PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

Transnational Organized Crime (TOC)

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 447/Kpts-II/2003 TENTANG TATA USAHA PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN DAN PEREDARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

TINJAUAN PUSTAKA. daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk

PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR *)

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana

BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB III HASIL PENELITIAN & ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG-BURUNG DI INDONESIA

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward Thomas Lamury Hadjon Program Kekhususan Hukum Internasional ABSTRACT

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR

Persyaratan untuk Cakupan Sertifikat Menurut APS

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing

Transnational Organized Crime

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemilihan Studi. Permainan menurut Joan Freeman dan Utami Munandar (dalam Andang

BAB II KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 31/Menhut-II/2009 TENTANG AKTA BURU DAN TATA CARA PERMOHONAN AKTA BURU DENGAN RAHMAT TUHAN

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka yang terancam punah (IUCN Red List of Threatened

DAFTAR PUSTAKA. Hardjasoemantri, Koesnadi.1995.Hukum Perlindungan Lingkungan: Koservasi

Gajah Liar Ini Mati Meski Sudah Diobati

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)

Legalitas Pengeksporan Hasil-Hasil Hutan ke Negara-Negara Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Kota, Negara Tanggal, 2013

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada usia dini anak mengalami masa keemasan yang merupakan masa dimana

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang yang dihasilkan dari perdagangan ilegal tadi. Cindera mata untuk para wisatawan yang terbuat dari gading, kulit penyu, bulu burung, kulit hewan, tulang atau kulit satwa langka diperjualbelikan secara terbuka. Penjualan produk-produk ini menyebabkan banyak hewan terancam punah dan tindak kejahatan semakin meningkat. Secara global, perdagangan satwa liar ilegal telah berkembang dan memberi kontribusi yang signifikan pada punahnya satwa liar kita yang paling berharga. Sebagai contoh, 95% penyusutan populasi harimau sejak awal abad ke-20 terjadi dalam 25 tahun terakhir, perburuan dan perdagangan ilegal memberi andil pada penyusutan ini. Nilai dari perdagangan ilegal ini diperkirakan berkisar antara US $ 10 sampai 20 miliar per tahun (Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia, 2008). Satwa liar yang dilindungi di Indonesia seperti orangutan, harimau, badak, dan gajah, menghadapi ancaman serius dari aksi perburuan dan perdagangan. Wildlife Conservation Society (WCS) menilai perdagangan satwa liar makin marak karena lemahnya hukum yang ada di Indonesia (Amarullah, 2008). Hampir setiap kota di Sumatera Utara dengan mudah dapat dijumpai tempat-tempat penjualan satwa liar, terutama pasar burung. Biasanya satwa-satwa tersebut diperdagangkan dalam keadaan hidup sebagai satwa peliharaan, makanan atau sebagai obat. Kondisi tersebut menjadi latar belakang kegiatan dalam melakukan penelitian mengenai nilai ekonomi perdagangan satwa liar di

Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Karena sampai sekarang belum diketahui nilai ekonomi perdagangan satwa liar di dua loksai tersebut. Perumusan Masalah Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang diminati sebagian masyarakat, sehingga penangkapannya di alam selalu berlanjut tanpa henti. Penangkapan satwa liar didasarkan pada nilai. Nilai yang dicari oleh penangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe adalah nilai ekonomi yang terdapat pada satwa liar. Karakteristik penangkap dan jenis satwa liar yang ditangkap untuk diperdagangkan belum diketahui secara pasti, begitu juga dengan rantai perdagangan serta nilai ekonomi yang terdapat pada satwa liar tersebut. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik penangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe? 2. Jenis satwa liar apa yang diperdagangkan oleh penangkap di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe? 3. Bagaimana rantai perdagangan satwa liar dari penangkap di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe? 4. Berapa nilai ekonomi hasil perdagangan satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui karakteristik penangkap satwa liar di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe. 2. Mengetahui jenis satwa liar yang diperdagangkan oleh penangkap di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe. 3. Mengetahui rantai perdagangan satwa liar dari penangkap di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe. 4. Menghitung nilai ekonomi satwa liar yang diperdagangkan oleh penangkap di Kelurahan Sidiangkat dan Desa Sembahe. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam: 1. Menyediakan informasi tentang perdagangan satwa liar bagi pihak yang berkepentingan. 2. Menambah pengetahuan dan kesadaran berbagai pihak akan pentingnya penilaian ekonomi terhadap hasil hutan selain kayu seperti satwa liar..

TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Satwa Liar Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 UU RI No. 5/1990, menyatakan satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Berdasarkan penjelasan atas UU RI No. 5/1990, ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian satwa (UU, 1990). Nilai Ekonomi Lingkungan Apakah sumber daya alam itu mempunyai nilai? Menurut Karl Marx, selama sumber daya alam itu belum dicampuri oleh tenaga manusia, maka sumber daya alam itu tidak mempunyai nilai. Sebaliknya, menurut para ahli ekonomi di negara barat, segala sesuatu yang dapat dijualbelikan pasti mempunyai nilai (Suparmoko, 1997). Ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan manusia dalam memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga fungsi/peranan lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan dalam penggunaannya untuk jangka panjang (Suparmoko dan Maria, 2000). Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Bab I, Ketentuan Umum, Bagian Kesatu, Pasal 1 KEPMENHUT RI No. 447/2003, menyatakan CITES adalah konvensi (perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi di habitat alamnya melalui

pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar. CITES didasarkan atas tiga Apendiks untuk menentukan status suatu spesies tertentu (KEPMENHUT, 2003): 1. Apendiks I adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan izin khusus. 2. Apendiks II adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah, namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan. 3. Apendiks III adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang oleh suatu negara tertentu pemanfaatannya dikendalikan dengan ketat dan memerlukan bantuan pengendalian internasional. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) IUCN (2001) menyatakan kategori konservasi IUCN versi 3.1 meliputi: 1. Punah (Extinct; EX) Suatu takson dinyatakan punah apabila tidak ada keraguan lagi bahwa individu terakhir sudah mati. Takson diasumsikan punah ketika survei secara terus menerus pada habitat yang diketahui pada rentang waktu tertentu gagal untuk menemukan satu individu. Survei dilakukan sesuai dengan siklus kehidupan dari spesies yang dipelajari.

2. Punah di alam liar (Extinct in the wild; EW) Suatu takson dinyatakan punah di alam liar ketika takson tersebut diketahui hanya bisa ditemui di penangkaran tertentu. 3. Kritis atau sangat terancam punah (Critically endangered; CR) Suatu takson dinyatakan kritis atau sangat terancam akan kepunahan apabila memenuhi salah satu kriteria A sampai E untuk sangat terancam punah sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar. 4. Terancam (Endangered; EN) Suatu takson dinyatakan genting ketika dinyatakan memenuhi salah satu kriteria A sampai E untuk keadaan genting, sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar. 5. Rentan (Vulnerable; VU) Suatu takson dinyatakan rentan ketika data-data mengindikasikan kesesuaian dengan salah satu kriteria A sampai E untuk rentan atau rawan, sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar. 6. Hampir Terancam (Near Threatened; NT) Suatu takson dinyatakan mendekati terancam punah apabila dalam evaluasi tidak memenuhi kategori kritis, genting, atau rentan pada saat ini tetapi mendekati kualifikasi atau dinilai akan memenuhi kategori terancam punah dalam waktu dekat.

7. Risiko Rendah (Least Concern; LC) Suatu takson dinyatakan berisiko rendah ketika dievaluasi, tidak memenuhi kriteria kritis (Critically Endangered; CR), genting (Endangered; EN), rentan (Vulnerable; VU), atau mendekati terancam punah (Near Threatened; NT). 8. Data Kurang (Data Deficient; DD) Suatu takson dinyatakan "informasi kurang" ketika informasi yang ada kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi. 9. Tidak dievaluasi (Not Evaluated; NE) Suatu takson dinyatakan "tidak dievaluasi" ketika tidak dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas. Perdagangan Satwa Liar Pengendalian perdagangan satwa liar BKSDA (2007) meyatakan kegiatan perdagangan satwa liar, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku dan CITES, secara umum mengikuti tahapan penentuan kuota, perizinan, perdagangan satwa liar, dan pengawasan peredaran satwa liar sebagai suatu sistem dalam pengendalian perdagangan satwa liar. 1. Kuota Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan penetapan kuota pengambilan/penangkapan satwa liar dari alam. Kuota merupakan batas maksimal jenis dan jumlah satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota

pengambilan/penangkapan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi. Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk setiap kurun waktu satu tahun. Dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Untuk itu peranan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan sangat berarti dalam membantu informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dimanfaatkan. 2. Perizinan Perdagangan jenis satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan mendapat izin dari Pemerintah (Departemen Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal PHKA). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 477/Kpts-II/2003, dikenal tiga jenis izin perdagangan satwa liar, yaitu : 1. Izin mengambil atau menangkap satwa liar, yang diterbitkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). 2. Izin sebagai pengedar satwa liar Dalam Negeri, yang diterbitkan BKSDA. 3. Izin sebagai pengedar satwa liar ke dan dari Luar Negeri, yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal PHKA. 3. Perdagangan satwa liar Legalitas peredaran satwa liar untuk tujuan perdagangan ditunjukkan dengan memiliki dokumen berupa Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar

Dalam Negeri (SATS-DN), untuk meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri. Dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN), untuk meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri (ekspor)/cites export permit, dari luar negeri (impor)/cites import permit, dan pengiriman lagi ke luar negeri (re-ekspor)/cites re-export permit. Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang diangkut, nama dan alamat pengirim, serta asal dan tujuan pengiriman. 4. Pengawasan dan pembinaan perdagangan satwa liar Dilakukan mulai dari tingkat kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen satwa liar, pengawasan peredaran dalam negeri, dan pengawasan ke dan dari luar negeri. Pengawasan penangkapan satwa liar di alam dilakukan dengan tujuan agar pemanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap), penangkapan dilakukan dengan tidak merusak habitat atau populasi di alam, dan untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup, tidak menimbulkan banyak kematian yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar. Di samping itu, dalam rangka pengendalian perdagangan satwa liar, Direktorat Jenderal PHKA beserta BKSDA melakukan pembinaan kepada para penangkap satwa liar, pengedar satwa liar dalam negeri, pengedar satwa liar luar negeri, dan para asosiasi pemanfaat satwa liar. Namun demikian, pengawasan terhadap berbagai aktivitas di atas, mulai dari penangkapan di habitat alam, pengiriman di dalam negeri dan pengiriman ke luar negeri, adalah pekerjaan yang tidak mudah. Untuk itu kerjasama dan koordinasi antara Direktorat Jenderal

PHKA dan BKSDA dengan instansi terkait seperti Bea Cukai, Balai Karantina, dan Kepolisian serta masyarakat (lembaga swadaya masyarakat) sangat penting. Perdagangan satwa liar ilegal Pengaturan perdagangan satwa liar yang dijalankan berdasarkan peraturan perundangan nasional dan CITES, adalah dalam upaya memanfaatkan potensi satwa liar secara lestari. Di balik itu, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perdagangan satwa liar ilegal juga terjadi baik di tingkat nasional maupun internasional (BKSDA, 2007). Satwa liar yang yang menjadi sasaran perdagangan ilegal mengancam lebih parah kelestarian suatu jenis satwa liar, karena pada umumnya dari jenisjenis yang berdasarkan hukum nasional termasuk dalam kategori dilindungi, atau masuk dalam kategori Apendiks I CITES. Beberapa jenis satwa liar yang diperdagangkan secara ilegal yang masuk dalam dua kategori itu, yaitu dilindungi dan masuk Apendiks I CITES, diantaranya adalah orangutan, harimau Sumatera, gajah, dan badak. Perburuan liar terhadap jenis-jenis tersebut dilakukan untuk tujuan peliharaan, kulit, taring, dan gading atau cula (BKSDA, 2007). Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 1999 dan CITES menjelaskan bahwa, pemanfaatan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Apendiks I CITES dimungkinkan dilakukan, melalui upaya penangkaran. Satwa liar dilindungi dapat dimanfaatkan melalui upaya penangkaran, setelah hasil penangkaran mencapai generasi kedua (F2), dan unit usaha penangkarannya telah terdaftar di Sekretariat CITES. Namun demikian perdagangan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Apendiks I CITES dari hasil penangkaran, di Indonesia tidak banyak dilakukan, kecuali untuk jenis arwana dan beberapa jenis burung. Faktanya adalah

perdagangan satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Apendiks I CITES yang diambil dari habitat alam masih terjadi, baik untuk perdagangan di dalam negeri dan perdagangan ke luar negeri. Tentu saja, perburuan ilegal ini semakin mengancam keberadaan populasi jenis satwa liar yang di habitat alam sudah semakin sedikit, dengan habitat yang semakin terbatas. Langkah penting untuk mengatasi perburuan ilegal adalah melakukan penegakan hukum secara tegas, dan mengembangkan secara terus menerus teknik/metode penangkaran satwa liar dilindungi dan terdaftar dalam Apendiks I CITES (BKSDA, 2007).