1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. dari kemacetan hingga persaingan bisnis serta tuntutan ekonomi kian

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB 1 PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008)

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketakutan besar dalam kehidupan, dapat berdampak terhadap kualitas kehidupan

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

BAB II LANDASAN TEORI

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

Hubungan Religiusitas dengan Kepuasan Pernikahan pada Individu yang Menikah Melalui Ta aruf

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Semakin maju peradaban manusia, maka masalah-masalah yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memperoleh keturunan merupakan salah satu dari tujuan pernikahan.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. dan kasih sayang. Melainkan anak juga sebagai pemenuh kebutuhan biologis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN. wanita remaja yang telah menjadi ibu muda adalah suatu persoalan yang serius,

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan perkembangan seseorang, semakin meningkatnya usia

Transkripsi:

1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I m dying to have a baby. God why can t I just have one? Gua sering nanya ke diri gua sendiri. Kenapa gua yang pengen punya anak, susah banget dapetnya? Sementara gua baca koran dan majalah, nonton berita di TV, denger radio begitu banyak perempuan aborsi. That makes me sad Itulah sepenggal paragraf dari novel test pack, karya Ninit Yunita yang menggambarkan seorang wanita yang sangat mengharapkan kehadiran anak dalam perkawinannya. Sepenggal paragraf diatas cukup menggambarkan perasaan tokoh wanita yang sudah menanti kehadiran anak selama tujuh tahun pernikahannya. Dalam penggalan tersebut tersirat rasa sedih, dan sedikit keputusasaan karena kehadiran anak yang sangat diinginkannya tidak kunjung datang. Tokoh wanita dalam novel test pack memberikan sedikit gambaran bagaimana besarnya harapan seorang wanita yang menikah untuk memiliki anak, dan bagaimana ketidakhadiran anak mempengaruhi keadaan psikologis dirinya. Tokoh wanita dalam novel test pack terlihat sangat mementingkan kehadiran anak dalam perkawinannya. Sekilas terlihat bahwa tujuan utama tokoh wanita tersebut memasuki jenjang perkawinan adalah untuk memiliki anak. Menurut Davidson dan Moore (1996), perkawinan dapat didefinisikan sebagai perjanjian antara wanita dan pria yang mengatur beberapa hak dan kewajiban, termasuk eksklusivitas seksual, pengesahan setiap anak yang lahir, dan tanggung jawab keuangan. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa tujuan pernikahan bukanlah hanya kehadiran anak. Lebih lanjut Turner dan Helms (1995) menjelaskan bahwa motivasi yang mendorong individu untuk menikah sangat bervariasi. Motivasi

2 tersebut antara lain cinta, companionship (pertemanan), konformitas, pengesahan hubungan seksual, pengesahan kelahiran anak, dan sebagai tanda kesiapan dari segi fisik dan mental seseorang. Duvall dan Miller (1985) membedakan alasan bagi pria dan wanita. Bagi pria, alasan untuk menikah adalah karena perkawinan memberikan mereka suatu kehidupan yang normal, rumah bagi mereka sendiri, dan perasaan kepemimpinan. Sedangkan bagi wanita alasan menikah adalah karena perkawinan memberikan keamanan dari segi keuangan, dukungan emosional, dan kebanggaan. Banyak alasan seseorang memasuki jenjang perkawinan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa anak dan perkawinan memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain. Keterkaitan tersebut dapat terlihat dari tujuan perkawinan adalah untuk memiliki anak dan perkawinan merupakan wadah untuk pengesahan kelahiran anak (Campbell dalam McMahon, 1995). Kehadiran anak di dalam perkawinan dapat mempengaruhi pasangan baik secara positif maupun negatif (Atwater, 1983). Menurut Hoffman & Manis (dalam Atwater, 1983), hal positif yang bisa didapatkan pasangan dari kehadiran anak di dalam perkawinan adalah anak dapat membuat pasangan menjadi lebih dewasa, bertanggung jawab, serta memiliki tujuan di dalam hidupnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gallup dan Newport (dalam Bird & Mellville, 1994), menyatakan hal positif lainnya yang bisa didapatkan orangtua dari kehadiran anak di dalam perkawinannya antara lain yaitu: sebanyak 12 persen partisipan berpendapat anak memberikan cinta dan kasih sayang kepada orangtua; 11 persen berpendapat bahwa melihat pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan hal yang menyenangkan bagi orangtua; 10 persen berpendapat bahwa anak membawa kebahagiaan dan kegembiraan; 7 persen menganggap bahwa anak sebagai rasa pembentukan keluarga; dan 6 persen partisipan berpendapat anak membawa pemenuhan dan kepuasan di dalam keluarga. Namun tidak dipungkiri, selain memberikan dampak yang positif, kehadiran anak di dalam perkawinan juga dapat menimbulkan adanya tekanan di dalam perkawinan, dimana dengan adanya anak dapat mengurangi kebersamaan pasangan yang seringkali dapat menimbulkan ketidakpuasan (Atwater, 1983).

3 Sekalipun anak dan perkawinan memiliki kaitan yang erat (Campbell, dalam McMahon, 1995) namun tidak semua perkawinan memiliki anak di dalamnya. Alasan ketidakhadiran anak dalam perkawinan bisa berbeda pada pasangan yang berbeda. Secara garis besar, Miall (1986) membaginya menjadi dua macam pasangan, yaitu pasangan yang merencanakan tidak ingin memiliki anak (Voluntary childless) dan Tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childless).. Sebagian besar kasus Involuntary childless didiagnosa secara medis sebagai hasil dari ketidakmampuan fisik (Physical impairment). Bentuk lain nya adalah ketidakmampuan memiliki anak yang juga disebabkan karena adanya masalah psikologis, walaupun jumlahnya sangat sedikit (Weinstein, dalam Miall 1986). Selain itu, Involuntary childless juga bisa disebabkan karena peran dalam lingkungan sosial. Pasangan suami istri tidak dapat memiliki anak karena adanya tuntutan peran sosial yang mereka jalankan (Nagi, dalam Miall 1986), salah satu contoh yang bisa kita lihat adalah seorang pramugari yang masih terikat kontrak harus menaati peraturan untuk menunda kehamilan, atau para model wanita yang harus selalu menjaga bentuk tubuhnya, terpaksa menunda kehamilan pada masa puncak dalam kariernya. Tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childlessness) bisa diartikan juga sebagai bentuk ketidakmampuan seseorang secara fisik, misalkan infertilitas Infertilitas biasa didefinisikan sebagai kegagalan pembuahan (conception) setelah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi dalam waktu minimal satu tahun (Abbey dkk., dalam Donelson, 1999). Abbey dkk (dalam Donelson, 1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak semua pasangan infertil selamanya tidak mendapatkan anak, sebanyak 40 sampai 50 persen pasangan infertil mampu memiliki anak. Secara umum, para peneliti medis membedakan infertilitas menjadi dua bagian, yaitu infertilitas primer (primary infertility) dan inferlititas sekunder (secondary infertility). Pasangan yang mengalami infertilitas primer mengalami kegagalan pembuahan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi selama setahun, dan pembuahan sama sekali tidak pernah terjadi.

4 Pasangan disebut mengalami infertilitas sekunder bila telah terjadi pembuahan, namun tidak berhasil mempertahankannya (McFalls, dalam Miall, 1986). Pasangan infertil biasanya mengalami kecemasan (anxiety), depresi, dan stres; mereka merasa tidak memadai (inadequate), kurang baik (defective), dan kurang sempurna (Abbey dkk., dalam Donelson, 1999). Pasangan infertil seringkali bergantung satu sama lain dalam hal dukungan sosial, karena mereka tidak membicarakan masalah infertilitas dengan orang lain. Hal ini dapat memperkuat hubungan perkawinan atau malah kemungkinan dapat mengarah pada perceraian (Berg & Wilson, dalam Donelson, 1999). Selain itu, masalah tidak memiliki anak dapat menjadikan pasangan frustrasi, marah satu sama lain, masalah komunikasi, masalah dalam ketidaksamaan dalam pengobatan, kesepian bahkan tidak berharga (Papalia dkk, 2004). Banyak wanita ingin merasakan menjadi ibu dan menikmatinya (Donelson, 1999). Lebih lanjut Donelson (1999) menjelaskan bahwa terdapat beberapa stereotipe sosial yang mengatakan bahwa menjadi seorang ibu adalah pencapaian utama seorang wanita. Wanita setidaknya harus memiliki dua orang anak dan bertanggung jawab terhadap perkembangan mereka sampai dewasa, dan kesalahan seorang ibu jika anakanak tidak menjadi sukses (Caplan, 1989; Ganong & Coleman, 1995 dalam Donelson, 1999). Menurut Shields dkk (dalam Donelson, 1999), hingga saat ini belum ada teori yang secara pasti mengungkapkan alasan mengapa wanita menginginkan anak. Namun, beberapa teori menyatakan bahwa keinginan tersebut merupakan bagian dari insting wanita. Sesuai dengan pernyataan Erikson (dalam Donelson, 1999) bahwa tanpa anak, seorang wanita akan mengalami kekosongan dan ketidakpuasan. Bahkan wanita yang tidak memiliki anakpun di dalam dirinya tetap terkandung keterikatan (attachment) yang kuat dengan anak-anak secara umum (infants) (Donelson, 1999). Callan (dalam Donelson, 1999) mengatakan bahwa, wanita yang tidak mendapatkan anak selama lima tahun perkawinan memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dan berpikir bahwa hidup kurang menarik, kosong, dan kurang bermakna dibandingkan dengan wanita yang telah menjadi ibu.

5 Bila dibanding dengan pria, kondisi wanita yang tidak memiliki anak menunjukkan adanya tekanan (distress) psikososial yang lebih besar (Lee, Sun, & Chao, 2001). Kondisi ini dapat terjadi karena masalah infertilitas mempengaruhi identitas seksual wanita dewasa dan self-efficacy-nya akan kehadiran anak di dalam perkawinannya (Lee dkk., 2001). Oleh karena itu wanita yang tidak memiliki anak akan merasakan kegagalan lebih dibanding pria. Wanita yang tidak memiliki anak dianggap salah atau mempunyai kelainan. Mereka dinilai egois dan tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak sepenuhnya mendapat penerimaan dalam masyarakat (Baruch dkk., dalam Donelson, 1999). Adat, kebiasaan dan religi dari banyak suku di dunia menegaskan bahwa wanita yang tidak mampu untuk melahirkan anak itu adalah inferior (Kartono, 1991). lebih lanjut Kartono mengemukakan bahwa hampir setiap bangsa di dunia ini selalu menyalahkan dan melemparkan tanggung jawab sepenuhnya kepada wanita apabila ia tidak mampu melahirkan seorang anak. Di kalangan orang Yahudi dan muslim, serta di tengah bangsa-bangsa di Afrika dan Indian Amerika, ketidakhadiran anak dijadikan sebab utama bagi pria untuk menceraikan istrinya (Kartono, 1999). Bahkan UU Perkawinan tahun 1974 yang mengatur ketentuan perkawinan di Indonesia menyatakan bahwa seorang suami diizinkan untuk menikah dengan lebih dari satu wanita, bila wanita tidak mampu untuk melahirkan anak (Sarwono dalam Gielen, 2005). UU Perkawinan tersebut terkesan memojokkan wanita yang tidak mampu untuk memiliki anak. Dari UU tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang istri harus merelakan suaminya untuk menikah dengan wanita lain, dan hal tersebut bukanlah hal yang mudah yang dapat dilakukan seorang wanita. Di Indonesia, sosok istri yang dianggap ideal adalah istri yang mampu memiliki anak, dan bila ia tidak mampu, dirinya harus merelakan suaminya untuk menikah dengan wanita lain agar suaminya dapat memiliki keturunan. Seperti terlihat dalam sebuah sinetron yang pernah tayang di sebuah televisi swasta di Indonesia dan cukup banyak penggemarnya, Istri untuk suamiku. Dalam sinetron tersebut tokoh utama wanita digambarkan tidak mampu memiliki anak, dan dia pun merelakan suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Sinetron tersebut semakin menguatkan gambaran wanita ideal dalam masyarakat

6 Indonesia bahwa seorang wanita harus mampu memberikan suaminya keturunan. Hal tersebut semakin memberikan kecemasan pada wanita Indonesia yang tidak memiliki anak. Ketika norma yang berlaku di lingkungan sosial dan nilai-nilai di masyarakat mendukung kehadiran anak dan sangat menghargai peran sebagai orangtua, ketiadaan anak dapat menjadi status yang dianggap memalukan (stigmatizing status). Hal ini dapat mempengaruhi konsep diri dan hubungan interpersonal wanita menikah (Miall, 1986). Ketidakhadiran anak juga turut mempengaruhi wanita dalam memandang dirinya sebagai wanita yang normal, karena ia merasa tidak memenuhi harapan orang-orang terdekatnya seperti suami, orangtua, mertua, dan lainnya. Kondisi ini akan menyebabkan konflik antara kebutuhan diri wanita dengan kebutuhan orang lain, yang merupakan sumber dilema moral pada wanita (Gilligan dalam Papalia dkk, 2004). Oleh karena adanya masalah yang berkaitan dengan status sebagai wanita dewasa, serta adanya tekanan di dalam masyarakat untuk memiliki anak, maka tidaklah mengherankan jika reaksi yang ditunjukkan oleh wanita yang tidak memiliki anak adalah depresi, merasa bersalah, cemas, helplessness, dan takut (Bird & Mellville, 1994). Keadaan depresi, perasaan bersalah, cemas, helplessness, dan takut yang dialami seorang wanita dapat mengganggu kesejahteraan psikologisnya. Ryff (dalam Papalia dkk., 2004) menyatakan bahwa salah satu dimensi kesejahteraan psikologis yang penting adalah penerimaan diri (self acceptance). Hurlock mendefinisikan penerimaan diri sebagai:...the degree to which an individual having considered his personal characteristics, is able and willing to live with them yaitu derajat dimana seseorang setelah mempertimbangkan karakteristik personalnya, merasa mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristiknya tersebut. Penerimaan diri dianggap sebagai ciri-ciri penting kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik aktualisasi diri, optimal functioning, dan kematangan. Menurut Anderson (1959), penerimaan diri ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menjalani hidup. Seseorang yang mampu menerima dirinya, maka ia tidak takut memandang dirinya secara jujur, baik di dalam

7 (hati/pikiran/perasaan) maupun di luar (perilaku, penampilan), karena kita tidak bisa lari dari diri sendiri, walau apapun yang kita lakukan. Penerimaan diri ini diperlukan untuk menyatukan tubuh, pikiran, dan jiwa. Kebutuhan ini sama pentingnya dengan self appraisal untuk pertumbuhan moral dan spiritual. Menurut Hurlock (1974), ada beberapa kondisi yang dapat mendukung seseorang dalam mencapai penerimaan diri, salah satunya adalah tidak adanya stres yang berat (absence of severe emotional stress). Besarnya tekanan, baik dari dalam maupun luar dirinya yang dihadapi seorang wanita menikah yang tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childless) dapat menyebabkan stres yang cukup berat. Stres yang cukup berat ini mungkin dapat mengganggu penerimaan diri seorang wanita. Sebuah penerimaan diri terhadap ketidakhadiran anak bagi seorang wanita yang menikah dan menginginkan anak merupakan hal yang sangat luar biasa, karena tidak mudah untuk mencapainya. Besarnya tekanan yang dihadapi seorang wanita yang belum memiliki anak, baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya, dapat menghambat seorang wanita dalam mencapai penerimaan diri. Dengan mencapai penerimaan diri, berarti ia telah memiliki integritas diri sebagai wanita sehingga dapat menjalani hidup dengan optimis. Seorang wanita yang mencapai penerimaan diri walaupun tidak mampu memiliki seorang anak, kemudian ia mampu menghargai hal lain yang ia miliki, maka ia akan memperoleh kesejahteraan psikologis. Gambaran kondisi di atas membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana seorang wanita yang tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childless) mampu melakukan penerimaan diri meskipun tekanan yang mereka hadapi cukup besar. serta bagaimana kondisi penerimaan diri-nya tersebut. Peneliti akan mencoba mencari tahu apakah ketidakhadiran anak dalam perkawinan dan besarnya tekanan yang dihadapi (akibat tidak hadirnya anak) dapat mempengaruhi gambaran penerimaan diri seorang wanita. Peneliti akan membatasi partisipan berdasarkan penyebab partisipan tidak memiliki anak. Peneliti memilih partisipan yang belum memiliki anak tidak

8 dikarenakan adanya tuntutan dalam peran sosial yang dijalankan, tetapi karena masalah infertilitas. Peneliti berasumsi bahwa wanita yang tidak memiliki anak tanpa direncanakan (involuntary childless) karena adanya tuntutan peran sosial tidak mendapatkan tekanan sosial yang cukup besar. Usia perkawinan dibatasi pada perkawinan yang telah menginjak usia perkawinan lebih dari tiga tahun, karena menurut Westoff, Potter dan Sagi (1961), usia dua hingga tiga tahun perkawinan merupakan usia yang paling diinginkan untuk memiliki anak pertama dalam perkawinan. Sedangkan menurut Smolak (1993) tekanan akan perkawinan, termasuk di dalamnya masalah kehadiran anak terasa pada masa perkawinan mencapai tiga tahun. Dari dua pernyataan tersebut, maka disimpulkan usia perkawinan diatas tiga tahun merupakan usia dimana pasangan mendapatkan tekanan dari pribadi dan juga sekaligus tekanan dari luar. 1.2. Permasalahan Tidak memiliki anak dalam pernikahan dapat menimbulkan tekanan yang cukup berat bagi seorang wanita karena seorang wanita yang menikah umumnya menginginkan untuk memiliki anak. Selain itu, norma sosial yang berlaku di masyarakat saat ini sedikit banyak lebih menekankan tanggung jawab untuk memiliki anak adalah tanggung jawab wanita sebagai istri. Dengan besarnya tekanan yang dihadapi wanita yang tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childless) baik dari dalam dirinya maupun lingkungannya, maka dalam penelitian ini peneliti ingin melihat: Bagaimana gambaran penerimaan diri wanita yang tidak memiliki anak tanpa direncanakan (Involuntary childless)?. Permasalahan khusus yang terkait dengan masalah utama penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran penghayatan makna anak bagi partisipan (istri yang tidak memiliki anak)? Bagaimana gambaran penghayatan keadaan belum hadirnya anak pada partisipan (istri yang tidak memiliki anak)?

9 Bagaimanakah keberadaan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri pada masing-masing partisipan (istri yang tidak memiliki anak)? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yakni untuk memberikan gambaran penerimaan diri secara umum dan serta memberikan tindak lanjut kepada wanita involuntary childless dalam meningkatkan penerimaan diri yang dimilikinya. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan penelitian sebelumnya yang memiliki tema serupa dengan penelitian ini, serta untuk memberi masukan baru dalam pengembangan ilmu Psikologi Klinis. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memahami dimensi penerimaan diri wanita yang tidak mendapatkan anak dari hasil pernikahannya. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa membantu wanita yang tidak memiliki anak (Involuntary childless) untuk mencapai penerimaan diri. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan orang-orang yang berada di sekitar wanita yang tidak memiliki anak (Involuntary childless) mengenai bagaimana gambaran penerimaan diri wanita tersebut, sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana cara yang tepat bagi mereka untuk bersikap terhadapnya. Dengan mendapatkan sikap yang tepat dari orang-orang sekitar, diharapkan mampu membantu wanita yang tidak memiliki anak (Involuntary childless) dalam mencapai penerimaan dirinya. 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

10 Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang peneliti mengangkat topik penelitian ini, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Kepustakaan, berisi tentang teori penerimaan diri, involuntary childless, infertilitas, dan makna anak. Bab III Metode Penelitian, berisi tentang metode penelitian, subjek penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, alat penelitian, dan prosedur penelitian. Bab IV Hasil dan Analisis, berisi tentang gambaran umum subyek, analisis intrakasus maupun analisis interkasus. Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran.