TINJAUAN PUSTAKA Keluarga

dokumen-dokumen yang mirip
KESIAPAN MENIKAH DAN PELAKSANAAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA PRASEKOLAH INE RAHMATIN

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Dewasa Muda. Tabel 1 Pendapat ahli mengenai tahapan masa dewasa dan usianya

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian. Purposive. Kecamatan Bogor Barat. Purposive. Kelurahan Bubulak

HASIL. Tabel 20 Sebaran nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga Rata-rata ± Standar Deviasi

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

Konsep Keluarga. Firdawsyi Nuzula, S.Kp Prodi DIII Keperawatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB 2. Tinjauan Pustaka

Mei Vita Cahya Ningsih, S.Kep.,Ns.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

PELATIHAN KONSELING PERKAWINAN BERBASIS KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. perkembangan fase selanjutnya (Dwienda et al, 2014). Peran pengasuhan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik sendiri dalam pelaksanaan pembangunan yang menuntut semua

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

HASIL. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Pengertian keluarga menurut BKKBN adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Menurut Duvall (1971), keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari masing-masing anggota keluarganya. Selain itu pengertian keluarga menurut Puspitawati (2006) adalah unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi; merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan, dan adopsi. Pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga adalah pendekatan struktural-fungsional. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh setiap sistem sosial, seperti menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga sama seperti sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan keluarga sebagai sistem kesatuan (Megawangi 1999). Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga dapat terlihat dari aspek struktural dan aspek fungsional yang diterapkan. Dilihat dari aspek struktural terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu yang mengacu pada: (1) Status sosial, (2) Fungsi sosial, dan (3) Norma sosial. Sedangkan dari aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu, akan tidak lepas dari peranannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut (Megawangi 1999). Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan (Sunarti 2001). Rice dan Tucker (1986) diacu

8 dalam Puspitawati (2006) menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi dua fungsi yaitu: (1) Fungsi ekspresif, yaitu memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan (2) Fungsi instrumental, yaitu manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan serta pengambangan anggota keluarga. Selain itu, fungsi keluarga menurut BKKBN terdiri dari delapan fungsi yaitu; fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga meliputi fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, perawatan atau fisik, dan ekonomi. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, sehingga keluarga memiliki kewajiban untuk dapat memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi pemenuhan kebutuhan agama, psikologi, makan dan minum, dan lain sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya (Puspitawati 2006). Fungsi keluarga McMaster (MMFF = McMaster Family Functioning) yang diacu dalam Sunarti (2001) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area tersebut adalah: (1) Area tugas dasar (penyediaan pangan, uang, transportasi, dan perlindungan); (2) Area tugas perkembangan (berkaitan dengan urutan tahapan perkembangan keluarga); dan (3) Area tugas penuh resiko (berkaitan dengan cara keluarga menangani krisis seperti kecelakaan, sakit dan kehilangan). Namun demikian fungsi utama keluarga adalah menyediakan lingkungan bagi pemeliharaan dan perkembangan dari aspek biologis, sosial dan psikologis anggota keluarganya (Sunarti 2001). Tugas Perkembangan Keluarga Tugas perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan setiap individu, apabila individu berhasil dalam tugas tersebut maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas berikutnya, tetapi apabila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Beberapa tugas perkembangan muncul sebagai akibat dari kematangan fisik, tekanantekanan budaya dari masyarakat, serta nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi individual (Havighurst dalam Hurlock 1980).

9 Keluarga memiliki siklus perkembangan sebagaimana layaknya individu. Perkembangan itu terutama dalam hal besarnya keluarga dan kemampuannya (Ali 2010). Siklus kehidupan setiap keluarga mempunyai tahapan-tahapan yang berturut-turut, karena siklus keluarga merupakan cara untuk melihat bagaimana potret kehidupan sebuah keluarga tersebut. Tahapan perkembangan keluarga menurut Duvall (1971) dibagi menjadi delapan tahapan yaitu: Tahap 1 Keluarga baru menikah, Tahap 2 Keluarga child-bearing (kelahiran anak pertama), Tahap 3 Keluarga dengan anak prasekolah, Tahap 4 Keluarga dengan anak sekolah, Tahap 5 Keluarga dengan anak remaja, Tahap 6 Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa, Tahap 7 Keluarga usia pertengahan, dan Tahap 8 Keluarga usia lanjut. Masing-masing tahapan perkembangan keluarga memiliki tugas-tugas yang harus terpenuhi agar menimbulkan kebahagian dan membawa keberhasilan untuk tugas perkembangan selanjutnya. Setiap tahapan mempunyai tantangan tersendiri dalam pencapaiannya, termasuk pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah. Tahapan Keluarga dengan Anak Prasekolah Keluarga dengan anak prasekolah adalah ketika di dalam sebuah keluarga terdapat anak pertama yang berusia antara 2,5 tahun sampai dengan 5 tahun (Duvall 1971). Sedangkan menurut Hurlock (1980) usia anak prasekolah berkisar antara 2 sampai 6 tahun yang disebut sebagai awal masa kanak-kanak. Sebagian besar orangtua menganggap awal masa kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Datangnya masa kanak-kanak atau usia prasekolah, sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan fisik pada masa bayi. Masalah perilaku lebih sering terjadi pada usia prasekolah karena anak-anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil (Hurlock 1980). Berdasarkan teori Erikson anak usia prasekolah termasuk kedalam tahap inisiatif lawan rasa bersalah (initiative vs guilt). Erikson diacu dalam Hurlock (1980) berpendapat bahwa setiap tahap mempunyai dua kemungkinan pemecahan, yaitu positif dan negatif. Kegagalan pada tahap tertentu akan

10 mempengaruhi tahap-tahap berikutnya. Keluarga sebagai anggota dan lingkungan yang terdekat dengan anak hendaknya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pencapaian perkembangan anak secara optimal. Menurut Abernethy et al dalam Duvall (1971) indikasi seorang anak telah mencapai seluruh tugas perkembangannya adalah bahwa anak secara mental dan emosional telah sehat dan perkembangan fisiknya cenderung baik. Tugas perkembangan yang harus dicapai oleh anak usia prasekolah menurut Duvall yaitu: (1) Terbentuknya rutinitas harian yang sehat dan seimbang antara aktivitas dan istrahat; (2) Terbentuknya pola makan yang baik dan sehat; (3) Menguasai dasar-dasar toilet training; (4) Mengembangkan keterampilan fisik yang sesuai untuk tahap perkembangan motoriknya; (5) Anak dapat berpartisipasi sebagai anggota keluarga; (6) Anak dapat menguasai dirinya yang sesuai dengan harapan orang lain; (7) Mengembangkan keterampilan mengekspresikan emosi secara sehat melalui berbagai pengalaman; (8) Belajar untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain; (9) Memiliki kemampuan untuk menghindari situasi yang membahayakan; (10) Belajar menjadi anak yang mandiri; dan (11) Memiliki kemampuan untuk memahami situasi disekitarnya. Duvall berpendapat bahwa keluarga terutama orangtua membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya melalui penerimaan berbagai peningkatkan keterampilan dan aktifitas fisik anak. Tugas perkembangan orangtua dalam membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya menurut Duvall yaitu: (1) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang mendukung keingintahuan anak; (2) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang penuh kasih sayang; (3) Menciptakan suasana rumah yang penuh maaf; dan (4) Orangtua mengembangkan diri sebagai individu dan pasangan menikah. Selain anak prasekolah yang harus mencapai tugas perkembangannya, orangtua juga harus melaksanakan tugas perkembangannya sebagai pasangan suami-isteri di dalam keluarga. Tugas perkembangan yang harus dicapai orangtua sebagai pasangan suami-isteri menurut Duvall yaitu: (1) Pasangan suami-isteri menyediakan tempat, fasilitas, dan peralatan yang memadai; (2) Pasangan suami-isteri merencanakan anggaran dan biaya tidak terduga untuk anak; (3) Berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengasuh anak; (4) Mempertahankan keharmonisan hubungan suami-isteri dan merencanakan masa

11 depan anak; (5) Pasangan suami-isteri mengembangkan komunikasi efektif; (6) Mempererat hubungan dengan keluarga besar; (7) Pasangan suami-isteri dapat menggali sumberdaya di luar rumah untuk membantu dalam pengasuhan anak; dan (8) Dapat menghadapi masalah yang berpegang pada agama. Pencapaian tugas perkembangan pada tahap keluarga dengan anak prasekolah ini sangatlah penting. Jika tugas perkembangan tercapai dengan sukses, maka akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa keberhasilan dalam menghadapi tugas perkembangan selanjutnya. Namun sebaliknya, apabila gagal maka akan mempengaruhi pada pencapaian tugas perkembangan pada tahap berikutnya. Kesiapan Menikah Pengertian Kata dasar pernikahan adalah nikah. Nikah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Kata nikah memiliki persamaan makna dengan kata kawin. Pengertian pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu perkawinan dapat dirumuskan sebagai satu aqad pertalian antara dua manusia (laki-laki dan perempuan) yang berisi persetujuan hubungan dengan maksud bersama-sama menyelenggarakan satu penghidupan yang lebih akrab, menurut syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan (Latief 1968). Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, baik lahir maupun batin (Wiyata 1986). Menurut Duvall dan Miller (1985) perkawinan adalah suatu hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang diketahui oleh umum dan diatur melalui suatu aturan tertentu, serta perkawinan membolehkan terjadinya hubungan seksual, adanya anak yang diasuh oleh orangtua, serta adanya pembagian tugas antara suami dan istri. Pernikahan merupakan tahapan untuk membangun sebuah rumah tangga dan keluarga yang bahagia. Pernikahan diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan cinta dan afeksi, dukungan emosi serta kesetiaan, rasa aman, sebagaimana dalam persahabatan (Cox 1978 diacu dalam Putrini

12 2002). Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Old, & Feldman 1998). Pernikahan juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal (Putri 2010). Puspitasari (1997) menyebutkan bahwa menikah sama artinya dengan memasuki kehidupan yang sarat dengan tanggung jawab. Individu dituntut untuk dapat mempertahankan sekaligus membangun hubungan interpersonal seumur hidupnya, serta dapat berempati dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Membentuk keluarga yang bahagia tidaklah mudah. Terkadang timbul perselisihan atau kesalahpahaman yang terjadi antara pasangan suami-istri di dalam keluarga, karena hakekatnya pernikahan merupakan penyatuan dua orang manusia yang berlainan jenis, kepribadian, sifat, karakter, maupun latar belakangnya. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa masing-masing partner (suami-istri) adalah manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelemahan (Turner dan Helms 1995 diacu dalam Oktaviani 2010). Maka dari itu untuk dapat membangun sebuah keluarga bahagia diperlukan kesiapan untuk menikah. Kesiapan menurut Corsini (2002) diacu dalam Dewi (2006) adalah berkembang atau mempersiapkan diri dalam belajar dan memperoleh beberapa tugas perkembangan atau keahlian khusus berdasarkan perkembangan fisik, sosial dan intelektual. Menurut Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985). Kesiapan menikah adalah ketika laki-laki dan perempuan telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya, dan secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadinya telah siap untuk menanggung tanggung jawab setelah menikah (Duvall 1971). Kesiapan menikah juga dapat diartikan sebagai kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan

13 membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama, hukum, dan masyarakat (Dewi 2006). Jika seseorang telah memiliki kesiapan sebelum pernikahan, maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami istri. Kriteria Kesiapan Menikah Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting, agar tugas-tugas perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi (Dewi 2006). Menurut Rapaport (1963) diacu dalam Duvall dan Miller (1985), seseorang dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria: (1) Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri; (2) Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelambutan dan kasih sayang kepada orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain; (7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteristik orang lain; (11) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab. Menurut Sunarti (2001) terdapat tiga prasyarat minimal bagi calon pasangan yang akan berkomitmen membangun sebuah keluarga, dimana ketiga prasyarat tersebut merupakan pengembangan dari model hubungan antar konsep-konsep keluarga. Prasyarat minimal tersebut dapat dikatakan sebagai aspek kesiapan menikah yang harus dipersiapkan oleh individu sebelum memasuki gerbang pernikahan. Ketiga prasyarat tersebut yaitu; (1) Mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan perkembangan anggota keluarga; (2) Memiliki kualitas SDM yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem; dan (3) Memiliki kematang kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga 1. Kesipan menikah menurut Blood (1978) dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesiapan menikah pribadi (personal) dan kesiapan menikah situasional (circumstantial). 1 Sunarti s Model

14 1. Kesiapan Pribadi (Personal) a) Kematangan Emosi Konsep penting dalam kesiapan pribadi adalah kematangan emosi. Konsep kematangan emosi adalah konsep normatif dalam psikologi perkembangan yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. Individu yang telah matang secara emosi maka sudah dapat dikatakan dewasa. Orang dewasa adalah orang yang telah mengembangkan kemampuannya untuk membangun dan memelihara hubungan pribadi. Kematangan melibatkan dua kemampuan yaitu kemampuan untuk memberi dan menerima. Kematangan orang dewasa dapat dilihat dalam hal empati (kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain), tanggung jawab, dan stabilitas. Orang dewasa yang memutuskan untuk menikah berarti telah sanggup untuk membangun suatu tanggung jawab dan memasuki suatu komitmen. Komitmen jangka panjang merupakan salah satu bentuk tanggun jawab dalam suatu pernikahan, yang dikaitkan dengan stabilitas kematangan. b) Kesiapan Usia Kesiapan usia sama halnya melihat berapakah usia yang cukup untuk menikah. Pada dasarnya usia dikaitkan dengan kedewasaan atau kematangan, karena proses untuk menjadi individu yang matang atau dewasa membutuhkan waktu sampai individu tersebut menjadi dewasa secara emosi atau pribadi. Individu yang telah dewasa dari segi usia tentunya akan memutuskan untuk menikah. Kematangan individu merupakan faktor keberhasilan dalam perkawinan. Usia bukan satu-satunya penentu untuk keberhasilan atau kegagalan dalam suatu pernikahan (Duvall 1971). c) Kematangan Sosial Kematangan sosial dapat dilihat dari: 1) Pengalaman berkencan (enough dating), merupakan salah satu sumber kematangan sosial. Pengalaman berkencan yang dilihat dengan adanya keinginan untuk mengabaikan lawan jenis yang tidak dikenal secara dekat, namun membuat komitmen dalam membangun hubungan hanya dengan seseorang yang khusus yang telah dikenal. Saat seseorang merasakan ketidakamanan selama berkencan, maka seseorang tersebut telah siap untuk menikah, sehingga dalam proses berkencannya akan merasa lebih aman.

15 2) Pengalaman hidup sendiri (enough single life), selain seseorang telah cukup melakukan kencan, seseorang juga memerlukan waktu untuk hidup mandiri sementara waktu tanpa harus bergantung kepada orangtua. Seorang individu, khususnya wanita merasa perlu untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, orangtua, dan pasangan bahwa mereka mampu untuk mengambil keputusan dan mengatur takdirnya sendiri. d) Kesehatan Emosional Kepribadian manusia begitu kompleks sehingga permasalahan emosional yang dirasakannya juga dapat dalam berbagai bentuk. Permasalahan yang biasanya dimiliki manusia dalam ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan emosional diantaranya adalah kemurungan, kecemasan, merasa tidak aman, curiga, dan lain-lain. Jika hal tersebut berada tetap pada diri seseorang, maka ia akan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. e) Kesiapan Model Peran Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Dalam prosesnya seseorang belajar menjadi suami atau istri yang baik dengan melihat dari figur ayah dan ibu mereka. Orangtua yang memiliki figur suami dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak mereka. Setiap pasangan perlu mengetahui apa saja peran mereka setelah menikah. Peran yang ditampilkan harus sesuai dengan tugas-tugas mereka sebagai suami ataupun istri. 2. Kesiapan Situasional (Circumstantial) a) Kesiapan Finansial (Sumberdaya Keuangan) Penghasilan minimum yang harus dimiliki pasangan bervariasi tergantung kepada standar hidup yang diinginkan. Seseorang menunjukkan kesiapan untuk menikah yang cenderung mengukur sumberdaya mereka dari potensi penghasilannya. Seseorang yang siap secara finansial kemungkinan akan semakin siap juga untuk menikah. b) Kesiapan Waktu Kesiapan waktu dalam kesiapan menikah yaitu proses perencanaan yang diperlukan dalam mempersiapkan proses pernikahan, bulan madu, dan tahun pertama pernikahan. Persiapan rencana pernikahan perlu dipersiapkan dengan matang agar berdampak baik pada awal-awal kehidupan pernikahan.

16 Anak Usia Prasekolah Rentang usia anak prasekolah menurut para ahli berbeda-beda. Menurut Duvall anak prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang antara 2,5-5 tahun. Menurut Hurlock usia anak prasekolah berada diantara usia 2-6 tahun, sedangkan menurut Erikson anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-5 tahun yang masuk kedalam tahap initiative vs guilt (inisiatif lawan rasa bersalah). Anak usia prasekolah secara umum lebih independen dan berinisiatif untuk mencoba hal baru, mulai menelusuri penggunakan kata dan kalimat, pertumbuhan fisik lebih lamban dari tahun pertama, mulai belajar melompat, menendang, melempar, memegang pensil, menulis, memasang kancing baju, menggunakan resleting, dan menggosok gigi (Maila 2002). Pengertian perkembangan menurut Hurlock adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Kematangan adalah terbukanya sifat-sifat bawaan individu, sedangkan pengalaman dapat diartikan sebagai proses belajar dimana belajar adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha dari pihak individu. Dua faktor tersebut merupakan faktor penting dari perkembangan (Hurlock 1980). Perkembangan anak sangat bervariasi tergantung individu dan tergantung pada kesempatan untuk belajar dan tumbuh (Duvall 1971). Menurut Evans, Myers, dan Ilfeld (2000) dalam Lestari (2010), perkembangan memiliki beberapa prinsip, salah satunya adalah bahwa perkembangan itu bersifat holistik yang terdiri dari beberapa dimensi yang saling berkaitan. Dimensi perkembangan tersebut yaitu dimensi psikomotorik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, dan moral. Terdapat berbagai macam cara untuk mengukur perkembangan anak, salah satunya adalah dengan menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Aspek-aspek perkembangan yang diukur dalam instrumen BKB diantaranya yaitu; 1. Perkembangan motorik kasar, yaitu keterampilan bergerak yang dilakukan dengan melibatkan sebagian besar otot-otot tubuh. Dalam keterampilan ini, anak laki-laki biasanya mengungguli anak perempuan, karena anak laki-laki sedikit lebih kuat dan memiliki lebih banyak otot dibandingkan anak perempuan (Papalia & Olds 2008). 2. Perkembangan motorik halus, yaitu keterempilan bergerak yang dilakukan dengan hanya melibatkan sebagian kecil otot tubuh. Dalam keterampilan ini kemampuan anak perempuan selangkah lebih maju dibandingkan anak laki-

17 laki. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kerangka tulang ataupun karena perbedaan perilaku sosial yang diharapkan lingkungan dari anak laki-laki maupun anak perempuan (Papalia & Olds 2008). 3. Perkembangan bahasa. Bahasa merupakan salah satu bentuk komunikasi baik secara lisan tertulis atau isyarat yang berdasarkan pada simbol-simbol. Komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu; komunikasi aktif dan pasif. Komunikasi aktif adalah kemampuan untuk mengungkapan perasaan, keinginan, dan pikiran melalui kata-kata, sedangkan komunikasi pasif adalah kemampuan untuk mengerti bahasa isyarat dan pembicaraan orang lain. Papalia dan Olds (2008) menyebutkan bahwa perbendaharaan kata anak usia tiga hingga empat tahun adalah sekitar 900-1.200 kata dan meningkat menjadi sebanyak 1.500-2.000 kata ketika berusia empat hingga lima tahun. Saat berusia lima hingga enam tahun, perbendaharaan kata anak menjadi 2.000 hingga 2.500 kata. 4. Perkembangan kognitif, yaitu kemampuan anak dalam hal daya tangkap, daya pikir, daya ingat, dan memecahkan masalah. Kemampuan kognitif anak mulai berkembang pada tahun kedua, terutama kemampuan untuk mengenal dan menggunakan simbol-simbol. Pada akhir tahun keempat, perkembangan fungsi kemampuan melihat, mengendalikan emosi, kebiasaan dalam merespon dan pemahaman simbol sudah berakhir. Namun kemampuan untuk memahami konsep kuantitas seperti membandingkan besaran atau volume mulai berkembang (Papalia & Olds 2008). 5. Perkembangan kemandirian, yaitu kemampuan anak untuk dapat melakukan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau dapat diartikan sebagai keterampilan untuk membantu diri sendiri. Orangtua yang memberikan kepercayaan dan kebebasan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan, akan membentuk kepribadian anak menjadi lebih mandiri (Papalia & Olds 2008). 6. Kemampuan bergaul (sosial), yaitu kemampuan anak untuk dapat bergaul atau berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga, orang lain, maupun teman seusianya. Anak usia prasekolah sering disebut sebagai masa prakelompok. Dasar untuk sosialisasi diletakkan dengan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ke tahun. Anak yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada dengan benda akan lebih

18 mengembangakan kecakapan sosialnya sehingga mereka lebih populer daripada anak yang berinteraksi sosialnya terbatas (Hurlock 1980). Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan Carroll, Badger, Willoughby, Nelson, Madsen, dan Barry (2009) menunjukkan bahwa kesiapan pernikahan dipandang oleh orang dewasa muncul sebagai proses pengembangan kompetensi interpersonal, membuat komitmen seumur hidup, dan memperoleh kapasitas untuk merawat orang lain. Temuan ini juga menunjukkan bahwa orang dewasa muncul banyak hal menuju kedewasaan dan menjadi siap untuk menikah sebagai dua transisi yang berbeda dalam kehidupan, pertama melibatkan pergeseran dari yang awalnya dirawat oleh orang lain (orangtua) menjadi merawat diri sendiri dan kedua transisi dari perawatan diri sendiri menjadi merawat orang lain (suami atau isteri dan anak). Kematangan emosi merupakan aspek yang penting dalam kesiapan menikah (Blood 1978). Hasil penelitian yang dilakukan Katyal dan Awasthi (2005) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi perempuan lebih baik dibandingkan lakilaki. Kecerdasan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan emosi yang terlihat dari kemampuan empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan emosinya, sehingga perempuan lebih mampu menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki. Stabilitas perkawinan dan kepuasan dapat diprediksi berdasarkan kualitas hubungan pranikah (Fowers, Montel, & Olson 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Fowers, Montel, dan Olson (1996) adalah mengenai empat tipe hubungan pranikah, yaitu tipe penuh vitalitas, harmonis, tradisional, dan berkonflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe hubungan berkonfilk yang paling mungkin untuk bercerai. Tipe penuh vitalitas memiliki tingkat kepuasan tertinggi diikuti oleh tipe harmonis, tradisional, dan berkonflik. Pasangan tradisional lebih kecil kemungkinan untuk bercerai dibandingkan pasangan harmonis, meskipun pasangan harmonis memiliki skor kepuasan yang lebih tinggi sebelum menikah. Gottman dan Levenson (1992) melakukan penelitian terhadap dua kelompok yang berbeda, yaitu pasangan regulasi dan nonregulasi, untuk mengidentifikasi proses perkawinan terkait dengan teori keseimbangan pernikahan. Diketahui bahwa dibandingkan dengan pasangan regulasi,

19 pasangan nonregulasi memiliki; (1) masalah pernikahan, (2) kepuasan penikahan lebih rendah, (3) kesehatan yang lebih buruk, (4) amplitudo denyut nadi lebih kecil, (5) penilaian negatif untuk interaksi, (6) ekspresi emosi yang lebih negatif, (7) ekspresi emosional yang kurang positif, (8) lebih keras kepala dan menarik diri dari interaksi, dan (9) resiko yang lebih besar untuk perceraian perkawinan. Larsen dan Olson (1989) menunjukkan pentingnya masa pranikah sebagai dasar untuk pernikahan dan kemampuan mempersiapkan diri untuk mengenali pasangan yang beresiko tinggi sebelum menikah melalui konseling pranikah. Konseling pranikah berpotensi membantu pasangan beresiko tinggi untuk membangun sebuah pernikahan yang lebih memuaskan. Perkembangan anak tidak terlepas dari keberadaan keluarga terutama orangtua. Stimulasi yang diberikan oleh orangtua diyakini memiliki efek sebagai penguat yang berguna untuk perkembangan anak. Hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan keluarga yang harus dijalankan agar anak dapat mencapai perkembangannya secara optimal. Hasil penelitian Sartono (1996) menyebutkan bahwa pendidikan agama, kasih sayang, perkembangan anak, situasi kondusif, pembentukan kebiasaan, keteladanan, motivasi, bimbingan serta komunikasi merupakan faktor-faktor penting untuk keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dikatakan merupakan tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh keluarga. Pemberian stimulasi yang dilakukan oleh orangtua dan pengasuh dapat mendukung perkembangan anak secara optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Briawan (2008) menunjukkan bahwa ibu pada keluarga miskin umumnya kurang perhatian terhadap perkembangan anak, sehingga pemberian stimulasi pada anak masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kasuma (2001) dalam Briawan (2008) bahwa keadaan ekonomi dapat mempengaruhi pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Faktor genetis dan lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Di dalam penelitian yang dilakukan Latifah, Alfiasari, dan Hernawati (2009) faktor-faktor yang dilihat dalam perkembangan anak adalah faktor lingkungan psikososial dan faktor keluarga. Uji regresi yang dilakukan terhadap variabel-variabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu atau pengasuh memberikan pengaruh signifikan positif terhadap total skor perkembangan anak.