BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Konservasi Alam dalam Proses Menjadi

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5%

BAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. bermanfaat bagi seluruh masyarakat merupakan faktor penting yang harus

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

RPI Politik dan Hukum Pengurusan Hutan

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

BAB VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DAN MARJINALISASI PETANI

MANAJEMEN KONFLIK ANTARPRIBADI PASANGAN SUAMI ISTRI BEDA AGAMA

Kerangka Kerja RPPI Politik dan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Lebih jauh lihat diakses pada 15 October WIB.

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

KESIMPULAN DAN SARAN

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB VII P E N U T U P

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PENUTUP. utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI

Prespektif CBFM Sebagai Salah Satu Skema Utama Penerima Manfaat Pendanaan Karbon Untuk Penurunan Kemiskinan Dan Resolosi Konflik

II. PENDEKATAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RINGKASAN. tambang emas yang dikelola oleh masyarakat kabupaten Aceh Jaya.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERAN PERSATUAN MAHASISWA DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

Seri Diskusi Ilmiah Restorasi Ekosistem di IPB

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

BAB VI PENUTUP. menyuarakan penolakannya. Penolakan yang didasari atas kearifan lokal terhadap

8.1 Temuan Penelitian

Latar Belakang PENELITIAN INTEGRATIF LATAR BELAKANG POLITIK DAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 09/06/2015 BOGOR, 27 MEI 2015

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diamandemen ke-4, Bab

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

BAB IV KESIMPULAN. A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

- 2 - sistem keuangan dan sukses bisnis dalam jangka panjang dengan tetap berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pemba

BAB 1 PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB VII PENUTUP. perekonomian yang cukup tinggi serta akan menjadikan Bali sebagai salah satu

I. PENDAHULUAN. ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

Eksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada

BAB I PENDAHULUAN. (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai gagasangagasan

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

ABSTRAK. Kata kunci : masyarakat adat, Suku Dayak Limbai, Goa Kelasi, aturan adat, perlindungan sumberdaya hutan

: Tiga Asas Luhur dalam Kehidupan Manusia Terdiri dari 2 kegiatan belajar. 1. Asas Keutuhan Watak dan Asas Kesusilaan 2. Asas Keadilan.

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

Transkripsi:

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi pihak di kawasan konservasi TNUK dipengaruhi oleh benturan ragam sistem pengetahuan dan paradigma konservasi yang dianut para aktor dan melekat pada kepentingan serta tujuan yang ingin dicapai. Para pemangku kepentingan di BTNUK/para pendukungnya nampak lebih berwatak konservasionis-developmentalistik sementara masyarakat petani/para pendukungnya bercorak eko-populis. Watak paradigmatik ini menentukan pola hubungan, model dan produk politik kebijakan serta program pengelolaan, penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, termasuk posisi masyarakat di sekitar/dalam kawasan TNUK. Hal lain yang menjadi latar historis kontestasi multi pihak adalah persoalan relasi kekuasaan yang timpang (unequal power relation) antara masyarakat dan badan otoritas TNUK. Di satu pihak otoritas TNUK/para pendukungnya sebagai wakil negara beserta klaim kewenangan (berikut argumentasinya). Di pihak lain, masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUK/para pendukungnya sebagai warga negara (beserta hak dan kewajibannya). Kontestasi ini terkait erat dengan beragam kepentingan sosial, politik-ekonomi di tingkat lokal, nasional dan internasional secara simultan dengan proyek pembangunanisasi. Bentuk kontestasi meliputi persoalan politik tata batas dan tata kelola, perebutan pemanfaatan sumberdaya hutan, pertarungan ideologi konservasi-ekologi dan pro-kontra atas masuknya proyek-proyek pembangunan daerah. 2. Ragam kepentingan multi pihak dipertarungkan dalam beragam konteks dan tingkatan. Baik dalam konteks kebijakan politik, ekonomi, ekologi dan konservasi yang ada di tingkat lokal maupun nasional. Terdapat dua simpul 123

moment kontestasi; penetapan kawasan TNUK (1984) dan proyek pemagaran Badak (2010). Kontestasi multi pihak di TNUK dilandasi oleh beberapa hal; Pertama, pespektif atas manusia di sekitar/dalam kawasan TNUK yang masih dipandang sebagai ancaman daripada solusi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua, sumberdaya hutan konservasi TNUK difahami sebagai kawasan yang unik, khas dan utuh untuk dilindungi dan awetkan yang tidak boleh ada sentuhan tangan manusia. Meskipun di sisi lain sudah mulai muncul pemahaman bahwa sumberdaya hutan sebagai aset pembangunan (commodity). Namun, kedua pemahaman ini sama-sama mengabaikan pemahaman konsep hutan sebagai konstruksi sosial, antara masyarakat dan ekositem di sekitarnya, yang meniscayakan ruang hidup (life space) dan bagian integral ekosistem hutan. Akibatnya, pengelolaan kawasan konservasi TNUK lebih ke arah model pengelolaan semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang bertaut erat dengan kepentingan politik-ekonomi dan agenda pembangunanasisasi di tingkat daerah, nasional dan internasional dalam beragam variasi dan bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa beragam proyekproyek atas nama ekologi dan konservasi berikut argumenasinya secara simultan juga merupakan bagian (tak terpisahan) dari kepentingan proyek ekonomi-politik (berikut argumenasinya). 3. Aksi petani dalam kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, dengan beragam bentuk pilihan strategi perlawanannya sangat ditentukan oleh kemampuan artikulatif atas persoalan yang dihadapi, sumberdaya (manusia, pengetahuan, power relation, modal sosial-ekonomi) yang dimiliki masyarakat petani dan karakter rejim yang dihadapi. Akibat fragmentasi secara sosial-politik dan belum terpenuhinya syarat-syarat monolitik sebagai sebuah gerakan petani, aksi perlawanan masyarakat petani Legon Pakis memiliki dinamikanya sendiri. Dari pilihan bentuk perlawanan diam-diam/terselubung, konfrontasi hingga memilih bentuk aksi perlawanan yang lebih bercorak negosiatif (kolaboratif). Pilihan strategi tersebut merupakan bagian dari kalkulasi rasional petani yang lebih bersifat dinamis daripada pilihan statis dan mutlak. Sangat ditentukan dan 124

tergantung pada daya cerdas hitungan tingkat resiko, sensitifitas adaptasi situasi dan power struggle yang dimiliki masyarakat petani dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. 4. Orientasi dan dinamika kebijakan pengelolaan kawasan hutan (termasuk di dalamnya adalah kawasan konservasi) sangat ditentukan oleh kondisi internal dan ekternal. Secara internal struktur perubahan politik, madzhab ideologis yang dianut dan kepemihakan rejim penguasa menjadi faktor utamanya. Sedangkan secara eksternal pengaruh dan intervensi kekuatankekuatan (politik-ekonomi) global beserta program dan agendanya menjadi faktor pentingnya. Praktik politik penataan, pengelolaan dan penguasaan ruang kawasan konservasi oleh negara (beserta aparatusya), masih kuat dihinggapi politic of ignorance (politik pengabaian) yang memutus hak dan akses petani atas sumberdaya hutan. Akibatnya, para petani mengalami proses marjinalisasi dan eksklusi dengan beragam kekuasaan (powers) sekaligus, baik regulasi (regulation), force (tekanan) dan legitimasi (legitimation) dari ruang hidup mereka sendiri. Proses marjinalisasi dan eksklusi masyarakat petani terjadi melalui beragam skema yang mengatanamakan dan demi kepentingan konservasi. 7.2 Saran Dari uraian pembahasan dan kesimpulan di atas, maka beberapa saran yang diperlukan diantaranya; 1. Para aktor yang terlibat dalam pengelolaan kawasan TNUK penting untuk memaknai kembali definisi atau merubah pardigma konservasi. Dari arti dan fungsi konservasi yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragamanhayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial-ekonomi budaya jangka panjang guna mendukung pembangunan yang berkesinambungan. Dengan demikian tujuan konservasi tidak hanya demi aneka species konservasi itu sendiri, tetapi juga menjadi keharusan di dalamnya upaya peningkatan kesejahteraan manusia/masyarakat (sekitar/dalam kawasan) yang menjadi satu bagian tak 125

terpisahkan dari matarantai ekosistem pengelolaan kawasan konservasi. Tanpa menegakkan dua fungsi konservasi itu, maka tujuan konservasi tidak akan sampai pada tujuan idealnya. Model konservasi yang tidak memisahkan kawasan hutan dengan masyarakat disekitarnya inilah yang sebut sebagian pakar sebagai salah satu ciri konservasi khas Indonesia. 97 2. Pemerintah (Kemenhut) dan BTNUK perlu mengkaji ulang akar persoalan konflik tenurial yang semakin marak di banyak kawasan Taman Nasional di Indonesia umumnya, dan TNUK khususnya. Sebab selama ini solusi, pendekatan dan strategi yang ditawarkan jarang menyentuh akar masalah utamanya, yakni ketimpangan agraria beserta ketidakadilan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya kawasan hutan. Nampaknya dibutuhkan satu model kebijakan politik-struktural yang bersifat pro poor land policy daripada kebijakan ekonomi (pembangunanisasi) dan represi, apalagi model pendekatan keamanan yang terbukti makin membangkitkan resistensi masyarakat sekitar/dalam kawasan konservasi. Perlunya memperluas ruang bagi inisiatif dan partisipasi masyarakat lokal guna terus mencari bentuk hubungan kolaborasi pengelolaan kawasan hutan konservasi yang lebih adil. 3. Upaya penyelesaian konflik hendaknya benar-benar didasari kesediaan untuk dapat menerima beragam perbedaan perspektif atau mampu bersikap inklusif, terbuka pada hal-hal baru yang lebih baik, daripada sikap pemahaman bersifat eksklusif yang cenderung tertutup dan merasa paling benar sendiri. Sehingga mampu saling menghargai secara setara suara masyarakat petani di sekitar/dalam kawasan TNUK. Sehingga kesepakatankesepahaman yang dibangun mesti di landaskan rasa keadilan dan asas manfaat bagi kedua belah pihak. Sebab pada prinsipnya, tidak semua masyarakat di sekitar hutan adalah ancaman dan masalah, bisa jadi mereka adalah bagian dari solusi bagi pengelolaan kawasan konservasi. 97 Ciri lain konservasi khas Indonesia adalah wujud dari pengetahuan lokal yang mementingkan keragaman dan pengelolaannya, baik di tingkat genetik,jenis maupun ekosistem. Argumenasi peletarian dalam konservasi khas Indonesia adalah ertimbangan rasional. Dan konservasi khas Indonesia umumnya termasuk bagian dari sitem yang jelas dari wewenang lokal dan adat yang mengatur panen, mengawasi warga keluar masuk lahan, dan menyelesaian perselisihan. Lebih jauh lihat, Andri Santosa (Ed.), Konservasi Indonesia; Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Pokja Kebijakan Konservasi, 2008, hlm. 36-37. 126

4. Dalam pengelolaan kawasan TNUK jangka panjang, hendaknya juga memperhatikan masyarakat yang berada di keseluruhan wilayah TNUK, dan perlu melakukan kajian di sekitar kampung dan desa-desa lain luar desa Ujung Jaya, untuk mendapatkan gambaran perbandingan yang lebih utuh tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya dan respon mereka atas keberadaan TNUK. Agar pihak pengelola TNUK dapat membangun sinergi yang lebih baik untuk pengelolaan TNUK secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan perluasan kerjasama multi pihak baik kepada masyarakat sekitar dan dalam kawasan dalam asas kesetaraan dan lembaga lain yang concern dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi demi peningkatan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat berdasarkan inisiatif dan kearifan lokal. 5. Secara akademis pentingnya mengembangkan kajian multi perspektif (sosial, ekonomi, ekologi-politik dan agraria) untuk mengurai beragam konflik dan tumpang tindih kebijakan dalam pengelolaan hutan (dan kawasan konservasi) di Indonesia, sebagai bagian dari upaya berkontribusi dalam pengkayaan metodologi penelitian Sosiologi Pedesaan. 127