BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apoteker Menurut PMK No.35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. B. Apotek dan pelayanan kefarmasian Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Pemerintah RI, 2009). Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional (Depkes RI, 2006). Dalam melakukan profesinya, apoteker mengacu pada Pharmaceutical care. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Berdasarkan filosofi Pharmaceutical care, menurut PMK No.35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dalam melakukan pelayanan seorang apoteker harus menjalankan peran yaitu: 1. Pemberi layanan, artinya apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasi pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan. 2. Pengambil keputusan, artinya apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sember daya yang ada secara efektif dan efisien. 3. Komunikator, artinya apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. 4
4. Pemimpin, artinya apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelolah hasil keputusan. 5. Pengelola, artinya apoteker harus mampu mengelolah sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-hal lain ynag berhubungan dengan obat. 6. Pembelajar seumur hidup, artinya apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CDP) 7. Peneliti, artinya apoteker harus selalumenerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari pengelolahan obat sebagai komonditi kepada pelayanan yang komperhensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelolaan obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencangkup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (MENKES, 2014). Kegiatan pelayanan yang harus dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi dan konsultasi secara akurat, tidak bias, faktual, terkini, mudah dimengerti, etis dan bijaksana. Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari obat kepada pasien yang berazaskan kepada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker pengelola apotek dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melakukan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah 5
melaksanakan pelayanan resep, pelayanan obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek dan perbekalan kesehatan lainnya juga pelayanan informasi obat dan monitoring penggunaan obat agar tujuan pengobatan sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (Medication Error) dalam proses pelayanan kefarmasian. Untuk itu apoteker harus berupaya mencegah dan meminimalkan masalah yang terkait obat (Drug Related Problems) dengan membuat keputusan profesional untuk tercapainya pengobatan yang rasional(kemenkes RI, 2004). C. Swamedikasi 1. Pelayanan Swamedikasi Pelayanan obat tanpa resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi (Purwanti, 2004). Swamedikasi adalah mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009). Dengan kata lain, pasien datang dengan keluhan gejala atau meminta suatu produk tanpa resep dari dokter. Obat-obat yang dapat digunakan untuk swamedikasi/tanpa resep meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT), dan obat bebas (OB) (Purwanti, 2004). Prosedur tetap swamedikasi menurut (SK NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004): a. Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi b. Menggali informasi dari pasien meliputi: 1) Tempat timbulnya gejala 2) Seperti apa rasanya gejala penyakit 3) Kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya 4) Sudah berapa lama gejala dirasakan 5) Ada tidaknya gejala penyerta 6) Pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan 6
c. Memilihkan obat sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien dengan menggunakan obat bebas, bebas terbatas dan obat wajib apotek d. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepas pasien meliputi: nama obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang mungkin timbul, serta hal-hal lain yang harus dilakukan maupun yang harus dihindari oleh pasien dalam menunjang pengobatan. Bila sakit berlanjut/lebih dari 3hari hubungi dokter. e. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan. 2. Tahapan Pelayanan Swamedikasi Tahapan pelayanan obat tanpa resep meliputi patient assessment, penentuan rekomendasi, dan pemberian informasi obat maupun non obat. a. Penggalian Informasi Penggalian informasi penting untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Kemungkinan pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient, What are the symptos, How long have the symptoms been present, Action taken, Medication being taken), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset, With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp, 2002). Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker selama konseling yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat untuk siapa, umur 7
pasien, penyebab sakit, durasi sakit, lokasi sakit, gejala sakit, pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan, alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan apakah sudah ke dokter (Chua, 2006). b. Rekomendasi Apoteker Apoteker bisa merekomendasikan suatu obat untuk meringankan gejala sakitnya dengan mencoba menentukan penyebab sakitnya sehingga dapat mencegah terjadinya sakit kembali dan juga bisa menyarankan pada perubahan pola hidup/non farmakologi yang penting dalam mengatasi sakitnya. Apoteker menyarankan pasien pergi ke dokter jika pasien tersebut kondisinya berat atau parah (Chua, 2006). 1) Rujukan ke dokter Pada kasus diare, rujukan ke dokter diperlukan jika (Dipiro, 2008): a) Nyeri perut yang hebat dan kram b) Feses berdarah c) Dehidrasi (haus, mulut kering, lemas, urin berwarna pekat, jarang kencing, penurunan jumlah urin, kulit kering, nadi yang cepat, kram otot, otot lemah). d) Demam tinggi (lebih dari 38 C) e) Penurunan berat badan lebih dari 5% dari total berat badan f) Bila diare lebih dari 48jam. 2) Informasi obat Pemberian informasi adalah untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan/medication error (Pemerintah RI, 2009). Informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain (Depkes RI, 2006) : 8
a) Khasiat obat: apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien. b) Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontraindikasi dimaksud. c) Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya. d) Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain. e) Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. f) Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur. g) Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan. 9
Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat. a) Cara penyimpanan obat yang baik. b) Cara memperlakukan obat yang masih tersisa. c) Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak. 3) Informasi Non Obat Informasi non obat yang perlu disampaikan apoteker kepada pasien diare antara lain (Depkes, 2006) : a) Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol, kopi/teh, dan susu. b) Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur, roti, pisang) selama 1-2 hari. c) Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam. d) Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan (diare karena infeksi bakteri/virus bisa menular). e) Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa, dan tikus. f) Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa makanan di dalam kulkas. g) Gunakan air bersih untuk memasak. h) Air minum harus direbus terlebih dahulu. i) Buang air besar pada jamban. j) Jaga kebersihan lingkungan. k) Bila diare berlanjut lebih dari dua hari, bila terjadi dehidrasi, kotoran berdarah, atau terus-menerus kejang perut periksakan ke dokter. 4) Prosedur pelayanan informasi obat (PIO) Menurut (SK Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004) kegiatan pelayanan yang harus dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi dan konsultasi secara akurat, tidak bias, faktual, terkini, mudah dimengerti, etis dan bijaksana. 10
a) Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu pengobatan pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun tertulis. b) Melakukan penelusuran literatur bila diperlukan secara sistematis untuk memberikan informasi. c) Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan bijaksana baik secara lisan maupun tertulis. d) Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien. e) Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat. D. Diare 1. Definisi Diare Diare dapat didefinisikan sebagai perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Dikatakan diare bila feses lebih berair dari biasanya. Diare dapat juga didefinisikan bila buang air besar 3 kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2009). 2. Jenis Diare Diare dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronis. Diare akut adalah diare yang terjadi selama 14 hari atau kurang. Gejala dan tanda-tanda diare akut adalah konsistensi encer dan berair yang menyerang secara mendadak, nyeri perut, keadaan mendesak ingin buang air besar, mual, perut kembung, dan demam. Pasien dengan infeksi diare akut bisa terjadi buang air besar berdarah dan nyeri perut. Sedangkan diare kronik adalah diare yang terjadi lebih dari 30 hari. Diare kronik mempunyai tanda-tanda dan gejala yaitu gejala bisa hebat atau ringan, penurunan berat badan dapat dilihat dan tubuh terasa lemas. Dehidrasi bisa diketahui dari 11
penurunan jumlah urin, urin pekat, membran mukus yang kering, cepat haus, dan takikardi (Dipiro, 2008). 3. Penyebab Diare a. Infeksi Infeksi disebabkan oleh bakteri (Shigella, Salmonella, E. Coli, golongan fibrio, Bacillus cereus, Clostiduim perfringens, Stafilakokus aureus, Campylobacter Aeromonas), virus ( Rotavirus, Norwalk/ Norwalk like agent), parasit (Protozoa, Entamoeb, Histolytica, Giardia lambelia, Balandilium coli, Cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Jamur, Candida). b. Malabsorpsi Diare disebabkan oleh malabsorpsi karbohidrat, antara lain: Disakarida (Laktosa, maltosa, sukrosa ). Malabsorpsi lemat terutama longchain triglyceride serta protein (asam amino, B lactoguabulin). c. Makanan Makanan penyebab diare antara lain makanan basi dan makanan yang belum waktunya diberikan. d. Keracunan Makanan beracun yang mengandung bakteri Clostridium botulinum, Stafilokokus dan makanan yang tercampur racun (bahan kimia). e. Konstitusi f. Alergi Alergi susu, alergi makanan, cow s milk protein sensitife enteropathy ( CMPSE ). g. Imunodefisiensi h. Sebab lain ( psikis ) 12
4. Penanganan Diare Pada Anak Obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare adalah oralit untuk mencegah kekurangan cairan tubuh a. Oralit Oralit tidak menghentikan diare, tetapi mengganti cairan tubuh yang keluar bersama tinja. b. Adsorben dan Obat Pembentuk Massa Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Norit (karbo adsorben), kombinasi Kaolin-Pektin dan attapulgit. Kegunaan Obat: 1) Mengurangi frekuensi buang air besar 2) Memadatkan tinja 3) Menyerap racun pada penderita diare Hal yang harus diperhatikan 1) Obat bukan sebagai pengganti oralit 2) Penderita harus minum oralit 3) Tidak boleh diberikan pada anak di bawah 5 tahun 5. Terapi Non Farmakologi a. Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol, kopi/teh, susu. b. Teruskan pemberian air susu ibu pada bayi, tetapi pada pemberian susu pengganti ASI encerkan sampai dua kali. c. Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur, roti, pisang) selama 1 2 hari. d. Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam e. Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum f. menyiapkan makanan (diare karena infeksi bakteri/virus bisa menular). g. Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan tikus. h. Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa makanan di dalam kulkas. 13
i. Gunakan air bersih untuk memasak. j. Air minum harus direbus terlebih dahulu (Depkes, 2006). E. Metode Simulasi Pasien Penggunaan simulasi pasien untuk mempraktekkan secara umum atau untuk memperoleh hasil yang ingin diukur selama melakukan penelitian kefarmasian. Simulasi pasien adalah individu yang terlatih mengunjungi sebuah sarana farmasi untuk melakukan skenario untuk mengetahui kelakuan yang spesifik dari apoteker atau petugas apotek (Watson, 2006). Peneliti yang memilih penggunaan teknik ini sebaiknya menggunakan metode yang tepat untuk menjamin memperoleh data yang tepat, reliabel, dan valid. Penulisan checklist adalah metode pengumpulan data yang paling banyak digunakan dalam simulasi pasien. Alat perekam digunakan untuk merekam komentar dan tanggapan sebagai pelengkap dari kunjungan ke apotek (Watson, 2006). Simulasi pasien harus dapat dipercaya. Penggunaan simulasi pasien dalam penelitian praktek kefarmasian adalah metode yang efektif yang sulit dicapai dengan metode yang lain. Penggunaan simulasi pasien dapat memperoleh hasil yang berkualitas tinggi, misalnya dengan menyajikan informasi tambahan ke dalam presentasi dan desain pebelajaran. Reliabilitas dari simulasi pasien meningkat jika jumlah yang dikunjungi juga meningkat (Watson, 2006). Kelebihan metode simulasi pasien adalah (Watson, 2006): 1. Metode ini dapat digunakan untuk menilai manajemen dari penyakit ringan dan berat, efek dari pengubahan perilaku petugas apotek, dan praktek kefarmasian jaman sekarang. 2. Walaupun penggunaan simulasi pasien perlu perhatian khusus dalam menjalankannya, simulasi pasien merupakan metode yang teliti dan tepat untuk pengukuran jika digunakan sewajarnya. 14
Kekurangan metode simulasi pasien adalah apoteker bisa mengubah perilakunya jika simulasi pasien yang dijalankan dicurigai/diketahui (Watson, 2006). 15