BAB II KAJIAN LITERATUR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PELESTARIAN BANGUNAN DAN/ATAU LINGKUNGAN CAGAR BUDAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 07 TAHUN 2005 TENTANG

pentingnya memelihara aset kota dapat dijelaskan sebagai berikut:

STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN HOTEL INNA DIBYA PURI SEBAGAI CITY HOTEL DI SEMARANG

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

Analisis Penilaian Bangunan Cagar Budaya,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya

BAB III METODE PENELITIAN. dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Lhokseumawe

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. kota Jakarta pada akhirnya menuntut tersedianya wadah fisik untuk menampung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB II STUDI PUSTAKA

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya

I. PENDAHULUAN. Zaman sekarang ini kemajuan di bidang olahraga semakin maju dan pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 PELESTARIAN BANGUNAN PUSAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 2 TAHUN 2015 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 2 TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, dan dilandasi adat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengarahan pertumbuhan kota sekarang dan di masa mendatang harus dengan

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebudayaan Minang, Sumba, Timor, Alor dan lain-lain). Dalam Ilmu

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

HASIL PENELITIAN. Kata kunci: Kata kunci: Bangunan Kuno dan Kawasan Bersejarah, Konservasi Pusat Kota Lama Manado, Heritage Bulding.

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

Wajah Militair Hospitaal dan 'Kota Militer' Cimahi

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 74 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. besar ke kota Medan (Sinar, 1996). Orang Cina dan Jawa didatangkan sebagai kuli

biasa dari khalayak eropa. Sukses ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menggiatkan lagi komisi yang dulu. J.L.A. Brandes ditunjuk untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penjajahan Belanda di Indonesia membawa pengaruh penting bagi aspek

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI JAVA HERITAGE CENTER

lib.archiplan.ugm.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kisaran Timur dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk fasilitas-fasilitas pendukungnya. menginap dalam jangka waktu pendek.

BAB I PENDAHULUAN. rupa terdiri dari dua jenis yaitu seni rupa murni dan seni rupa terapan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah wilayah atau daerah mempunyai banyak Bangunan serta Benda Cagar

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DIRENCANAKAN DAN KONSEP PERENCANAAN

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BANGUNAN BERSEJARAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT YANG BERAKTIVITAS DI KOTA LAMA SEMARANG DAN SEKITARNYA TERHADAP CITY WALK DI JALAN MERAK SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Makanan modern yang beredar tersebut menarik minat para generasi muda

Kriteria PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT DI KAMPUNG PENELEH KOTA SURABAYA

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa

PENGEMBANGAN KAWASAN GUA SUNYARAGI SEBAGAI TAMAN WISATA BUDAYA DI CIREBON

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan,

BAB I PENDAHULUAN. sektor perdagangan, sektor perekonomian, dan sektor transportasi. Dari segi. transportasi, sebelum ditemukannya mesin, manusia

PELESTARIAN BANGUNAN MASJID JAMIK SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR AGROWISATA BELIMBING DAN JAMBU DELIMA KABUPATEN DEMAK

BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Proyek

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR HOTEL RESORT DI KAWASAN CANDI PRAMBANAN

BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

Transkripsi:

BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting bagi generasi selanjutnya. Namun demikian tindakan pelestarian makin menjadi kompleks jika dihadapkan pada kenyataan sebenarnya. Tindakan pelestarian yang dimaksudkan guna menjaga karya seni sebagai kesaksian sejarah, kerap kali berbenturan dengan kepentingan lain, khususnya dalam kegiatan pembangunan. 2.2 Sejarah Sebuah Kota Wujud sebuah kota terkait dengan masa lampau, sehingga perencanaan serta pengarahan kota sekarang dan di masa mendatang harus dengan perspektif sejarah. Warisan sejarah mencakup bangunan, kawasan, struktur berupa patung, air mancur, taman, pepohonan dan pertamanan. Daya tarik terhadap warisan sejarah ini dapat bersumber dari signifikansinya dalam hal arsitektural, estetis, historis, ilmiah, kultural dan sosial. Dalam pertumbuhan kota terkait tiga aspek: a. Aspek sejarah; dalam hal ini yang perlu dianalisa adalah tatanan arsitektural yang berperan pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang. 6

7 b. Faktor pertumbuhan dan perkembangan kota sebagai akibat pertambahan penduduk alami maupun migrasi-urbanisasi, faktor ekonomi, faktor sosial budaya termasuk kecenderungan masyarakat, faktor kedudukan kota dalam lingkup wilayah c. Aspek legal yang menyangkut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang dan fisik kota yang secara umum maupun berlaku khusus untuk kota yang bersangkutan. Para perencana kota harus mempertahankan kelayakan inti kota dengan memastikan bahwa bangunan-bangunan baru dan pembangunan berskala besar tidak menghilangkan ciri khas kota yang mudah dikenali. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menyelamatkan dan merehabilitasi sebanyak mungkin bangunan lama, membangun yang baru hanya jika yang diperlukan dan kemudian dengan mengintegrasikan yang baru dengan yang lama (Lotmann, 1976). Eko Budiharjo dan Sidharta (1989) dalam Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah menyatakan bahwa suatu kota mempunyai kawasan lama sebagai lokasi awal pertumbuhannya. Sejarah kota dimulai dari kawasan ini di mana bangunan-bangunannya mudah dicirikan identitasnya, penuh dengan makna sejarah dan arsitektural, sehingga secara total memancarkan citra yang kuat. Tanpa adanya kawasan ini, masyarakat akan merasa terasing tentang asal-usul lingkungannya, karena tidak mempunyai orientasi pada masa lampau.

8 Faktor lain yang menentukan identitas suatu tempat adalah kombinasi elemen kultur non material seperti karakteristik masyarakat serta apa yang disebut sebagai genius loci yang dikemukakan oleh Dubos yang dikutip dalam buku Place and Placelessness, Relp, E (1976) yang artinya adalah roh suatu tempat, mencakup keunikan lingkungan binaan, kekayaan kultural dan momen-momen historis. Tujuan dari pelestarian bangunan terhadap identitas suatu kota yaitu: a. Mempengaruhi dan memberi perlindungan, peningkatan dan pelestarian bangunan, kawasan dan daerah-daerah yang mewakili atau merefleksikan elemen kultural sosial, ekonomis, politis dan sejarah arsitektural kota. b. Melindungi warisan historis, estetis dan kultural kota, sebagaimana terangkum dan terfleksikan dalam bangunan, kawasan dan daerah tersebut. c. Memantapkan dan meningkatkan nilai properti di kawasan tersebut. d. Mendorong kebanggaan masyarakat terhadap keindahan dan prestasi agung di masa lalu. e. Melindungi dan meningkatkan daya tarik kota untuk para wisatawan dan pengunjung sekaligus mendukung serta merangsang iklim usaha dan industri yang terkait. f. Memperkuat ekonomi kota. g. Mempromosikan fungsi kawasan bersejarah, simbol kota untuk pendidikan, rekreasi dan kesejahteraan warga kota.

9 2.3 Bangunan Tua/Bersejarah Yang dimaksud dengan bangunan tua adalah bangunan yang telah berumur lebih dari 50 (lima puluh) tahun. Yang dimaksud dengan bangunan bersejarah adalah bangunan yang telah berumur 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai nilai sejarah. Nilai sejarah adalah tolok ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memiliki peranan sejarah berupa: a. Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa, merupakan suatu peristiwa sejarah, baik sejarah perkembangan kota, maupun sejarah nasional. b. Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau tokoh penting. c. Bangunan hasil pekerjan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini adalah arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia pada zaman Kolonial Belanda. Di dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah: a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisanya, yang berumur sekurangkurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili

10 masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pekerjaan merawat dan memperbaiki bangunan merupakan suatu hal yang rutin musti dilakukan untuk menambah atau mempertahankan umur bangunan. Preservasi dan konservasi merupakan hal yang penting dalam kegiatan ini. Lama kelamaan hal ini bergeser karena banyak bangunan yang dibongkar, bukan dirawat atau diperbaiki, malahan menyebabkan warisan arsitekturnya hilang. Pelestarian bangunan tua /bersejarah dapat dilaksanakan berupa: a. Preservasi, yaitu suatu upaya untuk melindungi/menjaga bangunan tua/bersejarah dari kerusakan serta mencegah proses kerusakan yang akan terjadi. b. Restorasi, yaitu mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti sediakala dengan membuang elemen-elemen tambahan dan memasang kembali elemen-elemen orisional seperti semula. c. Rehabilitasi, yaitu mengembalikan fisik bangunan kepada kondisi semula kerena rusak atau menurun sehingga kembali berfungsi seperti awalnya. d. Rekonstruksi, yaitu suatu upaya membangun kembali bangunan baru seperti awalnya. Dan mendekati dengan penampilan orisionalnya.

11 e. Perlindungan wajah bangunan, yaitu tetap mempertahankan ciri utama dari bangunan lamanya dan memperbaiki atau merubah bagian belakangnya atau dalamnya. Tindakan yang paling tepat dan mudah adalah merawat (maintenance) dari bangunan tua tersebut. Kegiatan ini dapat dilakukan pada bangunan tua yang masih kokoh dan biasanya pada bangunan yang dilindungi. Kegiatan pelestarian biasanya memberikan manfaat secara ekonomi, sosial dan budaya kepada kawasan yang dilestarikan. Pelestarian biasanya cenderung kepada bangunan tua yang sudah lewat masa kegunaannya dan memiliki arti tertentu bagi generasi tertentu. Namun sayangnya para ekonom dan pengembang ada yang berpendapat bahwa pelestarian merupakan suatu usaha yang menghambat perekonomian dan perkembangan kota menjadi modern. Keadaan ini sering menjadi pertentangan antara Pemerintah yang menginginkan pelestarian, dengan para ekonom dan pengembang yang mengharapkan keuntungan dari perubahan tersebut. 2.4 Kriteria Pelestarian Dalam menentukan apakah suatu bangunan bersejarah termasuk dalam obyek yang perlu dilestarikan digunakan kriteria-kriteria pelestarian. Berikut terdapat kriteria pelestarian diantaranya: 1. Estetika Bangunan. Istilah Estetika dapat digunakan untuk mengganti pengertian indah, bagus, menarik atau mempesona (Lubis, 1990:96). Penilaian estetika suatu

12 bangunan sangat tergantung dari perasaan, pikiran, pengaruh lingkungan dan norma yang bekerja pada diri pengamat. Estetika suatu bangunan sangat terkait erat dengan penampilan bangunan, wajah bangunan dan tampak bangunan yang kita lihat dengan mata sebelum dirasakan kesan estetisnya dalam perasaan. 2. Langgam Arsitektur Tertentu (Kejamakan). Kejamakan suatu bangunan dinilai dari seberapa jauh karya arsitektur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis yang spesifik, mewakili kurun waktu sekurang-kurangnya 50 tahun. Dalam hal ini ragam/langgam yang spesifik yang pada arsitektur bangunan-bangunan bersejarah (Ellisa, 1996): a Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/Art Decco/ Gothic/Renaisan /Romanik). b Langgam arsitektur Kolonial tropis (langgam arsitektur Klasik yang telah diadaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. c Langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu atau daerah lainnya di Indonesia). d Langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan Cina, Islam atau India atau Campuran diantaranya).

13 3. Kelangkaan. Kriteria kelangkaan menyangkut jumlah dari jenis bangunan peninggalan sejarah dari langgam tertentu. Tolak ukur kelangkaan yang digunakan adalah bangunan dengan langgam arsitektur yang masih asli sesuai dengan asalnya. 4. Keistimewaan/Keluarbiasaan. Tolak ukur yang digunakan untuk menilai keistimewaan/keluarbiasaan suatu bangunan adalah bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu sehingga memberikan kesan monumental, atau merupakan bangunan yang pertama didirikan untuk fungsi tertentu. 5. Peranan Sejarah. Tolak ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memiliki peranan sejarah adalah: a Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa merupakan suatu peristiwa sejarah. b Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau tokoh penting. c Bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa Kolonial.

14 6. Penguat Kawasan disekitarnya. Tolak ukur yang digunakan adalah bangunan yang menjadi simbol kota bagi lingkungannya, dimana kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan mutu/kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat memudahkan pengenalan terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi ciri dari suatu simbol kota antara lain adalah: a. Bangunan yang terletak disuatu tempat yang strategis dari segi visual, yaitu dipersimpangan jalan utama atau pada posisi tusuk sate dari suatu pertigaan jalan. b. Bentuknya istimewa karena besar, panjang, keindahan, ketinggian, atau keunikan bentuk. c. Jenis penggunaannya, semakin banyak orang yang menggunakannya maka akan semakin mudah pula pengenalan terhadapnya. d. Sejarah perkembangannya yaitu semakin besar peristiwa sejarah yang terkait terhadapnya maka semakin mudah pula pengenalan terhadapnya. Adapun beberapa ahli memberikan kriteria-kriteria identifikasi penilaian terhadap bangunan tua antara lain: 1. Menurut Catanesse (dalam Pontoh, 1992) kriteria yang perlu diperhatikan dalam menentukan obyek pelestarian mencakup:

15 a. Kriteria estetika adalah berkaitan dengan nilai arsitektural, meliputi bentuk, gaya, struktur, tata kota, mewakili prestasi khusus atau gaya sejarah tertentu. b. Kriteria Kejamakan/Kekhasan (tipe) adalah objek yang akan dilestarikan mewakili kelas dan jenis khusus. Tolak ukur kejamakan ditentukan oleh bentuk suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik. c. Kriteria kelangkaan (jumlah) adalah kelangkaan suatu jenis karya yang merupakan sisa warisan peninggalan terahir dari gaya tertentu yang mewakili jamannya dan tidak dimiliki daerah lain. d. Kriteria keluarbiasaan (keistimewaan) adalah suatu objek konservasi yang memiliki bentuk menonjol, tinggi dan besar. Keistimewaan memberi tanda atau ciri kawasan tertentu. e. Kriteria peran sejarah (masa lalu) adalah lingkungan kota atau bangunan yang memiliki nilai sejarah, suatu peristiwa yang mencatat peran ikatan simbolis suatu rangkaian sejarah, dan babak perkembangan suatu kota. f. Kriteria Memperkuat Kawasan (simbol kota) adalah kehadiran suatu objek atau karya akan mempengaruhi kawasan-kawasan sekitarnya dan bermakna untuk meningkatkan mutu dan citra lingkungannya. 2. Snyder dan Catanese (1979), sebagai pengkajian sutau kawasan/bangunan dari kuno/bersejarah guna dikonservasi memiliki 6 (enam) tolak ukur yaitu dari segi:

16 a. Kelangkaan (karya sangat langka, tidak memiliki oleh daerah lain). b. Kesejarahan (lokasi Peristiwa bersejarah yang penting). c. Estetika (memiliki keindahan bentuk, struktur atau ukiran). d. Superlativitas (tertua, tertinggi, terpanjang). e. Kejamakan (karya yang tipikal, memiliki suatu jenis atau ragam bangunan tertentu). f. Kualitas pengaruh (keberadaannya akan meningkatkan citra lingkungan sekitarnya). 3. Pontoh (1992:37), Kriteria dalam mempertimbangkan obyek yang akan dikonservasi dapat pula dikategorikan sebagai berikut: a. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detailnya. b. Fungsi obyek dalam lingkungan kota,berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh, objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi kota. c. Fungsi Lingkungan dan budaya penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat. Mengidentifikasi bangunan tua/bersejarah terkait erat dengan makna kultural dari bangunan tua/bersejarah tersebut. Bangunan tua/bersejarah dan monumental

17 yang dilindungi undang-undang harus memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. Memiliki sumbangan terhadap inovasi atau temuan kreatif atau prestasi pengetahuan, teknik rancangan dan konstruksi. b. Menjadi bangunan terpadu secara kolektif tempat masyarakatnya berada. c. Usia yang lebih dari 50 tahun yang menurut ilmiah memiliki indikasi yang kuat terhadap suatu peradaban tertentu dari satu zaman tertentu. d. Kelangkaan dalam kuantitas dan kualitas pada produk tertentu dan jenis tertentu yang tidak diproduksi lagi e. Menjadi rujukan masyarakat dalam kegiatan tertentu misalnya ziarah atau kepentingan lain. Langkah awal untuk mengidentifikasi bangunan tua/bersejarah erat hubungannya dengan konservasi terhadap nilai sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik dari bangunan tua/bersejarah tersebut (Danisworo 1992). Konservasi terhadap bangunan tua/bersejarah merupakan pemahaman terhadap nilai aspek budaya suatu bangunan dengan tolok ukur penilaian terhadap estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta hubungan asosional.