BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisis keputusan keberatan..., Sri Lestari Pujianstuti, FISIP UI, 2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masalah pembiayaan pembangunan. perpajakan yang memberikan jaminan kepastian hukum dan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada Bab IV, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup. cukup dalam membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemajuan. negeri yaitu berupa pajak. Untuk dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pajak,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemungutan pajak di Indonesia saat ini menganut sistem Self

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) salah satu kota terbesar di Indonesia, tidak luput dari keikutsertaan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 74/PJ/2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penerimaan sektor pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. membayar pajak secara langsung maupun tidak langsung. negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Tansuria, 2010).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.03/2013 TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan tahun 2012 terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak (triliun rupiah)

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)

WAWANCARA. Analisa keputusan..., Iskandar Zulkarnain, FISIP UI, 2008.

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana bertujuan untuk mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara dapat dilihat dari dua sektor, yaitu sektor

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Pemerintah membutuhkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

PENETAPAN DAN KETETAPAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara, terutama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. gencar melakukan beberapa upaya seperti halnya penentuan target penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata. Tujuan yang luhur demikian itu hanya dapat diwujudkan melalui

2011, No.35 2 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

ANALISIS PENERAPAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PT. PP (PERSERO) TBK

BAB I PENDAHULUAN. sumber dana luar negeri dan sumber dana dalam negeri. non migas serta pajak. Namun pemerintah lebih mengoptimalkan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak memiliki peranan yang sangat besar dalam pembagunan Negara,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab 1. Pendahuluan. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM), Pajak Lain, dan Surat

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap Surat

BAB I PENDAHULUAN. dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2018 TENTANG TEMPAT PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN/ATAU TEMPAT PELAPORAN USAHA PENGUSAHA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010

PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK BERDASARKAN UU NO.14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN UU NO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia maupun negara lainnya dalam menjalankan

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak (Pangestu, Rusmana:2014). Realisasi penerimaan pajak tahun 2014

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak. (KPP) Pratama Jakarta Kemayoran

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dari sektor pajak. Potensi penerimaan yang tinggi dan realisasinya

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin besar untuk masa yang akan datang karena tujuan utama dari penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan masyarakat, hal ini ditujukan agar pembangunan tersebut berjalan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, pemerintah mengandalkan sumber-sumber penerimaan negara. Nota Keuangan dan APBN Indonesia tahun 2015 yang diunduh dari

membiayai segala pengeluaran-pengeluarannya. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat

BAB II KAJIAN TEORI PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK PADA PENGADILAN PAJAK

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Self assessment

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan, yakni pada tahun 2015 besarnya belanja negara sebesar

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional dinegara-negara berkembang pasti memerlukan biaya yang. kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat dominan. Pada

PENGANTAR PERPAJAKAN HAK WAJIB PAJAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

UPAYA HUKUM WAJIB PAJAK ATAS SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR YANG DITETAPKAN OLEH FISKUS DALAM PEMENUHAN HAK WAJIB PAJAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidak menentunya ekonomi dunia mendorong pemerintah membuat penyesuaian akibat berubahnya asumsi-asumsi makro. Hal tersebut mengakibatkan UU APBN 2009 yang baru saja disahkan tanggal 30 November 2008 harus segera dirombak kembali. Menurut Paskah Suzeta yang dikutip inilah.com (2008) Berbagai skenario telah disiapkan pemerintah dari mulai skenario yang paling pesimistis dengan asumsi pertumbuhan berada dikisaran 5-5,5 persen, moderat 5,5-5,8 persen dan yang paling optimisis 6 persen. Perubahan lain yang dilakukan adalah asumsi nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dan patokan harga minyak. Berbagai perubahan tersebut tentu saja mengakibatkan perubahan baik dari sisi penerimaan dan belanja pemerintah. Bila dilihat dari komposisi Anggaran, Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN) penerimaan dari sektor perpajakan merupakan salah satu pilar utama. Untuk memberikan stimulus bagi ekonomi domestik pemerintah memilih melakukan upaya berupa perbaikan regulasi, salah satunya tentu saja perbaikan melalui regulasi pada sektor pajak, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, semakin tinggi pula kontribusi pajak dalam mendanai anggaran pembangunan negara tersebut. Bahkan seandainya market slowdown, khusus untuk APBN bukan mustahil akan dilakukan perombakan total dan untuk neraca pembayaran, akan dicari sumber-sumber dana selain dari pasar salah satunya melalui intensifikasi pemungutan pajak. Dengan demikian, dapat dikatakan mustahil bagi suatu negara untuk tidak menggunakan pajak sebagai sumber dana untuk membiayai pembangunannya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, penerimaan pajak dalam mendanai APBN semakin dominan sehingga diharapkan melalui peningkatan penerimaan pajak yang terus-menerus akan dapat diwujudkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini yang menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan persentasenya sangat besar untuk

2 membiayai belanja negara dibandingkan penerimaan lainnya seperti penerimaan negara bukan pajak dan hibah. Tabel 1.1 Ringkasan RAPBN dan APBN tahun 2009 (dalam milyar rupiah) RAPBN APBN A. Pendapatan Negara dan Hibah 1.003.195,3 985.725,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 1.002.256,5 984.786.5 1. Penerimaan Perpajakkan 725.843,0 725.843,0 Rasio pajak (% terhadap PDB) 13,6 13,6 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 272.403,7 258.943,6 II. Hibah 938,8 938,8 B. Belanja Negara 1.037.067,3 1.037.067,3 I. Belanja Pemerintah Pusat 760.561,3 716.376,3 II. Belanja ke Daerah 320.691,0 320.691,0 C. Surplus/Defisit Anggaran (A-B) (71.337,1) (51.342,0) % terhadap PDB (1,3) (1,0) D. Pembiayaan (I + II) 71.337,1 51.342,0 I. Pembiayaan Dalam Negeri 62.180,7 60.790,3 II. Pembiayaan Luar Negeri 9.156,3) (9.448,2) Sumber : Nota Keuangan RI (www.anggaran.depkeu.go.id) Undang-undang perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment yang menurut Mansury (2002, 7) yaitu Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajibannya melalui sistem menghitung dan membayar sendiri pajak terutang. Pada sistem ini salah satu fungsi fiskus adalah menjamin bahwa pajak yang telah dihitung, diperhitungkan, dan dilaporkan oleh Wajib Pajak telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu melalui sosialisasi peraturan perundang-undangan dan melalui pengujian terhadap kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya yaitu melalui pemeriksaan. Pemeriksaan Pajak inilah yang pada akhirnya menghasilkan ketetapan pajak, baik itu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB),

3 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) maupun Surat Tagihan Pajak (STP). Ketetapan pajak yang diterbitkan diharapkan dapat disetujui dan dibayar oleh wajib pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan negara. Di lapangan tidak setiap ketetapan pajak disetujui oleh wajib pajak. Hal ini dapat terjadi karena berbagai sebab diantaranya adalah perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan atas jumlah pajak terutang antara fiskus (pemeriksa) dan Wajib Pajak. Apabila berdasarkan hasil pembahasan akhir (closing conference) tidak diketemukan kesepakatan antara kedua belah pihak pihak, maka ketetapan pajak tersebut tetap akan diterbitkan oleh pemeriksa sebagai fiskus sesuai dengan perhitungannya. Untuk itu, dengan kuasa Pasal 25 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007, wajib pajak yang tidak setuju terhadap ketetapan pajak yang diterbitkan bisa mengajukan keberatan yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Undang-undang perpajakan memberikan hak kepada Wajib Pajak apabila ia merasa tidak puas terhadap hasil ketetapan pajak yang diterbitkan fiskus dalam pemeriksaan, yaitu dengan mengajukan keberatan atas ketetapan pajak tersebut. Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak selambat-lambatnya harus memberikan keputusan terhadap keberatan selama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diajukan oleh wajib pajak, lebih dari tenggang waktu yang ditentukan, permohonan keberatan dianggap disetujui, sesuai dengan apa yanga diajukan oleh Wajib Pajak. Pada saat proses keberatan, fiskus mempertimbangkan faktor-faktor formal yang berkaitan dengan penerbitan ketetapan pajak yang diajukan keberatan, surat keberatan Wajib Pajak dan substansial pokok sengketa sebelum mengeluarkan ketetapan atas keberatan Wajib Pajak. Apabila setelah terbit keputusan keberatan atas wajib pajak tersebut, Wajib Pajak belum juga merasa puas maka proses selanjutnya yang dapat ditempuh adalah proses banding ke Pengadilan Pajak. Permohonan banding ditujukan untuk memperoleh kepastian dan jawaban atas ketidaksetujuan Wajib Pajak atas keputusan yang telah diterbitkan fiskus. Peradilan Pajak melalui Pengadilan Pajak, merupakan peradilan tingkat banding, dan berasal dari ketentuan yang

4 diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Atas permohonan banding tersebut, Pengadilan Pajak mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, baik Wajib Pajak maupun Fiskus masih dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung apabila tidak setuju. Seandainya atas putusan Pengadilan Pajak sudah tidak ada sengketa lagi, bila Wajib Pajak ditolak atau diterima sebagian bandingnya, maka Wajib Pajak harus melunasi utang pajak sesuai dengan putusan tersebut. Pasal 86 Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Lebih lanjut dalam Pasal 27A Undang-undang Nomor 28 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan bahwa apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan untuk Surat Ketetapan Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih bayar dihitung sejak tanggal diterbitkannyna Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Idealisme dan kenyataan merupakan dua hal yang berbeda dalam hukum. Peradilan merupakan suatu badan yang secara ideal diharapkan akan

5 mempertemukan dua hal yang berbeda tersebut di atas dan memberikan keadilan. Sebaliknya hukum perpajakan mempunyai unsur kenyataan yang harus dihadapi masyarakat (Wajib Pajak). Unsur ini menciptakan berbagai hal, seperti kepatuhan atau penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan perpajakan. Penegakan hukum pajak dalam sengketa pajak pada hakikatnya untuk memberikan perlindungan hukum, baik kepada Wajib Pajak maupun pejabat pajak sebagai wakil negara. Wajib Pajak mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk kewajiban dan haknya tidak terlanggar. Sementara itu, pejabat pajak mendapatkan perlindungan hukum sebagai suatu pembenaran untuk memungut pajak dan bahkan menagih pajak untuk mengisi kas negara sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban Wajib Pajak. Perlindungan hukum tersebut tidak boleh terlaksana secara sepihak karena dapat menimbulkan ketidakadilan dan seyogyanya penegakan dan kepastian hukum benar-benar dihayati dan dilaksanakan untuk kepentingan pengamanan hak-hak keuangan Negara. Penegakan hukum pajak dalam sengketa pajak melalui peradilan pajak dilakukan oleh Lembaga Keberatan dan Pengadilan Pajak yang berpuncak kepada Mahkamah Agung dengan cara memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU KUP seperti telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, disebutkan antara lain bahwa : Terhadap Surat Keberatan yang diajukan Wajib Pajak kewenangan penyelesaian tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima Dalam ketentuan di atas, undang-undang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, untuk menjalankan kekuasaan yudikatif dalam pemeriksaan dan putusan (bentuk formalnya adalah keputusan) atas perkara keberatan yang merupakan suatu perkara sengketa pajak. Istilah pemeriksaan tingkat pertama menunjukkan bahwa DJP melaksanakan fungsi peradilan pada tingkat pertama, seperti terjadi pada pengadilan perdata dan peradilan tata usaha negara. Peradilan Pajak dalam proses keberatan kadangkala melakukan peradilan pajak secara murni maupun peradilan pajak yang tidak

6 murni atau semu yang sering disebut sebagai Peradilan Doleansi atau Peradilan Semu. Dikatakan Peradilan Semu karena proses penyelesaian sengketa untuk mencari keadilan tersebut diputus oleh yang memberi keputusan (fiskus sebagai Penelaah Keberatan) itu sendiri. Reformasi di bidang administrasi perpajakan, dimulai pada tahun 2002 DJP melakukan reorganisasi internal secara besar-besaran dengan membentuk untuk pertama kali Kantor Wilayah (Kanwil) Modern dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Modern yaitu Kanwil XIX DJP Wajib Pajak Besar, KPP Wajib Pajak Besar Satu dan KPP Wajib Pajak Besar Dua. Dasar pembentukannya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 65/KMK.01/2002 tanggal 27 Februari 2002 dan selanjutnya secara bertahap sampai dengan tahun 2008 untuk seluruh Kanwil dan KPP di seluruh Indonesia yang terakhir dikeluarkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.01/2008 tanggal 6 Mei 2008 dengan pembentukan Kanwil Modern di wilayah timur Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut merupakan organisasi yang berbeda dari struktur organisasi sebelumnya yang pernah ada di lingkungan DJP. Salah satu perbedaan tersebut adalah proses keberatan pada organisasi modern dilaksanakan pada Kantor Wilayah, tidak lagi pada Kantor Pelayanan Pajak. Walaupun proses keberatan ditangani oleh instansi vertikal yang lebih tinggi dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yaitu pada tingkat Kantor Wilayah (Kanwil), tetap saja masih berada dalam satu instansi, yaitu DJP itu sendiri. Dengan kata lain, baik secara organisasi, administrasi, keuangan, dan pembinaan teknis peradilan berada dalam kekuasaan eksekutif. Bagi Pengadilan Pajak yang tidak mengenal peradilan pajak secara tidak murni karena pihak-pihak yang bersengketa tidak melibatkan pihak pemutus (hakim) dalam penyelesaian sengketa pajak termaksud yang dikenal dengan istilah Banding. Nurmantu (2005, 142) mengungkapkan Peradilan administrasi murni ini merupakan suatu peradilan dimana ada dua pihak yang bersengketa dan yang mengambil keputusan adalah pihak ketiga yang bebas dari pihak pertama maupun kedua. Banding dalam peradilan pajak merupakan review tingkat kedua dalam Peradilan Administrasi yang fungsinya dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak yang secara struktural berada di luar struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak

7 dan Departemen Keuangan sehingga diharapkan keadilan dapat diberikan sebaikbaiknya kepada Wajib Pajak. 1.2. Perumusan Masalah Pelaksanaan hukum pajak 1 sebagaimana diungkapkan Santoso Brotodihardjo yang dikutip Darussalam dan Danny Septriadi (2006, 53) di hampir semua negara dilakukan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini adalah pemerintah. Pelaksanaan hukum pajak dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan berbagai ketentuan perpajakan yang dapat berupa peraturan (regulation), putusan (decree), surat edaran (circular letter), dan ketentuanketentuan lainnya (general rulings). Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang pajak yang berlaku (PPh, PPN dan KUP), pemerintah diberi delegasi untuk melaksanakan Undang-Undang pajak melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Jumlah putusan pengadilan yang masuk ke Pengadilan Pajak (PP) yang dapat diproses materinya (telah memenuhi syarat ketentuan formal pengajuan banding) selama periode 2000-2005 adalah sebagai berikut: Tabel 1.2 Rekapitulasi Putusan Berdasarkan Jenis Putusan Jenis Putusan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Dikabulkan Sebagian 275 239 193 377 340 586 25,23% 29,08% 20,38% 28,30% 29,31% 33,16% Dikabulkan Seluruhnya 643 393 527 725 619 863 58,99% 47,81% 55,65% 54,43% 53,36% 48,84% Ditolak 172 190 227 230 201 318 15,78% 23,11% 23,97% 17,27% 17,33% 18,00% T O T A L 1.090 822 947 1.332 1.160 1.767 Sumber : Data diolah dari website Pengadilan Pajak: www.setpp.depkeu.go.id. 1 hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturanperaturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orangorang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak).

8 Dari tabulasi di atas terlihat bahwa mayoritas putusan banding dimenangkan oleh Wajib Pajak sebagai pemohon banding (baik berupa putusan Dikabulkan Seluruhnya maupun putusan Dikabulkan Sebagian) daripada fiskus sebagai terbanding (berupa putusan Ditolak). Salah satu pokok permasalahan yang sering muncul dalam proses keberatan dan banding terkait masalah cash pooling dalam grup baik yang menimbulkan biaya bunga maupun penghasilan bunga. Jumlah putusan yang terkait masalah transaksi cash pooling selama dua tahun terakhir adalah : Tabel 1.3 Rekapitulasi Putusan Berkaitan dengan Transaksi Cash Pooling Tahun 2007-2008 Jenis Putusan Dikabulkan Jumlah Putusan 2007 2008 Nilai Koreksi Jumlah Nilai Koreksi Putusan Sebagian - - - - Dikabulkan Seluruhnya 1 925.675.229 2 12.738.964.772 Ditolak - - 1 1.622.959.861 Jumlah 1 925.675.229 3 14.401.924.633 Sumber : Data diolah dari data internal DJP Dalam proses keberatan, penelaah keberatan selalu menggunakan dasar yang sama dengan pemeriksa dalam hal mempertahankan koreksi, melalui pendekatan arm s length rate atas tingkat suku bunga yang dipakai dalam transaksi ini yaitu sesuai dengan tingkat bunga pasar. Namun dalam putusan banding di pengadilan pajak, majelis hakim hampir selalu memenangkan wajib pajak sebagai pemohon banding atas permasalahan ini dengan berbagai alasan. Tentunya hal ini sangat memberatkan Direktorat Jenderal Pajak yang harus mengembalikan pokok pajak yang telah disetor ketika mengajukan banding beserta imbalan bunganya kepada wajib pajak. Apabila hal ini terus berlarut-larut maka dapat mengurangi penerimaan pajak secara signifikan yang telah dikumpulkan oleh DJP dengan susah payah hanya karena untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak sebagai Pemohon Banding. Atas keseluruhan koreksi atas biaya bunga maupun penghasilan bunga yang timbul akibat transaksi

9 cash poling baik ditingkat pemeriksaan, keberatan dan banding tidak pernah menyentuh masalah yang paling substansial yaitu mengenai transaksi cash pooling itu sendiri. Secara singkat dapat dideskripsikan cash pooling adalah salah satu teknik manajemen kas yang didisain untuk memperbaiki kondisi operasional, resiko dan kondisi keuangan yang dihasilkan oleh manajemen kas milik sebuah perusahaan atau grup perusahaan. Dua pendekatan yang digunakan adalah notional pooling dan cash concentration. Dengan pendekatan notional pooling, dana yang ada tidak dipindahkan tapi bank akan menggabungkan saldo dari berbagai account dan membayar/mengenakan bunga pada account gabungan saja. Pada cash concentration dana secara fisik dipindahkan ke dalam satu account gabungan (concentration on account). Zero balancing dan flexible balancing adalah dua cara yang digunakan dalam implementasi cash concentration. Menurut Wisselink dan disarikan oleh Gunadi (1994, p.9) Transaksi cash pooling memenuhi kriteria transfer pricing 2 yang dengan mempertimbangkan atribut entitas, dapat ditarik benang merah antara intercompany maupun intercompany transfer - yang pertama merujuk pada transfer antar divisi pada satu entitas, sedangkan yang lain mengacu pada transfer antarentitas dalam satu keluarga besar perusahaan. Berdasarkan pertimbangan atribut entitas, maka cash pooling dapat dikategorikan sebagai intercompany maupun intercompany transfer. Pada akhirnya jika sebagai intercompany transfer bila dipandang dari sisi anak perusahaan sebagai bagian dari grup maka transaksi cash pooling dapat sebagai pinjaman dari pemegang saham (pemegang saham atau perusahaan induk sebagai pemegang pooling account) yang menimbulkan biaya bunga maupun sebagai pinjaman kepada pemegang saham yang akan menimbulkan pendapatan bunga. Jadi, sengketa pajak atas biaya bunga dan penghasilan bunga cash pooling ini menarik untuk dijadikan penelitian secara akademis karena hal-hal berikut: 2 dalam arti yang lebih luas, transfer pricing termasuk penentuan harga antara beberapa entitas, yang secara hukum pemiliknya bisa sama ataupun berbeda.

10 1. Melibatkan jumlah nominal intercompany transfer yang cukup besar akibat transaksi cash pooling yang dilakukan oleh wajib pajak dalam satu grup usaha yang sama. 2. Selalu diajukan keberatan oleh Wajib Pajak atas koreksi biaya bunga maupun penghasilan bunga cash pooling. Dengan kata lain, wajib pajak tidak pernah menyetujui koreksi fiskus terhadap permasalahan ini. 3. Seringnya DJP menuai kekalahan di tingkat banding dalam sengketa atas biaya bunga maupun penghasilan bunga cash pooling. Berdasarkan uraian-uraian di atas, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan meliputi : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antara keputusan keberatan dengan putusan pengadilan pajak atas permasalahan Transaksi Cash Pooling? 2. Bagaimana solusi-solusi dan rekomendasi yang bisa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk meminimalisasi perbedaan antara keputusan keberatan dengan putusan pengadilan pajak atas permasalahan ini. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antara keputusan keberatan dengan putusan pengadilan pajak atas permasalahan Transaksi Cash Pooling. 2. Untuk memberikan rekomendasi yang bisa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk meminimalisasi perbedaan antara keputusan keberatan dengan putusan pengadilan pajak atas permasalahan ini. 1.4. Signifikansi Penelitian Ada dua macam signifikansi penelitian yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian ini, yaitu: 1. Signifikansi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan para akademisi yang mendalami bidang perpajakan untuk melakukan studi di

11 bidang perpajakan khususnya mengenai permasalahan transaksi cash pooling, baik pada tingkat pemeriksaan, keberatan maupun banding. 2. Signifikansi Praktis a. Bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Direktur Jenderal Pajak agar dapat meminimalisasi jumlah imbalan bunga yang nyata-nyata mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak yang berasal dari sengketa pajak khususnya dalam permasalahan transaksi cash pooling. b. Bagi wajib pajak dan praktisi pajak Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi Wajib Pajak dan praktisi pajak terhadap permasalahan transaksi cash pooling. 1.5. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh, maka akan disajikan sistematika pembahasan dengan urut-urutan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Secara umum bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN LITERATUR Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang berkaitan dengan transaksi cash pooling yang meliputi aspek-aspek yang terkait yaitu konsepsi keadilan, peradilan pajak baik di tingkat keberatan maupun banding, konsepsi transaksi cash pooling beserta alasan yang mendasarinya, manajemen kas, pendanaan perusahaan, hubungan istimewa, rasio utang terhadap modal (DER) yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia. Pada bab ini juga dikemukakan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penulisan ini. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan metode penelitian yang digunakan dilengkapi dengan model analisis.

12 BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini merupakan pembahasan gambaran umum objek penelitian yaitu lembaga keberatan, pengadilan pajak, sengketa pajak dan jenis-jenisnya, kewajiban, hubungan istimewa, dan substance over form dilihat dari sudut pandang PSAK dan UU PPh, jenis-jenis keputusan keberatan dan putusan banding. Selain itu akan dibahas juga perlakuan perpajakan terhadap permasalahan transaksi cash pooling sebagai pertimbangan pengambilan keputusan keberatan dan putusan banding dan syarat-syarat kewajaran transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa khususnya berkaitan dengan masalah transaksi cash pooling, potensi perpajakan dalam permasalahan transaksi cash pooling, analisa mendalam terhadap putusan banding yang berkaitan dengan masalah ini yang diterbitkan pada tahun 2008, apa yang mendasari terbitnya keputusan keberatan dan putusan hakim terhadap permasalahan ini, serta uraian hasil wawancara dengan pihakpihak yang terkait. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pembahasan dan saransaran bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mengatasi permasalahan cash pooling.