BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Mata adalah panca indera penting yang perlu pemeriksaan dan perawatan secara teratur. Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia dini. Pada anak 2,5-5 tahun, skrining mata perlu dilakukan untuk mendeteksi apakah menderita gangguan tajam penglihatan yang nantinya akan mengganggu aktivitas di sekolahnya (Deddy et al., 2009). Di Amerika Serikat, gangguan penglihatan adalah kecacatan paling umum ke-empat yang diderita selama masa anak-anak (Gerali et al., 1990). Sekitar 17-25% anak-anak usia sekolah memiliki gangguan ketajaman penglihatan, 10 diantaranya dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak tersebut dalam mencapai potensi mereka di sekolah (Grounds et al., 1995). Salah satu penyebab gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi dengan estimasi prevalensi 15-30% (Ciner et al., 1998). Di Indonesia sendiri prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di indonesia hampir 1
2 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa (Suhardjo, 2010). Kelainan refraksi terdiri dari miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Miopia merupakan kelainan refraksi yang terbanyak dijumpai, baik pada murid SD (86%), SMP (95%), maupun SMA (86%) (Saerang et al., 1983). Suatu hasil penelitian menyatakan 1 dari 10 (9,2%) anak-anak usia 5-17 tahun di Amerika dilaporkan menderita miopia (Kleinstein et al., 2003). Hasil penelitian lainnya menunjukan prevalensi miopia pada anak usia 6-18 tahun sebesar 20,2% (Scheiman et al., 1996). Di Indonesia sendiri prevalensi miopia cukup besar. Di RS. Sardjito Yogyakarta selama setengah tahun (Januari sampai dengan juni 1983) dipelajari kasuskasus kelainan refraksi. Dari 725 penderita kelainan refraksi, 83% adalah miopia (Budihardjo dan Agni, 1984). Miopia adalah kelainan refraksi mata, dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa akomodasi, sehingga pada retina didapatkan lingkaran difus dan bayangan kabur. Cahaya yang datang dari jarak yang lebih dekat, mungkin difokuskan tepat di retina, tanpa akomodasi (Suhardjo dan Hartono,
3 2007). Faktor resiko terjadinya miopia adalah riwayat keluarga, aktivitas melihat dekat, penurunan fungsi akomodasi, kelengkungan kornea dan panjang aksis bola mata (American Optometric Association, 2010). selain itu banyak faktor yang diduga menjadi penyebab miopia yaitu usia, status gizi, onset miopia, tekanan intraokular, stress dan faktor sosialekonomi (Widjana, 1993). Miopia diklasifikasi menjadi 2 berdasarkan penyebabnya, yaitu miopia refraktif dan miopia aksial. Miopia refraktif terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat. Sedangkan miopia aksial terjadi akibat panjangnya sumbu bola, dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal (Ilyas dan Sidarta, 2010). Secara klinis miopia dibedakan menjadi 3, yaitu miopia simpleks, miopia progresif dan miopa maligna. Miopia simpleks atau disebut juga miopa fisiologik merupakan miopia yang menetap setelah dewasa dan timbul pada usia muda atau dapat juga naik sedikit pada waktu atau segera setelah pubertas. Miopia progresif terjadi akibat bertambah panjangnya bola mata. Kelainan tersebut mencapai puncaknya saat remaja dan bertambah terus sampai umur 25 tahun atau lebih. Miopia maligna
4 merupakan miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan. Miopia progresif dan miopa maligna disebut juga miopia patologik, karena disertai kelainan degenerasi dikoroid dan bagian lain dari mata (Widjana, 1993 ; Ilyas dan Sidarta, 2010). Panjang aksis bola mata menjadi faktor penyebab utama dari kelainan refraksi (Saw et al., 2002). Beberapa penelitian telah banyak meneliti hubungan antara tinggi badan dan kelainan refraksi. Penelitian pada orang dewasa di Asia mengungkapkan adanya hubungan yang kuat antara tinggi badan, panjang aksis bola mata dan kurvatura kornea (Ojaimi et al., 2005). Penelitian lain melaporkan bahwa orang yang lebih tinggi ditemukan memiliki aksis bola mata lebih panjang, ruang anterior lebih dalam, dan lensa yang lebih tipis, namun tidak memiliki hubungan dengan berat badan atau indeks masa tubuh (Wong et al., 2001). Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara indeks masa tubuh terhadap progresivitas miopia pada anak sekolah menengah pertama dengan harapan dapat mengontrol pertambahan miopi pada anak.
5 I.2 Rumusan Masalah Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan sebuah masalah sebagai berikut : Bagaimanakah hubungan antara indeks masa tubuh dengan progresivitas miopia pada anak usia sekolah menengah pertama? I.3 Tujuan Penelitian Mengetahui apakah indeks masa tubuh berhubungan dengan progresivitas miopia. I.4 Keaslian Penelitian Penelitian yang membahas hubungan indeks massa tubuh dengan progresivitas miopia pada murid Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian Itiqomah Agusta (2007) dengan judul Hubungan Berat Badan, Tinggi Badan, Dan Indeks Massa Badan Terhadap Miopia Pada Anak Sekolah Dasar Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai kesamaan dalam hal topik berat badan, tinggi badan, dan indeks massa badan. Namun penelitian ini dilakukan di sekolah dasar dan menghubungkan berat
6 badan, tinggi badan dan indeks massa badan dengan derajat miopia. I.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan tentang hal hal yang menjadi penyebab progresifitas miopia, serta memberi gambaran kepada masyarakat pentingnya deteksi dini tajam penglihatan dalam mencegah progresivitas miopia.