DAMPAK PENGEMBANGAN BANDARA SULTAN ISKANDAR MUDA TERAHADAP ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN NILAI LANT RENT

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Keputusan Rumah Tangga Petani dalam Alih Fungsi Lahan Pertanian di Desa Bumi Wangi Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung MT.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SAWAH MENJADI PERMUKIMAN DI KECAMATAN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh YUYUT ARIYANTO

II. TINJAUAN PUSTAKA. nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI ( Studi Kasus : Di Desa Landangan Kecamatan Kapongan )

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERSAWAHAN TERHADAP PRODUKSI BERAS DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN (STUDI KASUS DI KABUPATEN TANGERANG)

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

BAB I PENDAHULUAN I.1.

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI PROVINSI JAWA BARAT ELVIRA G.V. BUTAR-BUTAR

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

Geo Image 1 (1) (2012) Geo Image.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

DAMPAK KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN MAGELANG (Studi Kasus di Kecamatan Mertoyudan)

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

Prosiding Seminar Nasional Tantangan Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Iklim di Indonesia

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

Transkripsi:

DAMPAK PENGEMBANGAN BANDARA SULTAN ISKANDAR MUDA TERAHADAP ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN NILAI LANT RENT Development Impact Sultan Iskandar Muda Airport on Exchange of Wetland Function and Lant Rent Value Jevelia Sepriana 1), Abubakar Karim 2), Indra 3) 1) Program Studi Magister Konservasi Sumberdaya Lahan Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2&3) Fakultas Pertanian Unsyiah, Jln Tgk Hasan Krueng Kale No. 3 Darussalam Banda Aceh 23111 Email: indra_ipb@yahoo.com Naskah diterima 1 Agustus 2014, disetujui 21 Oktober 2014 Abstract: Development Activities Sultan Iskandar Muda Airport (SIM), leads to changes in land use change and land rent value of the agricultural land and non-farmers. This study aimed to determine changes in: (1) extensive wetland that has been converted; (2) differences in the economic value of wetland and settlement value; also (3) know the state of the local economy. The method used is descriptive method and field surveys. Compiling the data using interview techniques, questionnaire or interview schedule guide.the results showed (1) There was a rate increase each year over the land, especially rice area has decreased by 243.1 ha (5.6%) of the 816.1 ha (18.78%) in 1988 to 573.009 ha (13, 19%) in the year 2010 of the total land area affected by the development of 4345.22 ha. (2) Value Land rent is Rp 100,642.60 settlement, - (m2 per year) is more profitable than paddy land rent value of Rp 1783.70, - (m2 per year). The ratio of land rent value fields and settlements is 1: 56.42. (3) There is peningkatnya income received by the public Abstrak: Aktivitas Pengembangan Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), menyebabkan terjadinya perubahan alih fungsi lahan dan nilai land rent terhadap lahan pertanian dan non petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan yaitu (1) luas lahan sawah yang telah beralih fungsi; (2) perbedaan nilai ekonomi lahan sawah dan nilai pemukiman; juga (3) mengetahui keadaan ekonomi masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan survai lapangan. Pengumpulkan data mengunakan teknik wawancara, schedule questioner ataupun interview guide. Hasil penelitian menunjukkan (1) Terjadi penambahan laju alih fungsi lahan setiap tahunnya, khususnya luas sawah mengalami pengurangan sebesar 243,1 ha (5,6%) dari 816,1 ha (18,78%) pada tahun 1988 menjadi 573,009 ha (13,19%) di tahun 2010 dari keseluruhan luas lahan yang terkena pengembangan sebesar 4345,22 ha. (2) Nilai Land rent pemukiman sebesar Rp 100.642,60,- (m 2 per tahun) lebih menguntungkan dibandingkan nilai land rent sawah yaitu Rp 1.783,70,- (m 2 per tahun). Rasio nilai land rent sawah dan pemukiman adalah 1: 56,42. (3) Terdapat peningkatnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Kata Kunci: Bandara SIM, Alih Fungsi Lahan Sawah, Nilai Lant Rent PENDAHULUAN Kecamatan Blang Bintang dan Kuta Baro merupakan dua kecamatan sentra produksi pangan di Aceh Besar. Dalam pengembangan Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) banyak menggunakan lahan masyarakat. Hal ini diperkirakan menyebabkan alih fungsi lahan di sekitarnya menjadi bangunan fisik hingga ratusan hektar setiap tahun. Kondisi ini diperkirakan akan menimbulkan pergeseran nilai lahan baik secara ekonomi maupun lingkungan. Dampak negatif yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah hilangnya lahan sawah sebagai sumber utama mata pencaharian masyarakat setempat. Selain itu keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas secara ekonomi dan lingkungan. Alasan yang menyebabkan tingginya tingkat alih fungsi lahan di seputaran bandara SIM karena investasi di bidang non sawah jauh lebih menjanjikan. Nilai land rent yang kecil dari lahan pertanian mengakibatkan sulit dicegahnya para pemilik lahan sawah untuk mengalihfungsikan lahannya ke bidang yang lain. Perbandingan nilai land rent lahan sawah yang di miliki masyarakat dengan lahan perumahan mencapai 1:622 (Riyani, 1992) dan 1:500 (Iriadi, 1990) untuk lahan sawah dan industri (Sumaryanto, 1994). Namun disisi lain perkembangan bandara SIM juga berdampak 442 Jevelia Sepriana, Abubakar Karim & Indra. Dampak Pengembangan Bandara SIM Terahadap Alih Fungsi Lahan

positif yaitu adanya pengadaan sarana dan prasarana pendukung serta pengembangan wilayah yang merupakan back wash effect dari pembangunan sebuah pusat pelayanan, demikian juga terjadi perubahan lapangan pekerjaan yang semakin beragam. Berdasarkan permasalahan di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Dampak pengembangan bandara Sultan Iskandar Muda terhadap alih fungsi lahan sawah dan nilai lant rent. Hal ini tidak terlepas dari realita masyarakat yang ditimbulkan dari pengembangan bandara SIM menjadi Bandara yang bertaraf internasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) luas lahan sawah yang telah beralih fungsi setelah pengembangan Bandara SIM sebagai Bandara Internasional tahun 1988 sampai dengan 2010; (2) perbedaan nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian (sawah) dan non pertanian (perumahan) di Kecamatan Blang Bintang dan Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar sebelum dan sesudah pengembangan Bandara SIM; (3) mengetahui pendapatan masyarakat Kecamatan Blang Bintang dan Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar setelah pengembangan Bandara SIM. METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan di di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM). Bandara SIM terletak di dua wilayah administrasi, yaitu Kecamatan Blang Bintang dan Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh. Pada bulan April 2012 sampai dengan Juli 2012. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa Global Potition System (GPS), dan alat tulis, sedangkan bahan yang digunalkan meliputi Peta Rupa Bumi, skala 1:50.000 (Bakosurtanal, 1978), peta penggunaan lahan hasil klasifikasi penutup lahan dari citra Landsat tahun 1988, 1994, 2005 dan 2010, skala 1:50.000 (BAPPEDA Aceh Besar), dan peta Administrasi Kecamatan Blang Bintang dan Kuta Baro, skala 1:50.000 (BAPPEDA Aceh Besar, 2004) Penelitian ini menggunakan metode metode survei kuantitatif. Dalam mengumpulkan data digunakan teknik wawancara, schedule questioner ataupun interview guide. Populasi pada penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu petani pemilik lahan dan petani penggarap. Pengambilan sampel dilakukan secara porposive sampling HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Fungsi Lahan 1988-2010 Perubahan fungsi lahan merupakan suatu bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya kepengunaan lain. Proses perubahan pengunaan fungsi lahan merupakan suatu kejadian yang dinamis dan berkaitan erat dengan pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah dan daya dukung lahan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian (pemukiman) telah terjadi selama kurun waktu dimulai tahun 1988-2010. Hasil interprestasi dan klasifikasi penutupan lahan dari citra satelit landsat tahun 1988, 1994, 2005 dan 2010 menunjukkan perubahan alih fungsi lahan yaitu bertambah luasnya kawasan Bandara dan pemukiman, serta berkurangnya luas lahan sawah. Selain itu terjadi pula perubahan penggunaan lainnya, seperti sawah menjadi semak belukar dan kebun campuran menjadi lahan terbuka. Daerah penelitian merupakan daerah pertanian produktif terutama komoditas padi. Oleh karena itu, pemantauan perubahan lahan harus dikelola agar dapat ditentukan laju pertumbuhan alih fungsi lahan serta cara mengatasi sehingga kerusakan dapat dihindari. Hasil analisis pertumbuhan atau peluruhan (growth/decay function) dapat digambarkan laju penambahan dan pengurangan lahan di desa-desa Kecamatan Blang Bintang dan Kuta Baro memperlihatkan bahwa setiap tahunnya telah terjadi penambahan laju alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Namun laju perubahan dari sawah menjadi non pertanian yang rata-rata per tahunnya sebesar 1,35 persen masih bisa ditoleransi. Luas lahan sawah daerah penelitian masih jauh diambang batas yang diatur pada undang-undang No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, sehingga pengembangan bandara bukan ancaman yang serius terhadap pemenuhan ketersediaan pangan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK) kawasan Kecamatan Blang Bintang dan Kecamatan Kuta Baro (Laporan akhir tahunan Kecamatan Blang Bintang dan Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Volume 3, Nomor 2, Oktober 2014. Hal: 442-451 443

Kecamatan Kuta Baro 2011) telah ditetapkan untuk dikembangkan sebagai berikut: 1. Kecamatan Blang Bintang mempunyai Arahan pola ruang wilayah meliputi: jasa dan permukiman perkotaan, jasa bandara, kawasan pertanian tanaman pangan dan hutan produksi, pariwisata 2. Kecamatan Kuta Baro mempunyai arahan pola ruang wilayah meliputi: pertanian tanaman pangan dan hortikultura, padi sawah, perkebunan rakyat, peternakan /penggembalaan, pertambangan, pariwisata, hutan produksi, permukiman perdesaan, kawasan perlindungan setempat, Perubahan tata ruang dan lahan pmukiman berangsur-angsur menjadi kawasan non pertanian sebagai akibat dari tingginya angka migrasi dan meningkatkannya lain pertumbuhan penduduk, serta pesatnya pemukiman penduduk yang dibangun oleh pengembang/developer (Laporan Tahunan Kecamatan Blang Bintang dan Laporan Tahunan Kecamatan Kuta baro, tahun 2011). Namun alih fungsi lahan ini tidak boleh diabaikan dan harus diwaspadai karena adanya kecenderungan perencanaan pengembangan kota Banda Aceh pasca tsunami bergeser ke arah selatan kota Banda Aceh yang merupakan daerah lumbung beras Banda Aceh dan Aceh Besar termasuk daerah seputaran bandara. Hal ini dikarenakan banyaknya pembukaan lahan baru untuk jalur evakuasi tsunami. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain. Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik. Menurut Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : (1) Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi; (2) Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan (4) Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain. Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu: (1) 444 Jevelia Sepriana, Abubakar Karim & Indra. Dampak Pengembangan Bandara SIM Terahadap Alih Fungsi Lahan

Faktor Eksternal, merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi; (2) Faktor Internal, faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan; dan (3) Faktor Kebijakan, Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham et al (2009) diketahui faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalami alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif. Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian terutama ditentukan oleh: (1) Rendahnya nilai sewa tanah (land rent), lahan sawah yang berada disekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman; (2) Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait; dan (3) Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam di era otonomi. Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda, 2006). Perbedaan Nilai Ekonomi Lahan (Land rent) Lahan Persawahan Sebelum pengembangan Bandara SIM para petani memiliki lahan pertanian yang lebih luas dibandingkan setelah pengembangan Bandara SIM. Umumnya luas lahan pertanian yang dimiliki lebih luas dibandingkan setelah pengembangan Bandara SIM memperlihatkan bahwa besarnya biaya yang dikeluarkan oleh para petani untuk kegiatan pertanian sebelum pengembangan Bandara SIM mencapai 2.784.827 per petani per MT yang terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya susut peralatan, dan biaya sarana produksi. Sedangkan jumlah produksi yang diterima oleh para petani yang mengolah lahan sawah tersebut mencapai 4.075 kg atau 4,075 ton per petani per MT dengan nilai jual gabah mencapai Rp.9.169.070 per petani per MT. Dari total penerimaan tersebut maka dapat diketahui besarnya pendapatan yaitu mencapai Rp.6.348.243 per petani per MT. Dengan pola tanam padi oleh petani yaitu 1 tahun 2 kali tanam, maka besarnya pendapatan petani besarnya pendapatan usahatani padi sawah yang ditanam 2 kali per tahun mencapai Rp. 12.768.486 per petani per Tahun. Dari total pendapatan diatas, maka besarnya nilai ekonomis lahan (land rent) mencapai Rp. 1.376,88 per m 2 per tahun. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh para petani di daerah seputaran Bandara SIM mencapai Rp.3.735.636 per petani per MT, dimana biaya tersebut terdiri dari biaya Tenaga kerja, biaya susut peralatan, biaya sarana produksi. Sedangkan jumlah produksi yang diterima oleh para petani yang mengolah lahan sawah tersebut mencapai 3.500 kg atau 3,5 ton per petani per MT dengan nilai jual beras mencapai Rp.8.802.420 per petani per MT. Dari total penerimaan tersebut maka dapat diketahui besarnya pendapatan yaitu mencapai Rp.5.066.785 per petani per MT. Kondisi penggunaan lahan sawah untuk usahatani padi sawah oleh responden setelah Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Volume 3, Nomor 2, Oktober 2014. Hal: 442-451 445

pengembangan Bandara SIM memperlihatkan bahwa besarnya biaya produksi yang terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya susut peralatan dan biaya sarana produksi mencapai Rp.3.735.636 per MT dimana biaya tenaga kerja merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan oleh para petani mencapai Rp.2.118.846 per MT. Pola tanam padi oleh petani di seputaran Bandara SIM yaitu 2 kali tanam per tahun sesudah pengembangan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan petani, kondisi terlihat pada besarnya pendapatan usahatani padi sawah yang ditanam 2 kali per tahun mencapai Rp.5.182.560 per petani per Tahun. Dari total pendapatan diatas maka dapat dilihat bahwa usahatani padi sawah yang digeluti oleh para petani di daerah seputaran Bandara SIM telah memberikan keuntungan yang besar nilai pendapatan yang diterima oleh para petani, tentunya akan mempengaruhi besarnya dari nilai ekonomis lahan yang dimiliki yaitu pendapatan dibagi dengan luas lahan, adapun besarnya nilai land rent yaitu Rp.1.783,70 per m 2 per tahun. Kondisi nilai ekonomis lahan (land rent) pada lahan pertanian sebelum dan setelah pengembangan Bandara SIM terdapat tingkat perbedaan nilai ekonomis lahan (land rent) dimana hasil analisis menggunakan uji t diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan bahwa adanya kenaikan nilai ekonomis lahan pertanian sebelum dan sesudah pengembangan Bandara SIM, yaitu sebesar Rp.406,82 per m 2 per tahun atau dengan hasil uji t cari dengan menggunakan uji 2 tail sebesar -12,814 atau > t tabel 2,15. Dimana nilai minus (-) diabaikan dikarenakan lebih tinggi nilai land rent setelah pengembangan bandaran SIM. Hal ini dapat di jelaskan bahwa kegiatan yang berlangsung pada lahan pertanian sebelum dilakukan program pengembangan dan setelah pengembangan Bandara SIM mengalami kenaikan land rent. Program atau kegiatan pengembangan tersebut berpengaruh langsung terhadap kondisi harga jual tanah dipasaran setempat. Land rent yang meningkat akibat penambahan nilai lahan yang lebih dekat dengan pusat pelayanan (bandara) yang strategis. Berbagai sarana dan prasarana terbangun pada areal persawahan yang menyebabkan pendapatan petani yang semakin menurun akibat berkurangnya lahan garapan oleh petani. Lahan Pemukiman Sebelum pengembangan Bandara SIM menunjukkan luas areal perumahan yang sebelum pengembangan Bandara SIM mencapai 2.886 m 2 dan untuk perkarangan mencapai 11.878 m 2. Sedangkan untuk kondisi jenis lahan, bentuk lahan kondisinya sama antara setelah dan sebelum pengembangan Bandara SIM. Kondisi lahan pemukiman penduduk sesudah pengembangan bandara SIM menunjukkan bahwa dari luas lahan perkarangan yang digunakan sebagai lahan perumahan seluas 2.328 m 2. Dengan adanya tempat tinggal tentunya akan memudahkan sebuah keluarga untuk mengatur tentang besar kecilnya kebutuhan rumah tangga. Hal ini disebabkan orang tersebut tidak memikirkan biaya tambahan tempat tinggal atau lazim disebut sewa rumah tinggal. Dengan kondisi ini tentunya akan mempengaruhi sebuah rumah tangga dalam kebutuhan rumah tangga, hal ini terlihat besarnya kebutuhan rumah tangga berdasarkan kebutuhan terdiri dari kebutuhan pangan, sandang dan papan. Besarnya kebutuhan primer mencapai Rp.1.728.894 per bulan, sekunder mencapai Rp.290.136 per bulan serta tersier mencapai Rp.68.636 per bulan. Sedangkan bila dilihat dari pendapatan yang diterima masyarakat di Kecamatan Blang Bintang desa seputaran Bandara SIM sebesar Rp. 2.182.364 per bulan, yang terdiri dari pendapatan utama Rp. 1.389.030 per bulan dan pendapatan sampingan mencapai Rp.793.333 per bulan. Besarnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat yang tinggal di lahan perumahan secara ekonomis sangat menguntungkan, karena rumah yang dimiliki dapat memperoleh pendapatan dari usahanya atau lazim disebut nilai ekonomis tanah (land rent). Besarnya nilai land rent dapat dilihat dari besarnya pendapatan berkisar Rp 26.188.364 per tahun. Nilai land rent pemukiman dihitung berdasarkan pada pendapatan yang diterima pemilik rumah yang dibangun pada lahan tersebut yaitu Rp.69.018 per m 2. Nilai land rent yang diperoleh merupakan perkiraan atas pendapatan yang ditempati oleh pemilik rumah. Nilai land rent pemukiman diperoleh dengan menghitung pendapatan rata-rata dari seluruh responden. Penerimaan yang diterima 446 Jevelia Sepriana, Abubakar Karim & Indra. Dampak Pengembangan Bandara SIM Terahadap Alih Fungsi Lahan

oleh para pemilik rumah adalah berupa dari pekerjaan yang mereka miliki. Kondisi luas lahan di daerah penelitian sebelum pengembangan bandara SIM mencapai 14.764 m 2 dengan luas perkarangan mencapai 11.878 m 2 dan luas bangunan mencapai 2.886 m 2 Dari data tersebut memperlihatkan bahwa kondisi rumah yang ada pada umumnya adalah rumah permanen. Kebutuhan dan pendapatan merupakan hal utama yang selalu menjadi bagian dari seseorang dalam bekerja, hal ini tercermin dalam besarnya kebutuhan rumah tangga responden yang terdiri dari kebutuhan primer, sekunder dan tersier, sedangkan dari pendapatan dapat dilihat dari pendapatan utama responden dan pendapatan sampingan responden. Untuk lebih jelasnya Besarnya kebutuhan rumah tangga yang dikelompokan dalam kebutuhan primer mencapai Rp. 988.030 per bulan. Hal ini memberikan gambaran bahwa rumah tangga masyarakat di seputaran Bandara Iskandar Muda memiliki tingkat kebutuhan dalam rumah tangga sedang, kebutuhan ini berimplikasi terhadap besar kecilnya pendapatan rumah tangga yang diterima pada akhirnya. Besarnya kebutuhan sekunder mencapai Rp. 83.939 per bulan, sedangkan kebutuhan tersier hanya sebesar Rp.314.242 per bulan. Besarnya pendapatan yang diterima masyarakat di seputaran Kecamatan Blang Bintang dan Kuta Baro sebesar Rp. 2.627.273 per bulan, dimana terdiri dari pendapatan utama Rp. 1.693.939 per bulan dan pendapatan sampingan mencapai Rp. 933.333 per bulan. Besarnya pendapatan yang diterima tentunya berpengaruh terhadap besarnya tabungan yang bisa ditabung. Bila dilihat dari besarnya pendapatan masyarakat dalam satu tahun maka pendapatan yang diterima masyarakat mencapai Rp. 31.527.273 per tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dirincikan besarnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat tidak habis digunakan untuk membiayai kebutuhan mencapai Rp.18.984.545 per tahun sehingga sisanya berupa tabungan yaitu mencapai Rp.12.542.727 per tahun. Besarnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat yang tinggal di lahan perumahan tentunya secara ekonomis lahan yang mereka tempati sangat menguntungkan mereka atau istilah yang lazim disebut nilai ekonomis tanah (land rent). Nilai yang diperoleh merupakan perkiraan atas pendapatan lahan yang ditempati. Nilai land rent pemukiman diperoleh dengan menghitung pendapatan rata-rata dari seluruh responden. Penerimaan yang diterima berupa dari pekerjaan yang mereka miliki. Nilai land rent pemukiman dalam setahun rata-rata sebesar Rp. 100.643 per m 2 per tahun. Nilai ekonomis lahan (land rent) pada lahan pemukiman sebelum dan setelah pengembangan Bandara Sultan Iskandar Muda setelah diuji diperoleh hasil bahwa perbedaan nilai ekonomi lahan (land rent) dari hasil Uji t menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan nilai ekonomis lahan pemukiman sebelum dan sesudah pengembangan Bandara SIM, besarnya selisih mencapai Rp 31.625 per m 2 per tahun. Dimana nilai uji t sebesar - 16,150 yang bermakna adanya perbedaan yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah pengembangan bandara SIM di lahan pemukiman, sedangkan nilai minus (-) pada hasil uji t menandakan bahwa nilai Land rent sesudah pengembangan bandara SIM lebih besar dibandingkan nilai Land rent sebelum pengembangan bandara SIM. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan lahan pemukiman sebelum pengembangan dan setelah pengembangan Bandara SIM mengalami kenaikan dari segi land rent, hal ini juga akan berpengaruh langsung terhadap kondisi harga jual tanah dipasaran. Perbandingan Nilai Ekonomi Lahan Perbedaan besaran surplus ekonomi antara lahan pemukiman dan lahan sawah sebesar Rp. 406,82 per m 2 per tahun. Kondisi ini mengakibatkan lahan pertanian kalah bersaing dengan penggunaan lahan untuk pemukiman. Teori sewa lahan model klasik dikembangkan oleh David Ricardo dan Von Thunen. David Ricardo memberikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam hal kesuburan lahan, terutama lahan pertanian. Analisis yang dikemukakan oleh David Ricardo berdasarkan asumsi bahwa pada daerah pemukiman baru terdapat sumber daya lahan yang subur dan berlimpah. David Ricardo mengemukakan bahwa hanya lahan yang subur yang digunakan untuk bercocok tanam dan tidak ada pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut. Sewa lahan akan muncul hanya Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Volume 3, Nomor 2, Oktober 2014. Hal: 442-451 447

apabila penduduk bertambah yang menyebabkan permintaan terhadap lahan meningkat dan terjadi penggunaan lahan kurang subur oleh masyarakat. (Suparmoko, 1997). Teori yang dikemukakan oleh Von Thunen menentukan nilai sewa lahan berdasarkan faktor lokasi. Analisis Von Thunen berdasarkan tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan dikemukakan bahwa sewa lahan lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transportasi dari daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko, 1997). Nilai ekonomi lahan menurut Barlowe (1978) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran aktual dari penyewa kepada pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu; dan (2) Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Penelitian yang dilaksanakan mengambil istilah nilai ekonomi lahan (land rent) dari konsep nilai ekonomi lahan yang kedua menurut Barlowe (1978), yaitu keuntungan usaha atau economic rent dari suatu usaha yang dilakukan pada suatu lahan tertentu. Salah satu cara untuk menentukan nilai faktor produksi yang berasal dari alam seperti lahan adalah dengan menggunakan konsep land rent. Land rent merupakan konsep yang penting dalam mempelajari penerimaan ekonomi dari penggunaan sumberdaya lahan untuk produksi. Land rent dapat di definisikan sebagai surplus ekonomi yaitu merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total (Suparmoko, 1997). Oleh karena itu, untuk melihat land rent pada daerah penelitian di bandingkan antara nilai land rent dari usaha tani dan nilai land rent dari penyewaan rumah. Nilai land rent dari penggunaan lahan sebagai lahan pertanian dihitung berdasarkan pada penerimaan total yang diterima oleh pemilik lahan setelah dikurangi biaya total yang dikeluarkan. Sedangkan, untuk nilai land rent setelah lahan pertanian tersebut dikonversi dihitung berdasarkan pada nilai sewa dari rumah tersebut. Penerimaan total yang diterima dari penyewaan rumah dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan merupakan nilai land rent dari lahan pemukiman tersebut. Perbandingan nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian yang digunakan untuk usaha tani padi dengan lahan pemukiman adalah sebesar 1 : 108,8. Secara umum penggunaan lahan untuk sawah dengan tanaman padi sawah secara ekonomi kurang menguntungkan di bandingkan penggunaan lahan untuk pemukiman. Hasil analisis terhadap penggunaan lahan menunjukkan nilai ekonomi lahan padi sawah sebesar Rp 1.376,88 per m 2 per tahun sebelum pengembangan bandara SIM, sedangkan sesudah pengembangan bandara SIM menjadi Rp.1.783,70 per m 2 per tahun. Nilai ekonomi lahan ini sebenarnya masih dapat di tingkatkan karena sebagian besar lahan sawah tidak di kelola secara optimal. Dengan mengoptimalkan sistem intensifikasi maka sebenarnya nilai ekonomi lahan dari lahan sawah di wilayah ini dapat meningkat. Sedangkan besarnya nilai lahan terhadap lahan pemukiman sebesar Rp.69.018,00 per m 2 per tahun sebelum pengembangan bandara SIM dan sesudah pengembangan bandara SIM menjadi Rp.10.642,60, dimana nilai lahan pemukiman tidak dapat ditingkatkan dikarenakan tidak ada kegiatan produktif pada lahan pemukiman tersebut. Lahan pertanian sawah memiliki fungsi sebagai tempat memproduksi padi dan berbagai fungsi lainnya seperti fungsi ekologi, lingkungan dan sosial. Manfaat dari lahan pertanian tidak hanya diterima oleh petani pemilik lahan saja melainkan oleh seluruh masyarakat yang berada di sekitar lahan pertanian tersebut ataupun masyarakat umum secara keseluruhan. Lahan pertanian menyimpan banyak lapangan pekerjaan yang dapat dimanfaatkan, lahan pertanian membantu menyerap air sehingga terhindar dari banjir, di lahan pertanian hidup juga berbagai macam binatang yang menjaga keseimbangan ekologi dan berbagai macam manfaat lainnya yang dapat diperoleh dari lahan pertanian. Jika beban untuk mempertahankan lahan pertanian tersebut dibebankan hanya kepada petani pemilik lahan, maka hal tersebut merupakan suatu ketidakadilan yang diterima oleh petani. Perbedaan besaran surplus ekonomi antara lahan pemukiman dan lahan pertanian sebesar Rp. 67.641,12 per m 2 per tahun sebelum pengembangan bandara dan sesudah 448 Jevelia Sepriana, Abubakar Karim & Indra. Dampak Pengembangan Bandara SIM Terahadap Alih Fungsi Lahan

pengembangan bandara SIM menjadi Rp 98.858,90 per m 2 per tahun mengakibatkan lahan pertanian kalah bersaing dengan penggunaan lahan untuk pemukiman. Jika masalah ini terus berlanjut, maka konversi lahan pertanian menjadi perumahan maupun menjadi bentuk lainnya yang memberikan nilai ekonomi lahan lebih tinggi akan terus berlanjut. Permasalahan yang ditimbulkan sebagai dampak dari konversi tersebut akan semakin besar. Perpindahan kepemilikan lahan atau proses transaksi lahan antara petani dan pengembang perumahan harus berjalan dengan adil dan tidak merugikan pihak petani. Pihak petani harus memperoleh bagian dari keuntungan yang diperoleh pihak pelaku usaha yang mengalihfungsikan lahan. Perlu adanya penetapan kebijakan yang menjelaskan tentang pembagian keuntungan antara pihak yang mengalihfungsikan lahan, pelaku usaha setelah lahan dikonversi, petani pemilik lahan dan petani non pemilik lahan. Sehingga petani yang telah kehilangan lahan dan petani yang kehilangan mata pencaharian utamanya mempunyai cukup modal untuk mencari alternatif mata pencaharian baru atau mencari lahan lain untuk melakukan usaha tani. Konversi lahan pertanian menjadi sesuatu yang wajar dan petani tidak dapat disalahkan apabila surplus ekonomi lahan yang diterima oleh petani jauh lebih kecil daripada surplus yang diterima oleh penggunaan lahan perumahan. Manfaat atas keberadaan lahan pertanian tidak hanya dirasakan oleh petani melainkan dirasakan juga oleh masyarakat lainnya. Oleh karena itu, pemerintah, masyarakat umum dan semua pihak yang merasakan manfaat dari lahan pertanian baik dari segi manfaat produksi dan multifungsi lainnya memiliki tanggung jawab dalam menanggung beban mempertahankan keberadaan lahan pertanian tersebut. Bentuk dukungan pemerintah terhadap petani dapat diwujudkan melalui kebijakan insentif bagi petani. Kalangan akademisi dapat membantu pemerintah dalam melakukan perhitungan-perhitungan manfaat dan kerugian dari konversi lahan. Kalangan peneliti dapat membantu dalam meningkatkan produktifitas lahan melalui pengembangan teknologi. Kalangan pengusaha membantu dalam hal penjualan hasil pertanian dan penyaluran faktor-faktor produksi dengan tidak memberatkan dan merugikan petani. Hasil ini semakin memperkuat teori yang mengemukakan bahwa petani cenderung memanfaatkan lahannya untuk penggunaan yang memberikan keuntungan lebih besar dalam jangka pendek. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa petani cenderung untuk mengkonversi lahan pertaniannya menjadi lahan non pertanian. Nilai ekonomi lahan yang memberikan keuntungan lahan komparatif akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar, sehingga pengunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Penggunaan lahan yang memberikan nilai land rent tertinggi cenderung lebih mudah dalam menduduki lokasi utama dan menekan serta menggeser posisi penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent lebih rendah. Penggunaan lahan yang memberikan nilai land rent tertinggi cenderung lebih mudah dalam menduduki lokasi utama dan menekan serta menggeser posisi penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent lebih rendah. Teori Barlowe (1978) mengemukakan bahwa lahan dengan land rent tertinggi cenderung dikuasai oleh kegiatan jasa, selanjutnya pada tingkat yang lebih rendah berturut-turut yaitu lahan industri, pemukiman, pertanian, hutan hingga lahan tandus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andika (2008) Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan analisis pertumbuhan perubahan penggunaan lahan pertanian dalam kurun waktu tujuh tahun mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar -2,70% per tahnun. Sedangkan pada lahan permukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar 3,96% per tahun. Land rent lahan permukiman lebih besar 79 kali dibandingkan land rent lahan pertanian. Sedangkan keuntungan yang tidak diperoleh petani atas hilangnya kesempatan akibat konsekuensi mereka dalam mempertahankan lahan pertanian (opportunity cost) secara riil sebesar Rp 1.00.911,- per m 2 pertahun. Perubahan Pendapatan Masyarakat Perubahan kondisi lingkungan seputaran bandara sebelum dan sesudah penngembangan bandara sangat nyata. Hal ini terlihat dari Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Volume 3, Nomor 2, Oktober 2014. Hal: 442-451 449

perubahan fisik seperti perluasan dan pembuatan jalan baru menuju bandara, rumah makan, puskesmas, ruko-ruko dan fasilitas kecamatan karena di daerah blang bintang terjadi pengembangan wilayah baru. Daerah penelitian ini sebelum pengembangan bandara SIM merupakan areal persawahan. Perubahan yang terjadi dari kondisi ekonomi di seputar bandara SIM sesudah pengembangan bandara umumnya sebagian dari masyarakat mengalami perbaikan kesejahteraan, terutama pemilik lahan yang awalnya merupakan bagian masyarakat lapisan atas. Kondisi ini mengalami perubahan secara signifikan, dimana tanah masyarakat yang di beli oleh pemerintah berubah menjadi masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi mapan. Ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi mereka. Perubahan prilaku masyarakat terlihat dari masyarakat yang lahannya terkena program pengembangan bandara SIM, dimana responden tidak memiliki lahan tetapi responden memiliki sejumlah dana yang harus dikelola. Secara psikologi menggambarkan adanya keterkejutan dalam diri masyarakat terhadap besarnya dana ganti rugi yang di terima. Dana yang diterima oleh para pemilik lahan mencapai 500.00 m2. Rata-rata luas lahan masyarakat tersebut adalah 5.800 m 2, sehingga dana yang di terima oleh tiap-tiap pemilik lahan mencapai Rp 2.900.000.000,- Besarnya dana ganti rugi tersebut oleh sebagian masyarakat di belanjakan secara produktif yaitu berupa investasi dan ada juga sebagian masyarakat menggunakan untuk konsumsi yang tidak produktif. Berdasarkan hasil uji t sampel yang berhubungan diperoleh hasil t hitung > t table (t hitung = 16,375 > t table = 3,75). Dengan demikian terima Ha tolak H 0. Artinya terdapat perbedaan pendapatan yang di terima oleh petani pemilik lahan di seputaran bandara SIM. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andika (2008) Berdasarkan hasil analisis regresi, faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan pertanian yaitu status lahan, total penerimaan, dan total biaya operasional pada taraf nyata lima persen, sedangkan variabel luas lahan, pajak, dan jarak ke pasar tidak berpengaruh nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan permukiman adalah luas lahan, kondisi rumah, total penerimaan, jarak ke jalan utama pada taraf lima persen, sedangkan variabel biaya operasional, pajak, dan jarak ke fasilitas-fasilitas publik lainnya tidak berpengaruh nyata. SIMPULAN Terjadi penambahan laju alih fungsi lahan setiap tahunnya, khususnya luas sawah mengalami pengurangan sebesar 243,09 ha (5,6%) dari 816,1 ha (18,78%) pada tahun 1988 menjadi 573,009 ha (13,19) di tahun 2010 dari keseluruhan luas lahan yang terkena pengembangan Bandara SIM yaitu sebesar 4345,22 ha Nilai Land rent untuk pemukiman yaitu Rp 69.018,00,- /m 2 /tahun lebih menguntungkan dibandingkan nilai land rent sawah yaitu Rp 1.376,88,- / m2 /tahun sebelum pengembangan Bandara SIM, dengan Rasio nilai land rent sawah dan pemukiman adalah 1 : 50,12. Sedangkan nilai Land rent untuk pemukiman yaitu Rp 100.642,60,- per m 2 pertahun lebih menguntungkan dibandingkan nilai land rent sawah yaitu Rp 1.783,70,- / m 2 /tahun sesudah pengembangan bandara SIM. Rasio nilai land rent sawah dan pemukiman adalah 1 : 56,42 Terdapat peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat seputaran Bandara SIM setelah pengembangan Bandara SIM. DAFTAR PUSTAKA Andika Pambudi (2008). Analisis nilai ekonomi lahan (Land Rent) pada lahan pertanian dan permukiman di kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor. Tesis Tidak Dipublikasikan. ITB Bogor. Barlowe, R. 1978. Land resorce economics. Prentice-Hall, Inc., New Jersey Ilham, N., Yusman Syaukat dan Supena Friyatno. 2009. Perkembangan dan Faktor Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian Bogor, Bogo Irawan, B., A. Purwoto, C. Saleh, A. Supriatna, dan N.A. Kiron. 2000. Perumusan model kelembangaan reservasi lahan pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Bogor. Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan ke industri dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent) (Studi kasus di kecamatan 450 Jevelia Sepriana, Abubakar Karim & Indra. Dampak Pengembangan Bandara SIM Terahadap Alih Fungsi Lahan

Cibitung, kabupaten Bekasi, Jawa Barat) [Skripsi]. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 91 hal. Lestari, T., 2009. Dampak konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani. Makalah Kolokium. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tanggal 21 April 2011. Intitut Pertanian Bogor. Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan sawah dan pertanian ke lahan perumahan dengan metode pendekatan sewa ekonomi lahan (land rent) (Studi kasus di wilayah daerah tingkat II kotamadya Bogor, propinsi Jawa Barat) [Skripsi]. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 92 hal. Sumaryanto, Supena Friyatno, dan Bambang Irawan 1994. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor Suparmoko, M. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi. Program Pasca Sarjan IPB. Wibowo, S.C. 1996. Analisis pola konversi sawah serta dampaknya terhadap produksi beras: Studi kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wicaksono, R.B., 2007. Konversi Lahan Sawah ke Non Pertanian dalam Perkembangan Kota Nganjuk dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Mata Pencaharian dan Pendapatan Petani. Diakses dari http://www.lib.itb.ac.id. Widjanarko, dkk, 2006. Aspek pertahanan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah : 22-23. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN. Jakarta. Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (Institut Pertanian Bogor). Jakarta. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Volume 3, Nomor 2, Oktober 2014. Hal: 442-451 451