan pemeliharaan dan perlindungan sumberdaya alam.

Peningkatan penyadaran masyarakat akan arti pentingnya ekosistem sumberdaya laut tersebut harus diikuti dengan upaya peningkatan ketrampilan masyarakat agar dapat memiliki alternatif pekerjaan terutama yang berkaitan dengan kegiatan wisata. Keberlanjutan daerah ekowisata di kawasan Sekotong ini berkaitan dengan upaya pengelolaan berbasis perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut secara menyeluruh, yang hanya dapat dilakukan apabila diiringi oleh upaya peningkatan pengembangan sosial ekonomi masyarakatnya. Karena tanpa hal tersebut upaya pengelolaan yang dilakukan akan sia-sia, dimana masyarakat sekitar maupun di luar wilayah yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang buruk akan sangat berpotensi merusak lingkungan pesisir dan laut. Apabila lingkungan pesisir dan laut di kawasan pesisir Sekotong ini hilang tentu akan berakhir pula daya tarik kawasan ini sebagai daerah ekowisata. Pengusaha. Identifikasi peranan stakeholder pada para pemilik usaha yang berada di lokasi penelitian, didapatkan hasil bahwa berdasarkan bidang usaha yang dilakukan, terdapat dua jenis pengusaha yang terdapat di kawasan pesisir Sekotong, yaitu yang berkaitan secara langsung terhadap kegiatan wisata dan yang tidak berkaitan secara langsung. Yang berkaitan secara langsung terhadap kegiatan wisata adalah para pengusaha yang bergerak di bidang sarana akomodasi wisatawan, seperti penginapan, restoran dan penyediaan fasilitas wisata. Sedangkan pengusaha yang tidak berkaitan secara langsung terhadap kegiatan wisata adalah pengusaha yang mempunyai usaha di lokasi penelitian namun tidak berhubungan secara langsung untuk melayani kebutuhan wisatawan, misalnya pengusaha budidaya mutiara. Usaha budidaya ini dalam skala yang relatif besar, namun untuk pengolahannya menjadi aneka aksesoris tidak dilakukan di kawasan ini. Keberadaan para pengusaha ini tentu sangat membantu masyarakat setempat karena mendapatkan peluang pekerjaan. Namun untuk saat ini peluang tersebut masih sangat terbatas karena para pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan wisatawan, yakni para pemilik sarana akomodasi masih merupakan skala kecil sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, Para pegawai umumnya berasal dari masyarakat setempat dan hanya sebagian kecil yang berasal dari luar daerah. Jumlah pegawai yang bekerja berkisar antara 5 sampai 17 orang, dengan tingkat pendidikan antara SD sampai SMU.

Kepemilikan usaha akomodasi di kawasan ini, hanya 2 orang yang merupakan masyarakat setempat, yaitu Sulaeman pemilik Tourist Information Center dan Ida Bagoes pemilik homestay, namun mereka ini juga merupakan masyarakat pendatang. Dua sarana akomodasi dimiliki oleh WNA yaitu dari Belanda pemilik Bola-Bola Paradise dan dari Canada pemilik Sundancer, yang pada saat penelitian masih dalam taraf pembangunan. Sundancer ini merupakan satu-satunya penginapan bertaraf hotel berbintang lima. Dengan beroperasinya Sundancer diharapkan akan membuka peluang tenaga kerja yang lebih banyak dari masyarakat setempat dan sekitarnya. Kepemilikan sarana akomodasi yang lain adalah pengusaha dari daerah lain, namun dikelola oleh masyarakat setempat. Penanganan terhadap limbah yang dilakukan oleh pemilik akomodasi, sejauh ini belum ada penanganan secara khusus dengan teknik-teknik yang menggunakan mesin tertentu, mengingat usaha yang mereka lakukan masih berskala kecil. Penanganan terhadap limbah masih secara tradisional, jadi tidak membuangnya secara langsung ke laut. Penanganan yang biasa dilakukan terhadap limbah cair dan limbah organik adalah dengan membuat lubang penampungan. Untuk limbah yang berasal dari daun-daunan dan dari limbah dapur yang biasa dilakukan adalah menampung kemudian menanamnya. Adapun penanganan terhadap limbah plastik dan kertas yang biasa dilakukan adalah membakarnya. Keterlibatan para pengusaha terhadap kepedulian pengembangan wisata di kawasan ini masih sebatas dukungan verbal, dimana sejauh ini kegiatan mereka masih berorientasi bisnis. Mereka belum mempunyai program-program khusus yang berkaitan dengan lingkungan maupun upaya kerjasama pengembangan wisata, yang dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat setempat. Bahkan di kalangan para pengusaha sendiri juga kurang melakukan koordinasi. Pelaku usaha wisata dari daerah lain dalam mempromosikan paket wisata ke kawasan ini kurang mengadakan kerjasama dengan pelaku usaha wisata setempat ataupun melibatkan masyarakat di kawasan ini. Kondisi ini dapat berpengaruh pada rendahnya tingkat kepuasan wisatawan akibat kurang pahamnya pelaku wisata dari daerah lain tentang kondisi lokasi yang sesuai dengan kebutuhan aktivitas wisatawan. Bagi masyarakat setempat yang kurang mendapatkan benefit dari adanya kegiatan wisata di kawasan tersebut, dapat berpotensi pada sikap masyarakat yang tidak mau menjaga lingkungan dan

sumberdaya yang merupakan daya tarik ekowisata di kawasan ini, bahkan dapat cenderung mengekspolitasinya guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka kegiatan ekowisata di kawasan ini tidak akan dapat berkelanjutan. Guna mendukung pengembangan potensi sebagai kawasan ekowisata di Kecamatan Sekotong yang berkelanjutan, maka perlu ditunjang oleh suatu unit pusat informasi. Di pusat informasi tersebut dapat disediakan aneka posterposter, leaflet atau brosur yang berkaitan dengan obyek-obyek wisata di kawasan pesisir Sekotong, serta yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan dan upaya konservasi wilayah tersebut. Pusat informasi ini dapat dijadikan pula sebagai tourist information center yang menyediakan layanan informasi yang berkaitan dengan kegiatan wisata, baik akomodasi maupun lokasi-lokasi yang sesuai dengan potensi wisata yang dimilikinya. Unit pusat informasi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pusat pertemuan stakeholder pengelola wisata, baik yang berada di wilayah Kecamatan Sekotong maupun pihak-pihak lain yang memiliki komitmen dalam pengembangan ekowisata di wilayah tersebut, baik dari kalanngan swasta, pemerintah maupun masyarakat. Instansi Pemerintah. Sejauh ini aparat pemerintahan desa dan kecamatan setempat, serta Bappeda Propinsi NTB cukup terlibat dalam perencanaan pembangunan ekowisata, baik dalam bentuk persetujuan maupun pelaksanaan. Dalam hal persetujuan, aparat pemerintahan desa dan kecamatan setempat memberikan rekomendasi terhadap setiap kegiatan yang berkaitan dengan usaha pariwisata. Sedangkan dalam hal pelaksanaan, mereka berupaya memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan memfasilitasi pembentukan kelompok masyarakat tentang kepariwisataan. Menurut aparat pemerintahan setempat, dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di kawasan ini sudah cukup baik, terutama dengan dukungannya untuk menjaga keamanan pelaku wisata. Masyarakat sudah mulai menyadari tentang perlindungan lingkungan, terutama terhadap terumbu karang, dimana masyarakat dulu banyak yang berprofesi sebagai penambang batu karang, saat ini hampir 90% sudah tidak melakukan lagi. Sejumlah kecil masyarakat masih melakukan penambangan batu karang terutama karena alasan ekonomi, dimana mereka tidak mempunyai ketrampilan lain dan juga tidak memiliki lahan, sementara mereka harus tetap mencari nafkah. Aparat pemerintah setempat menyadari sangat sulit untuk melakukan pengawasan

secara terus-menerus terhadap usaha pembakaran batu karang yang kadangkala masih tetap beroperasi. Hal ini berkaitan dengan masalah keterbatasan SDM dan biaya operasional untuk melakukan pengawasan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan tindakan yang lebih tegas dari pihak yang berwenang terutama terhadap para penambang batu karang dan juga pemilik usaha pembakaran karang. Guna peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini, aparat pemerintah setempat memberikan usulan untuk peningkatan sosialisasi dan pelatihan bagi masyarakat serta perlu pembentukan forum dialog antara pemerintah dan non pemerintah termasuk LSM dan para pengusaha setempat, yang difasilitasi oleh Pemda. Forum dialog ini diharapkan dapat berfungsi sebagai media koordinasi dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini, serta berguna untuk meminimalisir akses negatif yang muncul dari adanya aktifitas wisata. Dari hasil wawancara dengan institusi Balai Budidaya Laut Sekotong dan Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Pantai, pada prinsipnya kedua institusi ini mendukung terhadap pengembangan ekowisata di kawasan ini, meskipun sejauh ini belum pernah terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Hal ini karena menurut institusi tersebut, yang paling berkepentingan tentang ekowisata di kawasan ini adalah pihak Dinas Pariwisata, namun mereka menyatakan tidak berkeberatan jika suatu saat dilakukan kerjasama. Kedua institusi ini memiliki indoor dan outdoor hatchery untuk kerapu, lobster dan tiram mutiara, sehingga dapat dijadikan sebagai peluang alternatif kegiatan ekowisata, yaitu berupa wisata edukasi bagi pelajar dan mahasiswa. Namun untuk mewujudkan hal ini tentunya diperlukan koordinasi lebih lanjut antara instansi terkait dengan pihak-pihak yang berkepentingan seperti Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan, disertai dengan manajemen teknis dan pemasaran yang optimal, baik melalui media promosi langsung maupun tidak langsung. Hasil wawancara dengan pihak Dinas Pariwisata Propinsi NTB, dinyatakan bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, maka segala program kegiatan yang berkaitan dengan wisata di masing-masing kabupaten menjadi tanggungjawab Dinas Pariwisata Kabupaten, dimana Dinas Pariwisata Propinsi hanya sebagai media koordinasi dan monitoring. Karena Kecamatan Sekotong berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat, maka segala program wisata di wilayah ini menjadi wewenang Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat.

Berdasarkan wawancara dengan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, dinyatakan bahwa kawasan wisata Lombok Barat bagian Selatan, yang meliputi Gili Nanggu dan sekitarnya merupakan salah satu kawasan wisata Nusa Tenggara Barat yang saat ini pengembangannya mendapat prioritas kedua setelah kawasan Senggigi dan Gili Matra. Oleh sebab itu, pengembangan kawasan ini perlu mendapat perhatian sebaik mungkin agar dapat berfungsi sebagai daerah wisata yang baik dan berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Untuk program pembangunan secara fisik, sejauh ini belum ada. Programprogram yang sudah dilaksanakan adalah dalam rangka peningkatan SDM masyarakat, misalnya melalui sosialisasi tentang wisata, pelatihan ketrampilan dan pembentukan kelompok masyarakat, dimana mereka secara bertahap mendapatkan penyuluhan dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan kegiatan wisata. Dari hasil kuisioner dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTB dan Kabupaten Lombok Barat, instansi ini sering dilibatkan dalam tim monitoring, pengendali dan pengawasan kegiatan perencanaan pembangunan wisata di tingkat Kabupaten, termasuk pengembangan ekowisata di kawasan Sekotong. Bentuk keterlibatan ini adalah memberikan masukan-masukan bagi rencana kegiatan-kegiatan yang sesuai untuk pembangunan ekowisata agar tidak menganggu kegiatan perikanan dan kelautan yang sudah ada. Instansi ini juga memberikan penjelasan pada masyarakat pesisir terutama nelayan agar ikut menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan yang berfungsi sebagai sumber kehidupan mereka, sekaligus sebagai sumber keberlanjutan wisata. Menurut instansi ini, adanya hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekowisata di kawasan ini adalah karena belum adanya pemisahan yang jelas antara ruang pemanfaatan pesisir untuk perikanan dan untuk wisata. Oleh karena itu sebaiknya masyarakat dilibatkan secara langsung dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Para stakeholder perlu membentuk sebuah forum dialog yang difasilitasi oleh pemda, guna mengkoordinasikan masing-masing kepentingan dan keterkaitan dalam pemanfaatan ruang, terutama antara sektor pariwisata, kelautan dan perikanan, serta sektor-sektor lainnya. Berdasarkan wawancara dengan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat, instansi ini sangat mendukung terhadap pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, karena dari segi

pemandangan sangat berpotensi, namun dari segi sarana sangat perlu untuk ditingkatkan. Selain itu juga dari segi manajemennya, perlu diupayakan peningkatan promosi dan penggalian potensi kesenian rakyat sebagai atraksi budaya. Dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini tantangannya cukup besar, berkaitan dengan kondisi alam, misalnya pada saat musim hujan, wisatawan yang datang akan terbatas, juga karena lokasinya jauh terutama untuk menjangkau pulau-pulau kecil, tentu akan diperlukan BBM yang cukup banyak sehingga masalah harga transportasi juga merupakan salah satu kendala. Adapun program-program yang dilakukan di kawasan pesisir Sekotong meliputi : (i) program jasa lingkungan, yakni penerapan pungutan yang akan digunakan untuk rehabilitasi lingkungan terhadap para pelaku wisata yaitu wisatawan dan pengelola usaha wisata, dimana saat ini program tersebut dalam proses diperdakan; (ii) program kerjasama antara kehutanan dan DKP untuk pengadaan pabrik es, hal ini guna mengantisipasi adanya isu penggunaan formalin pada produk perikanan; (iii) program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan serta (iv) program pengawasan perambahan hutan. Sampai saat ini perambahan hutan masih ada, karena adanya masyarakat yang miskin akibat tidak mempunyai lahan dan tidak memiliki alternatif pekerjaan lain, selain itu juga karena keterbatasan jumlah polisi hutan. Untuk mengatasi hal ini akan lebih efektif bila adanya partisipasi masyarakat melalui pranata awig-awig, dimana masyarakat sendiri yang akan membuat peraturannya disertai sanksi-sanksi pelanggarannya. Instansi ini mengupayakan penurunan status Taman Wisata Alam Bangko- Bangko menjadi Taman Hutan Rakyat, hal ini berkaitan dengan manajemen pengelolaannya. Jika masih berstatus TWA maka menjadi tanggungjawab pemerintah pusat melalui BKSDA Propinsi NTB, sehingga pemerintah daerah tidak berwenang untuk mengelolanya. Selama masih berstatus TWA, maka tidak boleh ada fasilitas akomodasi apapun di areal tersebut, sementara TWA ini merupakan satu-satunya akses jalur darat menuju areal surfing yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara. Di lokasi surfing hanya terdapat satu warung makan milik penduduk setempat yang kondisinya masih sangat sederhana. Apabila statusnya dapat diturunkan menjadi THR, pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Barat selaku pengelola hutan Bangko-Bangko ini dapat lebih berperan aktif dalam mengelola kawasan

ini, misalnya dengan pemberlakuan access fee bagi yang masuk ke kawasan ini, sehingga akan memperoleh pendapatan yang dapat dikelola untuk pemeliharaan hutan itu sendiri maupun pembangunan fasilitas yang berguna untuk kegiatan wisata di kawasan ini dan juga untuk masyarakat setempat. Berbeda pendapat dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat, BKSDA Propinsi NTB justru berupaya terus mempertahankan status TWA Bangko-Bangko ini. Hal ini berkaitan dengan kekuatiran akan keberlanjutan ekosistem hutan yang berada di kawasan ini, apabila statusnya diubah menjadi Taman Hutan Rakyat, mengingat fungsinya sebagai penyedia sumber air tawar di kawasan pesisir Sekotong. Apalagi di areal TWA Bangko- Bangko ini juga terdapat kawasan mangrove terluas di Pulau Lombok. LSM dan Akademisi. Kedua profil lembaga ini merupakan unsur stakeholder yang berperan sebagai pendukung terhadap kegiatan ekowisata di kawasan ini. Keberadaan pihak akademisi terutama sebagai institusi yang memberikan dukungan berupa rekomendasi ilmiah yang didapatkan dari hasil studi dan penelitian yang dilakukan di kawasan pesisir Sekotong. Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah studi tentang keberadaan kondisi terumbu karang di perairan pulau-pulau kecil yang ada di kawasan ini dan uji coba transplantasi terumbu karang yang dilakukan di perairan Gili Genting. Program yang dilakukan LSM di kawasan ini antara lain adalah melalui pemberian bantuan dana bergulir pada masyarakat untuk mengalihkan lapangan usaha guna mencegah eksploitasi terumbu karang. Selain itu juga memfasilitasi penyusunan pranata masyarakat (awiq-awiq) yang berkaitan dengan perlindungan sumberdaya alam di kawasan ini. Peluang Keterlibatan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata di Sekotong Selain elemen pemerintah, masyarakat di kawasan ekowisata Sekotong juga memiliki peranan besar. Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan ekowisata di kawasan ini, akan memberikan dampak positif dari segi lingkungan dan ekonomi. Jika masyarakat lokal tidak dilibatkan, sumberdaya dipastikan akan rusak dan nilai jual kawasan beserta investasinya akan hilang. Selain itu, munculnya partisipasi masyarakat setempat dalam proses pengembangan ekowisata di kawasan ini, dapat sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan kesenjangan wisata yang selama ini terjadi. Namun, sebelum

benar-benar memberdayakan masyarakat lokal dalam ekowisata, penting adanya sosialisasi tentang konsep ekowisata yang sesuai, sekaligus pendampingan terhadap masyarakat dalam merancang ekowisata di kawasan Sekotong. Kegiatan ekowisata di Sekotong akan berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat setempat. Pengaruh langsung yang diperoleh masyarakat setempat adalah adanya peluang lapangan usaha guna mendukung kegiatan ekowisata di kawasan ini, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari kegiatan tersebut. Peluang tersebut antara lain adalah: 1. Jasa penginapan Kurangnya fasilitas akomodasi berupa penginapan, merupakan peluang bagi masyarakat setempat untuk menyewakan tempat tinggalnya pada wisatawan, terutama dari kalangan back-packer. Rumah yang akan disewakan tidak perlu terbuat dari bangunan yang mewah, justru yang merupakan bangunan khas daerah setempat, misalnya rumah adat suku sasak yang terbuat dari tiang kayu, berdinding bambu dan beratap rumbia, dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Suasana yang nyaman, bersih dan keramahan dari pemiliknya dapat membuat wisatawan tertarik untuk tinggal di tempat tersebut. 2. Jasa transportasi Peluang jasa transportasi bagi masyarakat setempat misalnya adalah sebagai jasa penyeberangan untuk menyeberang ke gili atau menikmati pemandangan di perairan gugusan gili dengan menggunakan perahu dayung atau perahu motor kecil. Untuk jasa transportasi di darat, peluang yang dapat dilakukan masyarakat setempat adalah sebagai tenaga ojek atau kusir cidomo, yaitu angkutan tradisional masyarakat setempat yang menyerupai dokar atau andong. Dengan ojek atau cidomo tersebut, akan dapat mengantar wisatawan ke lokasi-lokasi yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan umum. 3. Jasa penyewaan peralatan atau perlengkapan kegiatan wisata Saat ini, di kawasan ekowisata Sekotong hanya ada satu diving club milik pengusaha asing. Kegiatan wisata andalan berupa wisata pantai dan wisata bahari di kawasan ini, dapat membuka kesempatan pada masyarakat setempat untuk menyewakan peralatan scuba dive, snorkel, pelampung renang, tikar untuk duduk-duduk di pantai atau mungkin juga papan surfing.

4. Jasa pemandu wisata Masyarakat setempat dapat menjadi pemandu kegiatan ekowisata di Sekotong, karena mengerti dengan benar seluk beluk lingkungan dan budaya setempat. Namun diperlukan ketrampilan khusus untuk menjadi pemandu wisata yang berkualitas, karena hal ini sangat penting bagi ekowisata. Menurut Wight (1997), tidak hanya dibutuhkan ketrampilan dalam bahasa, tetapi juga interpretasi tentang lingkungan, alam, sejarah budaya dan prinsip-prinsip etnik, serta adanya pelayanan dan komunikasi. Pada produk ekowisata, tingkat kepentingan secara keseluruhan yang terutama adalah kealamian, kemudian pemandu wisata, selanjutnya diikuti oleh aktivitas wisata termasuk semua paket ekowisata, area yang dilindungi, programprogram pendidikan, pengalaman budaya dan komunikasi sesuai bahasa wisatawan yang dipandu. 5. Atraksi kesenian Kelompok-kelompok kesenian pada masyarakat setempat perlu diaktifkan kembali agar dapat menjadi salah satu atraksi wisata budaya sebagai bagian dari paket ekowisata di kawasan ini. Perlu koordinasi dengan pemilik penginapan agar kesenian daerah setempat ditampilkan untuk menghibur wisatawan. 6. Jasa pembuatan dan penjualan kerajinan tangan Kegiatan ekowisata di Sekotong kurang lengkap tanpa adanya kerajinan tangan khas setempat yang dapat dijadikan sebagai cindera mata bagi wisatawan. Sebagai sentra budidaya mutiara, kawasan ini perlu memiliki usaha pengelolaannya, baik skala rumah tangga maupun skala industri kecil, yang dapat meningkatkan pendapatan dan peluang kerja bagi masyarakat setempat. 7. Jasa penjualan makanan Masyarakat setempat berpeluang untuk menjual makanan, baik dalam skala kecil atau besar, seperti warung, kios, rumah makan, cafe dan juga restoran. Makanan khas olahan hasil laut (sea food) dapat menjadi menu andalan di kawasan ini, karena bernilai ekonomi cukup tinggi dan mudah mendapatkan hasil laut dari nelayan setempat.

Potensi Pengembangan Ekowisata di perairan dan gugusan gili Sekotong Secara umum, pulau-pulau kecil atau gugusan gili di kawasan ekowisata Sekotong memiliki perairan yang jernih, pantai berpasir putih dengan tutupan lahan pantai berupa kelapa dan semak belukar rendah, sehingga dapat dikembangkan untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari. Namun, arah pengembangan kegiatan wisata pada masing-masing pulau sebaiknya disesuaikan dengan potensinya, sehingga fasilitas pendukung wisata dapat disesuaikan dengan peruntukannya, serta wisatawan dapat berwisata di tempattempat yang sesuai dengan tujuannya. Gili Nanggu. Merupakan gili yang telah dikenal oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara sebagai lokasi snorkeling, karena perairannya dangkal dan banyak memiliki ikan hias. Terumbu karang di perairan ini dalam kondisi sedang sampai baik, yang bisa ditemui di bagian sisi Utara dan Timur pulau, yaitu pada sisi pantai yang berbatu-batu. Wisatawan juga banyak yang melakukan aktivitas jogging atau jalan-jalan mengelilingi pulau, karena telah ada jalan setapak di sekeliling pulau. Di pulau ini terdapat sarana akomodasi berupa cottage dan restoran. Pemiliknya mempunyai penangkaran penyu sisik yang pada saat-saat tertentu mengadakan acara pelepasan anak penyu sisik ke laut. Gili Tangkong. Merupakan gili yang berada di antara Gili Nanggu dan Gili Sudak. Di gili ini terdapat beberapa rumah penjaga karamba, namun belum ada aktivitas wisata. Snorkeling dapat dilakukan di bagian sisi Selatan dan sisi Timur dari Gili Tangkong, yaitu pada perairan yang pantainya banyak ditumbuhi kaktus, karena hanya di sisi tersebut yang terdapat terumbu karang dalam kondisi baik. Di perairan Gili Tangkong banyak terdapat ikan karang konsumsi karena banyak bongkahan batu karang mati yang besar, sehingga berpotensi untuk tempat wisata pemancingan. Studi Zwim et al. (2005) menyatakan bahwa wisata memancing merupakan salah satu aktivitas outdoor wisata yang akhirakhir ini banyak digemari wisatawan. Pada tahun 2001, lebih dari 29,4 juta lisensi wisata pemancingan diterbitkan di USA. Di Alaska, wisata pemancingan menghasilkan $1 milyar per-tahun dan lebih dari $500 juta merupakan pembelanjaan langsung pada aktivitas wisata ini, yaitu untuk pemandu wisata, peralatan, akomodasi dan penyelenggaraannya. Selain itu, lebih dari 11.000 warga Alaska terlibat sebagai pekerja untuk mendukung wisata pemancingan tersebut.

Gili Sudak. Di gili ini tidak ada pemukiman, tetapi ada basecamp budidaya mutiara. Perairannya yang luas dan sangat tenang cocok untuk kegiatan wisata perahu dayung. Terumbu karang dengan kondisi sedang, dijumpai di sisi Tenggara pulau, namun karena luas ekosistem terumbu karang yang relatif sedikit, maka tidak direkomendasikan untuk melakukan snorkeling atau diving di kawasan ini. Pertimbangan ini untuk menjaga ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut agar keberadaannya dapat dipertahankan. Kegiatan wisata yang lain seperti berenang, berjemur atau berperahu dapat dilakukan di gili ini. Gili Gedis. Gili ini berada di dekat Gili Sudak, berukuran sangat kecil dan kadang-kadang sebagian tenggelam saat pasang tertinggi. Terumbu karang dalam kondisi baik, terdapat di sisi Timur Laut sampai Barat Daya, sehingga dapat dilakukan snorkeling. Di perairan ini juga banyak terdapat terumbu karang berwarna biru, namun belum diketahui dengan pasti apakah jenis blue coral atau jenis lainnya. Gili Genting/Penyu. Berukuran kecil, berbentuk seperti penyu, dinding pantai berupa batuan terjal, sehingga dapat digunakan untuk olah raga panjat tebing. Sebagian masyarakat setempat menyebutnya Gili Genting, karena terletak di Dusun Gili Genting. Gili ini pada saat surut terendah menyatu dengan daratan yang menjorok ke laut. Masyarakat menamakan daratan tersebut elaqelaq. Terumbu karang dalam kondisi sedang terdapat di sepanjang sisi Barat dan Timur elaq-elaq, sehingga dapat dilakukan snorkeling di sisi perairan tersebut. Gili Amben. Merupakan gili yang paling dekat dengan daratan, namun tidak berpenghuni. Kondisi terumbu karang di perairan gili ini jelek sampai sedang. Rataan terumbu luas ketika surut, berupa sand dune. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan adalah berjemur, berenang dan snorkeling. Gili Lontar. Gili ini berada tidak jauh dari Gili Penyu, tidak berpenghuni dan belum ada aktivitas wisata. Snorkeling dapat dilakukan di perairan gili ini karena memiliki terumbu karang yang kondisinya baik. Gili Poh. Merupakan gili yang paling jauh dan lokasinya yang terpencil berpotensi untuk wisata berjemur. Selain itu juga dapat dikembangkan untuk wisata snorkeling dan diving karena perairannya dalam dan memiliki ekosistem terumbu karang yang kondisinya sedang sampai baik.

Gili Anyaran. Merupakan gili yang kadangkala tenggelam saat pasang tertinggi, sehingga tidak sesuai untuk kegiatan wisata pantai. Namun untuk wisata bahari masih dapat dilakukan di perairan gili ini, karena ekosistem terumbu karang di bagian sisi Utara pulau dalam kondisi baik, sehingga dapat dikembangkan untuk aktivitas snorkeling dan diving. Gili Rengit. Perairan di gili ini disukai wisatawan terutama untuk diving karena memiliki perairan yang dalam dengan ekosisitem terumbu karang yang sangat baik, banyak ikan hias dan ikan pari yang berukuran besar. Di perairan yang dangkal sangat jernih, dengan terumbu karang dalam kondisi sedang sampai sangat baik, sehingga sesuai untuk snorkeling. Gili Layar. Di gili ini terdapat beberapa rumah penduduk, memiliki padang rumput, sehingga beberapa penduduk sekitar melepas hewan ternak di gili ini. Terumbu karang di perairan gili ini kondisinya jelek sampai sedang, sehingga snorkeling hanya dapat dilakukan pada lokasi terumbu karang yang kondisinya sedang. Gili Gede. Merupakan gili yang berukuran paling besar, terdapat kawasan pemukiman sebanyak tiga dusun dan memiliki ekosistem mangrove, sehingga memiliki potensi untuk wisata budaya dan wisata edukasi. Sebagian pantainya berpasir kelabu dan berbatu serta banyak terdapat ikan karang konsumsi, sehingga dapat untuk wisata pemancingan. Aktivitas snorkeling hanya dapat dilakukan pada perairan yang memiliki terumbu karang sedang, karena sebagian terumbu karang di kawasan ini dalam kondisi jelek. Gili Asahan. Berukuran relatif besar dan terdapat kawasan pemukiman serta basecamp mutiara, juga terdapat mangrove, sehingga juga memiliki potensi untuk wisata budaya dan wisata edukasi. Di perairan gili ini kondisi terumbu karang jelek, namun banyak terdapat ikan karang konsumsi, jadi berpotensi untuk wisata pemancingan. Gili Goleng. Berukuran kecil dan tidak berpenghuni. Terumbu karang di perairan gili ini kondisinya jelek, tetapi banyak terdapat ikan karang konsumsi, karena banyak terdapat bongkahan batu karang mati, sehingga juga berpotensi untuk wisata pemancingan.

Salah satu potensi pengembangan ekowisata di perairan Sekotong adalah kegiatan diving. Lokasi dive di perairan Sekotong yang digemari wisatawan menurut salah satu operator ekowisata di Sekotong adalah: 1. The Highway Dive Site Merupakan area diving yang terletak di bagian Utara Sekotong dan populer sebagai lokasi untuk dilakukan diving pada pagi hari. Panjang ekosistem terumbu karang sekitar 3 km, dengan kedalaman sekitar 18m sampai 32m. Banyak dijumpai sekelompok besar ikan pelagis seperti jacks, trevallies, whitetip reef sharks, rays (termasuk mantas) dan lain-lain. 2. Hadiah Reef Dive Site Lokasi ekosistem terumbu karang terletak di bagian Utara dengan kedalaman sekitar 26m. Merupakan habitat bagi banyak ikan karang berwarna-warni, seperti: lionfish, sergeantfish, gobies dan nudibranchs, juga merupakan habitat bagi lobster dan crustacea. Sangat tepat jika dilakukan dive pada malam hari. 3. Triology Dive Site Merupakan ekosistem terumbu karang yang menakjubkan di bagian Barat dari perairan Sekotong bagian Utara. Dapat ditemui udang, ghost pipefish, glassfish, bluespotted rays, cuttlefish, belut laut moray dan banyak lagi. Kadang-kadang juga dijumpai whitetip reef shark. 4. Sunken Island Dive Site Merupakan perairan slope yang agak landai di bagian Barat Sekotong dan dikenal sebagai area diving yang menyenangkan. Banyak dijumpai groupers, batfish, trumpetfish, shy octopus, dan scorpionfish. Kadang-kadang dijumpai eagle rays dan mantas. 5. Gili Renggit Dive Site Lokasi dive lain yang digemari diver di bagian Barat Sekotong adalah perairan Gili Renggit. Ekosistem terumbu karang di perairan ini merupakan habitat bagi nudibranchs, ghost pipefish, dan aneka macam udang. Kadangkadang ditemui camouflaged frogfish. 6. Stairs to Medang Dive Site Merupakan perairan dengan landscape berupa slope yang menurun mulai kedalaman 14m sampai 35m. Terdapat berbagai spesies shark serta

beraneka macam warna dan ukuran ikan karang. Juga sering ditemui lobster dan penyu. 7. Batu Gendang Dive Site Merupakan lokasi dive dengan kedalaman sekitar 25m di perairan Bangko- Bangko. Terumbu karang yang dijumpai dominan dari jenis massive yang merupakan habitat whitetip reef sharks, napoleonfish, dan banyak sweetlips. 8. Batu Mandi Dive Site Merupakan lokasi dive yang juga berada di perairan Bangko-Bangko. Banyak ditemui berbagai spesies sharks, tuna, jacks, dan barracuda. Kadangkadang juga dijumpai sekelompok eagle rays. Kendala dalam Pengembangan Ekowisata di Sekotong Selain potensi yang dimiliki oleh kawasan ini, juga terdapat kendalakendala dalam pengembangan ekowisata di kawasan Sekotong. Keterbatasan Air Tawar. Kendala utama berkaitan dengan kondisi fisik kawasan ini adalah adanya keterbatasan ketersediaan air tanah. Menurut DKP Lobar (2005), jenis tanah di kawasan ini berupa tanah lempung berpasir yang bersifat porous sehingga memiliki daya ikat air yang rendah. Pada daerah tepi pantai, tanah jenis ini mudah terintrusi air laut, akibatnya air tanah mengandung kadar garam. Keterbatasan air tawar ini perlu mendapat perhatian utama bagi pengelola wisata di kawasan ini, mangingat kebutuhan air merupakan faktor penting dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini. Ada beberapa pertimbangan untuk mengatasi hal tersebut, misalnya dengan mengupayakan pengadaan embung atau reservoir pada daerah-daerah tangkapan air, yang akan berfungsi terutama saat musim penghujan. Selain sebagai cadangan air, upaya ini juga bisa untuk mencegah terjadinya banjir pada daerah-daerah yang biasanya rawan banjir. Pengeboran air tanah juga bisa dilakukan, namun cara ini perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut karena akan cepat menguras ketersediaan air tanah di kawasan ini. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan menyuplai air dari kawasan lain melalui jaringan PDAM. Rawan Kekeringan dan Kebanjiran. Kendala lain yang berkaitan dengan kondisi fisik kawasan ini adalah topografi kawasan yang berbukit-bukit dengan hutan yang mulai gundul, sehingga rawan terjadi kekeringan saat musim kemarau dan rawan menimbulkan banjir saat musim hujan. Bukit yang gundul

ini juga rawan terjadi longsor dan berpotensi membawa sedimentasi ke laut. Upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan penghijauan kembali bukit-bukit yang mulai gundul dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat setempat untuk tidak melakukan penebangan liar. Pemerintah daerah setempat harus secara aktif mengikutsertakan masyarakat setempat dalam kegiatan ini, agar mereka dapat menjaga hutan di bukit-bukit, karena fungsi hutan ini selain mencegah longsor dan banjir, juga sebagai cadangan air tanah yang dapat mencegah kekeringan. Penambangan Terumbu Karang. Sampai saat ini ternyata masih dijumpai masyarakat yang bermata-pencaharian sebagai penambang terumbu karang, walaupun jumlahnya relatif sedikit. Hal ini karena mereka tidak punya pilihan pekerjaan lain dan juga karena masih adanya usaha-usaha pembakaran batu karang menjadi kapur. Selama masih beroperasinya usaha tersebut tentu permintaan terhadap batu karang tidak akan berhenti, dan masyarakat akan terus berpeluang untuk menambang batu karang. Untuk mengatasi hal ini tentu diperlukan tindakan tegas dari aparat pemerintah guna pelarangan usaha pembakaran batu karang dan penambangan batu karang, disertai dengan upaya monitoring atau pengawasan yang terus-menerus. Kerusakan Areal Mangrove. Areal-areal tambak yang dulunya merupakan ekosistem mangrove dan saat ini sudah tidak aktif lagi merupakan kendala yang harus diatasi dengan mengupayakan untuk penanamannya lagi. Program penanaman kembali ini dapat menjadi program desa yang dilakukan bersama-sama kelompok masyarakat, yang tentunya juga melalui proses sosialisasi terlebih dahulu. Penanaman kembali dapat memulihkan abrasi pantai, karena mangrove dapat berperan sebagai pelindung pantai. Hal ini seperti dikemukakan oleh Bengen (2004) bahwa salah satu fungsi ekologis penting dari mangrove adalah sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi serta penahan lumpur dan penangkap sedimen. Perambahan Penyu dan Ikan Hias. Perambahan terhadap fauna laut, terutama penyu dan ikan hias merupakan salah satu kendala yang perlu mendapat perhatian dari aparat setempat, karena sampai saat ini masih dijumpai perdagangannya walaupun dalam skala yang terbatas. Kedua jenis fauna ini merupakan bagian dari keindahan taman bawah laut yang menjadi daya tarik bagi wisatawan, sehingga keberadaannya harus dipertahankan sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan tanpa harus dieksploitasi. Hal ini

dinyatakan oleh Depdagri (2000), bahwa keanekaragaman hayati dan ekosistem yang khas merupakan kekuatan sekaligus nilai jual bagi pengembangan ekowisata. Tumpang Tindih Pemanfaatan Lahan. Kawasan pesisir Sekotong tidak hanya dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata, tetapi di kawasan ini juga terdapat areal budidaya mutiara, budidaya rumput laut dan pertambakan. Berbagai pemanfaatan ini dapat berpeluang menimbulkan konflik bila antar pelaku usaha tidak saling berkoordinasi. Keterlibatan aktif dari pemerintah daerah setempat dan instansi terkait sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman bahwa pemanfaatan ekowisata di kawasan ini tidak akan mengganggu usaha-usaha tersebut, karena kegiatan wisata dalam ekowisata merupakan wisata yang berbasis pada perlindungan lingkungan, sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan pada areal budidaya dan pertambakan. Dengan adanya koordinasi antar pelaku usaha, kegiatan usaha tersebut justru berpeluang sebagai bagian dari kegiatan ekowisata. Wisatawan dapat berwisata sekaligus mengenal bagaimana masyarakat setempat melakukan kegiatan usaha budidaya mutiara, rumput laut dan juga usaha pertambakan. Arahan Pengelolaan Ekowisata di Sekotong Kawasan pesisir Sekotong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, namun sayang secara aktual kawasan ini memiliki nilai ekonomi yang relatif rendah dibandingkan potensi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan permintaan wisatawan ke kawasan tersebut masih sangat sedikit dibandingkan kapasitas daya tampungya. Kawasan ini memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi apabila pengembangan ekowisata di kawasan ini dikelola dengan baik dan benar agar mampu mendatangkan wisatawan sesuai kapasitas daya tampungnya. Beberapa aspek yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan ekowisata di kawasan ini adalah sebagai berikut: Aspek Ekologi. Ekosistem yang dimiliki oleh kawasan pesisir Sekotong memerlukan pengelolaan yang baik agar potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Potensi yang harus tetap terjaga adalah sumber daya alam yang ada di kawasan ini, baik yang ada di darat maupun yang ada di perairan, yang di kawasan daratan maupun yang berada di pulau-pulau kecil. Sumber daya alam tersebut merupakan modal bagi keberlanjutan kegiatan ekowisata di

kawasan ini. Hal ini dinyatakan oleh Adhikerana (2001), bahwa salah satu aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata diantaranya adalah adanya konservasi atau perlindungan terhadap sumberdaya alam. Terumbu karang sebagai primadona bagi daya tarik ekowisata bahari, perlu mendapat penanganan yang lebih lanjut agar kondisinya dapat diperbaiki. Upaya yang dapat dilakukan terutama adalah pemberian sosialisasi pada masyarakat akan arti pentingnya terumbu karang, terutama pada mereka yang kesehariannya memiliki akses bersentuhan dengan terumbu karang. Dari pengamatan di lapangan, umumnya masyarakat awam belum mengerti bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. Mereka tidak menyadari tindakan yang mereka lakukan seharihari sangat merusak ekosistem terumbu karang, misalnya saat mendaratkan perahu atau mencari ikan, mereka dengan sengaja menginjak batu-batu karang tanpa merasa bersalah. Mereka beranggapan terumbu karang adalah benda mati berupa aneka bentuk batu yang ada di laut yang akan muncul terus menerus begitu saja. Rendahnya pemahaman tersebut dapat dimaklumi karena tingkat pendidikan mereka yang umumnya relatif rendah, sehingga diperlukan upaya penyadaran-penyadaran yang lebih aktif, baik oleh aparat setempat maupun oleh pihak swasta yang memiliki usaha wisata di kawasan ini, karena keberlanjutan usaha mereka bergantung pada wisatawan yang ingin menikmati terumbu karang di kawasan ini. Depdagri (2000) menyatakan bahwa dalam rangka pengembangan kualitas SDM pelaksana kegiatan ekowisata, diperlukan peningkatan pendidikan, misalnya melalui pelatihan-pelatihan. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang yang rusak adalah dengan transplantasi karang. Aparat setempat dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang menangani tentang transplantasi karang ini, untuk kemudian mengajak masyarakat dan pengusaha wisata setempat secara bersama-sama mengupayakan transplantasi karang tersebut. Dengan upaya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan bersama-sama, diharapkan masing-masing pihak merasa memiliki sehingga mempunyai tanggungjawab akan keberadaan kondisi terumbu karang yang ada. Potensi sumberdaya alam lain yang perlu dijaga keberadaannya adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini dapat menjadi salah satu daya tarik wisata selain terumbu karang. Terutama untuk ekowisata, keberadaan

ekosistem mangrove dapat sebagai salah satu bentuk wisata edukasi, yang sasaran pasarnya adalah wisatawan dari kalangan pelajar atau mahasiswa. Hal ini seperti dinyatakan oleh Simbolon (1991) dalam Yahya (1999) bahwa manfaat hutan mangrove secara tidak langsung adalah sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Keberadaan sumberdaya hutan yang ada di wilayah daratan, yaitu di TWA Bangko-Bangko juga harus terus dijaga dari perambahan hutan, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai penyedia air tawar di kawasan ini dan juga sebagai pelindung dari bahaya erosi mengingat kawasan ini terdiri dari bukit-bukit. Hutan yang gundul tidak hanya berbahaya karena dapat menyebabkan tanah longsor, tetapi juga dapat menimbulkan sedimentasi di wilayah perairan, yang tentunya hal ini berpengaruh pada kehidupan ekosistem di laut, terutama bagi ekosistem terumbu karang yang sangat peka terhadap kekeruhan. Pulau-pulau kecil yang ada di kawasan ini juga harus dijaga kealamian dan kebersihannya agar dapat selalu menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Pembangunan sarana akomodasi sebaiknya tidak terlalu berlebihan, tetapi diutamakan dengan pembangunan yang sederhana namun nyaman. Depdagri (2000) mengemukakan bahwa low invest-high value merupakan konsep dalam pengembangan sarana akomodasi ekowisata, yaitu dengan menggunakan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ukuran pulau yang relatif kecil, dimana bila sarana akomodasi yang dibangun berlebihan akan menganggu daya dukung alami pulau tersebut. Seperti dikemukakan oleh Soemarwoto (1997), bahwa perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan wisata itu. Kegiatan ekowisata di kawasan Sekotong harus mengutamakan aspek ekologi, karena obyek yang ditawarkan berupa kekayaan sumber daya alam pesisir. Kegiatan ekowisata di kawasan ini keberlanjutannya sangat bergantung pada kondisi sumberdaya alamnya. Bila sumberdaya alamnya terus terpelihara maka kegiatan ekowisata di kawasan Sekotong ini dapat terus berkesinambungan. Seperti dinyatakan oleh JC. Isaacs (2000), bahwa dalam mempromosikan ekowisata sebenarnya harus lebih mengutamakan tentang perlindungan lingkungan.

Aspek Ekonomi. Kegiatan ekowisata di kawasan Sekotong diharapkan dapat memberikan multiplier efect pada masyarakat secara meluas, tidak hanya dari kalangan pengusaha wisata tetapi juga pada masyarakat setempat. Adanya ekowisata di kawasan ini dapat membuka peluang usaha dan peluang tenaga kerja bagi masyarakat setempat. Peluang ini muncul karena adanya permintaan wisatawan, dimana kedatangan wisatawan ke kawasan Sekotong akan membuka peluang kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, misalnya menjadi pengusaha penginapan, homestay, restoran, warung, pedagang asongan, atau penyedia fasilitas wisata lainnya. Peluang usaha tersebut dapat memberikan kesempatan pada masyarakat lainnya untuk bekerja, sehingga dapat menambah pendapatan guna mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Hal ini dinyatakan oleh Kusumastanto (2003), bahwa berkembangnya wisata dalam suatu kawasan pesisir dan sekitarnya akan mampu memberikan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakatnya. Inilah yang nantinya mampu membantu upaya pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir dan penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Namun demikian, perlu adanya upaya guna mewujudkan keterlibatan masyarakat agar dapat secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di kawasan ekowisata Sekotong. Hal ini karena adanya kendala pada masyarakat, yaitu keterbatasan modal dan keterbatasan ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat. Adanya keterbatasan modal pada masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian bantuan pinjaman lunak. Pemerintah dapat memfasilitasi dengan mempermudah akses pada bank-bank pemerintah atau lembaga keuangan yang ada. Pemberian pinjaman tersebut akan lebih efektif bila diberikan melalui kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini agar mempermudah dalam mempertanggungjawabkan penggunaannya, dimana kelompok yang akan bertanggungjawab dalam mengelola sesuai dengan keinginan anggotanya. Pemberian melalui kelompok juga akan mempercepat proses meluasnya keterlibatan masyarakat, dan mempermudah pemantauannya bagi pihak pemberi bantuan. Sedangkan keterbatasan ketrampilan dapat diatasi dengan pelatihan usaha-usaha produktif yang bermanfaat, dalam arti dapat dijual di kawasan ekowisata, misalnya pelatihan pembuatan cindera mata atau makanan khas daerah setempat. Di bidang jasa, misalnya pelatihan pemandu wisata atau

pelatihan kesenian daerah setempat yang dapat dijual sebagai salah satu atraksi ekowisata di kawasan ini. Dengan meningkatnya ketrampilan masyarakat diharapkan akan membuka peluang usaha bagi masyarakat setempat. Dengan berkembangnya ekowisata yang berkelanjutan di kawasan ini, secara makro, dapat berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi setempat yang cepat, baik dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, maupun mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya, seperti kerajinan cinderamata, penginapan, transport dan jasa wisata lainnya. Menurut Nugroho (2004), semakin baik pengemasan ekowisata yang didukung lingkungan kebijakan yang baik, akan menghasilkan manfaat multiplier yang semakin besar bagi penduduknya. Aspek Sosial. Kegiatan ekowisata di kawasan peisir Sekotong dapat memberikan pengaruh yang posistif dan juga negatif pada masyarakat setempat. Pengaruh positif yang dapat terjadi adalah meningkatnya kesadaran masyarakat untuk ikut memelihara lingkungan dan sumberdaya alam yang menjadi potensi ekowisata di kawasan ini. Sedangkan pengaruh negatif yang mungkin muncul adalah adanya pengaruh budaya wisatawan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat setempat. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan dukungan dari pengusaha wisata setempat guna menciptakan suasana kegiatan wisata yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat setempat. Dengan terciptanya kondisi wisata yang tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat setempat, maka kegiatan ekowisata di kawasan Sekotong ini dapat berlangsung dengan aman dan nyaman. Kondisi ini seperti dikemukakan oleh Nugroho (2004), bahwa sektor ekowisata mempertemukan dua atau lebih kultur yang berbeda antara wisatawan dan masyarakat setempat. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga dari kultur lokal, sementara penduduk lokal memperoleh proses edukasi perihal lingkungan spesifik lokal, disamping mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut harus dapat dipelihara dengan dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi beroperasinya sektor swasta dan dukungan dari lembaga swadaya masyarakat serta akademisi. Aspek Manajemen. Keberlanjutan kegiatan ekowisata di kawasan Sekotong, selain bergantung pada potensi sumber daya alam, juga dipengaruhi oleh aspek manajemennya. Dalam pengelolaan ekowisata harus benar-benar

dapat menyeimbangkan antara faktor ekonomi dan faktor ekologi yang berbasis pada perlindungan lingkungan. Selain itu juga harus mempertimbangkan faktor pemasarannya, karena keberlanjutan dari kegiatan ekowisata tergantung dari ada tidaknya wisatawan yang berkunjung. Minat wisatawan ekowisata cenderung dari kalangan tertentu, untuk itu sebaiknya dikemas dalam kegiatan paket wisata yang menarik, yang memberi kesempatan pada wisatawan untuk mengunjungi semua obyek wisata yang mungkin ada di daerah ini. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan biro-biro perjalanan dalam penyediaan paket wisata, disertai pemandu wisata yang benarbenar paham tentang daerah yang dipandu. Selama ini sering terjadi wisatawan yang datang melalui biro-biro perjalanan hanya didampingi oleh sopir sekaligus merangkap sebagai pemandu wisatanya sehingga tidak dapat menunjukkan dengan tepat lokasi-lokasi objek wisata yang baik. Hal ini dapat memberikan kekecewaan pada wisatawan karena apa yang diharapkan di lokasi wisata tidak dapat dinikmatinya, hanya karena masalah pemandu wisata yang tidak profesional. Seperti dinyatakan oleh Adhikerana (2001), bahwa tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk-beluk ekosistem kawasan merupakan salah satu aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata. Dalam penanganan masalah musim kunjungan, pihak manajemen harus memahami musim-musim apa saja saat wisatawan ramai dan saat sepi. Agar kunjungan wisatawan dapat berlangsung sepanjang tahun, diperlukan strategistrategi pemasaran tertentu. Agar pemasaran lebih luas sebaiknya promosi dilakukan melalui berbagai media, baik media cetak seperti brosur dan majalah, maupun media elektronik melalui radio, televisi dan juga internet. Untuk promosi pada wisatawan mancanegara sebaiknya dilakukan berdasarkan musim yang terjadi di negaranya, misalnya promosi pada wisatawan dari Australia atau New Zealand untuk berkunjung pada bulan Juni sampai Agustus, di mana pada bulan-bulan tersebut di negara mereka adalah saat libur musim dingin dan biasanya mereka mencari negara-negara tropik yang hangat. Sebaliknya untuk negara eropa musim dingin saat bulan Desember sampai Pebruari, sehingga promosi pada negara-negara eropa baik dilakukan pada bulan-bulan tersebut. Untuk bulan bulan lainnya, saat kunjungan wisatawan mancanegara sedikit, maka perlu promosi pada wisatawan domestik, terutama yang berada di Pulau Lombok.

Dalam manajemen ekowisata di kawasan Sekotong harus dapat memadukan kegiatan-kegiatan yang disukai oleh wisatawan dengan sarana penunjang kegiatan tersebut, menetapkan tujuan objek wisata yang sesuai dengan minat wisatawan, menyiapkan akomodasi hingga mengoptimalkan pemasaran produk-produk wisata. Aspek Kelembagaan. Aspek kelembagaan merupakan bagian dari aspek sosial, dimana bukan hanya mengidentifikasi stakeholder tetapi juga mengorganisasikannya sehingga menghasilkan manfaat yang optimal bagi masing-masing stakeholder. Stakeholder dalam sektor ekowisata meliputi siapapun yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sektor ekowisata. Mereka adalah masyarakat setempat, pemerintah, pelaku usaha, dan kelompok swadaya masyarakat (LSM atau yang sejenis). Koordinasi dari berbagai pihak, baik pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat setempat perlu dilakukan untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan Sekotong. Menurut Nugroho (2004), pada sistem menejemen ekowisata yang telah baik, networking diantara stakeholder telah demikian komplek dan canggih, juga didukung oleh sistem bisnis yang modern dan terintegrasi. Seorang calon wisatawan dapat menemukan informasi sekaligus memverifikasinya dari berbagai sumber tentang suatu tujuan wisata sehingga ia dapat mengakses moda transportasi, jenis akomodasi, dan informasi jadwal kunjungan. Hal ini dapat diterapkan dalam pengembangan ekowisata di Sekotong, namun tentunya akan dibutuhkan upaya-upaya koordinasi yang maksimal antara berbagai pihak, dan masing-masing pihak harus mempunyai persepsi yang sama tentang arah pengembangan ekowisata di Sekotong. Pemerintah memiliki peran strategis dalam mengembangkan kebijakan sektor ekowisata dan penunjangnya. Kebijakan ini dapat berupa kebijakan fiskal, moneter atau kebijakan khusus pengembangan wilayah ekowisata di kawasan ini. Selaku pembuat kebijakan, pihak pemerintah perlu membuat kebijakankebijakan yang dapat memacu pertumbuhan investor ke daerah ini. Misalnya untuk menarik investor, pemerintah perlu membuat kebijakan yang agak longgar secara ekonomi, namun secara ekologi harus lebih diutamakan. Pemerintah juga harus selalu melibatkan masyarakat dan pihak swasta dalam setiap program yang mendukung kegiatan ekowisata di kawasan ini, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai dengan evaluasi dari kegiatan tersebut. Dengan keterlibatan secara aktif dari masyarakat dan pihak swasta selaku pelaku utama dalam kegiatan ekowisata di kawasan ini, diharapkan ekowisata di Sekotong dapat berkelanjutan, baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kawasan pesisir Sekotong memiliki perairan dengan kondisi: kecerahan 6-12 meter, kedalaman 1-18 meter dan kecepatan arus 0,06-0,12 meter; kondisi penutupan terumbu karang berkisar antara 25% 80%, dengan lifeform antara lain terdiri dari Acrophora tabulate, Acrophora branching, Acrophora encrusting, Acrophora digitate, coral massive dan coral foliose, serta memiliki ikan karang yang cukup beragam, yaitu lebih dari 10 jenis. Pada perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang dengan kondisi sedang dan baik dapat dikembangkan untuk aktivitas diving dan snorkeling. Sedangkan perairan yang ekosistem terumbu karangnya kurang baik, dapat dikembangkan untuk aktivitas wisata bahari lainnya, seperti wisata pemancingan, ski air, berperahu (sailing dan boating), selancar dan lain-lain. Luas kawasan ekowisata di Sekotong yang sesuai untuk wisata bahari adalah 126,42 ha. Pantai di kawasan pesisir Sekotong yang landai dan berpasir putih dengan penutupan lahan berupa semak rendah dan pohon kelapa dapat digunakan untuk kegiatan wisata pantai. Luas kawasan ekowisata yang sangat sesuai untuk wisata pantai adalah 666,164 ha. Pada pantai yang memiliki ekosistem mangrove dapat dikembangkan alternatif kegiatan ekowisata yang lain, misalnya cannoeing, bird watching dan wisata edukasi. 2. Daya tampung wisatawan untuk kegiatan ekowisata di Sekotong adalah 864 sampai 1728 orang per- hari atau dalam setahun adalah sebanyak 250.560 sampai 501.120 HOW (Hari Orang Wisata). Jumlah tersebut merupakan kondisi supply bagi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong. 3. Permintaan wisatawan ke kawasan pesisir Sekotong lebih banyak dari kalangan wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Nilai ekonomi kawasan ekowisata Sekotong melalui metode travel cost (TCM) adalah sebesar Rp 610.120,60 sedangkan melalui metode contingent value (CVM) adalah sebesar Rp 30.311.181,00. Nilai yang diperoleh

melalui TCM merupakan nilai riil berdasarkan data jumlah wisatawan yang datang ke kawasan ini pada tahun 2005. Sedangkan nilai yang diperoleh melalui CVM menggambarkan nilai potensi yang dapat diperoleh dari pengembangan ekowisata di kawasan ini. Apabila daya tampung wisatawan di kawasan ekowisata Sekotong per-tahun dapat terpenuhi, maka nilai ekonomi kawasan tersebut adalah sebesar Rp 35.681.616,00 sampai Rp 71.690.587,00. 4. Masyarakat dan pengusaha akomodasi merupakan stakeholder utama, yaitu sebagai pelaku dan pemanfaat dari kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong ini. Sedangkan stakeholder kunci adalah pemerintah daerah setempat, Bappeda NTB dan Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat. Adapun stakeholder sekunder adalah instansi pemerintah lainnya, baik yang berada di kawasan ini, maupun di luar Sekotong, seperti Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan dan BKSDA serta LSM dan akademisi, yang turut berperan sebagai pendukung kegiatan ekowisata di kawasan ini. Kegiatan ekowisata di kawasan ekowisata Sekotong memberikan peluang keterlibatan pada stakeholder utama, baik berupa peluang untuk terlibat dalam setiap program yang berkaitan dengan kegiatan ekowisata maupun peluang lapangan usaha, baik sebagai pekerja maupun pengelola usaha, seperti jasa: penginapan, transportasi, pemandu wisata, penyewaan peralatan wisata, pembuatan dan penjualan kerajinan tangan, kesenian daerah, penjual makanan dan sebagainya. 5. Kawasan pesisir Sekotong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, namun secara aktual kawasan ini memiliki nilai ekonomi yang relatif rendah dibandingkan potensi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan permintaan wisatawan ke kawasan tersebut masih sangat sedikit dibandingkan kapasitas daya tampungnya. Kawasan ini memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi apabila pengembangan ekowisata di kawasan ini dikelola dengan baik dan benar, sehingga mampu mendatangkan wisatawan sesuai kapasitas daya tampungnya. Pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong harus terintegrasi dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, manajemen dan kelembagaan.

Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka disarankan: 1. Perlu dilakukan pengamatan secara insitu terhadap ekosistem mangrove dan ikan karang, karena kurang tersedianya data ekosistem mangrove dan ikan karang di kawasan ini. 2. Perlu dilakukan metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang lebih akurat, misalnya melalui transek kuadran. 3. Perlu dilakukan kajian ketersediaan air tanah di kawasan ini, agar dapat ditentukan daya tampung wisatawan berdasarkan ketersediaan air tanah yang riil di kawasan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Kecamatan Sekotong dalam Angka Tahun 2003. Mataram: BPS Propinsi NTB.. 2005. Database Pariwisata Lombok Barat Tahun 2005. Mataram: Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat. Agrusa JF, Guidry J (1999). Ecotourism and Sustainable Development of The Maya Rain Forest in Central America. First Pan-American Conference. http://www.hotel.online.com/trends/panama.proceeding.may1999/ecotour. Maya.html [1 Pebruari 2006]. Adhikerana AS. 2001. Ekowisata di Indonesia: Antara Angan-angan dan Kenyataan. Makalah Seminar Pengembangan Industri Pariwisata di Indonesia. Bandung: ITB. Arsyad A. 1999. Zonasi dalam Rencana Pengelolaan Patriwisata Pesisir yang Berkelanjutan di Kawasan Batam, Rempang dan Galang Propinsi Riau. [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Adrianto L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Bogor: PKSPL IPB. Bachtiar I, Karnan, Santoso D. 2003. Status Terumbu Karang di Gili Amben, Gili Poh dan Gili Anyaran, Kabupaten Lombok Barat. Mataram: Jurnal Penelitian Universitas Mataram (Edisi Sains dan Teknologi) 3(2):1-9. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi dan Survei Pemetaan Nasional. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang Nusa Tenggara Timur. Cibinong: Pusbina-Inderasig. Bakosurtanal. [Bappeda NTB] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah NTB. 2000. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Laporan Akhir. Mataram: Kerjasama Bappeda NTB dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisirdan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Boo E. 1992. Pelaksanaan Ekoturisme untuk Kawasan-Kawasan yang Dilindungi. Di dalam: Lindberg K, Hawkins DE, editors. 1993. Ecotourism. A Guide For Planners and Managers. North Bennington: The Ecotourism Society. Penerjemah: Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alami Mitra Indonesia. [BKSDA NTB] Balai Konservasi Sumberdaya Alam NTB. 1999. Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam Bangko-Bangko. Mataram: Proyek Pengembangan Kawasan Konservasi Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Cater E, Lowman G. 1994. Ecotourism: A Sustainable Option? Chichester, UK: John Wiley & Sons. Ceballos-Lascurain H. 1996. Tourism, Ecotourism, and Protected Areas. Gland, Switzerland: World Conservation Union. Chetwynd E.Jr, Chetwynd JF 2001. A practical Guide to Citizen Participation in Local Government in Romania, RTI. Dahuri R. 1993. Daya Dukung Lingkungan dan Pengembangan Pariwisata Bahari Berkelanjutan. Seminar Nasional Manajemen Kawasan Pesisir untuk ekoturisme dalam Rangka Dies Natalis ke-30 Institut Pertanian Bogor. Bogor: Program Studi Magister Manajemen, IPB. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2000. Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah Direktorat Jendral Pembangunan Daerah. Jakarta: Direktorat Sumberdaya Daerah. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat. 2005. Mataram: Laporan Pengelolaan Terpadu dan Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Laut Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat. [Dirjen] Direktorat Jenderal Pariwisata. 1990. Undang-undang Kepariwisataan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pariwisata. [DJPKA] Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. 2000. Penerapan Ekowisata Dipandang dari Sudut Kebijakan Otonomi Daerah dan Konservasi Alam. Makalah pada Dialog Nasional Ekowisata. Jakarta. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resource. Townsville: Australian Intitute of Marine Science. Fandelli C. Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fitriani L. 2004. Kajian Pengembangan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil Kawasan Bungus Teluk Kabung Kota Padang [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Fennel DA. 1999. Ecotourism, An Introduction. London: Routledge. Gaspersz V. 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gomes ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition in Coral Reefs Management Hand Book. Second Edition. Kenchngton RA and Hudson

Brydget ET, editors. Jakarta: Unesco Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Grigalunas, Johnston, Opaluch. 1998. Natural Resource Damage Assessment Manual for Tropical Ecosystems. International Maritim Organization. Huttche CM, White AT, Flores MM. 2002. Sustainable Coastal Tourism Handbook for the Philippines. Cebu City. Philippine. Isaacs JC. 2000. The limited potential of ecotourism to contribute to wildlife conservation. Wildlife Society Bulletin [Wildl. Soc. Bull.]. Vol. 28, no. 1, pp. 61-69. http://www.multilingual matters.net. [18 Pebruari 2006]. Kusumastanto T. 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.. 2000. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lindberg K, Hawkins DE, editors. 1993. Ekoturisme. Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelola. Penerjemah: Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alami Mitra Indonesia. Terjemahan dari: Ecotourism. A Guide For Planners and Managers. North Bennington :The Ecotourism Society. Maryadi D. 2003. Peluang Pengembangan Ekowisata di Kawasan Rawa Danau dan sekitarnya, Kabupaten Serang, Propinsi Banten [Disertasi]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Nugroho I. 2004. Buku Ajar Ecotourism. Malang:Program Studi Agribisnis Universitas Widyagama. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan dari: Marine Biology: an Ecologycal Approach. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ongkosongo 1988. The Seribu Coral Reef. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Reksohadiprodjo S, Brodjonegoro ABP. 1992. Ekonomi Lingkungan: Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPEE. Soemarwoto O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Soeratno, Arsyad L. 1993. Metodelogi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: YKPN. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan. Sunarto. 1998. Perencanaan dan Pengembangan Wisata Sungai, Danau dan Pantai. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [TIES]. The International Ecotourism Society. Definition and Ecotourism Principles.1995. http://www.ecotourism.org [30 Januari 2006]. Wall G. 1997. Is Ecotourism sustainable? Environmental Management [ENVIRON. MANAGE.]. Vol. 21, no. 4, pp. 483-491. Jul-Aug 1997. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. [30 Januari 2006]. Western D. 1993. Memberi Batasan tentang Ekoturisme. Ekoturisme: Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelola. Di dalam: Lindberg K, Hawkins DE, editors. 1993. Ecotourism. A Guide For Planners and Managers. North Bennington: The Ecotourism Society. Penerjemah: Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alami Mitra Indonesia. Wight P, Pam W and Associated. 1997. Ecotourism Balancing Sustainability and Profitability. A paper presented at an Internatonal Conference on Central and Eastern Europe and Baltic Region. 22 23 September 1997. Parnu, Estonia. Canada. http://www.multilingual matters.net. [8 Januari 2006]. White AT and Cruz-Trinidad A. 1998. The Values of Phlippine Coastal Resource: Why Protection and Management are Critical. Coastal Resource Management Project. Cebu City, Philippines. 96 p. http://www.multilingual matters.net. [8 Januari 2006]. Wood ME. 2002. Ecotourism: Principles, Practices & Policies for Sustainability, UNEP. http://www.ncbi.nlm. [20 Juli 2006]. Yahya PR. 1999. Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan Mangrove Yang Berkelanjutan di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Yoeti OA. 1990. Pemasaran Wisata. Bandung: Angkasa. Zwim M, Pinsky M and Rahr G. 2005. Angling Ecotourism: Issues, Guidelines and Experience. Journal of Ecotourism Vol. 4 No. 1, 2005. Wild Salmon Center, Portland. USA. http://www.ncbi.nlm. [6 Pebruari 2006].

LAMPIRAN

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta administrasi Kecamatan Sekotong

Lampiran 2 Hasil identifikasi sumberdaya alam di pesisir Sekotong Tabel 1 Kondisi pulau-pulau kecil di lokasi penelitian Nama Pulau Desa Gili Nanggu Gili Tangkong Gili Sudak Gili Gedis Sekotong Barat Sekotong Barat Sekotong Barat Sekotong Barat Deskripsi singkat kondisi pulau Vegetasi rumput, semak, pepohonan. Pasir putih, tidak ada pemukiman, ada satu cottage. Banyak burung, ada penangkaran penyu sisik. Vegetasi rumput, semak, kaktus, pepohonan. Pasir putih, ada beberapa rumah penjaga karamba. Vegetasi rumput, semak, pepohonan. Banyak burung. Pasir putih, tidak ada pemukiman tapi ada base camp budidaya mutiara. Sangat kecil, vegetasi semaksemak, pasir putih, tidak berpenghuni. Pengamatan terumbu karang Terumbu karang di bagian sisi utara dan timur pulau dalam kondisi sedang dan baik. Banyak ikan hias. Terumbu karang rusak dalam bentuk bongkahan karang mati yang besarbesar, banyak ikan karang komersil, hanya sedikit terumbu karang dalam kondisi baik, yaitu di bagian sisi selatan pulau. Terumbu karang di bagian sisi tenggara pulau dalam kondisi sedang. Terumbu karang dalam kondisi baik, di sisi timur laut sampai barat daya. Potensi Wisata Berperahu, berjemur, berenang, snorkeling snorkeling, pemancingan. Berperahu, snorkeling Berperahu, snorkeling, Gili Genting/ Gili Penyu Sekotong Barat Bentuk seperti penyu, berukuran kecil, vegetasi semak-semak dan rerumputan, tidak berpenghuni, menyatu dengan daratan saat surut terendah. Berupa batuan terjal. Terumbu karang dalam kondisi sedang, berada di sisi barat dan timur sepanjang elaq-elaq. Panjat tebing, snorkeling.

Lanjutan Gili Amben Sekotong Barat Vegetasi berupa semak-semak, rumput dan pepohonan, tidak berpenghuni. Kondisi terumbu karang jelek sampai sedang*. Rataan terumbu luas ketika surut, berupa sand dune. Berjemur, berenang, snorkeling. Gili Poh Gili Lontar Gili Anyaran Gili Gede Sekotong Barat Sekotong Barat Vegetasi berupa semak-semak, rumput dan pepohonan, tidak berpenghuni. Terpencil, jauh dari mainland, pasir putih. Vegetasi semak, rerumputan, sedikit kelapa dan pepohonan, berpasir putih. Pelangan Tidak ada vegetasi, tidak berpenghuni, tenggelam pada saat pasang tertinggi. Pelangan Vegetasi semak, rerumputan, kelapa dan pepohonan, ada pemukiman, ada bakau, sebagian pantai berpasir kelabu dan berbatu, sebagian berpasir putih. Kondisi terumbu karang sedang sampai baik*. Terumbu karang dalam kondisi baik. Terumbu karang dalam kondisi sedang, hanya di bagian sisi utara pulau dalam kondisi baik*. Terumbu karang dalam kondisi jelek sampai sedang*. Berjemur, snorkeling, diving. Berjemur, snorkeling, Snorkeling, diving. Tidak dapat untuk wisata pantai. Pemancingan, snorkeling, wisata budaya, wisata edukasi, canoeing. Gili Layar Pelangan Vegetasi semak, rerumputan, sedikit kelapa dan pepohonan. Ada beberapa rumah penduduk. Terumbu karang dalam kondisi jelek sampai sedang*. Snorkeling Gili Rengit Pelangan Vegetasi semak rerumputan, sedikit kelapa dan pepohonan, tidak berpenghuni Terumbu karang dalam kondisi sedang sampai baik. Banyak ikan hias. snorkeling, diving.

Lanjutan Gili Goleng Batu Putih Vegetasi rerumputan, semak dan sedikit pohon kelapa. Terumbu karang dalam kondisi jelek*. Banyak ikan komersil. Pemancingan Gili Asahan Batu Putih Sumber : Data Primer (2006) * Bachtiar et al., (2003). Vegetasi semak, rerumputan, sedikit kelapa dan pepohonan, ada sedikit pemukiman dan base camp mutiara, ada sedikit bakau, pantai berpasir kasar putih, sebagian berbatu. Terumbu karang dalam kondisi jelek*. Banyak ikan komersil. Pemancingan. Tabel 2 Kondisi terumbu karang di Gili Amben, Poh dan Anyaran Lokasi reef Kedalaman (m) Kondisi Amben 3 10 26% - 50% <25% Poh 3 10 26% - 50% 26% - 50% Anyaran 3 10 Sumber: Bachtiar et al. (2003) 37% 27% Tabel 3 Kondisi terumbu karang dengan manta tow di Desa Sekotong Barat Lokasi Reef Gili Sudak Gili Tangkong Gili Nanggu Gili Poh Gili Amben Gili Genting Gili Lontar Jumlah Tow 14 12 11 6 9 9 7 Median karang hidup <10% 11-30% <10% 11-30% 11-30% <10% <10% Median karang lunak <10% <10% <10% <10% <10% <10% <10% Sumber : Bachtiar et al. (2000) dalam DKP Lobar (2004) Median karang mati <10% <10% <10% <10% <10% <10% <10% Median ikan (ekor) <50 501-5000 501-5000 51-500 501-5000 501-5000 <50

Tabel 4 Kondisi terumbu karang dengan manta tow di Desa Pelangan Lokasi Reef Gili Asahan Gili Goleng Gili Layar Gili Rengit Gili Anyaran Gili Gede Jumlah tow 23 6 19 10 10 38 Median karang hidup <10% <10% 11-30% <10% <10% 11-30% Median karang lunak <10% <10% <10% <10% <10% <10% Median karang mati <10% <10% <10% <10% <10% <10% Sumber : Bachtiar et al. (2000) dalam DKP Lobar (2004) Median ikan (ekor) 51-500 51-500 <50 501-5000 51-500 <50 Tabel 5 Jenis ikan hias di perairan Sekotong Famili Nama Umum Nama Species Acanthuridae Acanthuridae Acanthuridae Acanthuridae Acanthuridae Acanthuridae Balistidae Balistidae Balistidae Caesionidae Haemulidae Holocentridae Holocentridae Labridae Labridae Lutjanidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Achiles tang Striped surgeonfish Whitecheeck surgeonfish Orangespine unicornfish Moorish idol Yellow tang Clown trigger fish Foxface Whitebarred trigerfish Lunar fusiler Many spotted sweetlips Sargassum anglerfish Sabre squirrelfish Moon wrasse Spoted wrasse Red emperor Brown barredgrouper Leopard grouper Scalefin anthias Sixspot grouper Squarespot anthias Threadfin anthias Trout grouper Sumber : Data primer (2006) Acanthurus achiles Acanthurus lineatus Acanthurus nigricans Naso lituratus Zanclus cornutus Zebrasoma lunare Balistoides conspicillum Siganus vulpines Rhinecanthus aculeatur Caesio lunaris Plectorhichus chaetodontoides Histrio histrio Sargocentro spiniferum Thalassoma lunare Anampses meleagrides Lutjans sebae Cephelopholis boenak Cephelopholis leopardus Pseudanthias squamipinnis Cephelopholis sexmaculata Pseudanthias pleurataenia Nemanthias carberryi Epinephelus maculatus

Bangau Biru Laut Cerucuk Cucak Kutilang Dara Laut Emprit Gereja Gelatik Kacamata Kowak Kipasan Raja Udang Tekukur Walet Tabel 6 Jenis burung di kawasan pesisir Sekotong Nama Indonesia Sumber : Data primer (2006); BKSDA NTB (1999) Nama Latin Ciconia episcopus Limosa lapponica Picnonotus analis Pycnonotus aurigaster Sterna bengalensis Munia leucogaster Passer montanus Parus Major Zosterops palpebrosus Nycticorax caledonicus Rhipidura javanica Alcedo coerulescens Streptopelia chinensis Collocalia esculentalinchi

Lampiran 3 Hasil pengamatan terumbu karang (% penutupan karang) Stasiun Posisi ACT ACB ACD ACE CB CE CF CM CMR 3 HC SC DC DCA R S Nanggu I 08.42 55.27 LS; 3m 116.0 28.12 BT 34,0 13,4 3,2 - - - - 5,4-56,0 14,0-19,6 6,4 4,0 Nanggu I 08.42 55.27 LS; 10m 116.0 28.12 BT 11,2 6,4 - - - - 2,6 4,8-25,0 5,0-60,0 7,0 3,0 Nanggu II 08.43.1.48 LS; 3m 116.0 38.17 BT 22,0 9,6 2,4 - - - - 11,0-45,0 8,0-26,6 18,4 2,0 Nanggu II 08.43.1.48 LS; 10m 116.0 38.17 BT 14,2 9,5 - - - - 2,1 8,2-34,0 5,0-40,0 4,0 17,0 Tangkong 08.43.29.15 LS; 3m 116.0 59.78 BT 14,6 8,2-7,0 - - - 10,2-40,0 2,0 20,0 15,0 8,0 15,0 Tangkong 08.43.29.15 LS; 10 116.0 59.78 BT 11,3 5,2-2,8 - - - 10,7-30,0 8,0-40,0 12,0 10,0 Sudak 08.43.22.05 LS; 3m 116.1 24.41 BT 4,8 15,2 2,8-14,7 6,2 3,6-2,7 50,0 15,0-30,0 2,0 3,0 Sudak 08.43.22.05 LS; 10m 116.1 24.41 BT 7,2 19,5 - - - - 2,2 8,1-37,0 10,0-30,0 5,0 18,0 Rengit 08.42.47.08 LS; 10m 115.54 45.52 BT 36,6 13,7 10,6 - - 5,8 4,8 8,5-80,0 7,0-5,0 3,0 5,0 Keterangan : ACT : Acrophora Tabulate SC : Soft Coral ACB : Acrophora Branching DC : Dead Coral ACD : Acrophora Digitate DCA : Dead Coral with Algae ACE : Acrophora Encrusting R : Rubble CB : Coral Branching S : Sand CE : Coral Encrusting CE : Coral Foliose CM : Coral Massive CMR : Coral Mushroom HC : Hard Coral 102

Lampiran 4 Interval nilai kelas kesesuaian kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari Interval nilai dalam penentuan kategori kelas kesesuaian kawasan ekowisata ditentukan dengan menghitung lebar kelasnya, yaitu dengan rumus berikut: Lebar kelas = Nilai maksimum Nilai minimum. 2 Kemudian ditentukan nilai limit dari kelas tersebut, dengan rumus: = Nilai minimum + Lebar kelas. (i) Interval nilai kelas sangat sesuai (S1) : - Total nilai kelas sangat sesuai = 400 - Total nilai kelas sesuai = 300 - Lebar kelas = (400-300)/ 2 = 50 - Nilai limit kelas S1 = 300 + 50 = 350 - Jadi interval nilai kelas S1 = 350-400 (ii) Interval nilai kelas sesuai (S2) : - Total nilai kelas sesuai = 300 - Total nilai kelas sesuai bersyarat = 200 - Lebar kelas = (300-200)/ 2 = 50 - Nilai limit kelas S2 = 200 + 50 = 250 - Jadi interval nilai kelas S2 = 250-349 (iii) Interval nilai kelas sesuai bersyarat (S3): - Total nilai kelas sesuai bersyarat = 200 - Total nilai kelas tidak sesuai = 100 - Lebar kelas = (200-100)/ 2 = 50 - Nilai limit kelas S3 = 100 + 50 = 150 - Jadi interval nilai kelas S3 = 150-249 (iv) Interval nilai kelas tidak sesuai (N) = < 149

Lampiran 5 Identifikasi parameter kesesuaian wisata pantai di pulau-pulau kecil Sekotong Nama Pulau kecil (Gili) Tipe pantai Penutupan lahan pantai Nanggu Berpasir, landai - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar Tangkong Sudak Gedis Genting/Penyu - Berpasir, landai - Berpasir, sedikit terjal (di sisi timur laut) - Berpasir, landai - Berpasir, sedikit karang Berpasir, landai (kadang sbgian tenggelam) - Berpasir, landai - Karang, terjal - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar - Pantai pasir - Semak belukar - Pantai pasir - Lahan terbuka Material dasar perairan Kecerahan perairan (m) Kecepatan arus (cm/det) - Pasir 10-12 0.098 0.105 0.105 0.112 Kedalaman perairan (m) 1-7 7-12 - Pasir 10-12 0.098 0.105 1 7 7-12 - Pasir - Karang berpasir Ketersediaan air tawar Tidak tersedia (ada air payau) Tidak tersedia (ada air payau) 10-12 0.098 0.105 7-12 Tidak tersedia (ada air payau) - Pasir 10-12 0.098 0.105 7-12 Tidak tersedia - Pasir 8-10 0.09 0.098 12-18 Tidak tersedia Lontar Berpasir, landai - Pantai pasir - Pasir 8-10 0.09 0.098 7-12 Tidak tersedia - Lahan terbuka Poh Berpasir, landai - Pantai pasir - Pasir 10-12 0.112 0.12 1-7 Tidak tersedia - Semakbelukar Amben Berpasir, landai - Pantai pasir - Pasir 8-10 0.06 0.068 1-7 Tidak tersedia

Lanjutan - Semakbelukar Gede - Berpasir, - Pantai pasir landai - Lumpur - Pasir dan karang - Lahan terbuka - Semak belukar - Bakau - Pemukiman Rengit Berpasir, landai - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar Layar Asahan - Berpasir, landai - Pasir dan karang - Berpasir, landai - Pasir dan karang - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar - Bakau - Pemukiman Goleng Berpasir, landai - Pantai pasir - Lahan terbuka - Semak belukar Sumber: Hasil analisa (2006) - Pasir - Karang berpasir - Lumpur 6-8 0.075 0.083 0.083 0.09 0.090 0.098 0.098 0.105 0.105 0.112 - Pasir 8-10 0 112 0.12 1 7 7-12 - Pasir - Karang berpasir - Pasir - Karang berpasir - lumpur 8-10 0.098 0.105 0.105-0.112 6-8 0.098 0.105 0.09 0.098 7-12 Ada sungai (500m 1km) Ada sungai (500m 1km) 7-12 Ada sungai (500m 1km) 1-7 Ada sungai (500m 1km) - Pasir 6-8 0.09 0.098 1-7 Tidak tersedia

Lampiran 6 Identifikasi parameter kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Sekotong Nama Pulau kecil (Gili) Kondisi terumbu karang Kecerahan perairan (m) Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman perairan (m) Nanggu - Sedang (di sisi utara) 10-12 0.098 0.105 1-7 - Buruk (di sisi barat dan selatan) 0.105 0.112 7-12 - Baik (di sisi timur). Tangkong - Sedang (di sisi barat daya, timur dan timur laut) - Baik (di sisi selatan). Sudak - Buruk (di sisi barat - Sedang, di sisi tenggara). Gedis - Baik (di sisi timur laut sampai barat daya) Genting/Penyu - Sedang (di sisi barat dan timur - hampir sepanjang elaq-elaq) Lontar - Baik (di sisi utara, selatan dan timur laut) Poh - Sedang (di sisi utara, barat daya dan barat laut) - Baik (di sisi timur). 10-12 0.098 0.105 1 7 7-12 10-12 0.098 0.105 7-12 10-12 0.098 0.105 7-12 8-10 0.09 0.098 12-18 8-10 0.09 0.098 7-12 10-12 0.112 0.12 1-7 Amben - Sedang ( di sekeliling gili). 8-10 0.06 0.068 1-7 Gede - Sedang (di sisi utara dan timur) 6-8 0.075 0.083 7-12 0.083 0.09 0.09 0.098 0.098 0.105 0.105 0.112 Anyaran - Sedang (di sekeliling gili). 8-10 0.105 0.112 1-7 0.112 0.12 Rengit - Sangat baik (di sisi utara) 8-10 0.112 0.12 1 7 - Buruk (di sisi tenggara). 7-12 Layar - Sedang (di sisi utara) 8-10 0.098 0.105 7-12 - Buruk (di sisi timur dan tenggara). 0.105-0.112 Asahan - Sedang sampai baik (di sisi utara). 6-8 0.098 0.105 1-7 0.09 0.098 Goleng - Tidak ada terumbu karang. 6-8 0.09 0.098 1-7 Sumber : Hasil analisa (2006)

Lampiran 7 Hasil penilaian kesesuaian kawasan untuk wisata pantai Nama pulau kecil (Gili) Tipe pantai Penutupan lahan pantai Kecerahan perairan Material dasar perairan Parameter Kecepatan arus Kedalaman perairan Ketersediaan air tawar S B N S B N S B N S B N S B N S B N S B N Nanggu 4 20 80 3 20 60 1 15 15 4 15 60 2 10 20 4 10 40 1 10 10 285 S2 Tangkong 3 20 60 3 20 60 1 15 15 4 15 60 3 10 30 4 10 40 1 10 10 275 S2 Sudak 3 20 60 3 20 60 1 15 15 3 15 45 3 10 30 4 10 40 1 10 10 260 S2 Gedis 1 20 20 3 20 60 1 15 15 4 15 60 3 10 30 4 10 40 1 10 10 235 S3 Penyu (Genting) 3 20 60 4 20 80 2 15 30 4 15 60 4 10 40 3 10 30 1 10 10 310 S2 Lontar 4 20 80 4 20 80 2 15 30 4 15 60 4 10 40 4 10 40 1 10 10 340 S2 Poh 4 20 80 3 20 60 1 15 15 4 15 60 1 10 10 4 10 40 1 10 10 295 S2 Amben 4 20 80 3 20 60 2 15 30 4 15 60 4 10 40 4 10 40 1 10 10 320 S2 Gede 2 20 40 2 20 40 3 15 45 2 15 30 2 10 20 4 10 40 3 10 30 245 S3 Rengit 4 20 80 3 20 60 2 15 30 4 15 60 1 10 10 4 10 40 3 10 30 310 S2 Layar 3 20 60 3 20 60 2 15 30 3 15 45 2 10 20 4 10 40 3 10 30 285 S2 Asahan 3 20 60 2 20 40 3 15 45 2 15 30 3 10 30 4 10 40 3 10 30 275 S2 Goleng 4 20 80 3 20 60 3 15 45 4 15 60 4 10 40 4 10 40 1 10 10 335 S2 Sumber : Hasil analisa (2006) Keterangan : S : Skor B : Bobot N : Nilai S2 : Sesuai S3 : Sesuai bersyarat Total Nilai Kategori

Lampiran 8 Hasil penilaian kesesuaian kawasan untuk wisata bahari Parameter Nama Pulau kecil (Gili) Kecerahan perairan Tutupan terumbu karang Kecepatan arus Kedalaman perairan Total Nilai Kategori S B N S B N S B N S B N Nanggu 4 40 160 2 30 60 2 20 40 4 10 40 300 S2 Tangkong 4 40 160 2 30 60 3 20 60 4 10 40 320 S2 Sudak 4 40 160 2 30 60 3 20 60 4 10 40 320 S2 Gedis 4 40 160 2 30 60 3 20 60 4 10 40 320 S2 Genting (Penyu) 3 40 120 2 30 60 4 20 80 3 10 30 290 S2 Lontar 3 40 120 3 30 90 4 20 80 4 10 40 330 S2 Poh 4 40 160 3 30 90 1 20 20 4 10 40 310 S2 Amben 3 40 120 2 30 60 4 20 80 4 10 40 300 S2 Gede 2 40 80 2 30 60 2 20 40 4 10 40 320 S2 Anyaran 3 40 120 2 30 60 2 20 40 4 10 40 260 S2 Rengit 3 40 120 3 30 90 1 20 20 4 10 40 270 S2 Layar 3 40 120 2 30 60 2 20 40 4 10 40 260 S2 Asahan 2 40 80 3 30 90 3 20 60 4 10 40 270 S2 Goleng 2 40 80 1 30 30 4 20 80 4 10 40 220 S3 Sumber : Hasil analisa (2006) Keterangan : S : Skor B : Bobot N : Nilai S2 : Sesuai S3 : Sesuai bersyarat 107

Lampiran 9 Data analisa ekonomi Tabel 1 Data wisatawan untuk analisa TCM dan CVM Responden Jumlah kunjungan Biaya Perjalanan Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Ln Kunjungan Ln BP Ln Umur Ln Pendidikan Ln Pekerjaan Ln Pendapatan Nilai WTP 1 6 111,750 2 15 20 1 1.791759469 11.62401951 0.693147181 2.708050201 2.995732274 0 0-5000 2 6 175,000 2 15 20 1 1.791759469 12.07254125 0.693147181 2.708050201 2.995732274 0 0-5000 3 6 146,500 2 9 20 2 1.791759469 11.89478071 0.693147181 2.197224577 2.995732274 0.693147181 5000-10000 4 4 203,500 3 15 10 2 1.386294361 12.22342128 1.098612289 2.708050201 2.302585093 0.693147181 5000-10000 5 2 350,000 3 15 10 2 0.693147181 12.76568843 1.098612289 2.708050201 2.302585093 0.693147181 5000-10000 6 2 280,000 4 16 20 2 0.693147181 12.54254488 1.386294361 2.772588722 2.995732274 0.693147181 5000-10000 7 4 180,100 2 16 20 1 1.386294361 12.10126753 0.693147181 2.772588722 2.995732274 0 0-5000 8 2 305,000 3 16 20 2 0.693147181 12.62806706 1.098612289 2.772588722 2.995732274 0.693147181 5000-10000 9 2 229,500 3 16 20 2 0.693147181 12.34365831 1.098612289 2.772588722 2.995732274 0.693147181 5000-10000 10 12 66,000 2 12 20 1 2.48490665 11.09741002 0.693147181 2.48490665 2.995732274 0 0-5000 11 2 359,500 4 16 20 3 0.693147181 12.79246946 1.386294361 2.772588722 2.995732274 1.098612289 5000-10000 12 2 139,600 2 16 20 1 0.693147181 11.84653647 0.693147181 2.772588722 2.995732274 0 5000-10000 13 8 62,500 5 9 20 1 2.079441542 11.04292184 1.609437912 2.197224577 2.995732274 0 0-5000 14 5 171,500 2 12 20 1 1.609437912 12.05233855 0.693147181 2.48490665 2.995732274 0 5000-10000 15 2 465,000 3 16 20 4 0.693147181 13.04979268 1.098612289 2.772588722 2.995732274 1.386294361 20000-50000 16 1 670,000 5 16 20 5 0 13.41503299 1.609437912 2.772588722 2.995732274 1.609437912 50000-100000 17 2 310,000 5 15 20 4 0.693147181 12.64432758 1.609437912 2.708050201 2.995732274 1.386294361 10000-20000 18 2 1,401,500 5 15 20 4 0.693147181 14.15305365 1.609437912 2.708050201 2.995732274 1.386294361 50000-100000 19 4 405,000 3 16 20 4 1.386294361 12.91164235 1.098612289 2.772588722 2.995732274 1.386294361 10000-20000 20 3 926,500 5 15 20 4 1.098612289 13.73916932 1.609437912 2.708050201 2.995732274 1.386294361 20000-50000 21 2 525,000 5 15 20 4 0.693147181 13.17115354 1.609437912 2.708050201 2.995732274 1.386294361 20000-50000 22 2 1,226,000 3 18 20 5 0.693147181 14.0192674 1.098612289 2.890371758 2.995732274 1.609437912 50000-100000 23 1 2,728,000 4 16 20 4 0 14.8190793 1.386294361 2.772588722 2.995732274 1.386294361 50000-100000 24 2 355,000 4 18 20 5 0.693147181 12.77987307 1.386294361 2.890371758 2.995732274 1.609437912 20000-50000 25 2 910,000 4 16 20 4 0.693147181 13.72119988 1.386294361 2.772588722 2.995732274 1.386294361 20000-50000 26 5 910,000 3 16 20 5 1.609437912 13.72119988 1.098612289 2.772588722 2.995732274 1.609437912 50000-100000 109

Lanjutan Responden Jumlah kunjungan Biaya Perjalanan Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Ln Kunjungan Ln BP Ln Umur Ln Pendidikan Ln Pekerjaan 27 1 1,035,000 4 18 20 5 0 13.84991198 1.386294361 2.890371758 2.995732274 1.609437912 50000-100000 28 2 710,000 4 18 20 5 0.693147181 13.47302025 1.386294361 2.890371758 2.995732274 1.609437912 20000-50000 29 3 390,000 3 16 10 4 1.098612289 12.87390202 1.098612289 2.772588722 2.302585093 1.386294361 10000-20000 30 3 295,000 5 12 20 4 1.098612289 12.59473064 1.609437912 2.48490665 2.995732274 1.386294361 10000-20000 31 1 410,000 3 16 10 4 0 12.92391244 1.098612289 2.772588722 2.302585093 1.386294361 10000-20000 32 2 340,000 4 16 10 4 0.693147181 12.7367009 1.386294361 2.772588722 2.302585093 1.386294361 10000-20000 33 1 340,000 3 15 20 4 0 12.7367009 1.098612289 2.708050201 2.995732274 1.386294361 10000-20000 34 2 285,000 3 16 20 4 0.693147181 12.56024446 1.098612289 2.772588722 2.995732274 1.386294361 10000-20000 35 2 504,000 3 15 20 4 0.693147181 13.13033155 1.098612289 2.708050201 2.995732274 1.386294361 20000-50000 36 1 703,000 4 16 10 4 0 13.46311217 1.386294361 2.772588722 2.302585093 1.386294361 20000-50000 37 2 830,000 3 16 10 4 0.693147181 13.62918098 1.098612289 2.772588722 2.302585093 1.386294361 20000-50000 38 1 728,000 4 18 10 5 0 13.49805633 1.386294361 2.890371758 2.302585093 1.609437912 20000-50000 39 2 578,000 4 18 10 5 0.693147181 13.26732915 1.386294361 2.890371758 2.302585093 1.609437912 20000-50000 40 1 410,000 5 12 20 4 0 12.92391244 1.609437912 2.48490665 2.995732274 1.386294361 10000-20000 41 2 760,000 3 18 20 5 0.693147181 13.54107371 1.098612289 2.890371758 2.995732274 1.609437912 20000-50000 42 1 845,000 2 16 20 4 0 13.64709191 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.386294361 20000-50000 43 1 650,000 2 16 20 4 0 13.38472764 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.386294361 20000-50000 44 1 638,500 2 16 20 4 0 13.36687695 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.386294361 20000-50000 45 1 688,000 3 18 20 5 0 13.44154412 1.098612289 2.890371758 2.995732274 1.609437912 20000-50000 46 2 678,000 3 18 20 5 0.693147181 13.42690257 1.098612289 2.890371758 2.995732274 1.609437912 20000-50000 47 2 678,000 1 12 20 3 0.693147181 13.42690257 0 2.48490665 2.995732274 1.098612289 20000-50000 48 2 418,000 1 12 20 3 0.693147181 12.94323671 0 2.48490665 2.995732274 1.098612289 10000-20000 49 3 345,000 1 12 20 3 1.098612289 12.7512997 0 2.48490665 2.995732274 1.098612289 10000-20000 50 3 337,500 2 16 20 3 1.098612289 12.72932079 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.098612289 10000-20000 51 5 367,500 2 16 20 3 1.609437912 12.8144786 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.098612289 10000-20000 52 2 372,500 2 16 20 3 0.693147181 12.82799232 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.098612289 10000-20000 53 1 690,000 2 16 20 4 0 13.44444688 0.693147181 2.772588722 2.995732274 1.386294361 20000-50000 Ln Pendapatan Nilai WTP

Lanjutan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.7086 R Square 0.5021 Adjusted R Square 0.4492 Standard Error 0.4537 Observations 53 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 5 9.756211 1.951242 9.480884 0.000003 Residual 47 9.672979 0.205808 Total 52 19.429190 Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept 6.1638 2.0127 3.0625 0.0036 2.1148 10.2128 X Variable 1-0.2906 0.1545-1.8815 0.0661-0.6014 0.0201 X Variable 2 0.0273 0.1662 0.1643 0.8702-0.3070 0.3616 X Variable 3-0.6109 0.4903-1.2459 0.2190-1.5973 0.3755 X Variable 4 0.1379 0.2478 0.5565 0.5805-0.3606 0.6364 X Variable 5-0.3426 0.2165-1.5826 0.1202-0.7781 0.0929 Keterangan : Variabel Tetap (Y) : Jumlah Kunjungan Variabel Bebas (X): a. X1 : Biaya Perjalanan b. X2 : Umur (tahun) 1 = < 20 2 = 21 30 3 = 31 40 4 = 41 50 5 = > 51 c. X3 : Pendidikan 9 = SMP 12 = SMA 15 = Diploma 16 = Sarjana 18 = Pascasarjana d. X4 : Pekerjaan 10 = PNS 20 = Non PNS e. X5 : Pendapatan 1 = < 2000000 2 = 2000000 5000000 3 = 5000000 20000000 4 = 20000000 50000000 5 = > 50000000 111

Lanjutan Perhitungan Nilai Ekonomi Ekowisata di Sekotong > a:=12;b0:=6.16380246;b1:=- 0.29062825;x:=1081;L:=10978.60; a := 12 > f(q):=(q/b0)^(1/b1); b0 := 6.16380246 b1 := -0.29062825 x := 1081 L := 10978.60 fq ( ) := 522.0698539 Q 3.440821737 > U:=int(f(Q),Q=1..12); U := 213.3943105 > plot(f(q),q=2..20); Kurva Demand

> P:=U/a; P := 17.78285921 > f(q):=(a/b0)^(1/b1); fq ( ) := 0.1010318549 > b3:=f(q)*a; > CS:=U-b3; > NE:=CS*2.66*1081; b3 := 1.212382259 CS := 212.1819282 NE := 6.101206473 10 5 >Nilai Ekonomi = CS * 0 intensitas kunjungan* 3 wisatawan aktual Th 2005 = 212.1819282* 2.66 * 1081 = Rp 610.120,65

Lampiran 10 Hasil identifikasi wisatawan Tabel 1 Jumlah wisatawan ke lokasi wisata Sekotong Wisatawan Jumlah wisatawan ke lokasi wisata (orang) Jumlah (orang) Persentase (%) Gili Nanggu Gili Gede Tj. Bangko- Bangko Domestik 9 2 3 14 26,42 Mancanegara 21 7 11 39 73,58 Jumlah (orang) 30 9 14 53 Persentase (%) 56,60 16,98 26,42 100,00 Sumber : Data primer diolah (2006). Tabel 2 Wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Pelajar 0 3 3 5,66 Mahasiswa 2 3 5 9,43 Swasta 6 15 21 39,62 PNS 2 7 9 16,98 Wiraswasta 3 5 8 15,09 Lain-lain 1 6 7 13,21 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 3 Wisatawan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok umur Laki-Laki Wanita Jumlah Persentase (tahun) (orang) (orang) (orang) (%) 15 19 2 1 3 5,66 20 24 3 2 5 9,43 25 29 5 2 7 13,21 30 34 7 2 9 16,98 35 39 7 1 8 15,09 40 44 6 1 7 13,21 45 49 4 1 5 9,43 50 54 2 0 2 3,77 > 55 5 2 7 13,21 Total 41 12 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 4 Wisatawan berdasarkan tujuan wisata Tujuan Wisata Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Tujuan utama 12 0 12 26,42 Persinggahan 2 39 41 73,58 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006)

Lanjutan Tabel 5 Wisatawan berdasarkan tujuan kunjungan Tujuan kunjungan Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Berwisata 6 39 45 84,91 Penelitian/Pend 3 0 3 5,66 Tugas instansi 3 0 3 5,66 Lain-lain 2 0 2 3,77 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 6 Wisatawan berdasarkan frekwensi kunjungan Frekwensi kunjungan Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Pertama kali 0 13 13 24,53 Kedua kali 6 18 24 45,28 Ketiga kali 0 5 5 9,43 Lebih dari tiga kali 8 3 11 20,76 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 7 Wisatawan berdasarkan sumber informasi wisata Sumber Informasi Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Biro perjalanan 0 21 21 39,62 Media TV/cetak 0 2 2 3,77 Teman 12 4 16 30,19 Organisasi 2 5 7 13,21 Internet 0 7 7 1,21 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 8 Wisatawan berdasarkan motivasi kunjungan Motivasi Kunjungan Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Jarak yang dekat 0 0 0 0 Kemudahan 0 0 0 0 transportasi Biaya yang murah 0 0 0 0 Potensi alam 8 19 27 54,38 Lingkungan yang 6 20 26 45,62 sepi dan alami Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006).

Lanjutan Tabel 9 Wisatawan berdasarkan ketertarikan lokasi Ketertarikan Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Alam dan terumbu 14 39 53 100 karang Masyarakat 0 0 0 0 Makanan 0 0 0 0 Penginapan 0 0 0 0 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006). Tabel 10 Wisatawan berdasarkan aktivitas wisata Jenis Aktivitas Wisata Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%) Berperahu 2 13 15 28,30 Menikmati 4 7 11 20,75 pemandangan alam Diving 1 6 7 13,21 Snorkeling 3 6 9 16,98 Surfing 0 7 7 13,21 Berenang 4 0 4 7,55 Total 14 39 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006). Tabel 11 Pendapat wisatawan tentang ekowisata di lokasi Pendapat wisatawan Jumlah (orang) Persentase (%) Setuju 47 88,68 Tidak setuju 4 7,55 Tidak menyatakan pendapat 2 3,77 Total 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 12 Persentase pendapat wisatawan untuk membayar terhadap jasa lingkungan berupa obyek ekowisata Pendapat wisatawan Jumlah (orang) Persentase (%) Setuju 48 90,57 Tidak setuju 2 3,77 Ragu-ragu 3 5,66 Total 53 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006)

Lanjutan Tabel 13 Persentase bentuk pembayaran obyek ekowisata Bentuk Pembayaran Jumlah (orang) Persentase (%) Access fee (biaya masuk) 36 75,00 Penambahan harga pada barang/jasa 7 14,58 Penambahan harga pada penginapan 5 10,42 dan restoran Total 48 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006) Tabel 14 Jumlah kunjungan wisatawan ke Sekotong per-bulan tahun 2005 Bulan Wisatawan Mancanegara Nusantara Januari 28 18 Pebruari 46 15 Maret 39 25 April 43 17 Mei 66 20 Juni 71 17 Juli 133 23 Agustus 202 14 September 79 17 Oktober 52 16 November 34 26 Desember 61 19 Total 854 227 Sumber : Database Pariwisata Lombok Barat (2005) Tabel 15 Persentase jumlah kunjungan wisatawan di kawasan wisata Lombok Barat tahun 2005 Wisatawan Kawasan Wisata Mancanegara Nusantara Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % Senggigi 99.243 73,8 81.975 92,94 181.218 81,36 Gili Trawangan 22.520 16,7 1.393 1,58 23.913 10,74 Gili Meno 2.385 1,8 55 0,06 2.440 1,10 Gili Air 5.809 4,3 211 0,24 6.020 2,70 Bayan 679 0,5 59 0,07 738 0,33 Tanjung/Pemenang 2.842 2,1 402 0,46 3.244 1,46 Narmada/Lingsar 199 0,1 3.877 4,40 4.076 1,83 Sekotong 854 0,6 227 0,26 1.081 0,49 Jumlah 134.531 100,0 88.199 100,00 222.730 100,00 Sumber : Database Pariwisata Lombok Barat (2005)

Lampiran 11 Sarana akomodasi di lokasi penelitian Nama Nirvana Air Istana Raya Roemah Cempaka Jumlah pegawai (orang) Lokasi Bentuk Usaha Fasilitas Jumlah 6 Sekotong Hotel Melati Vila apung 2 Barat 17 Gili Nanggu Ida Bagoes 5 Sekotong Barat Dive Zone 7 Sekotong Barat Hotel Melati Restoran Bungalow Cottage Restoran 1 10 6 1 Homestay Kamar 5 Penyewaan Sarana Diving Sarana Diving dan snorkeling Sekotong Indah 5 Pelangan Hotel Melati Kamar Restoran 10 1 Bola-Bola Paradise 6 Pelangan Hotel Melati Vila Kamar Restoran 2 11 1 Soelaiman Tourist 5 Batu Pondok Bungalow 5 Information Center Putih Wisata Puri Pao-Pao 7 Batu Putih Pondok Wisata Vila 1 Sundancer* - Sekotong Hotel Bintang Vila 23 Barat lima Sumber : Data primer (2006) ; ( * Masih dalam tahap pembangunan) 50

Lampiran 12 Matrik Analisa Stakeholder Program : Pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong Kelompok stakeholder Masyarakat setempat* Pengusaha setempat* Peran dalam ekowisata: - Pelaksana - Pengorganisir - Pembuat keputusan - Pemanfaat - Pengontrol - Pendukung - Penentang Pelaksana dan pemanfaat Pelaksana dan pemanfaat Pengaruh ekowisata terhadap kepentingan stakeholder: T = tidak dikenal 1 = sedikit/tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci Pengaruh stakeholder terhadap keberhasilan ekowisata: T = tidak dikenal 1 = sedikit/tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci Tahap Tahap Penyiapan Pelaksanaan 4 4 4 4 4 4 Pemerintah Tk Desa/Kecamatan** Bappeda Tk Propinsi** Balai Budidaya Laut Sekotong*** Dinas Pengembangan Budidaya Laut Sekotong*** Dinas Pariwisata Kab. Lobar** Pengorganisir 5 5 5 Pengorganisir dan pembuat keputusan 5 5 5 Pendukung 1 1 1 Pendukung 1 1 1 Pengorganisir dan pembuat keputusan 5 5 5 Dinas Pariwisata Prop.NTB*** Pendukung dan Pengontrol 3 3 3 DKP Kab.Lobar*** Pendukung 2 2 2 DKP Prop.NTB*** Pendukung 2 2 2 Dinas Kehutanan Pendukung 2 2 2 Kab.Lobar*** Dinas Kehutanan dan Pendukung 2 2 2 BKSDA NTB*** LSM*** Pendukung 1 2 1 Akademisi/ Pendukung 1 2 1 Lemlit*** Sumber format : LGA Romania, RTI (Chetwynd et al. 2001) Keterangan : * Stakeholder Utama ** Stakeholder Kunci *** Stakeholder Sekunder

Lampiran 13 Kuisioner untuk wisatawan domestik DAFTAR PERTANYAAN (KUISIONER) UNTUK WISATAWAN KAJIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN PESISIR SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT NUSA TENGGARA BARAT Tanggal wawancara:. I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :. 2. Jenis Kelamin : U pria U wanita 3. Umur :... tahun 4. Daerah asal :... 5. Pendidikan : U SMP U SMU U Diploma (D1, D2, D3) U S1 U (S2/ S3) 6. Pekerjaan : U Pelajar/Mahasiswa U PNS U Swasta U Wiraswasta U Lain-lain (Pensiunan/ Ibu Rumah Tangga) II. 7. Pendapatan : U < 2 juta U 2 juta 5 juta U 5 juta 20 juta U 20 juta 50 juta U > 50 juta MOTIVASI KUNJUNGAN 1. Apakah tujuan kunjungan Anda ke kawasan pesisir Sekotong? a. Berwisata b. Penelitian/ Pendidikan c. Tugas dari instansi tempat bekerja d. Lain-lain 2. Berapa kali Anda mengunjungi kawasan pesisir Sekotong sebagai tujuan wisata Anda? b. Pertama kali c. Dua kali d. Tiga kali e. Lebih dari tiga kali (... kali) 3. Kedatangan Anda berwisata ke Sekotong merupakan : a. Tujuan Utama b. Persinggahan ( Bila Anda menjawab poin b ini, kemana tujuan utama wisata Anda?...) 4. Apa motivasi utama Anda mengunjungi kawasan pesisir Sekotong? a. Jarak yang dekat b. Kemudahan transportasi c. Biaya yang murah d. Potensi alamnya e. Lingkungan yang sepi dan alami 5. Dari mana Anda mendapatkan informasi tentang kawasan pesisir Sekotong? a. Biro perjalanan b. Media cetak (majalah/ koran/brosur) dan elektronik (TV dan radio) c. Teman/ keluarga d. Organisasi e. Internet.

6. Menurut Anda, apa yang paling menarik di kawasan pesisir Sekotong? a. Alam dan terumbu karangnya b. Ciri khas masyarakatnya c. Ciri khas makanannya d. Fasilitas penginapan 7. Bagaimana pendapat Anda, jika kawasan wisata di daerah ini dikelola dengan konsep ekowisata? a. Setuju b. Tidak setuju c.... III. EVALUASI RESPONDEN TERHADAP KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SEKOTONG 1. Bagaimana menurut Anda, pemandangan alam di kawasan pesisir Sekotong? a. Sangat indah b. Indah c. Cukup d. Buruk e. Sangat Buruk 2. Bagaimana menurut Anda, tentang kondisi terumbu karang di perairan Sekotong? a. Sangat baik b. Baik c. Cukup d. Buruk e. Sangat Buruk 3. Bagaimana menurut Anda, tentang aksesibilitas perjalanan anda untuk mencapai kawasan pesisir Sekotong? a. Sangat mudah b. Mudah c. Cukup d. Sulit e. Sangat Sulit 4. Bagaimana menurut Anda, tentang keamanan dan kenyamanan di kawasan pesisir Sekotong? a. Sangat baik b. Baik c. Cukup d. Tidak baik e. Sangat tidak baik 5. Bagaimana menurut Anda, tentang fasilitas wisata di kawasan pesisir Sekotong? a. Sangat memadai b. Memadai c. Cukup d. Tidak memadai e. Sangat tidak memadai 6. Aktifitas apa yang paling Anda sukai di kawasan pesisir Sekotong? a. Berperahu b. Menikmati pemandangan alam c. Menyelam (Diving U / Snorkeling U ) d. Selancar e. Berenang 7. Dalam lima tahun ke depan, berapa kali Anda merencanakan untuk berwisata kembali ke kawasan pesisir Sekotong? a. Tidak ada rencana b. 1 3 kali c. 4 5 kali d. lebih dari 5 kali

IV. INFORMASI BIAYA PERJALANAN (TRAVEL COST) Biaya yang Anda keluarkan untuk berwisata ke kawasan pesisir Sekotong : U Gili Nanggu U Gili Gede U Tanjung Bangko-Bangko 1. Biaya Transportasi Jumlah (Rp) a. Dari daerah asal ke airport/pelabuhan. b. Dari airport/pelabuhan ke tujuan utama kunjungan. c. Dari tujuan utama kunjungan ke Sekotong - Paket wisata - Sewa kendaraan - Guide - Sopir - Bensin - Parkir Total : d. Dari tempat tinggal ke Sekotong : - Paket wisata - Sewa kendaraan - Guide - Sopir - Bensin - Parkir Total : Total biaya transport 2. Biaya Akomodasi Biaya perhari Penginapan (hotel/ bungalow / cottage / vila/ losmen). Total biaya akomodasi Lama Menginap Jumlah (Rp) 3 Biaya Konsumsi Jumlah (Rp) - Makanan utama - Makanan ringan - Buah-buahan - Minuman - Lain-lain (souvenir) Total biaya konsumsi 4 Biaya Sewa Jumlah (Rp) - Fasilitas diving - Fasilitas snorkeling - Perahu motor Total biaya sewa

5 Biaya Dokumentasi Jumlah (Rp) - Film - Cetak - Video shooting - Biaya lain-lain Total biaya dokumentasi No. TRAVEL COST Jumlah (Rp) 1. 2. Transportasi Akomodasi 3. 4. 5. Konsumsi Sewa Dokumentasi Total Travel Cost V. INFORMASI CONTINGENT VALUE TENTANG KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) 1. Apakah Anda bersedia untuk membayar obyek wisata yang Anda nikmati di kawasan pesisir Sekotong? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 2. Menurut Anda, dalam bentuk apa dana tersebut dibayarkan? a. Karcis tanda masuk (access fee) ke kawasan pesisir Sekotong b. Penambahan harga pada barang/jasa c. Penambahan harga pada penginapan 3. Berapa jumlah kesediaan Anda untuk membayar? a. 0 sampai Rp. 5.000,- b. Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000,- c. Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- d. Rp. 20.000,- sampai Rp. 50.000,- e. Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- 4. Menurut Anda, dana tersebut terutama digunakan untuk apa? a. Kesejahteraan masyarakat setempat b. Pengadaan fasilitas wisata c. Pemeliharaan kebersihan dan keamanan d. Perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan. 5. Menurut Anda, siapa yang berhak mengelola dana tersebut untuk kegiatan ekowisata di Sekotong? a. Pemerintah Tingkat Kabupaten b. Pemerintah Tingkat Kecamatan dan Desa c. Organisasi Masyarakat setempat d. Lainnya... TERIMA KASIH

Lampiran 14 Kuisioner untuk wisatawan mancanegara RESEARCH QUESTIONNAIRE FOR FOREIGN VISITOR STUDY OF ECOTOURISM DEVELOPMENT AT SEKOTONG COASTAL, LOMBOK BARAT - NTB Date of interview:. I. DATA OF RESPONDENT 1. Name :. 2. Sex : U male U female 3. Age :...years 4. Origin country :... 5. Education : U Secondary School U High School U Bachelor (Diploma- 1/ Diploma-2/ Diploma-3) U Graduate (S1) U Postgraduate (S2/ S3) 6. Occupation : U Student U Goverment Officer U Private Company U Bussinessman U Others (retired) 7. Salary : U less than US$ 250/month U US$ 250 US$ 550/month U US$ 550 US$ 2200/month U US$ 2200 US$ 5500/month U more than US$ 5500/month II. INFORMATION OF VISIT MOTIVATION 1. What is your main objective to visit Sekotong? a. Recreation b. Research/ education c. Job responsibility d. Others :... 2. How many times have you visited Sekotong? a. The first time b. The second times c. The third times d. More than third times (...times) 3. Your visit to Sekotong is : a. Main destination b. Second destination ( If you choose this point b, where is your main destination?...) 4. What is your motivation to visit Sekotong? a. A close distance b. Easy of transportation c. Cheap of cost d. The natural resource e. A quite and natural environtment 5. Where do you get the information about Sekotong? a. Travel beaureau b. Newspaper/magazine/television c. Friends/family d. Organisation e. Internet.

6. What is the most interesting for you in Sekotong? a. The natural landscape and the coral reefs b. The local people c. The local food d. The local accomodation 7. How do you think, if we are manage the tourism around this place by ecotourism concept? a. Agree b. Dissagree c.... III. THE RESPONDENT EVALUATION 1. What is your evaluation about the general landscape in Sekotong? a. Very beautiful b. Beautiful c. Not to bad d. Bad e. Worse 2. What is your evaluation about the coral reef in Sekotong? a. Verry good b. Good c. Sufficient d. Bad e. Worse 3. What is your evaluation about the accessibility to reach Sekotong? a. Very easy b. Easy c. Fair d. Difficult e. Very difficult 4. What is your evaluation about the condition of security in Sekotong? a. Very secure b. Secure c. Sufficient d. Insecure e. Very insecure 5. What is yoru evaluation about the tourism facilities in Sekotong? a. Very complete b. Complete c. Sufficient d. Insufficient e. Very insufficient 6. What kind of activity that most you like during your visit in Sekotong? a. Sailing b. Sight seeing c. Diving U / Snorkeling U d. Surfing e. Swimming 7. In the next five years, how many times have you plan to visit Sekotong again? a. Have no plan b. 1 3 times c. 4 5 times d. more than 5 times IV. INFORMATION OF TRAVEL COST The cost have you spent during your visit to Sekotong : U Gili Nanggu U Gili Gede U Tanjung Bangko-Bangko

1. Transportation Cost ( US $ or Rp) a. From your country to airport (return). b. From airport to your main destination of visit Lombok (return) c. From your main destination of visit Lombok to Sekotong : - Tourism package - Vehicle rent - Guide - Driver - Petrol - others Total of transportation cost 2. Accomodation Cost/night Duration of stay Acomodation of hotel/ bungalow / cottage / vila/ losmen. Total of accomodation cost Cost (US $ or Rp) 3 Consumption Cost (US $ or Rp) - Meal food - Snack - Fruity - Beverages - Others expenditure (souvenir) Total of consumption cost 4 Rent expenditure Cost (US $ or Rp) - Diving - Snorkeling - Boat - Others Total of rent expenditure 5 Documentation Cost (US $ or Rp) - Film - Printing - Video shooting - Others Total of documentation

No. TRAVEL COST Cost (US $ or Rp) 1. 2. Transportation Accomodation 3. 4. 5. Consumptioni Rent expenditure Documentation Total of Travel Cost V. THE CONTINGENT VALUE INFORMATION OF YOUR WILLINGNESS TO PAY 1. Would you be charge for the natural tourism object that you enjoy in Sekotong? a. Yes b. No c.. 2. What should we pay the charge? a. Access fee to Sekotong b. Additional price of goods/rent c. Additional price of accomodation facilities 3. How much your willingness to pay for the charged? a. 0 to Rp. 5.000,- b. Rp. 5.000,- to Rp. 10.000,- c. Rp. 10.000,- to Rp. 20.000,- d. Rp. 20.000,- to Rp. 50.000,- e. Rp. 50.000,- to Rp. 100.000,- 4. Based on your idea, what should we use from the charged? a. To increase the prosperity of local community b. To establish the ecotourism facilities c. To maintenance of the environtment d. To conservation of the natural resource. 5. Based on your idea, who is the best management to manage the ecotourism in Sekotong? a. District government b. Local government c. Community Organisation d. Others... THANK YOU SO MUCH

Lampiran 15 Kuisioner untuk masyarakat setempat Identitas Responden No. Responden Tanggal Lokasi : : : 1. Nama :... 2. Jenis Kelamin : L / P 3. Umur :... tahun 4. Pekerjaan :... 5. Pendidikan :... 6. Asal (Tempat Tinggal) :... 7. Status : (i) Menikah (ii) Tidak Menikah 8. Jumlah Tanggungan Keluarga : 9. Pendapatan Rata-rata/bln : a. Kurang Dari Rp. 250.000, 00 b. Antara Rp. 250.000, 00 s/d Rp. 500.000, 00 c. Antara Rp 500.000, 00 s/d Rp. 750.000, 00 d. Antara Rp. 750.000, 00 s/d Rp. 1.000.000, 00 e. Antara Rp. 1.000.000, 00 s/d Rp. 1.5000.000, 00 f. Lebih dari Rp. 1.500.000,00 Pengetahuan Masyarakat tentang wisata (ekowisata) 1. Apakah Bapak/Ibu tahu bahwa daerah ini merupakan daerah tujuan wisata? a. Ya b. Tidak 2. Sudah berapa lama Bapak/Ibu tinggal di tempat ini? b. Kurang dari 5 tahun c. 5 10 tahun d. Lebih dari 10 tahun 3. Apakah Bapak/Ibu pernah melihat wisatawan berkunjung ke tempat ini? a. Ya b. Tidak 4. Apabila jawabannya Ya, apa yang mereka lakukan di tempat ini? a. Melihat pemandangan b. Berenang c. Memancing d. Olahraga e.... 5. Menurut pengamatan Bapak/Ibu, apakah telah ada pihak-pihak yang meneglola daerah ini sebagai objek wisata? a. Sudah b. Belum c. Tidak tahu 6. Jika jawabannya sudah, siapakah yang mengelola? a. Pemerintah b. Swasta c. Masyarakat 7. Apakah kegiatan wisatawan di lokasi ini telah memberikan keuntungan bagi masyarakat? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu 8. Apakah Bapak/Ibu senang jika daerah ini dijadikan tempat wisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

9. Apakah Bapak/Ibu ingin terlibat jika daerah ini dijadikan tempat wisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu 10. Apakah menurut Bapak/Ibu daerah ini bisa dikembangkan untuk menjadi daerah tujuan wisata? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu 11. Jika jawabannya Ya, sebutkan alasannya: a.... b.... c.... 12. Jika daerah ini dikembangkan menjadi daerah wisata, apakah Bapak/Ibu bersedia menyewakan tempat tinggal/rumah Bapak/Ibu untuk kegiatan wisatawan? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu 13. Jika, Bapak/Ibu bersedia menyewakan tempat tinggal/rumah Bapak/Ibu untuk kegiatan wisatawan, apakah Bapak/Ibu bersedia menyediakan makanan untuk dijual pada wisatawan? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu 14. Jika daerah ini dikembangkan menjadi daerah wisata, apakah Bapak/Ibu bersedia bekerjasama dengan pihak pengelola untuk mengembangkan daerah ini? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Kegiatan Masyarakat yang berdampak pada wisata (ekowisata) 1. Apakah dalam kegiatan sehari-hari Bapak/Ibu selalu berhubungan dengan lingkungan alam? a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang 2. Jika Ya, kegiatan apa yang dilakukan? a. Mencari karang b. Mencari kayu c.... 3. Bagaimana Bapak/Ibu membuang sampah rumah-tangga sehari-hari? a. Di halaman b. Di sungai c. Di laut d. Di tempat pembuangan khusus 4. Di mana keluarga Bapak/Ibu melakukan MCK? a. Di rumah b. Di sungai c. Di laut d. Di kebun 5. Dari mana Bapak/Ibu mendapatkan air bersih? a. Sumur b. Mata air c. PDAM d. Sungai

6. Apakah jenis penyakit yang sering diderita Bapak/Ibu dan keluarga? a. Flu b. ISPA c. Demam berdarah d. Diare e.... 7. Kemana bila Bapak /Ibu atau anggota keluarga bila berobat? a. Puskesmas b. RSU c. Dukun d. Obat tradisional 8. Apakah pelayanan kesehatan (puskesmas) di desa sudah memadai? a. Sudah b. Belum c. Tidak tahu 9. Berapa jauh letak puskesmas dari tempat tinggal Bapak/Ibu? a. Kurang dari 1 km b. Antara 1 3 km c. Lebih dari 3 km 10. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana tingkat keamanan di desa tempat tinggal Bapak/Ibu? a. Aman b. Tidak aman c. Kadang-kadang 11. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tempat-tempat yang dapat dihubungi untuk kepentingan keamanan? a. Tahu b. Tidak tahu 12. Berapa kira-kira jarak tempat pelayanan keamanan dari tempat tinggal Bapak/Ibu? (Kantor Polisi, Koramil, kantor desa, dll) a. Kurang dari 1 km b. Antara 1 3 km c. Lebih dari 3 km 13. Apakah di desa tempat tinggal Bapak/Ibu sudah ada fasilitas komunikasi (telepon, wartel, dll)? a. Sudah b. Belum c. Tidak tahu 14. Apakah di desa tempat tinggal Bapak/Ibu sudah ada fasilitas transportasi umum? a. Sudah b. Belum c. Tidak tahu 15. Jika ada jenis transportasi umum apa yang ada? a. Ojek b. Angkot c.... 16. Apakah anda mengetahui tentang ekowisata? a. Ya b. Tidak 17. Jika tidak apakah anda ingin mengetahui tentang ekowisata? a. Ingin tahu b. Tidak ingin tahu 18. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu jika objek wisata di tempat ini dijadikan ekowisata? a. Setuju b. Tidak setuju

c.... 19. Sarana apa yang Bapak/Ibu inginkan jika tempat ini dijadikan ekowisata? a.... b.... c.... Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan 1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui adanya lembaga lokal di desa ini (LMD, LSM, dsb) a. Ya b. Tidak 2. Jika ya, apakah Bapak/Ibu mengetahui peran mereka? a. Ya b. Tidak 3. Pernahkah lembaga-lembaga lokal tersebut mengajak Bapak/Ibu untuk bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan masayarakat di sini? a. Pernah b. Tidak pernah 4. Jika Ya, apakah Bapak/Ibu bisa menjelaskan tentang apa? a.... b.... c.... 5. Apakah Bapak/Ibu pernah memberi masukan pada aparat desa tentang pengelolaan daerah ini? a. Pernah b. Tidak pernah 6. Jika Ya, usulan apa yang disampaikan? a.... b.... c.... 7. Apakah ada usaha dari aparat setempat dalam menjaga kelestarian daerah ini (mencegah penambangan karang, penangkapan satwa yang dilindungi, seperti penyu, dll)? a.... b.... c.... 8. Jika Ya, tindakan apa yang dilakukan oleh aparat tersebut? a.... b.... c.... TERIMA KASIH

Lampiran 16 Kuisioner untuk stakeholders FORM KUISIONER ANALISA STAKEHOLDER Topik : Pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan pesisir dan gugusan gili Sekotong DATA NON GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : Tanggal :.. 2006 Profil Institusi/ Lembaga/ Badan Usaha Nama Institusi/ Lembaga / Badan Usaha : Nama Pimpinan : 1. 2.. Alamat :. Telephone :. Facsimile :. E-mail :. Tanggal berdiri :... No.Akta (bila ada) :... Struktur organisasi : Ada (terlampir) Tidak ada Jenis organisasi : Yayasan Ormas Orpol Asosiasi Perusahaan Koperasi... Tipe kegiatan :... Penelitian Akomodasi Komunikasi Pendanaan Pendidikan & latihan Kemanusiaan...... Bidang kegiatan : Pariwisata Perikanan Pertanian

Sosial Kebudayaan Teknologi Gender Lingkungan Hidup Industri kecil... Wilayah kegiatan :... Desa/Kelurahan Propinsi Nasional Kab/Kota Internasional Sumber dana : Modal sendiri Iuran anggota Pemerintah Donor DN Donor LN Usaha sendiri Mitra usaha : Intansi Pemerintah No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan LSM/ORNOP No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan Masyarakat No. Nama Kelompok Nama Program Waktu Keterangan Peran dalam Perencanaan Pembangunan Pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan pesisir dan gugusan gili Sekotong 1. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan pariwisata (ekowisata)?......... 2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan pariwisata (ekowisata)? Sering Pernah Tidak pernah Penjelasan rinci :......... 3. Jika institusi Anda pernah terlibat, dimana tingkat keterlibatannya? Desa/Kelurahan Kab/Kota Propinsi Nasional

4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan pariwisata (ekowisata): Konsultasi Persetujuan Pelaksanaan Penjelasan rinci :......... 5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan institusi Anda dalam pelaksanaan pembangunan pariwisata (ekowisata)? Memfasilitasi Melatih Mendampingi Mengawasi Mengevaluasi......... Penjelasan rinci :......... Pendapat mengenai Perencanaan yang Partisipatif dalam Pembangunan Pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan pesisir dan gugusan gili Sekotong 1. Bagaimana pendapat Anda mengenai sistem partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Sudah baik Cukup baik Tidak baik Alasan :......... 2. Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?......... 3. Bagaimana pendapat Anda tentang peran pemerintah dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Sudah baik Cukup baik Tidak baik Penjelasan:......... 4. Apa usulan Anda untuk perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini?......... 5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Perlu Tidak perlu Tidak tahu Penjelasan:

......... 6. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut Anda adalah: Forum dialog NGS & GS Forum NGS saja Tidak tahu Penjelasan:......... 7. Bila perlu, siapa yang haus memfasilitasi pertemuan? Pemda NGS Tidak tahu Penjelasan:......... Terima kasih Keterangan : Stakeholder NGS GS Ekowisata : Pelaku pembangunan : Non Government Stakeholder : Government Stakeholder : Perjalanan yang bertanggungjawab ke daerah-daerah alami, dimana melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. ( menurut TIES - The International Ecotourism Society Organisasi Masyarakat Ekowisata Internasional) Sebuah konsep ekonomi untuk pariwisata yang berkelanjutan secara ekologi ( Mueller, F.G)

FORM KUISIONER ANALISA STAKEHOLDER Topik : Pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan pesisir dan gugusan gili Sekotong DATA GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : Tanggal :.. 2006 Profil Institusi/ Dinas Nama Institusi/ Dinas :... Nama Pimpinan : 1. 2.. Alamat :. Telephone : Facsimile :. E-mail :. Struktur organisasi : Ada (terlampir) Tidak ada Tipe kegiatan : Penelitian Akomodasi Komunikasi Pendanaan Pendidikan & latihan Kemanusiaan... Bidang kegiatan :... Pariwisata Perikanan Pertanian Sosial Lingkungan Hidup Kebudayaan Teknologi Industri kecil Gender... Wilayah kegiatan :... Desa/Kelurahan Kab/Kota Propinsi Nasional Mitra usaha : Intansi Pemerintah No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan

LSM/ORNOP No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan Lembaga Internasional No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan Kelompok Masyarakat No. Nama Kelompok Nama Program Waktu Keterangan Peran dalam Perencanaan Pembangunan Pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan pesisir dan gugusan gili Sekotong 1. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan pariwisata (ekowisata)? Mengetahui Ikut dalam setiap proses Ada sosialisasi Ikut memilih dan menetapkan......... 2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan pariwisata (ekowisata)? Sering Pernah Tidak pernah Penjelasan :......... 3. Jika institusi Anda pernah terlibat, dimana tingkat keterlibatannya? Desa/Kelurahan Kab/Kota Propinsi Nasional 4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan pariwisata (ekowisata): Konsultasi Persetujuan Pelaksanaan Penjelasan :.........

5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan institusi Anda dalam pelaksanaan pembangunan pariwisata (ekowisata)? Memfasilitasi Melatih Mendampingi Memobilisasi Mengevaluasi Mengawasi...... Penjelasan:......... Pendapat mengenai Perencanaan yang Partisipatif dalam Pembangunan Pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan pesisir dan gugusan gili Sekotong 1. Bagaimana pendapat Anda mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Sudah baik Cukup baik Tidak baik Alasan :......... 2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Ada Tidak ada Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?......... 3. Bagaimana pendapat Anda tentang peran pemerintah dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Sudah baik Cukup baik Tidak baik Penjelasan:......... 4. Apa usulan Anda untuk perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini?......... 5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog pembangunan pariwisata (berkonsep Ekowisata) di kawasan ini? Perlu Tidak perlu Tidak tahu Penjelasan:......... 6. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut Anda adalah: Forum dialog NGS & GS Forum NGS saja Tidak tahu Penjelasan:......

... 7. Bila perlu, siapa yang harus memfasilitasi pertemuan? Pemda NGS Tidak tahu Penjelasan:......... Keterangan : Terima kasih Stakeholder NGS GS Ekowisata : Pelaku pembangunan : Non Government Stakeholder : Government Stakeholder : Perjalanan yang bertanggungjawab ke daerah-daerah alami, dimana melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. ( menurut TIES - The International Ecotourism Society Organisasi Masyarakat Ekowisata Internasional) Sebuah konsep ekonomi untuk pariwisata yang berkelanjutan secara ekologi ( Mueller, F.G)

FORM KUISIONER UNTUK BADAN USAHA (PIHAK SWASTA) YANG BERLOKASI DI KAWASAN PESISIR DAN GUGUSAN GILI SEKOTONG Profil badan usaha Nama badan usaha :... Nama Pimpinan : 1. 2.. Alamat :. Telephone :. Facsimile :. Bentuk badan usaha :. Bidang usaha :... Kapasitas badan usaha Skala usaha : kecil menengah besar Jumlah pegawai :... orang Luas fasilitas usaha :... km 2 Jenis Fasilitas : kamar =... kolam renang =... toilet =... sarana ibadah =............ Data Tenaga Kerja/ Pegawai Asal Tenaga Kerja/ Pegawai Masy.setempat Luar Daerah WN. Asing Jumlah Tingkat Pendidikan SD SMP SLTA Diploma Sarjana Pascasarjana

Kebutuhan air bersih/tawar Cara memperoleh kebutuhan air bersih/tawar : Air untuk minum =... liter/hari, diperoleh dari :... Air untuk memasak =... liter/hari, diperoleh dari :... Air untuk MCK =... liter/ hari, diperoleh dari :... Sumber mata air : Ada Tidak ada Bila Ada berapa jarak dari lokasi usaha :... Penanganan terhadap limbah Bagaimana penanganan limbah yang dihasilkan dari aktivitas badan usaha Anda? 1. Limbah organik a. Padat : - dapur :... - feces :... b. Cair :...... 2. Limbah anorganik a. Padat :... b. Cair :... Adakah penanganan limbah khusus yang dihasilkan dari aktivitas badan usaha Anda? Ada Tidak ada Penjelasan :......... Data wisatawan (Bila badan usaha Anda berupa fasilitas akomodasi) Rata-rata Jumlah wisatawan Rata-rata Lama kunjungan :... orang/hari :... hari Harga sewa : Rp... per-orang/hari Rp... per- kamar/hari Rp... per-orang/jam Terima kasih

Lampiran 17 Tabel 1 Kondisi demografi dan sosial Kecamatan Sekotong Luas desa-desa di wilayah administratif Kecamatan Sekotong Desa Luas (km 2 ) Persentase (%) Sekotong Barat 46,19 13,81 Pelangan 121,41 36,74 Sekotong Tengah 103,86 31,43 Buwun Mas 51,83 15,71 Kedaro 7,60 2,30 Jumlah 330,45 100,00 Sumber: Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 2 Jumlah penduduk Kecamatan Sekotong dirinci menurut jenis kelamin dan desa Desa Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Sekotong Barat 3.601 3.763 7.369 Pelangan 6.183 5.853 12.042 Sekotong Tengah 6.117 6.462 12.586 Buwun Mas 4.626 4.658 9.288 Kedaro 2.160 2.271 4.443 Jumlah 22.695 23.007 45.728 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 3 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Kecamatan Sekotong per- km 2 dirinci per- desa tahun 2003 Desa Luas wilayah (km 2 ) Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/ km 2 ) Sekotong Barat 46,19 7.369 160 Pelangan 121,41 12.042 99 Sekotong Tengah 103,86 12.586 121 Buwun Mas 51,83 9.288 179 Kedaro 7,60 4.443 629 Jumlah 330,45 45.728 138 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk (jiwa) berdasarkan desa di Kecamatan Sekotong Desa Tidak/Belum Tamat SD SD SLTP SLTA PT Jumlah Sekotong Barat 4.535 1.980 706 146 2 7.369 Pelangan 7.206 3.293 1.158 383 2 12.042 Sekotong Tengah 5.766 5.738 852 217 13 12.586 Buwun Mas 4.523 3.880 772 108 4 9.288 Kedaro 1.330 1.406 522 397 789 4.443 Jumlah 23.359 16.298 4.010 1251 810 45.728 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003)

Tabel 5 Jumlah rumah tangga (KK) di Kecamatan Sekotong menurut sektor pekerjaan utama di tiap desa tahun 2003 Desa Pertanian Pertambangan Industri Konstruksi Perdagangan Angkutan Jasa jasa Jumlah Sekotong Barat 1.364-93 10 230 35 212 1.944 Pelangan 2.023 21 26 8 593 49 199 2.919 Sekotong Tengah 2.129 22 150 65 345 94 348 3.153 Buwun Mas 2.441-24 3 130 8 55 2.661 Kedaro 548-65 10 345 29 215 1.212 Jumlah 8.505 43 358 96 1643 215 1.029 11.889 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 6 Jumlah pemeluk agama (jiwa) berdasarkan desa di Kecamatan Sekotong Desa A g a m a Islam Hindu Budha Katholik Protestan Jumlah Sekotong Barat 6.228 740 0 0 401 7.369 Pelangan 8.411 1807 0 3 1821 12.042 Sekotong Tengah 11.819 84 0 12 671 12.586 Buwun Mas 7.689 3 0 0 1596 9.288 Kedaro 2.479 1110 0 0 854 4.443 Jumlah 36.626 3744 0 15 5343 45.728 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 7 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kec. Sekotong atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (Rp. 000,-) Lapangan Usaha 2000 2001 2002 Pertanian 59.347.323 67.155.344 74.439.798 Pertambangan dan Penggalian 1.853.206 2.134.503 2.384.863 Industri 2.448.808 2.736.319 3.051.330 Listrik Gas dan Air Bersih 28.993 34.161 45.535 Bangunan 5.669.437 6.574.219 7.499.793 Perdagangan, Hotel dan Restoran 12.353.494 14.390.766 16.091.349 Pengangkutan dan Komunikasi 2.209.256 2.580.405 3.254.676 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.191.740 1.400.517 1.590.607 Jasa-jasa 7.824.515 9.120.805 9.581.874 Jumlah 92.926.772 106.127.039 117.939.825 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003)

Tabel 8 Laju pertumbuhan PDRB Kecamatan Sekotong atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (Persen) Lapangan Usaha 2000 2001 2002 Pertanian 11.50 13.16 10.85 Pertambangan dan Penggalian 16.94 15.18 11.73 Industri 12.85 11.74 11.51 Listrik Gas dan Air Bersih 25.63 17.82 33.30 Bangunan 17.85 15.96 14.08 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5.62 16.49 11.82 Pengangkutan dan Komunikasi 1.80 16.80 26.13 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 14.61 17.52 13.57 Jasa-jasa 24.42 16.57 5.06 Jumlah 12.28 14.21 11.13 Sumber: Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 9 Panjang jalan berdasarkan wewenang pengelolaannya Desa Jalan Jalan Jalan Jalan Negara Propinsi Kabupaten Desa Jumlah Sekotong Barat 0 16 0 23 39 Pelangan 14 11 0 22 47 Sekotong Tengah 0 8 7 19 34 Buwun Mas 0 2 11 11 24 Kedaro 0 0 8 7 15 Jumlah 14 37 26 82 159 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 10 Panjang jalan di Kecamatan Sekotong dirinci menurut kondisi jalan dan desa Desa Aspal Diperkeras Tanah Jumlah Sekotong Barat 20 5 12 37 Pelangan 11-22 33 Sekotong Tengah 14 7 13 34 Buwun Mas 16-6 22 Kedaro 0 0 Jumlah 61 12 53 126 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 11 Jumlah rumah tangga menurut sumber penerangan di Kecamatan Sekotong dirinci per-desa Desa Listrik Minyak Tanah Lainnya Jumlah Sekotong Barat 587 1.471-2.058 Pelangan 755 1.745-2.500 Sekotong Tengah 1.662 1.479-3.141 Buwun Mas 30 1.604-1.634 Kedaro - 1.059-1.059 Jumlah 3.034 7.358 10.392 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003)

Tabel 12 Jumlah rumah tangga pemakai air untuk masak di Kecamatan Sekotong dirinci per-desa Desa Ledeng Sumur Sumur Mata air/ PDAM Pompa Perigi Sungai, dll Jumlah Sekotong Barat - - 2.056-2.058 Pelangan - - 2.497-2.497 Sekotong Tengah - - 3.142-3.142 Buwun Mas - - 1.517 118 1.635 Kedaro - - 1.060-1.060 Jumlah 0 0 10.272 118 10.392 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 13 Jumlah alat komunikasi di Kecamatan Sekotong dirinci menurut desa Desa Kantor Pos Pesawat Pesawat Pesawat Pembantu Radio TV Telpon Sekotong Barat - 692 74 1 Pelangan - 815 132 4 Sekotong Tengah 1 963 178 12 Buwun Mas - 214 6 - Kedaro - 123 25 - Jumlah 1 2.807 415 17 Sumber : Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2003) Tabel 14 Mata pencaharian responden dari unsur masyarakat Matapencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) Nelayan 11 17,74 Jasa penyeberangan 6 9,68 Jasa penyewaan alat snorkel 2 3,23 Warung makan 4 6,45 Warung makanan kecil 5 8,06 Jasa ojek 6 9,68 Penambang batu karang 2 3,23 Petani 14 22,58 PNS 12 19,35 Total 62 100,00 Sumber: Data primer diolah (2006)

Lampiran 18 Dokumentasi penelitian Pasir putih di sepanjang pantai Pantai di Desa Sekotong Barat Gili Nanggu Gili Tangkong Gili Sudak Gili Penyu Tempat penyeberangan menuju G.Nanggu Pantai di Gili Nanggu

Pohon kelapa di sepanjang pantai Salah satu taket karang Pantai di Tanjung Bangko-Bangko View Gili Layar View Gili Amben View Gili Asahan Mangrove di Gili Gede View Gili Gede

Cottage Sekotong Indah Bungalow di Gili Nanggu Resort Sundancer Vila Puri Pao-Pao Pondok Sulaeman Hotel melati Bola-Bola Paradis Rumah makan terapung Nirvana Pondok santai Dive Zone

Berenang di perairan Gili Nanggu Snorkeling di perairan Gili Rengit Perairan yang tenang untuk bersampan Berperahu di perairan Sekotong Penyu sisik di Gili Nanggu Terumbu karang di Gili Sudak Masyarakat nelayan di Bangko-Bangko Wawancara dengan responden