V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

dokumen-dokumen yang mirip
VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter

II. TINJAUAN PUSTAKA

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali usaha di bidang tekstil. Suatu perusahaan dituntut untuk mampu

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

NERACA PEMBAYARAN, PENDAPATAN NASIONAL, GDP DAN GNP

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

SEBUAH TEORI MAKROEKONOMI PEREKONOMIAN TERBUKA

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. oleh para peneliti terdahulu, penelitian terdahulu digunakan untuk mendukung

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada hambatan. Hal tersebut memberi kemudahan bagi berbagai negara untuk

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEH PTPN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap pendiri perusahaan atau pemilik perusahaan pasti mengharapkan

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. pada indeks harga saham di Indonesia. Pasar modal disuatu negara digunakan

BAB V KERAGAAN MODEL MAKROEKONOMETRIKA MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI INDONESIA FACTORS THAT INFLUENCE THE PRODUCTION OF PEPPER IN INDONESIA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran Pendapatan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu

BAB I PENDAHULUAN. sistematika penulisan. Berikut ini akan diuraikan tentang hal-hal tersebut.

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO. Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah

Jenis-Jenis Inflasi. Berdasarkan Tingkat Keparahan;

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS P ENELITIAN

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

ANALISIS IMPOR SERAT DI INDONESIA. JURUSAPd ILMU-IIILMU SOSLAL EKONOMI P ERTmM FAKULTAS PERTAMAN INSTITUT PERTIUUW BOGOR 1997

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT PADA PERIODE TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kondisi global menghadapi tekanan yang berat dari krisis

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif

KEWIRAUSAHAAN - 2 Galih Chandra Kirana, SE.,M.Ak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1)

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DI JAWA TENGAH PERIODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. modal. Penambahan modal ini berupa investasi dan tabungan. Di satu sisi

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian. Penelitian penelitian sebelumnya telah mengkaji masalah pengaruh

BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN

Pendapatan Nasional dan Perhitungannya. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat. Hal ini diharapkan mampu menjadi basis kestabilan ekonomi bagi

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

BAB IV INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Perkembangan Industri Kecil dan Menengah

Transkripsi:

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT Data untuk membangun model ekonomi sebagaimana diuraikan pada Bab IV dianalisis untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kualitas model yang dibangun, serta untuk menduga seluruh persamaan dalam sistem model tersebut. Untuk melihat sampai seberapa jauh peubah penjelas yang digunakan berpengaruh terhadap kinerja atau perilaku penawaran, permintaan dan harga dilakukan pengujian dengan uji student (t-test). Meskipun demikian informasi statistik yang digunakan adalah nilai peluang (p-value) yang menunjukkan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir. Sesuai dengan spesifikasi model, dimana pengaruh yang diharapkan dari setiap peubah penjelas sudah jelas, maka pengujian yang dilakukan, terutama untuk arah pengaruh (positif atau negatif), dilakukan adalah satu arah. Lebih jauh respon peubah endogen terhadap perubahan peubah penentu juga diperlihatkan melalui nilai elastisitasnya pada jangka pendek maupun jangka panjang. 5.1. Hasil Pendugaan Model Proses penyusunan model melalui spesifikasi, pengujian dan re-spesifikasi yang berulang-ulang (iterative) telah menghasilkan model penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu yang yang dinilai baik dan memuaskan. Hal ini ditunjukkan oleh kesesuaian pengaruh peubah dengan teori ekonomi, yang diperlihatkan dari tanda tiap koefisien peubah di tiap perasamaan (plus atau minus), yang mempunyai kesamaan dengan tanda yang diharapkan dalam tiap persamaan.

62 Selain itu, dari hasil uji statistik terlihat bahwa dari 23 persamaan struktural hanya 4 persamaan yang terindikasi mempunyai masalah otokorelasi, sedangkan 4 persamaan lainnya tidak dapat dipastikan apakah ada masalah otokorelasi atau tidak, persamaan selebihnya secara tegas dinyatakan tidak ada masalah otokorelasi. Hasil identifikasi masalah otokorelasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Dengan demikian maka model persamaan simultan yang dibangun merupakan model yang baik. Model ini juga dipandang sangat memuaskan karena dari hasil analisis diketahui bahwa seluruh peubah eksogen dapat menjelaskan perilaku peubah endogen dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien determinasi atau nilai R 2, pada seluruh persamaan yang berkisar antara 70.57% hingga 99.59%. 5.2. Kayu Bulat 5.2.1. Luas Tebangan Hutan Alam Luas tebangan hutan alam (LUASA) dalam produksi kayu bulat selain dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata 5% oleh pengalaman tebangan pada tahun sebelumnya (LUASA -1 ), juga sangat dipengaruhi oleh: 1) total permintaan kayu bulat hutan alam (QDKB), 2) harga kayu itu sendiri (RPKBA), dan 3) tingkat upah (UPAH) berpengaruh secara nyata pada taraf 10%. Namun demikian, respon produsen dalam menyikapi perubahan ketiga peubah itu tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila terjadi kenaikan 1% atas total permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan, maka dalam jangka pendek akan terjadi penambahan tebangan 0.22%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikannya bisa mencapai 0.88% (Tabel 4). Adapun kenaikan harga kayu tersebut 1% akan meningkatkan luas

63 tebangan 0.14% pada jangka pendek dan 0.58% pada jangka panjang. Rendahnya respon tersebut (inelastic) dikarenakan adanya ketentuan mengenai jatah maksimal luas tebangan per tahun. Penambahan luas tebangan yang mengakibatkan terlewatinya batas maksimal tahunan, akan dikenakan hukum pidana karena dianggap telah melakukan tindakan illegal logging. Dengan demikian meskipun terjadi dorongan pasar berupa kenaikan permintaan dan kenaikan harga, maka dorongan ini hanya direspon dengan penambahan luas tebangan sampai pada jatah tebangan yang telah ditentukan. Tabel 4. Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Alam di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Total Permintaan Kayu Bulat (QDKBA) 0.007 0.0024 0.217 0.880 Harga kayu bulat alam (RPKBA) 44.966 0.0471 0.143 0.581 Dana reboisasi (RDRBS) -0.015 0.6038-0.018-0.073 Iuran hasil hutan riil (RIHH) -0.187 0.1469-0.068-0.277 Upah riil (UPAH) -0.011 0.0691-0.002-0.007 Suku bunga (INTR) -0.114 0.9539-0.003-0.013 Luas Tebangan HA sebelumnya 0.754 0.0001 Dari Tabel 4 juga terlihat bahwa respon negatif oleh kenaikan tingkat upah ternyata sangat kecil, dimana dengan kenaikan upah 1% hanya mengakibatkan penurunan luas tebangan sebesar 0.002% pada jangka pendek, dan sebesar 0.007% pada jangka panjang. Hal ini mungkin disebabkan karena perluasan tebangan akan mengakibatkan penambahan jaringan jalan sarad dan jalan angkutan kayu yang dalam biaya eksploitasi hutan merupakan komponen biaya terbesar, yaitu antara 30-60% (Ellias, 2008), sehingga pengaruh komponen upah per satuan luas tebangan menjadi kurang signifikan.

64 5.2.2. Luas Tebangan Hutan Tanaman Estimasi persamaan luas tebangan pada hutan tanaman (LUAST) sebagaimana terlihat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa keputusan mengenai luas tebangan pada hutan tanaman sangat dipengaruhi oleh: 1) total permintaan kayu bulat, 2) harga riil kayu bulat dari hutan tanaman, dan 3) tingkat suku bunga pinjaman. Meskipun demikian semua peubah penjelas tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata 40%, kecuali untuk peubah total permintaan kayu yang berpengaruh nyata pada taraf 5%. Respon positif pengusaha hutan tanaman dalam menanggapi kenaikan permintaan kayu bulat tidak elastis dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang respon tersebut elastis. Dalam hal ini apabila total permintaan kayu bulat naik 1% maka dalam jangka pendek hal ini hanya direspon dengan penambahan luas tebangan hutan tanaman sebesar 0.37%, sedangkan pada jangka panjang hal ini direspon dengan kenaikan sebesar 1.20%. pada jangka panjang tersebut terjadi karena investasi pada hutan tanaman sangat tinggi dan melibatkan jangka waktu yang relatif panjang, sehingga setiap perubahan baru akan direspon secara nyata dalam jangka panjang. Respon positif luas tebangan hutan tanaman juga akan terjadi apabila ada kenaikan harga kayu bulat hutan tanaman, meskipun respon ini tidak elastis baik pada jangka pendek maupun panjang. Dalam hal ini apabila harga kayu naik 1% maka dalam jangka pendek akan direspon dengan penambahan luas tebangan sebanyak 0.09%, sedangkan dalam jangka panjang penambahan tersebut bisa mencapai 0.29%. Peningkatan respon yang terjadi pada jangka panjang ini menjelaskan sifat dari usaha hutan tanaman yang berjangka panjang, dimana

65 respon penambahan luas tebangan hutan baru terjadi setelah tanaman berumur minimal 7 tahun. Respon negatif akan terjadi apabila ada perubahan tingkat suku bunga, meskipun respon tersebut tidak elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini bisa dipahami karena berbeda dengan usaha pada hutan alam, maka pada hutan tanaman dana pinjaman lebih diperlukan pada saat mereka mulai menanam pohon. Oleh karena itu meskipun terjadi kenaikan suku bunga pinjaman, maka hal itu tidak mengurangi minat pengusaha untuk menebang. Dalam hal ini apabila terjadi kenaikan atas suku bunga pinjaman sebesar 1%, dalam jangka pendek pengurangan luas tebangan hutan tanaman hanya sebesar 0.11%; sedangkan dalam jangka panjang kenaikan suku bungan pinjaman tersebut akan direspon dengan pengurangan luas tebangan sebesar 0.36%. Tabel 5. Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Total Permintaan Kayu Bulat 0.003 0.0288 0.368 1.196 Harga kayu bulat tanaman 8.576 0.3471 0.090 0.293 Iuran hasil hutan riil -0.018 0.8674-0.022-0.072 Upah riil -0.001 0.7683-0.026-0.083 Suku bunga -1.188 0.47-0.112-0.363 Luas tebangan HT sebelumnya 0.693 0.0001 5.2.3. Luas Tebangan Hutan Rakyat Estimasi luas tebangan hutan rakyat (LUASR) terlihat bahwa penentuan luas tebangan selain dipengaruhi secara nyata oleh pengalaman panen tahun sebelumnya pada taraf nyata 10%, ternyata juga sangat dipengaruhi secara nyata oleh total permintaan kayu bulat dengan taraf nyata 5% (Tabel 6).

66 Respon positif rakyat dalam menanggapi kenaikan permintaan kayu bulat (QDKB) tidak elastis dalam jangka pendek, dimana apabila terjadi kenaikan permintaan sebesar 1%, maka perubahan ini hanya ditanggapi dengan kenaikan luas tebangan sebesar 0.65%. Pada jangka panjang, respon ini elastis, dimana kenaikan 1% pada total permintaan akan diikuti dengan kenaikan luas tebangan sebesar 1 % pula. Respon yang signifikan ini hanya terjadi pada jangka panjang karena biasanya rakyat mempunyai hutan dalam luasan yang relatif kecil, sedangkan masa yang diperlukan untuk penanaman hingga penebangan (time lag) sangat panjang, sehingga kenaikan permintaan kayu bulat dapat tidak dapat direspon secara dengan cepat. Tabel 6. Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Total Permintaan Kayu Bulat 0.001 0.0312 0.649 1.005 Harga kayu bulat rakyat 0.463 0.9063 0.022 0.035 Upah riil -0.000 0.9659-0.007-0.012 Luas tebangan HR sebelumnya 0.355 0.0971 Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada hutan tanaman, maka pada hutan rakyat, harga riil kayu bulat hutan rakyat kurang berpengaruh pada keputusan luas penebangan. Hal terjadi karena alasan yang sama dengan uraian di atas, serta adanya kenyataan bahwa secara umum masyarakat kurang mendapat akses informasi pasar, sehingga tidak seluruh kejadian perubahan harga di pasar terpantau oleh mereka. Mereka hanya terpengaruh oleh kenaikan permintaan, yang secara nyata mereka ketahui dari adanya peningkatan permintaan atas kayu mereka.

67 Rakyat juga kurang responsif terhadap perubahan upah karena secara umum sebagian besar dari mereka menggunakan tenaganya sendiri dalam penebangan di samping dalam mengelola hutan mereka. Kemungkinan lain adalah adanya penggunaan sistem bagi hasil dengan para buruh yang membantu penanaman, pemeliharaan dan penebangan. 5.2.4. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam Estimasi produksi kayu bulat dari hutan alam (QKBA), dimana produksi kayu bulat dari hutan ini mempunyai kecenderungan atau trend (T) yang positif. Selain terpengaruh oleh produksi tahun sebelumnya (QKBA -1 ) dan produktivitas hutan alam (PRODVA) yang berpengaruh nyata pada taraf 5%. Produksi kayu bulat dari hutan ini juga sangat dipengaruhi terutama oleh: 1) upah riil (RUPAH), dan 2) iuran hasil hutan riil (RIHH) dimana kedua peubah tersebut ini berpengaruh nyata pada taraf 1% (Tabel 7). Upah riil sangat berpengaruh terhadap produksi kayu bulat dari hutan alam, dimana perubahan upah akan direspon secara negatif dan elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap kenaikan upah 1% akan mengakibatkan pengurangan produksi sebesar 1.31% pada jangka pendek, dan pada jangka panjang akan menurunkan produksi sebesar 2.10%. Respon produksi terhadap perubahan Iuran Hasil Hutan juga bersifat negatif meskipun tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dimana apabila terjadi kenaikan besarnya Iuran Hasil Hutan sebesar 1%, maka dalam jangka pendek kenaikan tersebut akan menurunkan produksi sekitar 0.26%, sedangkan dalam jangka panjang pengurangnnya mencapai sekitar 0.41%.

68 Tabel 7. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga kayu bulat alam 1095.563 0.0272 0.201 0.322 Produktivitas hutan alam 395.273 0.0018 0.775 1.239 Upah riil -3.383 0.0003-1.306-2.090 Iuran hasil hutan riil -12.162 0.0054-0.256-0.409 Dana reboisasi -0.342 0.9457-0.024-0.038 T 963.734 0.0156 1.184 1.895 Produksi kayu bulat HA sebelumnya 0.375 0.0158 5.2.5. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Tanaman Estimasi produksi kayu bulat dari hutan tanaman (QKBT), dimana produksi kayu bulat dari hutan tanaman, mempunyai kecenderungan positif meningkat, terpengaruh produksi tahun sebelumnya (QKBT -1 ) serta produktivitas hutan tanaman (PRODVT). Dimana peubah produktivitas nyata pada taraf 5%. Selain itu produksi kayu ini sangat dipengaruhi oleh besarnya iuran hasil hutan riil (RIHH) yang nyata pada taraf 1%. Sementara harga kayu bulat hutan tanaman berpengaruh nyata pada taraf lebih besar dari 20% (Tabel 8). Respon produksi hutan tanaman terhadap perubahan Iuran Hasil Hutan bersifat negatif meskipun tidak elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang, dimana apabila terjadi kenaikan Iuran Hasil Hutan sebesar 1% maka dalam jangka pendek produksi kayu bulat dari hutan ini hanya berkurang 0.005%, dan pada jangka panjang sekitar 0.008%. Respon produksi akan berbeda terhadap perubahan harga riil kayu, dimana kenaikan harga kayu akan cenderung menaikkan produksi, meskipun respon ini tidak elastis. Dalam jangka pendek apabila ada kenaikan harga kayu bulat sebesar 1%. akan meningkatkan produksi

69 kayu bulat dari hutan tanaman sebesar 0.176%; dalam jangka panjang kenaikkan tersebut bisa mencapai 0.299%. Tabel 8. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga kayu bulat tanaman 289.399 0.2528 0.176 0.299 Produktivitas hutan tanaman 55.510 0.0001 0.397 0.674 Iuran hasil hutan riil -7.558 0.0003-0.005-0.008 Upah riil -0.391 0.9607 0.000 0.000 T 146.239 0.0333 0.089 0.151 Produksi kayu bulat HT sebelumnya 0.411 0.0462 5.2.6. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Rakyat Produksi Kayu Bulat dari Hutan Rakyat (QKBR) selain ditentukan oleh luas tebangan (LUASR) yang berpengaruh nyata pada taraf 1%, juga ditentukan oleh: permintaan kayu bulat rakyat (DKBR), dan upah riil (RUPAH), meskipun pengaruh dari kedua peubah tersebut nyata pada taraf nyata lebih besar dari 40%. Permintaan kayu bulat rakyat berpengaruh secara positif terhadap produksi kayu ini, meskipun responnya tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 9. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 INTERCEP 28.501 0.7817 Jk Pendek Jk. Panjang Harga kayu bulat rakyat ril 31.870 0.4547 0.015 0.016 Luas hutan rakyat 12.485 0.0001 1.085 1.186 Upah ril -0.784 0.4976-0.157-0.172 Produksi kayu HR sebelumnya 0.086 0.1716

70 Kenaikan permintaan sebesar 1% dalam jangka pendek hanya direspon dengan kenaikan produksi sebesar 0.015%, sedangkan dalam jangka panjang hanya menaikkan produksi sebesar 0.016%. Respon produksi terhadap perubahan tingkat upah juga tidak elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang, dimana kenaikan upah sebesar 1% akan mengurangi produksi sebesar 0.157% dalam jangka pendek, dan sekitar 0.172% pada jangka panjang. 5.2.7. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Alam Pendugaan koefisien peubah untuk persamaan harga kayu bulat dari hutan alam (RPKBA), dimana harga riil kayu ini selain dipengaruhi harga kayu tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata pada 1%. Perilaku harga riil kayu bulat hutan alam juga dipengaruhi secara nyata pada taraf 1% oleh: harga riil kayu gergajian domestik (RPKG) dan harga kayu bulat dunia (RPWKB), seperti terlihat pada Tabel 10. Perubahan harga kayu gergajian mempengaruhi harga kayu bulat hutan alam secara positif, meskipun respon harga kayu bulat tidak elastis pada jangka pendek mapun jangka panjang. Setiap kenaikan harga kayu gergajian sebanyak 1% akan meningkatkan harga kayu bulat hutan alam sebesar 0.47% pada jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang akan meningkatkan harga tersebut 0.82%. Harga kayu bulat dunia juga direspon secara positip oleh harga riil kayu bulat domestik, dimana dalam jangka pendek respon ini tidak elastik, namun dalam jangka panjang menjadi elastik. Apabila terjadi kenaikan harga kayu bulat dunia sebesar 1% maka dalam jangka pendek akan berdampak pada kenaikan harga domestik kayu bulat hutan alam sebesar 0.90%, dan dalam jangka panjang

71 akan menaikkan harga tersebut sebesar 1.55%. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya pengaruh kuat harga pasar dunia terhadap harga domestik. Tabel 10. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Alam di Indonesia Tahun 2005 INTERCEP -0.803 0.1738 Jk Pendek Jk. Panjang Harga dunia kayu bulat 0.295 0.0061 0.893 1.550 Total penawaran kayu bulat 0.000 0.1989-0.157-0.273 Harga pulp -0.010 0.351-0.069-0.120 Harga kayu lapis -0.071 0.2756-0.415-0.721 Harga kayu gergajian 0.219 0.001 0.474 0.823 Tren waktu 0.031 0.1578 0.209 0.364 Harga kayu bulat alam sebelumnya 0.424 0.0013 Harga riil kayu bulat hutan alam dipengaruhi secara negatif oleh harga pulp meskipun respon harga kayu bulat terhadap perubahan harga pulp tidak elastik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap kenaikan harga pulp and paper sebesar 1% dalam jangka pendek akan berdampak pada penurunan harga kayu bulat hutan alam sebesar 0.07%, dan pada jangka panjang pengaruh penurunan ini akan mencapai 0.12% (Tabel 10). 5.2.8. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Tanaman Kenyataan bahwa harga riil kayu bulat dunia lebih berpengaruh terhadap harga riil kayu bulat dari hutan tanaman, dibanding pengaruh peubah lainnya dalam persamaan tersebut. Harga kayu bulat dunia tersebut berpengaruh nyata pada taraf 1% (Tabel 11). Pengaruh produksi kayu itu sendiri serta nilai tukar mata uang Rupiah bahkan dikatakan sangat tidak berarti. Kenyataan ini membuktikan adanya keinginan para pengusaha kayu bulat hutan tanaman untuk mengekspor produknya ke luar negeri, dan ini sesuai dengan dugaan adanya

72 kegiatan eskpor illegal kayu bulat dari Indonesia pada periode 2000-2005, karena ekpor kayu bulat baru dibuka kembali setelah tahun 2007. Tabel 11. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Tanaman di Indonesia Tahun 2005 INTERCEP -0.741 0.1089 Jk Pendek Jk. Panjang Harga dunia kayu bulat 0.157 0.0071 0.475 1.704 Produksi hutan tanaman 1.983E-05 0.5243 0.033 0.117 Nilai tukar Rupiah 3.111E-05 0.4364 0.061 0.218 Harga kayu hutan tanaman sebelumnya 0.721 0.0001 Apabila terjadi kenaikan harga riil kayu bulat dunia sebesar 1%, maka dalam jangka pendek akan direspon dengan kenaikan sebesar 0.475. Dalam jangka panjang respon tersebut bersifat sangat elastis, dimana kenaikan 1% harga riil kayu bulat dunia akan direspon dengan kenaikan harga riil kayu bulat hutan tanaman sebesar 1.70%. 5.2.9. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Rakyat Harga riil kayu bulat dari tanaman rakyat pada dasarnya ditetapkan dengan mempertimbangkan harga kayu tersebut pada tahun sebelumnya, sebagaimana nampak dalam estimasi koefisien persamaan pada Tabel 12. Hasil analisis sebagaimana pada tabel di bawah menjelaskan bahwa harga kayu bulat dari tanaman rakyat dipengaruhi secara nyata pada taraf 1% oleh jumlah produksi kayu tersebut, meskipun pengaruh ini sangat kecil sebagaimana diindikasikan oleh elstisitasnya dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kenaikan produksi kayu ini sebesar 1 % (yang berarti tambahan penawaran) dalam jangka pendek hanya mengakibatkan penurunan harga 0.01%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan produksi tersebut hanya menurunkan harga kayu sebesar 0.05%.

73 Fenomena ini meperlihatkan bahwa usaha kayu rakyat masih belum merupakan usaha utama, namun merupakan usaha sampingan dari usaha tanaman pangan. Tabel 12. Hasil Estimasi Harga Kayu Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 INTERCEP 0.222 0.1908 Jk Pendek Jk. Panjang Produksi kayu HR -4.26E-05 0.8254-0.010-0.051 Harga kayu bulat rakyat sebelumnya 0.799 0.0001 5.3. Industri Pengolahan Kayu Primer 5.3.1. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian Permintaan kayu bulat untuk industri kayu gergajian cenderung naik dari waktu ke waktu dan terpengaruh oleh pengalaman permintaan pada tahun sebelumnya. Berdasarkan tingkat pengaruhnya secara statistik, permintaan kayu bulat oleh industri gergajian secara berturut-turut dipengaruhi oleh: 1) produksi kayu gergajian, 2) harga kayu gergajian dunia, dan 3) harga riil kayu bulat hutan alam. Tabel 13. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 Peubah Koefisien P- value Jk Pendek Jk. Panjang INTERCEP -9472.533282 0.1039 Harga kayu gergajian riil 26.952483 0.9388 0.023 0.040 Harga kayu bulat alam riil -554.786367 0.4526-0.217-0.382 Harga dunia kayu gergajian 264.262631 0.0743 0.965 1.699 Tren waktu 296.920353 0.1274 0.775 1.366 Produksi kayu gergajian 0.000622 0.0092 0.844 1.486 Permintaan kayu bulat IKG sebelumnya 0.432236 0.0266

74 Produksi kayu gergajian sangat jelas berpengaruh positif pada jumlah kayu bulat yang dibutuhkan oleh industri ini, karena kayu bulat merupakan satusatunya bahan baku bagi industri ini. Secara khusus kayu bulat dari hutan alam merupakan bahan baku utama, karena sebagian besar terdiri atas kayu keras, sedangkan kayu bulat dari hutan tanaman sebagian besar merupakan kayu dari jenis cepat tumbuh yang kurang cocok untuk kayu gergajian. Oleh karena itu elastisitas permintaan kayu bulat dari hutan alam cukup tinggi dalam jangka panjang, yaitu sekitar 1.49 meskipun dalam jangka pendek elastisitasnya 0.84 dan termasuk dalam kategori inelastik. Pengaruh positif juga diberikan oleh harga kayu gergajian dunia dimana setiap terjadi kenaikan harga kayu dunia sebesar 1% dalam jangka pendek akan di respon dengan kenaikan permintaan kayu bulat hutan alam sebesar 0.97, dan dalam jangka panjang respon ini menjadi sekitar 1.70. Tingginya tingkat elastisitas ini sekali lagi menunjukkan bahwa pasar produk kayu dunia masih sangat mempengaruhi industri perkayuan Indonesia. 5.3.2. Produksi Kayu Gergajian Dari hasil estimasi persamaan produksi kayu gergajian sebagaimana terinci pada Tabel berikut, terlihat bahwa produksi kayu olahan ini selain terpengaruh oleh pengalaman produksi tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata pada taraf 1%, juga dipengaruhi secara berturut-turut oleh: kapasitas terpasang industri kayu gergajian, dan harga kayu gergajian itu sendiri, meskipun dalam jangka panjang maupun pendek respon produksi terhadap kedua peubah tersebut tidak elastis.

75 Apabila terjadi penurunan kapasitas terpasang sebesar 1% pada industri kayu gergajian, maka pada jangka pendek produksi industri ini diperkirakan akan menurun sekitar 0.14%, sedangkan pada jangka panjang diperkirakan akan terjadi pengurangan sekitar 0.53%. Adapun apabila terjadi kenaikan harga kayu gergajian sebesar 1% maka pada jangka pendek produsen kayu gergajian cenderung menaikkan produksinya sebesar 0.14%, dan apabila kenaikan harga ini terjadi terus menerus, maka pada jangka panjang penurunan ini diperkirakan akan mencapai 0.69% sesuai dengan yang terlihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 Peubah Koefisien P-value Jk Pendek Jk. Panjang Harga kayu gergajian 217306.000 0.5177 0.136 0.688 Harga kayu bulat alam -112135.000 0.8956-0.032-0.164 Suku bunga -5728.677 0.8717-0.015-0.075 Kapasitas terpasang kayu gergajian 104771.000 0.4995 0.104 0.527 Produksi kayu gergajian sebelumnya 0.803 0.0003 5.3.3. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Lapis Permintaan kayu bulat industri kayu lapis ini dipengaruhi nyata pada taraf 10% oleh realisasi tingkat produksi kayu lapis dan dipengaruhi secara nyata pada taraf 20% oleh harga kayu bulat hutan alam. Sementara peubah-peubah yang lain memberikan pengaruh nyata pada taraf lebih besar dari 20%, sesuai dengan yang terlihat pada Tabel 15. Pengaruh produksi kayu lapis terhadap kebutuhan kayu bulat secara logis bersifat positif dan seharusnya elastik, namun kenyataannya tabel di atas menyatakan apabila ada kenaikan produksi kayu lapis sebesar 1 %, maka dalam

76 jangka pendek akan peningkatan permintaan kayu bulat hanya sebesar 0.36%, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan ini hanya sekitar 0.49%. Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat untuk Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang INTERCEP -1919.765877 0.7187 Harga kayu lapis domestik 198.90145 0.6652 0.253 0.339 Harga kayu bulat alam -3034.010472 0.1668-0.662-0.889 Harga dunia kayu lapis 495.749745 0.4245 0.835 1.122 Tren waktu 118.059857 0.555 0.172 0.231 Produksi kayu lapis 0.000496 0.0953 0.361 0.485 Permintaan kayu bulat IKL sebelumnya 0.255666 0.2296 Kemungkinan, besarnya kenaikan produksi yang kurang sepadan dengan kenaikan pasokan bahan baku kayu adalah dikarenakan adanya penurunan efisiensi penggunaan bahan baku kayu bulat, diantaranya mesin dan peralatan yang ada sudah mulai usang, tanpa ada peremajaan atau moderenisasi yang berarti. 5.3.4. Produksi Kayu Lapis Hasil estimasi persamaan produksi kayu lapis. Dari tabel tersebut terlihat bahwa perilaku produksi kayu lapis dipengaruhi secara nyata oleh harga kayu lapis pada taraf nyata 5%, harga riil kayu bulat dari hutan alam pada taraf nyata 15% dan harga kayu lapis periode sebelumnya pada taraf nyata 1% (Tabel 16). Secara umum dari pengamatan periode 1980 hingga 2005 produksi kayu lapis mengalami kecenderungan menurun, dan hal itu ditunjukkan oleh nilai T yang negatif. Namun demikian kecenderungan ini secara relatif terhadap total produksi kurang signifikan, hal ini diindikasikan oleh p-value yang relatif besar,

77 yaitu sekitar 0.85 serta elastisitasnya yang sangat kecil yaitu 0.018 pada jangka pendek, dan sekitar 0.120 pada jangka panjang. Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga kayu lapis dunia 178884.000 0.0411 0.312 2.039 Harga kayu bulat alam -450001.000 0.1451-0.135-0.881 Suku bunga 3914.424 0.8585 0.011 0.069 Kapasitas terpasang industri 4128.935 0.9707 0.005 0.036 Tren waktu -9175.044 0.8472-0.018-0.120 Harga kayu lapis tahun sebelumnya 0.847 0.0001 Harga kayu bulat dari hutan alam merupakan peubah yang signifikan terhadap permintaan bahan baku kayu lapis, meskipun respon permintaan bahan baku terhadap perubahan harga tidak elastik. Perubahan harga kayu bulat dari hutan alam sebesar 1% dalam jangka pendek direspon dengan pengurangan permintaan kayu sebesar 0.662%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan harga kayu ini akan mengurangi permintaan sebesar 0.889%. Meskipun respon permintaan kayu bulat dari hutan alam terhadap harga kayu tersebut inelastik, namun dari angka elastisitas tersebut terlihat bahwa produsen sangat terpengaruh dengan harga kayu ini, karena bahan baku kayu bulat menempati proporsi 60% hingga 70% dari total biaya produksi. Harga kayu lapis dunia berpengaruh positif terhadap permintaan bahan bahan baku kayu bulat. Apabila terjadi kenaikan harga kayu lapis dunia sebesar 1% maka kejadian ini dalam jangka pendek akan direspon dengan peningkatan permintaan bahan baku kayu bulat sebesar 0.835%, dan dalam jangka panjang sebesar 1.122%. Hal ini sekali lagi memperlihatkan pentingnya pasar dunia bagi

78 industri kayu lapis Indonesia, dimana pasar dunia untuk produk ini masih cukup bagus bagi kayu lapis Indonesia. Namun demikian, peubah yang sangat nyata berpengaruh terhadap produksi kayu lapis adalah harga riil domestik kayu lapis itu sendiri dan harga kayu bulat dari hutan alam. Respon produksi terhadap perubahan harga kayu lapis dalam jangka pendek tidak elastik yaitu 0.312, namun dalam jangka panjang respon ini sangat elastik yaitu mencapai 2.039. Hal ini berarti apabila terjadi kenaikan harga kayu lapis sebesar 1%, maka dalam jangka pendek akan direspon dengan peningkatan produksi sebesar 0.312%, dan dalam jangka panjang peningkatan ini bisa lebih dari dua kali lipat, yaitu sekitar 2.309%. Lambatnya respon ini berarti bahwa produksi kayu lapis saat ini belum dapat secara maksimal memanfaatkan kemungkinan kenaikan harga produk ini, namun apabila terjadi kecenderungan kenaikan harga produk yang secara-terus menerus berlangsung, maka industri akan berusaha meningkatkan produksinya. Kecenderungan menurunnya produksi kayu lapis dan ketidakmampuan industri dalam menangkap keuntungan secara maksimal dari kemungkinan kenaikan harga produk ini, sebagaimana uraian di atas, sekali lagi menjelaskan bahwa kilang-kilang kayu lapis sudah dalam kondisi tidak efisien, dan pembaruan peralatan dan mesin-mesin yang selama ini dipergunakan. 5.3.5. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pulp Besarnya permintaan kayu bulat oleh industri pulp selain merujuk pengalaman pada permintaan tahun sebelumnya, juga dipengaruhi oleh: 1) harga bahan baku kayu bulat dari hutan alam pada taraf 20%, 2) jumlah produksi dari industri ini pada taraf 16%, dan 3) harga pulp itu sendiri.

79 Pengaruh harga kayu bulat dari hutan alam terhadap permintaan kayu bulat untuk industri ini adalah negatif, meskipun respon yang terjadi tidak elastik. Perubahan harga kayu bulat hutan alam sebesar 1% direspon dengan penurunan total permintaan kayu bulat sebesar 0.507%, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Pengaruh dari harga kayu bulat dari hutan alam ini sangat dominan terhadap permintaan kayu bulat. Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat Industri Pulp di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang INTERCEP 3341.155351 0.6859 Harga pulp domestik 70.756984 0.6025 0.156 0.156 Harga kayu bulat alam -1529.455325 0.1831-0.507-0.507 Harga dunia pulp dunia 53.608693 0.7312 0.165 0.165 Tren waktu -191.499031 0.6867-0.424-0.424 Produksi pulp and paper 0.00115 0.1575 0.352 0.352 Permintaan kayu bulat industry pulp sebelumnya 0.764104 0.0011 5.3.6. Produksi Pulp Dalam periode 1980-2005 produksi pulp cenderung meningkat, meskipun peningkatan ini tidak terlalu besar. Tabel 18 menyajikan hasil estimasi untuk perilaku produksi pulp. Diantara peubah yang berpengaruh pada peningkatan produksi tersebut adalah kapasitas industri itu sendiri pada taraf 10% serta tingkat suku bunga pinjaman pada taraf 10%. Suku bunga pinjaman berpengaruh negatif terhadap produksi dimana respon produksi terhadap perubahan suku bunga tidak elastik pada jangka pendek, namun menjadi elastik pada jangka panjang. Pada tabel dapat dilihat bahwa apabila terjadi kenaikan suku bunga pinjaman sebesar 1% maka pada jangka pendek akan terjadi penurunan produksi sekitar 0.42%, dan pada jangka panjang penurunan ini akan mencapai sekitar 1%.

80 Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Pulp di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga pulp 4069.224 0.8421 0.029 0.070 Harga kayu bulat tanaman 82905.000 0.6387 0.090 0.216 Suku bunga -43201.000 0.0083-0.419-1.009 Kapasitas terpasang pulp and paper 429839.000 0.0564 0.641 1.543 Tren waktu 20106.000 0.6868 0.146 0.350 Produksi pulp and paper sebelumnya 0.585 0.0001 Pengaruh kapasitas terpasang industri terhadap produksi pulp and paper juga tidak elastik dalam jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang menjadi elastik. Pada jangka pendek, kenaikan kapasitas industri sebesar 1% akan mengakibatkan kenaikan produksi sekitar 0.64%, sedangkan pada jangka panjang kenaikan tersebut dapat mencapai 1.54%. 5.4. Ekspor-Impor 5.4.1. Ekspor Kayu Bulat Ekspor kayu bulat selain dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya, sesuai dengan teori yang ada, sangat dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang dollar Amerika pada taraf 10% (Tabel 19). Dalam hal ini apabila nilai tukar Rupiah meningkat, maka produsen kayu bulat cenderung meningkatkan ekspor, karena harga kayu bulat di pasar luar negeri menjadi lebih tinggi apabila dibayar dengan mata uang Rupiah. Apabila terjadi kenaikan 1% atas nilai tukar Rupiah, maka dalam jangka pendek akan terjadi kenaikan ekspor sekitar 0.46%, dan dalam jangka panjang kenaikan itu akan mencapai sekitar 0.71%.

81 Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang INTERCEP -850545.000 0.5313 Harga dunia kayu bulat 62465.000 0.672 0.245 0.376 Harga kayu bulat alam 121820.000 0.8096 0.158 0.242 RGDPW 0.552 0.6352 0.311 0.477 Nilai tukar Rupiah 183.169 0.0693 0.463 0.712 Dummy larangan ekspor -671033.000 0.2807 Ekspor kayu bulat sebelumnya 0.349 0.0016 Ekspor kayu bulat akan meningkat apabila secara umum terjadi perbaikan ekonomi dunia. Dalam hal ini apabila ada kenaikan 1% atas Gross Domestic Bruto dunia (rata-rata) maka dalam jangka pendek ekspor kayu bulat Indonesia bisa ditingkatkan 0.31%, dan dalam jangka panjang peningkatan ini bisa mencapai sekitar 0.48%. 5.4.2. Impor Kayu Bulat Berlawanan dengan ekspor, maka impor kayu bulat dari luar negeri akan menurun apabila nilai tukar Rupiah naik, dalam hal ini harga kayu bulat dari luar negeri menjadi lebih mahal apabila dibayar dengan Rupiah (Tabel 20). Dari Tabel 20 juga dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kenaikan nilai Rupiah sebanyak 1% maka dalam jangka pendek impor kayu bulat akan turun sebanyak 0.62%, sedangkan dalam jangka panjang penurun ini akan mencapai sekitar 1.37% (elastik). Harga domestik kayu bulat dari hutan alam juga mempengaruhi impor kayu bulat, dimana apabila harga meningkat maka ada kecenderungan meningkatkan jumlah impor kayu bulat dari luar negeri. Respon pengusaha pengolahan kayu dalam impor kayu bulat dengan adanya kenaikan harga kayu domestik tidak elastik, dalam hal ini apabila terjadi kenaikan 1% atas harga

82 domestik kayu bulat dari hutan alam, maka dalam jangka pendek impor akan meningkat sekitar 0.382%, dan dalam jangka panjang akan meningkat sekitar 0.853%. Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Impor Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang RPWKB -2262.351 0.8604-0.177-0.395 Harga domestik kayu bulat alam 14760.000 0.4219 0.382 0.853 Total Permintaan Kayu Bulat 0.207 0.9494 0.054 0.121 GDP Indonesia -12.564 0.5423-0.628-1.403 Nilai tukar Rupiah -12.174 0.2946-0.615-1.374 Tren 8459.926 0.2175 1.463 3.266 Impor kayu bulat sebelumnya 0.552 0.0385 5.4.3. Ekspor Kayu Gergajian Ekspor kayu gergajian Indonesia cenderung meningkat dan dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya pada taraf 1% (Tabel 21). Namun demikian peubah yang secara nyata dalam mempengaruhi kinerja ekspor kayu gergajian adalah: 1) harga riil kayu gergajian dunia pada taraf 5%, 2) harga domestik riil kayu bulat dari hutan alam pada taraf 5%, dan 3) pajak ekspor kayu bulat pada taraf 20%. Harga riil kayu gergajian dunia berpengaruh sangat positif terhadap ekspor kayu gergajian Indonesia, namun secara negatif sangat dipengaruhi oleh harga domestik riil kayu bulat hutan alam serta pajak ekspor. Hal ini sesuai dengan teori yang berlaku, bahwa kenaikan harga akan mendorong jumlah penawaran, sedangkan kenaikan biaya produksi akan mengurangi volume produksi yang pada akhirnya mengurangi jumlah produk yang ditawarkan.

83 Tabel 21. Hasil Estimasi Ekspor Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga riil kayu gergajian dunia 6607.027 0.013 3.404 6.635 Harga riil kayu bulat hutan alam -29986.000 0.0129-1.654-3.223 Nilai Tukar Rupiah 0.948 0.8112 0.102 0.199 Trend 1831.940 0.4636 0.675 1.316 Pajak Ekspor Kayu Bulat -2706.050 0.1941-2.018-3.933 Ekspor Kayu Bulat tahun sebelumnya 0.487 0.0063 Setiap kenaikan 1% atas harga kayu gergajian dunia dalam jangka pendek akan direspon dengan peningkatan ekspor sekitar 3.40%, dan dalam jangka panjang peningkatan ini bisa mencapai 6.64%. Sebaliknya apabila harga domestik riil kayu bulat dari hutan alam meningkat 1%, maka dalam jangka pendek kinerja ekspor kayu gergajian akan turun sekitar 1.65%, dan dalam jangka panjang penurunan tersebut bisa mencapai 3.23%. Adapun kenaikan 1% atas pajak ekspor dalam jangka pendek akan menyebabkan penurunan volume ekspor sekitar 2.02%, sedangkan pengaruhnya dalam jangka panjang penurunan ini bisa mencapai 3.93%. 5.4.4. Ekspor Kayu Lapis Ekspor kayu lapis dipengaruhi oleh kinerja ekspor produk ini pada tahun sebelumnya pada taraf 1%, namun dalam periode 1980 2005 ada kecenderungan menurun, meskipun dalam jangka pendek penurunan tersebut belum begitu nyata, namun dalam jangka panjang tingkat penurunan ini akan menjadi cukup besar. Secara struktural kinerja ekspor kayu lapis dipengaruhi oleh harga ekspor riil produk ini pada taraf 10% (Tabel 22).

84 Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga riil ekspor kayu lapis 62279920.000 0.051 0.108 2.028 Harga domestik riil kayu bulat alam 56354.000 0.6472 0.020 0.371 Nilai Tukar Rupiah 23.075 0.8723 0.016 0.296 Trend -30879.000 0.6787-0.073-1.357 Harga ekspor kayu lapis tahun sebelumnya 0.947 0.0001 Respon ekspor terhadap perubahan harga ekspor kayu lapis tidak elastik pada jangka pendek, namun menjadi elastik pada jangka panjang. Kenaikan 1% atas harga ekspor kayu lapis akan mendorong peningkatan volume ekspor produk ini sekitar 0.11% dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan kinerja ekspor ini bisa mencapai 2.03%. Kurangnya respon ekspor kayu lapis dalam jangka pendek dalam menanggapi perbaikan harga ekspor sangat dimungkinkan karena industri kayu lapis di satu sisi kilang-kilangnya dalam kondisi tua dan tidak efisien dalam penggunaan bahan baku, di sisi lain bahan baku kayu bulat dari hutan alam semakin sulit diperoleh karena hutan produksi telah banyak mengalami deforestasi. Kondisi ini mengakibatkan respon produksi kayu lapis atas kenaikan harga produk ini kurang memadai. Dalam jangka panjang, apabila harga ekspor kayu lapis tetap mempunyai kecenderungan semakin membaik, maka industri akan terinsentif untuk meremajakan dan memodernkan mesin dan peralatannya, sehingga penggunaan bahan baku kayu bulat menjadi semakin efisien, dan kilang kayu lapis bisa memanfaatkan berbagai jenis dan ukuran kayu bulat. Dengan kondisi seperti itu maka dalam jangka panjang respon ekspor terhadap perbaikan harga ekspor kayu lapis akan semakin elastik.

85 5.4.5. Ekspor Pulp Sesuai dengan teori perdagangan, ekspor pulp akan dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah dan harga pulp dunia, dimana nilai tukar Rupiah nyata pada taraf 10% dan harga pulp dunia nyata pada taraf 14%. Respon ekspor terhadap perubahan nilai tukar tidak elastik. Kenaikan 1% atas nilai tukar Rupiah dalam jangka pendek akan menaikkan ekspor produk ini sekitar 0.45%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan ekspor bisa mencapai 0.82% (Tabel 23). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya pengaruh negatif peubah harga riil pulp dunia dan harga kayu bulat hutan alam terhadap kinerja ekspor produk ini, serta hubungan positif antara harga kayu bulat hutan alam dengan kinerja ekspor pulp. Kenaikan 1% atas harga riil pulp dunia akan mengakibatkan penurunan ekspor produk ini sekitar 0.44% pada jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang penurunan ini sekitar 0.79%. Hal ini bisa terjadi karena adanya fenomena sentimen pasar dunia terhadap produk pulp Indonesia yang dituduh: 1) melakukan dumping, 2) melanggar prinsip-prinsip lingkungan, dan 3) terkait dengan pelanggaran hak azasi manusia dalam perluasan hutan tanaman untuk peningkatan pasokan bahan baku. Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Pulp di Indonesia Tahun 2005 Jk Pendek Jk. Panjang Harga riil pulp dunia -16536.000 0.134-0.438-0.786 Harga kayu bulat dari hutan alam 97201.000 0.3118 0.278 0.499 Nilai tukar Rupiah 81.311 0.103 0.454 0.815 Trend 16951.000 0.2227 0.324 0.581 Harga riil pulp dunia tahun sebelumnya 0.443 0.0377

86 Kenaikan 1% atas harga baku kayu bulat dari hutan alam akan meningkatkan ekspor pulp sekitar 0.28% pada jangka pendek, dan pada jangka panjang kenaikan ini akan mencapai sekitar 0.50%. Hal ini bisa terjadi karena kecenderungan kenaikan ekspor sebagaimana ditunjukan oleh pengaruh peubah trend, tidak terhambat oleh pasokan kayu bulat hutan alam karena bahan baku industri ini juga dipasok oleh kayu bulat hutan tanaman dan hutan rakyat, serta kertas daur ulang.