BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

TINJAUAN PUSTAKA. permukaan tanah sebagai biomasa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Pendugaan Cadangan Karbon

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

L PEI\{DAITULUAIT. 1.1 Latar Belakang. di Sumatra Selatan 51,73 oh), di Kalimantan (di Kalimantan Selatan 9,99 %o;

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PT. SANJI WANATIRTA INDONESIA. Jalan Anggrek No. 09, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp: Fax:

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan.

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Barat

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO 2 ke atmosfir melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan. Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO 2 dengan jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon per tahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7-4,50 o C (Rahayu et al., 2007). Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO 2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO 2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. 6

Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO 2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO 2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO 2 yang berlebihan di udara. Jumlah C tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan C (Hairiah dan Rahayu, 2007). Karbon hutan tersimpan dalam bentuk biomassa, sehingga untuk mengetahui kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan dapat diperoleh dengan memperkirakan kandungan biomassa hutan. Biomassa hutan didefinisikan sebagai jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering oven per satuan area (ton/unit area) (Krisnawati, 2010). Hairiah dan Rahayu (2007) mengemukakan bahwa peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: a. Meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, b. Menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan c. Mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon.

Sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai sumber emisi dan penyerap karbon jika dilihat dari konteks perubahan iklim di mana hutan berperan dalam mencegah dan mengurangi emisi dari gas rumah kaca. Untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan perdagangan karbon di masa yang akan datang, diperlukan pengelolaan hutan yang baik, kegiatan konservasi dan peningkatan kapasitas stok karbon dengan jumlah karbon yang dihasilkan dan diserap (Butarbutar, 2009). Karbondioksida dianggap sebagai gas rumah kaca utama karena memiliki laju pertambahan emisi yang tinggi, waktu tinggal di atmosfer yang lama dan tingginya emisi yang berasal dari sektor industri. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis hutan, hutan berperan menyerap CO 2 dalam jumlah yang besar. Dengan peran tersebut, adanya kondisi hutan yang terjaga akan mampu menjaga konsentrasi CO 2 di atmosfer tetap stabil. Hal ini berarti pula beberapa bencana alam yang sering dihubungkan dengan fenomena gas rumah kaca dan perubahan iklim global akan dapat dicegah (Junaedi, 2008). Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif

memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon (TPIBLK, 2010). Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah (Lusiana et al., 2007). 2.2. Konversi Hutan Perubahan peruntukan hutan masih dimungkinkan misalnya dari hutan dikonversi menjadi non-hutan untuk perkebunan, pertambangan, pemekaran kota dan lain-lain. Dalam perkembangannya, kepentingan daerah biasanya mengedepankan adanya perubahan karena selalu dikaitkan dengan peningkatan pendapatan asli daerah, pemekaran kota dan desakan penduduk. Konversi hutan yang demikian inilah yang jelas-jelas dinyatakan sebagai deforestasi. Tindakan deforestasi ini menyebabkan tingkat emisi karbon sangat besar karena hilangnya stok karbon yang diakibatkan oleh proses pembukaan hutan, lahan, pembakaran pohon dan tumbuhan lainnya (Nugroho et al., 2012). Sejak dilaksanakannya padu serasi antara TGHK dan RTRWP, kawasan hutan negara mengalami perubahan. Perbandingan data luas kawasan hutan negara tahun 1984 dan 1997 menunjukkan bahwa secara nasional kawasan hutan lindung bertambah luasnya dari 29,3 juta ha menjadi 34,6 juta ha. Kawasan hutan konservasi tetap luasnya, sedangkan kawasan hutan produksi menurun luasnya

dari 64 juta ha menjadi 58,6 juta ha. Sementara itu hutan konversi yang digunakan untuk berbagai kepentingan pembangunan perkebunan, transmigrasi dan lain-lain terus mengalami penurunan dari seluas 30 juta ha pada tahun 1984 menjadi 8,4 juta ha pada tahun 1997 (Kartodihardjo dan Supriono, 2000). Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) biasanya adalah hutan primer dan sekunder yang memiliki tingkat simpanan karbon yang tinggi. Hingga tahun 2011, luas HPK adalah 10.612.100 ha, yang terdiri dari: (1) Hutan Primer seluas 4.826.700 ha; (2) Hutan Sekunder seluas 5.650.800 ha; dan (3) Hutan tanaman seluas 134.700 ha. Konversi kawasan hutan ditujukan untuk kegiatan: (1) pertanian/perkebunan; (2) pemukiman; dan (3) pinjam pakai kawasan untuk pertambangan dan non tambang. Dalam hal pinjam pakai kawasan untuk kegiatan pertambangan dan non pertambangan, meskipun tidak mengalihfungsikan hutan secara tetap, namun jangka waktu pinjam pakai yang biasanya lama membuat situasi seolah-olah permanen (Ekawati et al., 2012). Perubahan fungsi kawasan hutan dari yang sebelumnya memiliki fungsi produksi menjadi kawasan hutan dengan fungsi lain akan berdampak pada hajat hidup orang banyakyang sebelumnya telah beraktivitas di dalamnya. Di samping pertimbangan biofisik dan lingkungan perubahan fungsi tersebut harus melalui penilaian matang untuk menghindari timbulnya kerugian dan potensi konflik di masa mendatang. Hingga Januari 2007 telah terjadiperubahan fungsi hutan produksi menjadi kawasan hutan dengan fungsi lain seluas 884.860,36 hektar di seluruh Indonesia (Sylviani, 2008). Pola-pola pemanfaatan lahan cenderung membawa dampak pada degradasi lingkungan dan itu merupakan ancaman serius bagi kehidupan masa kini dan bagi

generasi mendatang. Sumberdaya alam terutama lahan yang tersedia sangat terbatas, sehingga apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan upayaupaya untuk mempertahankan fungsi dan kemampuannya akan dapat menimbulkan kerusakan dan mengancam kelestarian sumberdaya lahan tersebut. Pola pemanfaatan lahan pada kawasan perbukitan (upland area) umumnya berupa kebun campuran; kebun sejenis, permukiman, hutan dan semak belukar; persawahan dan palawija. Pola-pola pemanfaatan lahan tersebut cenderung mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Pola-pola perubahan pemanfaatan lahan tersebut dipengaruhi oleh dinamika faktor geobiofisik lahan, sosial budaya, dan ekonomi. Keterkaitan hubungan di antara faktor-faktor di muka dalam pemanfaatan lahan akan berdampak pada gradasi ekologis yang bervariasi (Juhadi, 2007). Lebih dari setengah emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari konversi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan produksi kayu yang terkendali. Hampir 2 juta ha hutan saat ini ditebang atau dikonversi tiap tahunnya, yang melepaskan sejumlah karbon ke atmosfir dan menurunkan kapasitas penyerapannya. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berpotensi untuk membatasi konversi hutan dan mempertahankan hutan sebagai lahan multifungsi, mempertahankan keragaman hayati, sebagai koridor antara daerah yang dilindungi, mempertahankan fungsi daerah aliran sungai dan mempertahankan cadangan karbon (Lusiana et al., 2007). Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO 2 yang mampu diserap

oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segara dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu et al., 2007). Konsentrasi GRK di atmosfir meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan

gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO 2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO 2 pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO 2 di dunia (Hairiah dan Rahayu, 2007). Bila lahan hutan primer dikonversi dan dijadikan perkebunan kelapa sawit, diperkirakan akan terjadi emisi CO 2 (selama konversi dan selama 25 tahun siklus produksi kelapa sawit) rata-rata 41 t CO 2 /ha/tahun, sementara di lahan gambut 64 t CO 2 /ha/tahun. Keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi CO 2 pada lahan mineral dengan pola kemitraan berkisar antara US$1,85 7,98/t CO 2 dan pada lahan gambut US$0,93 4,84/t CO 2. Nilai ini menunjukkan bahwa dari sisi ekonomi, peluang pengurangan emisi CO 2 melalui perdagangan karbon lebih besar pada lahan gambut dibandingkan pada lahan mineral. Dengan kata lain, biaya penurunan emisi melalui konservasi hutan primer lebih murah pada lahan gambut dibandingkan pada lahan mineral (Herman et al., 2009). Pembukaan hutan menjadi tanaman perkebunan dengan tanaman tahunan mengandung lebih banyak resiko dibandingkan dengan hutan tanaman. Pengelolaan yang baik pada tanah-tanah permeable menunjukkan bahwa pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan mengakibatkan penurunan debit sungai total 10 %. Kondisi ini akan terjadi jika pengelolaan perkebunan dilakukan tidak baik. Demikian juga limpasan permukaan, erosi dan debit sungai akan lebih besar dibandingkan hutan alam. Pembukaan hutan menjadi lahan pertanian pada

umumya mengakibatkan degradasi siklus hidrologi dan meningkatkan laju erosi, terutama jika budidaya pertanian dilakukan di lahan miring. Pada tahun pertama setelah penebangan hutan, gangguan hidrologi umumnya masih belum parah karena tanah masih mempunyai karakteristik yang baik (Arief, 2005). 2.3. Ijin Pemanfaatan Kayu Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan (Menteri Kehutanan, 2011). Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (aboveground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawahpermukaan (below-ground carbon stocks) (Murdiyarso et al., 2004). Pembangunan perkebunan telah mengkonversi hutan alam yang luasnya sama dengan luas perkebunan yang sudah dan akan dibangun yaitu seluas 6,7 juta ha. Keadaan demikian telah memberikan keuntungan tambahan bagi perusahaan perkebunan yang berupa kayu dari pembukaan lahan. Kesempatan yang demikian ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan untuk melakukan mark up atas luas kebun yang diperlukan. Dalam kenyataanya di beberapa propinsi ditemukan perusahaan perkebunan yang hanya mencari lokasi, melakukan

pembukaan lahan untuk mendapatkan kayu, dan kemudian meninggalkannya tanpa melakukan pembangunan perkebunan (Kartodihardjo dan Supriono, 2000). 2.4. Kelapa Sawit Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati. Berdasarkan warna buah kelapa sawit dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu (i) nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki topi coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Tenera (tebal 0.5-4 mm) dan Pisifera (tidak bercangkang). Buah sawit bergerombol dalam tandan dan muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah, dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi (Ditjenbun, 2006). Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO 2 dari udara dan akan melepas O 2 ke udara. Proses ini akan terus berlangsung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO 2 sebanyak 430 juta ton dengan fiksasi CO 2 sebesar 25,71 ton/ha/tahun (Htut, 2004). Pada tahun 2011, total areal kelapa sawit di Indonesia mencapai delapan juta hektar, yang seluruhnya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL),

yang berarti berada di luar kawasan hutan. Sebagian kebun sawit dibangun di atas lahan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan dan sudah rusak karena pengelolaan konsesi HPH yang buruk atau karena konflik penguasaan lahan yang berkepanjangan. Kawasan hutan yang rusak tersebut kemudian diubah statusnya menjadi lahan APL dan dikeluarkan dari kawasan hutan, sehingga dimungkinkan penerbitan izin untuk pembuatan kebun kelapa sawit (Purnomo, 2012). Alih fungsi kawasan hutan termasuk pada lahan gambut untuk pengembangan tanaman kelapa sawit masih akan terjadi. Besarnya kandungan karbon pada lahan gambut yang akan terlepas menjadi emisi apabila lahan gambut tersebut dikonversi, didrainase dan mudah terbakar memerlukan perhatian khusus dan kebijakan untuk menanganinya. Meskipun berbagai aturan dan kebijakan telah dikeluarkan untuk mendukung pemanfaatan lahan gambut yang lestari, upaya ini masih belum cukup untuk mencegah terjadinya konversi dan emisi. Untuk itu diperlukan kebijakan dan pengawasan yang lebih intensif (Wibowo, 2011).