IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN

dokumen-dokumen yang mirip
INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

METODE PENELITIAN. yang diambil dari buku dan literatur serta hasil-hasil penelitian terdahulu.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Tengah BT dan LS, dan memiliki areal daratan seluas

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait.

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Provinsi Lampung dengan menggunakan data

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Gedong Wani

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

METODE PENELITIAN. kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Anggaran

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

I. PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, menyebabkan permasalahan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung yang memiliki luas wilayah 3.921,63 km 2 atau sebesar 11,11% dari

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah

PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

III. METODE PENELITIAN. menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG BARAT NOMOR 01 TAHUN 1994 TENTANG

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan DKI Jakarta yang menjadi pusat perekonomian negara.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. wilayah Kabupaten Lampung Utara berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

BAB IV GAMBARAN UMUM. Bujur Timur sampai 105º50 (BT) Bujur Timur dan 3º45 (LS) Lintang Selatan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu dari 11 (sebelas)

Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat Panduan cara memproses perijinan dan kiat sukses menghadapi evaluasi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lampung Barat

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Selatan (2014), sejarah

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

IV. KEADAAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak untuk

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan 5 5 -

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

BAB IV. Gambaran Umum Daerah Penelitian. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung.

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

III. KEADAAN UMUM LOKASI

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Barat. mempunyai luas wilayah 4.951,28 km 2 atau 13,99 persen dari luas

Transkripsi:

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN 4.1 Letak Geografis Wilayah Propinsi Lampung Propinsi Lampung dibentuk berdasarkan UU No 14 Tahun 1964 tanggal 8 Maret 1964. Secara geografis Propinsi Lampung terletak di bagian ujung tenggara Pulau Sumatera pada posisi 103 40-105 50 Bujur Timur dan 3 45-6 45 Lintang Selatan. Batas-batas wilayah administrasi Propinsi Lampung adalah: (1) sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sumatera Selatan; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda; (3) sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia (Gambar 4.1). Prop. Sumatera Selatan PETA ADMINISTRASI PROPINSI LAMPUNG TAHUN 2001 N #Y Ibu Kota Kabupaten/Kota Jalan Arteri Jalan Kereta Api Jalan Kolektor Prop. Bengkulu #Y Liwa Blambangan Umpu Menggala #Y #Y Kota Bumi #Y Gunung Sugih #Y Sukadana #Y #Y Metro Bandar Lampung Kodya Metro Lamp. Selatan Lamp.Tengah Lamp. Timur Lamp. Utara Lamp. Barat Tanggamus Tl.Bawang Waykanan Samudera Hindia Kota Agung #Y B. Lampung #Y Kalianda #Y Selat Sunda Prop. Lampung Sumber : Bappeda Propinsi Lampung, 2001. Gambar 4.1 Peta Administrasi Propinsi Lampung

92 Luas daratan Propinsi Lampung ± 35.376 km², dengan panjang garis pantai 1.105 km (termasuk 69 pulau kecil - terbesar Pulau Tabuan), dan memiliki dua teluk besar, yaitu Teluk Lampung dan Teluk Semangka. Sedangkan luas perairan pesisir ± 16.625 km² (berdasarkan UU 22/99), sehingga luas Propinsi Lampung secara keseluruhan (darat + pesisir) ± 51.991 km² (CRMP, 1999). Propinsi Lampung berada pada posisi yang sangat strategis karena merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera ke Pulau Jawa dan sebaliknya, dengan dukungan sarana prasarana transportasi yang relatif lancar (angkutan darat dan ferry). Propinsi Lampung juga berada pada jalur alternatif pelayaran internasional, sehingga Pelabuhan Panjang dibangun dan difungsikan dalam sekala internasional. Secara administratif Propinsi Lampung terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 Kota sebagaimana tertera di dalam Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Ibukota, Luas dan Jarak Ibu kota Kab. /Kota ke Ibukota Propinsi se- Propinsi Lampung No. Kab /Kota Ibu Kota Luas (Ha) Jarak Ibu Kota Kab/Kota ke Ibukota Prop. (Km) 1. Bandar Lampung Bandar Lampung 19.296 0,00 2. Metro Metro 6.179 48,25 3. Lampung Selatan Kalianda 318.078 65,00 4. Lampung Barat Liwa 495.040 241,1 5. Lampung Tengah Gunung Sugih 478.982 60,00 6. Lampung Timur Sukadana 433.789 72,00 7. Lampung Utara Kotabumi 272.563 107,00 8. Tanggamus Kota Agung 335.661 93,70 9. Way Kanan Blambangan Umpu 392.163 210,00 10. Tulang Bawang Menggala 777.084 120,00 11. Propinsi Bandar Lampung 3.528.835 0,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2005. 4.2 Tata Guna Lahan dan Tata Guna Hutan Propinsi Lampung 4.2.1 Tata Guna Lahan Penggunaan lahan di Propinsi Lampung pada saat ini adalah untuk pertanian seluas 501.119 Ha (14,2%), perkebunan seluas 834.919 Ha ( 23,7%), permukiman seluas 169.506 Ha (4,8%) dan lain-lain termasuk kawasan rawa seluas 1.018.556 Ha (28,8%). Secarai rincik terdapat pada Tabel 4.3.

93 Tabel 4.3 Tata Guna Tanah di Propinsi Lampung menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Lampung, 2004. No Peruntukan Luas (Ha) Prosentase 1 Perkampungan 248.109 7,03 2 Sawah 284.664 8,07 3 Tegalan & Ladang 675.860 19,15 4 Perkebunan 703.945 19,95 5 Kebun Campuran 327.866 9,29 6 Alang-alang 90.164 2,56 7 Hutan 1.004.735 28,47 8 Rawa & Danau 15.591 0,44 9 Tambak 33.844 0,96 10 Lain-lain 49.523 4,08 T o t a l 3.301.545 100,00 Sumber : Lampung Dalam Angka, 2005. 4.2.2 Tata Guna Hutan Di dalam 10 tahun terakhir, luas kawasan hutan yang dinyatakan dalam dokumen Tata Guna Hutan Propinsi Lampung telah mengalami perubahan (Tabel 4.4). Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengacu kepada dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan Tahun 1991 (Sk Menhut No.67/Kpts-II/1991), hingga tahun 1997 luas kawasan hutan Propinsi Lampung adalah 1.237.268 hektar. Penetapan luasan kawasan hutan merujuk kepada Undang-undang Kehutanan yang berlaku yaitu disyaratkan luas kawasan adalah 30 persen dari total luas wilayah propinsi. Luas tersebut tidak berubah hingga tahun 1998. 2. Pada tahun 1999, setelah dilakukan pengukuran kembali, luas kawasan menurun menjadi 1.164.512 hektar. Menurut hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, penurunan tersebut adalah implikasi dari pengukuran ulang melalui proyek-proyek tata batas kawasan hutan yang dilakukan. 3. Pada tahun 2000, luas kawasan hutan kembali menurun menjadi 1.004.735 hektar. Penurunan tersebut disebabkan adanya kebijakan pemerintah mengalih fungsikan Kawasan Hutan Produksi Dapat dikonversi (HPK) menjadi bentuk penggunaan non-hutan. Pengalih-fungsian kawasan tersebut dilandaskan pada

94 kenyataan di lapang bahwa HPK pada umumnya sudah beralih fungsi karena adanya okupasi oleh masyarakat dan bahkan oleh pemerintah sendiri. Pelabuhan Udara Beranti misalnya, adalah infrastruktur transportasi udara yang berada di dalam kawasan HPK. Selain itu, yang paling utama sebagai dasar pengambilan keputusan adalah adanya kebijakan pertanahan Pemerintah Propinsi yaitu Tanah Untuk Rakyat. Kebijakan tersebut setidaknya tertuang didalam (1) Pidato politik Gubernur Propinsi Lampung pada acara pelantikan anggota DPRD periode Tahun 1999-2004, (2) Propeda Propinsi Lampung Tahun 2000-2005, dan (3) Rencana Strategis Pembangunan Propinsi Lampung Tahun 2000-2005. Tabel 4.4 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun 1997 2001 No Fungsi Hutan 1997 Luas ( Ha ) 1998 Luas ( Ha ) 1999 Luas ( Ha ) 2000 Luas ( Ha ) 2001 Luas ( Ha ) 1. Hutan Lindung 336.100 336.100 351.531 317.615 317.615 2. Hutan Suaka Alam dan 422.500 422.500 422.500 462.030 462.030 Hutan Wisata 3. Hutan Produksi Terbatas 44.120 44.120 44.120 33.358 33.358 4. Hutan Produksi Tetap 281.089 281.089 192.902 191.732 191.732 5. Hutan Produksi yang 153.459 153.459 153.459 - - dapat di Konservasi Jumlah 1.237.268 1.237.268 1.164.512 1.004.735 1.004.735 Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2002 Perubahan luasan kawasan hutan tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar (Tabel 4.5); sehingga kawasan HPK di Propinsi Lampung yang semula seluas 153.459 hektar, statusnya terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Dipertahankan seluas 8.333 hektar (5%), yang terdiri dari wilayah sempadan pantai, rawa habitat satwa langka, muara sungai, kawasan lintasan gajah dan kawasan penyangga hutan lindung. 2. Dilepaskan seluas 145.125 hektar (95%), yang secara defakto sudah diokupasi masyarakat menjadi kawasan permukiman dan lahan garapan. Redistribusi lahan kepada masyarakat ini dilakukan dengan pendekatan keadilan,

95 pemerataan, kewajaran, pelestarian lingkungan hidup dan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang diatur melalui Peraturan Daerah Propinsi Lampung No.6 Tahun 2001 tentang Alih Fungsi Lahan Dari Eks Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) Seluas + 145.125 hektar Menjadi Kawasan Bukan HPK Dalam Rangka Pemberian Hak Atas Tanah. 3. Peruntukan penggunaan lahan di kawasan eks HPK kemudian digunakan untuk permukiman seluas 248.109 hektar dan untuk tegalan seluas 92.240,37 hektar dan terdistribusi kepada 127.236 orang di 6 kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Tanggamus, Way Kanan dan Lampung Barat. Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, maka luas wilayah hutan di Propinsi Lampung menjadi 1.004.735 hektar yang terdiri dari Hutan Lindung 317.615 hektar (32%), Hutan Suaka Alam & Hutan Wisata 462.030 hektar (46%), Hutan Produksi Terbatas 33.358 hektar (3%) dan Hutan Produksi Tetap 191.732 hektar (19%). Tabel 4.5 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256/KPts-II/2000. No. Kabupaten/Kota Luas dan Fungsi Kawsan Hutan (Ha) Jumlah (ha) HSA/TN HL HP HPT 1 Bandar Lampung 300,00 100,00 0,00 0,00 400,00 2 Lampung Selatan 35.683,00 26.373,16 44.801,05 0,00 106.357,21 3 Tanggamus 13.345,00 141.881,35 0,00 0,00 155.226,35 4 Lampung Tengah 0,00 28.431,72 12.500,00 0,00 40.931,72 5 Lampung Timur 125.621,00 21.616,30 13.175,00 0,00 160.412,30 6 Lampung Utara 0,00 29.500,00 10.056,00 0,00 39.555,00 7 Lampung Barat 287.081,00 48.923,37 0,00 33.358,00 369.362,37 8 Way Kanan 0,00 20.789,10 57.180,03 0,00 77.919,13 9 Tulang Bawang 0,00 0,00 54.570,92 0,00 54.570,92 10 Metro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Total PROPINSI 462.030,00 317.615,00 191.732,00 33.358,00 1.004.735,00 Sumber: Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.256/KPts-II/2000. 4.2.3 Tutupan Lahan Hutan (Forest Land Cover) Menurut Santoso (2002), guna mengetahui kondisi terakhir sebaran luas penutupan lahan hutan (forest land cover) pada kawasan hutan (negara) telah dilakukan analisis data untuk Propinsi Lampung oleh Badan Planologi Departemen

96 Kehutanan melalui suatu proses penampalan (overlaying) secara digital antara 2 (dua) jenis data yaitu: Hasil deliniasi kawasan hutan yang telah ditunjuk Menteri Kehutanan dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi dan Perairan skala 1 : 250.000 yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar, dan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra satelit (Landsat 7 ETM+) liputan tahun 2000 yang diklasifikasikan ke dalam 21 kelas yang dibagi menjadi 3 (tiga) kategori berhutan, tidak berhutan dan tidak ada data (berawan) yaitu: Areal Berhutan - hutan lahan kering primer; - hutan lahan kering sekunder; - hutan mangrove primer; - hutan mangrove sekunder/tebangan; - hutan tanaman; - hutan rawa primer; - hutan rawa sekunder/tebangan; Areal Tidak Berhutan - semak belukar; - perkebunan; - permukiman; - tanah terbuka; - tubuh air; - belukar rawa; - pertanian lahan kering; - pertanian lahan kering campur semak; - sawah; - pertambangan; - tambak; - transmigrasi; - rawa; Areal Tidak Ada Data - tertutup awan. Hasil penampalan data penutupan lahan dengan data kawasan hutan secara digital tersebut apabila dijumlahkan luasnya berbeda dengan data resmi luas penunjukan kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan (SK Menteri Kehutanan) propinsi yang menggunakan peta manual, terutama kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas. Data luas kawasan hutan pada peta manual tersebut adalah data hasil pemaduserasian TGHK dan RTRWP (sebagai komitmen antara Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Daerah Tingkat I

97 propinsi) ditambah luas kawasan konservasi perairan dan luas pulau-pulau kecil yang belum dipetakan ketika dilakukan pemaduserasian. Hasil penampalan kedua data/peta Propinsi Lampung tersebut disajikan pada Tabel 4.6 yang memperlihatkan kondisi penutupan lahan di kawasan hutan (khususnya Hutan Lindung dan Hutan Produksi) tahun 2000, sedangkan data yang lengkap termasuk kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 5. Tabel 4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000 No Penutupan Lahan Hutan Lindung (Ha) Hutan Produksi Terbatas (Ha) Hutan Produksi Tetap (Ha) A. Areal Berhutan 1. Hutan Lahan Kering Primer 5.951,54 512,50 0 2. Hutan Lahan Kering Sekunder 46.081,81 10.067,44 13,11 3. Hutan Mangrove Primer 0 0 0 4. Hutan Mangrove Sekunder 47,02 0 0 5. Hutan Tanaman 0 0 71.607,08 6. Hutan Rawa Primer 2.411,60 0 0 7. Hutan Rawa Sekunder 0 0 0 Jumlah-A 54.491,97 10.579,94 71.620,19 B. Areal Tidak Berhutan 8. Semak / Belukar 35.697,43 6.867,85 5.425,43 9. Perkebunan 1.135,18 0 6.121,52 10. Permukiman 18,20 41.046,44 320,73 11. Tanah Terbuka 0 0 0 12. Tubuh Air 0 0 0 13. Belukar Rawa 0 0 3.224,90 14. Pertanian Lahan Kering 634,87 1.264,76 3.994,24 15. Pert. Lhn. Krg. Campur Semak 195.781,87 15.615,67 67.684,76 16. Sawah 347,29 628,63 4.823,39 17. Pertambangan 0 0 0 18. Tambak 1.367,25 13,59 509,74 19. Transmigrasi 0 0 0 20. Rawa 2.707,45 0 4.705,10 Jumlah B 237.689,54 65.436,94 96.809,81 C. Tidak Ada Data 21. Tertutup awan 25.504,09 0 3.503,73 Jumlah C 25.504,09 0 3.503,73 TOTAL A+B+C 317.685,60 76.016,88 171.933,73 Sumber : Badan Planologi Kehutanan, 2002 Berdasarkan pada Tabel 4.6 tersebut, pada Tahun 2000 di Propinsi Lampung, Kawasan Hutan Lindung seluas 317.685,6 hektar yang masih berhutan tinggal seluas 54.491,97 hektar (17,15 %), sedangkan sebagian besar tidak berhutan

98 seluas 237.689,54 hektar (74,82 %), sisanya tidak dapat diidentifikasi karena di areal tersebut citra satelitnya tertutup awan. Pada Hutan Produksi Terbatas seluas 65.436,94 hektar (sebesar 86,08 %) tidak berhutan lagi, dan seluas 10.579,94 hektar (13,92 %) berhutan. Untuk Hutan Produksi Tetap seluas 96.809,81 hektar (56,31 %) tidak berhutan dan sisanya seluas 71.620,19 hektar (41,66 %) masih berhutan. Gambar 4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 (Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002) 4.2.4 Lahan Kritis Di dalam kebijakan kehutanan Propinsi Lampung, pengertian lahan kritis disini adalah lahan-lahan yang dianggap tidak mampu lagi menyangga fungsi sesuai peruntukannya secara minmal. Menurut Balai Pengelolaan Daerah aliran Sungai (BPDAS) Way Seputih Way Sekampung (2002), luas lahan kritis di Propinsi

99 Lampung meningkat sepanjang tahunnya. Hal tersebut disebabkan oleh konversi lahan yang eksploitatif, tidak jelasnya status lahan di berbagai bagian wilayah sehingga terjadinya okupasi lahan, dan lemahnya praktik-praktik manajemen konservasi lahan di wilayah tersebut. Selama tenggat waktu Tahun 1998 2000, tercatat peningkatan jumlah lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 46.710 hektar, sementara di luar kawasan hutan meningkat seluas 90.895 hektar. Secara rincik terdapat di dalam Tabel 4.7. Tabel 4.7. Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 2000 No KAB./KOTA Dalam Kawasan (Ha) 1998 1999 2000 Luar Kawasan (Ha) Dalam Kawasan (Ha) Luar Kawasan (Ha) Dalam Kawasan (Ha) Luar Kawasan (Ha) 1. Lampung Selatan 127.758 21.038 110.613 29.714 44.226 52.437 2. Bandar Lampung - - - - - - 3. Tanggamus - - - - 80.672 19.937 4. Lampung Barat 63.900 56.943 65.273 64.596 74.520 148.086 5. Lampung Utara 40.329 108.555 61.686 94.497 13.960 6.740 6. Way Kanan - - - - 17.530 7.830 7. Tulang Bawang - - - - 21.500 75.000 8. Lampung Timur - - - - 22.000 15.000 9. Lampung Tengah 17.391 70.165 31.030 30.232 22.580 22.566 10. Metro - - - - - - JUMLAH 249.378 256.701 268.602 219.039 296.988 347.596 Sumber : BPDAS Way Seputih - Way Sekampung, 2002. Permasalahan lahan kritis yang timbul akibat aktifitas manusia (antroposentris) baik di dalam dan di luar kawasan hutan selalu menjadi perhatian karena implikasi bencana alam yang dapat ditimbulkan. Demikian pula dengan kawasan Hutan Lindung di Propinsi Lampung yang sebesar 74,82 persen wilayahnya sudah tidak berhutan lagi ditengarai sebagai penyebab bencana alam tersebut terutama longsor dan banjir. Penengaraaan tanpa melihat kondisi di lapangan, misalnya sejarah pendudukan lahan oleh masyarakat, acapkali menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat. Hal ini amat sering terjadi di Propinsi Lampung. Menurut Kurworo (2000), dalam bidang kehutanan Lampung acapkali disebut sebagai salah satu contoh terbaik dari gagalnya kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia di samping daerah-daerah lainnya seperti Kalimantan; kerusakan hutan yang telah dan tengah berlangsung dan maraknya konflik kehutanan di Lampung menjadi indikasi pernyataan tersebut.

100 4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung Beragamnya penduduk, baik antara penduduk asli dan pendatang, antar etnis/suku, maupun penguasaan lahan oleh perusahaan (perkebunan) dalam jumlah besar serta kurangnya perhatian pengusaha pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar, merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik kepemilikan lahan. Konflik ini semakin sulit diatasi, karena masing-masing pihak yang bersengketa bertahan dengan argumentasi yang didasarkan pada bukti-bukti formal yang dimiliki. Di satu sisi pihak pengusaha mengacu pada hukum positif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bukti produk hukum sertifikat HGU, HPH, HGB, dll, yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang berwenang, sementara disisi lain masyarakat berpegang pada paradigma hukum adat seperti hak ulayat, hak marga, dan hak kekerabatan. Sengketa pertanahan pada awal reformasi (awal tahun 1998) mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kebijakan pertanahan pada masa 1998-2000 berdasarkan pada Pokok-Pokok Reformasi Daerah Lampung mengamanatkan Penyelesaian secara bertahap kasus-kasus pertanahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan mempersiapkan proses penyelesaian kasus pertanahan yang berpihak pada kebenaran hukum dan berpihak kepada rakyat yang benar secara hukum dan tidak mengabaikan azas kelestarian lingkungan Kinerja Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus pertanahan dari tahun 1998-2002 cenderung meningkat. Pada tahun 1998 hingga pertengahan tahun 1999 terjadi 220 kasus yang muncul dan terselesaikan sebanyak 44 kasus atau sebesar 20%. Pada akhir tahun 1999 dari 260 kasus yang terjadi, yang terselesaikan sebanyak 71 kasus (27%) dan sisanya 169 kasus menjadi kasus di tahun 2000 ditambah kasus baru yang sehingga total kasus di Tahun 2000 sebanyak 260 kasus, dan yang dapat diselesaikan sebanyak 101 kasus (39%). Pada tahun 2001 dari 327 kasus persengketaan tanah yang terselesaikan sebanyak 240 kasus (73%), selanjutnya pada tahun 2002 dari 327 kasus yang dapat diselesaikan s/d Juli 2002 sebanyak 249 kasus (76%), dan sisanya 78 kasus akan diselesaikan pada masa selanjutnya secara bertahap. Rincian penyelesaian sengketa tanah yang ada di Propinsi Lampung sampai dengan bulan Juli 2002 tercantum dalam Tabel 4.8.

101 Tabel 4.8. Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999-2002 TAHUN Kasus yang terjadi Jumlah Kasus Selesai Persentase Kasus Selesai 1988 220 44 20 % 1999 260 71 27 % 2000 260 101 39 % 2001 327 240 73 % 2002 327 249 76 % Sumber : Bappeda Lampung dan ICRAF, 2003. Gambar 4.3a, Tahun 2003 Gambar 4.3b, Tahun 2000 Gambar 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh masyarakat adat Marga Subing (Sumber photo 4.3a: Peneliti); dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung (Sumber photo 4.3b: Lampung Post) Untuk memberikan kepastian hukum atas hak tanah di luar kawasan hutan kepada masyarakat maka pemerintah memberikan pelayanan penerbitan sertipikat. Agar sertifikasi tanah dapat diterbitkan dalam jumlah yang banyak dan secara serempak ditempuh upaya pensertipikatan tanah secara massal. Kegiatan sertipikasi secara massal mempermudah masyarakat untuk memperoleh sertipikat karena segala layanan administrasi dilakukan di lokasi. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal pada awalnya didanai dari pemerintah. Mengingat kemampuan pemerintah mendanai kegiatan pensertipikatan tanah secara massal terbatas sedangkan sasaran kegiatan masih sangat besar maka diupayakan sumber dana melalui pola swadaya masyarakat. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal yang dilaksanakan dapat melalui proses (1) PRONA APBN, (2) Pensertipikatan tanah transmigrasi, (3) PRONA swadaya, (4) Ajudikasi swadaya, dan (5) Redistribusi tanah swadaya. Secara keseluruhan jumlah

102 sertipikat tanah yang diterbitkan dari tahun 1998-1999 s/d 2002 sebanyak 170.489 bidang, yang diterbitkan melalui sbb : (1) Prona APBN sebanyak 23.165 bidang (14%), (2) Prona Swadaya sebanyak 71.361 bidang (42%), (3) Ajudikasi swadaya sebanyak 22.745 Bidang (13%), (4) Redistribusi tanah swadaya sebanyak 12.249 bidang (7%), (5) Tanah transmigrasi sebanyak 40.969 bidang (24%). Dari semua kasus tanah yang diselesaikan, kasus-kasus yang terjadi di dalam kawasan hutan hingga kini penyelesaiannya masih menghadapi kebuntuan. Seperti dinyatakan dalam Bab 1.2 penelitian ini, pada tahun 1999 sebanyak 45 kasus konflik pertanahan terjadi di dalam kawasan hutan yang diantaranya adalah di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat. 4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. 4.4.1 Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten Lampung Barat Kabupaten yang dibentuk berdasarkan UU No. 6 tahun 1991 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1991 beribukota di LiwaTotal luas wilayah kabupaten adalah 474.989 hektar. Berdasarkan Tabel 4.5, total luas kawasan hutan di Lampung Barat yaitu 369.362,37 hektar atau sebesar 77,76% luas wilayah kabupaten adalah kawasan hutan yang terdiri dari: (1) Hutan Suaka Alam dan Taman Nasional seluas 287.081 hektar, (2) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 33.358 hektar, dan (3) Hutan Lindung (HL) seluas 48.823,37 hektar. Dengan demikian berarti hanya sebesar 22,24% dari luas wilayah kabupaten yang dapat diusahakan menjadi kawasan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman penduduk, sarana umum dan sebagainya. Seperti pada umumnya kondisi kerusakan hutan di Propinsi Lampung, potret kerusakan hutan di Kabupaten Lampung Barat secara kuantitatif menunjukkan gambaran yang mengkhawatiran. Menurut Warsito (2006), sebesar 70% dari total luas kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas kondisinya telah rusak.

103 Gambar 4.4a, Tahun 2000 Gambar 4.4b, Tahun 2001. Gambar 4.4 Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan Kecamatan Pesisir Tengah (Gambar 4.4a) dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat (Gambar 4.4b), Kabupaten Lampung Barat. (Sumber photo: Peneliti) 4.4.2 Kondisi Umum Kependudukan Di Kabupaten Lampung Barat Pada tahun 2004 penduduk Kabupaten Lampung Barat berjumlah 388.113 jiwa (Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2005). Penduduknya yang heterogen terdiri dari beberapa suku. Komunitas suku yang terbesar adalah Lampung Pesisir, Semendo, dan Sunda. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,26% per tahun. Angka tersebut merupakan indikasi tingginya pertumbuhan penduduk wilayah setempat yang dapat mengakibatkan terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan untuk dibudidayakan. Permasalahan ini membawa implikasi terhadap semakin terbatasnya daya dukung wilayah terhadap pertambahan penduduk untuk memberikan peluang berusaha berbasis lahan, sehingga tekanan penduduk yang demikian tinggi meluap ke dalam wilayah kawasan hutan. Di kawasan Hutan Lindung 45B Bukit Rigis misalnya, menurut Dinas Kehutanan Lampung Barat pada tahun 2001 diperkirakan lebih dari 2000KK bermukim di dalam kawasan. 4.4.3 Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis 4.4.3.1 Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya Pada 100 tahun yang lalu, hampir seluruh wilayah Sumberjaya merupakan hutan belantara. Yang pertama kali menempati wilayah tersebut adalah Suku Semendo dari Utara. Menurut hukum tak tertulis (customary law/hukum adat), suku

104 pertama yang menempati wilayah tersebut ditetapkan sebagai pemilik tanah (Verbist dan Pasya, 2004). Sukaraja adalah desa pertama yang berdiri pada tahun 1891 tempat dimana ditemukannya komunitas marga Way Tenong. Sejak tahun 1951, Biro Rekonstruksi Nasional (BRN), suatu program transmigrasi dibawah koordinasi Angkatan Darat, menstimulasi perkampungan bekas tentara (terutama Sunda) dari perang kemerdekaan (Kusworo, 2000). Kemudian pada tahun 1952, mantan Presiden Indonesia, Soekarno, datang untuk meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah perkampungan baru yang hingga saat ini dikenal dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Gambar 4.5). Mereka para transmigran pioner tersebut menetap di cekungan sungai Way Petay yang kemudian menjadi desa pioner di Sumberjaya. Gambar 4.5a Gambar 4.5b. Gambar 4.5a adalah bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 (Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya). Sebagian besar penduduk, tinggal di bagian Timur Sumberjaya terutama di desa-desa Sukapura, Way Petay, Simpang Sari, Tribudi Syukur, Puradjaya, dan Pura Wiwitan. (Gambar 4.6). Pada tahun 1977 bahkan ditemukan kerangka manusia purba (megalithicum) dan keramik Cina di dekat Desa Purawiwitan, yang menunjukkan bahwa manusia pernah tinggal di wilayah tersebut pada masa purba (McKinnon, 1993). Perkembangan terakhir, program transmigrasi pemerintah tidak terlalu berorientasi pada wilayah Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat namun mulai ke

105 Kabupaten Lampung Utara. Akan tetapi tetap saja migrasi spontan berdatangan dari Pulau Jawa dan Bali dan merupakan transmigran generasi kedua dan ketiga ke Sumberjaya. Pendatang spontan yang umumnya bersifat kewirausahaan lebih baik daripada para transmigran tahun 1950-an, tertarik pada kesuburan tanahnya. Hingga saat itu, masih banyak dasar lembah yang cukup luas yang tertinggal. Pendatang-pendatang suku Jawa dan Sunda memanfaatkan kondisi lansekap pelembahan yang tidak diminati oleh Suku Semendo untuk budidaya kopi, dan mengubahnya menjadi pertanian sawah beririgasi. Legenda: Pedesaan 1920-1930 Desa BRN 1950-1959 Perkebunan rakyat Gambar 4.6. Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 (Sumber: Benoit (1989) dalam Verbist dan Pasya (2004)). 4.4.3.2 Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi. Jumlah penduduk Sumberjaya tumbuh dengan pesat mulai tahun 1976 yaitu sebanyak 37.557 jiwa meningkat dua kali lipat hingga tahun 1986 sebanyak 75.598 jiwa. Pada kurun waktu yang sama terjadi deforestasi secara masif dan memicu

106 kekhawatiran di Departemen Kehutanan. Mereka mentengarai pesatnya pertumbuhan penduduk sebagai penyebab deforestasi yang terjadi. Jika menggunakan data jumlah penduduk Tahun 2003 yaitu sebesar 85.408 jiwa (Gambar 4.7), maka diperoleh laju pertumbuhan penduduk sejak tahun 1978 hingga tahun 2003 sebesar 3.34 persen per tahun. Di wilayah Kabupaten Lampung Barat, kecamatan tersebut merupakan salah satu kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tertinggi setelah Kecamatan Bengkunat. 90000 85000 80000 75000 70000 65000 60000 55000 50000 60005 67055 66131 64907 65255 70779 76519 75589 78759 78567 78677 76490 81138 76836 80909 80869 80516 81235 79986 79651 78907 85408 45000 44722 40000 37557 35000 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2003 Jumlah Penduduk Tahun Gambar 4.7. Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya (Sumber: Verbist (2001); Biro Pusat Statistik Lampung Barat (2003); Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung (2005). Pertumbuhan penduduk Sumberjaya kemudian relatif konstan terutama pada 1986 hingga tahun 1990. Yang menarik justru terjadi pada tahun 1990 hinggga tahun 1996, jumlah penduduk menurun dari 80.516 jiwa menjadi 764.90 jiwa dengan laju penurunan penduduk sebesar 0,85 persen. Tidak ada dokumen statistik dari BPS yang bisa menjelaskan apakah penurunan jumlah penduduk tersebut terjadi secara alami (yaitu angka kematian lebih besar dari angka kelahiran) atau secara tidak alami (migrasi keluar lebih besar dari migrasi masuk). Namun demikian,

107 tercatat beberapa peristiwa penting yang diduga sebagai penyebab turunnya jumlah penduduk tersebut yaitu: Pada bulan Juli 1994, Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang terdiri atas aparat kepolisian, kehutanan, dan pemerintah daerah melakukan operasi pengusiran penduduk di kawasan hutan di sekitar desa-desa Purajaya, Purawiwitan, dan Muarajaya Kecamatan Sumberjaya. Rumah-rumah di 86 lokasi pemukiman dirobohkan, lebih dari 700 hektar tanaman kopi dibabati dan penduduk diusir dari kawasan hutan. Sebagian dari 1.271 KK ditranslokkan ke Mesuji Lampung Utara, sementara yang lain diusir begitu saja. Konflik meledak di lapang. Pada Pebruari 1995, terjadi pengusiran secara bersamaan di dua kecamatan berdampingan yaitu Kecamatan Bukit Kemuning (tepatnya Desa Dwi Kora) sebanyak 55KK dan Kecamatan Sumberjaya (tepatnya di Desa-desa Sukapura, Tribudisyukur) sebanyak 149 KK. Pengusiran juga disertai pembabatan tanaman kopi produktif lebih dari 1000 hektar di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit Tebak. Pengusiran yang dikenal dengan Operasi Jagawana I tersebut dilaksanakan atas SK Gubernur No.5225/0287/04/1995 tanggal 26 Januari 1995 berbiaya Rp.173 juta dan melibatkan 167 personil polsus kehutanan, 2 pleton Brimob, 6 ekor kuda, 20 gergaji mesin, 200 pekerja, dan 17 ekor gajah terlatih dati Taman Nasional Way Kambas. Konflik semakin meningkat. Sebanyak 3 ekor gajah mati (mungkin kelelahan?) dan ironisnya tidak ada sedikitpun suara yang menggugat tentang eksploitasi satwa lindung, apalagi terhadap pengusiran penduduk tersebut. Hingga kini, masyarakat setempat mengenang dan menyebut peristiwa kelabu tersebut dengan istilah Operasi Gajah. Jumlah penduduk yang dikeluarkan dari kawasan tersebut diduga lebih banyak karena belum termasuk masyarakat yang eksodus ketakutan mendengar adanya operasi tersebut.

108 Kini Kecamatan Sumberjaya terdiri atas 28 desa dengan luas wilayah 54.194 hektar 1 atau 10,95% dari total luas Kabupaten Lampung Barat. Desa-desa tersebut tersebar mengelilingi kawasan Hutan Lindung Registaer 45B Bukit Rigis. 4.4.3.3 Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Di samping tanahnya yang subur bagi kegiatan pertanian, letak geografis wilayah yang amat strategis diduga menjadi faktor penarik pesatnya laju pertumbuhan di Kecamatan Sumberjaya yang memiliki wilayah seluas 54.194 hektar (Tabel 4.9). Tabel 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 Penggunaan lahan Luas (ha) Persen Sawah 2447 4.52 Sawah berpengairan 2060 Teknis 0 Setengah teknis 0 Sederhana 445 Non PU 1615 Tadah hujan 387 Pasang surut 0 Lebak, polder 0 Pekarangan 2051 3.78 Tegalan/kebun 2150 3.97 Ladang/huma 1835 3.39 Padang rumput 0 0.00 Bera 753 1.39 Hutan rakyat 0 0.00 Hutan negara 31571 58.26 Perkebunan 12449 22.97 Rawa-rawa 0 0.00 Tambak 0 0.00 Kolam 216 0.40 Lain-lain 722 1.33 TOTAL 54194 100.00 Sumber: Monografi Kabupaten Lampung Barat, 2001 Dari total luas wilayah kecamatan tersebut, penggunaan lahan yang terbesar adalah kawasan hutan seluas 31.572 hektar (atau sebesar 58,26%), perkebunan 1 Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Masing-masing terdiri atas 14 desa. Hingga saat ini, data statistik yang tersedia masih belum dipisahkan sesuai dengan pemekaran tersebut.

109 seluas 12.449 hektar (atau sebesar 22,97%), dan persawahan seluas 2.447 hektar (atau sebesar 4,52%). Luas wilayah Kecamatan Sumberjaya identik dengan luas Sub-DAS Way Besay yang didalamnya terdapat beberapa kawasan Hutan Lindung yang fungsi ekosistemnya memiliki pengaruh peran terhadap fungsi perlindungan DAS (Gambar 4.8). Kawasan-kawasan hutan lindung tersebut yaitu: (1) Register 39 Kota Agung Utara (Total luas 49.994 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke selatan ke Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus), (2) Register 44B Way Tenong Kenali (Total luas 14.000 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya dan Kenali Kabupaten Lampung Barat hingga ke utara ke Kabupaten Way Kanan), (3) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Total 8.295 hektar dan seluruhnya berada di dalam Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat), dan (4) Register 46B Palakiah (Total luas 1800 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke Barat ke Taman Nasional Bukist Barisan Selatan Kabupaten Lampung Barat). Dari keempat kawasan tersebut, Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang ekosistemnya paling berpengaruh terhadap sub- DAS Way Besay karena letaknya berada di tengah-tengah tempat berasalnya anakanak sungai yang mengalir ke Way Besay. Register tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan pada masa kolonialisasi Belanda melalui Besluit Residen No.117 tanggal 19 Maret 1935. Sebelum tahun tersebut, status lahan kawasan adalah tanah marga. Pada akhir tahun 2000, deforestasi di kawasan tersebut sudah mencapai tingkat amat kritis, diperkirakan seluas 6.000 hektar sudah tidak behutan lagi dan tercatat sebanyak 2000 KK petani yang bermukim di dalamnya (Dirpa, 2002). Sebagai ilustrasi visual, rona deforestasi kawasan tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.9.

110 Gambar 4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF). Sebenarnya deforestasi di Sumberjaya sudah mulai terjadi sebelum Besluit Residen dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Pada tahun 1933, pelayanan perluasan pertanian Kolonial menyatakan: Sebagaimana Lampung tidak ada lagi memiliki hutan yang berlimpah, sangatlah penting menciptakan manfaat ekonomi dari lahan yang tersedia tanpa menghambat pengembangan budidaya kopi lokal. Hal tersebut tidak hanya merekomedasikan upaya peremajaan kebun kopi yang sudah ada dengan coppicing, tetapi juga pembukaan lahan-lahan baru kawasan hutan yang sebelumnya adalah berupa tanah marga (Verbist dan Pasya, 2004).

111 Gambar 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF). Deforestasi menjadi kebun kopi terjadi secara masif pada tahun 1976 1986, satu masa dengan datangnya migrasi spontan ke wilayah Sumberjaya (Kusworo, 2000). Deforestasi tersebut memicu keributan di Departemen Kehutanan. Persepsi umum para aparat kehutanan adalah penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan DAS Way Besay. Pada tahun 1978 (Tabel 4.10), semula wilayah yang masih tertutup oleh hutan sebesar 67%, pada tahun 1984 menurun menjadi sebesar 49%, dan sebesar 32% di tahun 1990 (Syam et all, 1997; dalam Verbist, 2001). Dilengkapi dengan hasil klasifikasi citra satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) tahun 2000, Multi Spectral Scanner (MSS) 1986 dan MSS 1973, data Tabel 4.10 tersebut kemudian dikaji ulang dan diperoleh kenyataan bahwa tutupan hutan secara nyata menurun menjadi 12% di tahun 2000, sementara itu, kebun kopi (monokultur dan multistrata) menurun dari sebesar 40% pada tahun 1990 menjadi 52% (monokultur, multistrata, dan kopi tua bercampur semak-belukar) pada tahun 2000 (Verbist et al, 2004; Dinata, 2002).

112 Table 4.10. Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya tahun 1978 1990. Penggunaan lahan Perubahan (%) 1978 1984 1990 1. Pemukiman 1 2 2 2. Sawah 3 5 5 3. Pertanian (hortikultura) 2 1 0.1 4. Perladangan berpindah 5.5 0 5. Kebun campuran ( tanaman pangan, sayuran, dan 0 0 0 buah-buahan) 6. Kebun kopi monokultur 21 42 41 7. Kebun kopi multistrata 1 1 19 8. Hutan primer 33 21 13 9. Hutan sekunder 16 11 18 10. Semak belukar 18 17 1 11. Kolam 0.03 0.01 0.07 Sumber: Syam et all (1997) dalam Verbist (2001). Pola serupa juga terjadi pada perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang direfleksikan oleh perubahan tutupan lahan antara tahun 1973 2002 di dalam kawasan yang dieroleh dari analisis citra satelit Land Sat (Tabel 4.11). Pada tahun 2002, hutan primer yang tersisa tinggal 1.782 hektar, kebun kopi (multistrata dan monokultur) meningkat menjadi 4276 hektar, sawah menurun menjadi 915 hektar, belukar menurun menjadi 374 hektar, dan tidak ada lagi tanah yang terbuka (bera). Hasil analisis poto satelit tersebut juga semakin mempertegas adanya areal permukiman seluas 187 hektar di dalam kawasan pada tahun 2002. Luas tersebut lebih kecil dibandingkan hasil pemetaan partisipatif yang pernah dilakukan oleh warga dan LSM Watala pada tahun 2003 yaitu seluas 302,5 hektar (Gambar 4.10), namun perbedaan tersebut diduga disebabkan adanya areal di dalam poto yang tertutup awan. Berdasarkan peta BPN (Badan Pertanahan Nasional), sistem ladang berpindah sudah tidak ada lagi sejak awal tahun delapan puluhan. Pada tahun 1990 tidak ditemukan lagi padang alang-alang di wilayah ini, akan tetapi pada tahun 2000 padang alang-alang muncul kembali di beberapa tempat. Evolusi deforestasi sejak tahun 1976 tersebut direspon oleh Pemerintah dengan suatu tindakan cepat untuk menghentikannya. Pemerintah kemudian membuat peta wilayah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1990 diikuti oleh pelaksanaan tata-batasnya yang ternyata kemudian memicu banyak

113 konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah seperti pengusiran penduduk, intimidasi, dan lain-lain. Tabel 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover) di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis No Penggunaan lahan Tahun 1973 (Ha) 1986 (Ha) 2000 (Ha) 2002 (Ha) 1 Hutan 2043 1982 1720 1782 2 Kebun Kopi 885 3390 4890 4276 3 Pemukiman 0 296 185 187 4 Pertanian 657 0 0 187 5 Sawah 1978 699 13 915 6 Belukar 897 1146 1024 374 7 Rumput 157 422 119 0 8 Tanah Terbuka 466 149 55 0 9 Tidak terdeteksi (poto satelit tertutup awan) 1211 210 289 574 Total 8294 8294 8294 8294 Sumber: (1) Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat, 1994; (2) Peta Topografi Bakosurtanal, 1999; (3) Poto satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan 2002; Data dan dijitasi diolah di laboratium GIS ICRAF Bogor. 4.4.3.4 Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Di samping tekanan penduduk, masalah kehutanan di Kabupaten Lampung Barat pada umumnya dan di Kecamatan Sumberjaya pada khususnya juga disebabkan oleh tidak legitimate-nya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kabupaten yang merupakan bagian dari TGHK Propinsi oleh karena penetapannya dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat setempat secara utuh. Hampir bersamaan dengan pelaksanaan Operasi Jagawana I pada bulan Pebruari tahun 1995, pihak kehutanan juga melakukan tata batas kawasan hutan ditandai dengan pemasangan patok batas kawasan hutan. Berdasarkan tata batas tersebut, sebagian wilayah dari beberapa desa seperti Sukapura, Purajaya, purawiwitan, Muara Jaya, Simpang Sari, dan Tribudisyukur dinyatakan masuk di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Tentu saja hal tersebut menyulut konflik status lahan terutama penolakan keras datang dari warga Sumberjaya yang mengklaim tanah di dalam kawasan yang oleh pemerintahan Presiden Soekarno

114 telah diberikan kepada mereka sebagai peserta transmigrasi BRN. Klaim tersebut tercermin dari pristiwa-pristiwa sebagai berikut (Kusworo, 2000): Pada tanggal 7 April 1995, sebanyak 10 warga mewakili Desa Simpang sari mengirim surat keberatan kepada Bupati Lampung Barat dengan tembusan ke berbagai instansi terkait dan DPRD Lampung Barat. Sebagai bukti pendukung, mereka melampirkan sebanyak 11 bidang tanah bersertifikat yang ternyata letaknya berada di dalam kawasan. Pernyataan ganjil justru datang dari Komisi A DPRD Lampung Barat yang menyatakan bahwa sertifikat itu tidak sah padahal secara resmi sertifikat tersebut diterbitkan oleh Kantor BPN Lampung Utara. (Sebagai catatan peneilti dalam kasus ini, Kabupaten Lampung Barat yang resmi berdiri tahun 1991 semula wilayahnya adalah bagian dari Kabupaten Lampung Utara. Penerbitan sertifikat dilakukan sebelum Kabupaten Lampung Barat berdiri dan bahkan jauh sebelum TGHK Lampung Barat disyahkan pada tahun 1994). Pada tanggal 16 Oktober 1995, sebanyak 4 warga Sumberjaya yang mewakili 377KK yang memiliki lahan seluas 224 hektar di Desa Sukapura dan 127 hektar di Desa Tribudisyukur mendatangi DPRD Tingkat I Lampung. Mereka secara lisan dan tertulis mempertanyakan kejelasan staus lahan mereka yang secara serta-merta dikalim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Terhadap kedua kasus tersebut, secara terpisah Komisi A DPRD Kabupaten Lampung Barat dan Komisi A DPRD Tingkat I Propinsi Lampung membentuk Tim Khusus, namun sejak pembentukannya di Tahun 1995 hingga kini tidak ada penyelesaian yang dihasilkan dari kedua lembaga legislatif tersebut. Upaya klarifikasi fakta di lapang justru dilakukan oleh beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang memberi kepedulian mereka terhadap kasus tersebut. Pada tahun 2003 misalnya, LSM Watala bersama-sama dengan warga dan pamong Desa Sukapura melakukan pemetaan secara partisipatif terhadap wilayah dan permukiman desa yang lokasinya berada di dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan hasil pemutahiran data melalu pemetaan partisipatif tersebut (Gambar 4.10), didapat seluas 302,5 hektar wilayah desa berada di dalam kawasan yang oleh masyarakat diminta untuk dialih fungsikan dari kawasan hutan lindung menjadi areal penggunaan lainnya sesuai dengan penggunaan lahan yang ada (existing land

115 uses) yaitu pemukiman dan kebun campuran milik warga yang sudah dikelola hampir tiga generasi sejak tahun 1952. Gambar 4.10 Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan (Sumber: Watala, 2003). Klarifikasi fakta di lapang juga dilakukan untuk memperoleh jawaban mengapa warga Sumberjaya mengajukan keberatan terhadap konstruksi tata batas yang dibangun oleh aparat Departemen Kehutanan pada Operasi Jagawana I tahun 1995. Hasil wawancara lapangan menunjukkan: Konstruksi tata batas dilaksanakan tanpa partisipasi warga dan dalam kondisi psikologis yang berada dibawah tekanan. Ada desakan pemerintah pusat pada waktu itu sehubungan dengan akan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) DAS Way Besay sehingga warga harus diusir tanpa mempertimbangkan sejarah permukiman mereka. Analisis GIS yang dilakukan oleh Lembaga ICRAF di Sumberjaya memperoleh fakta bahwa dari hasil pembandingan batas kawasan hutan di atas peta TGHK Kabupaten Lampung Barat sekala 1:50.000 dan skala 1:250.000

116 menunjukkan hasil berbeda (Gambar 4.11). Perbedaan tersebut berupa pergeseran batas di atas peta beragam antara 1 1,3 km. Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab kesalahan ekstrapolasi oleh petugas di lapang sehingga konstruksi tatabatas menjadi tidak syahih dan menimbulkan klaim dari warga yang kemudian bermuara menjadi konflik vertikal antara warga dan pemerintah. 104 18 BT, 4 56 LS 104 34 BT, 4 56 LS Reg 44B Bergeser 1 km Reg 45B Reg 46B Bergeser 1,3km Reg 39 104 18 BT, 5 8 LS : Batas pada Peta TGHK 1:250.000 : Batas pada Peta TGHK 1:50.000 104 34 BT, 5 8 LS Sumber: Peta Topograpi 1999 Skala 1:50.000 Peta TGHK 1994 Skala 1:50.000 Peta TGHK 1994 Skala 1:250.000 Gambar 4.11 Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya (Sumber: Verbist, 2001) 4.4.3.5 Konflik Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Akses adalah kemampuan (ability) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang di dalamnya dapat berupa benda, manusia, lembaga, atau simbol-simbol sosial lainnya (Ribot dan Peluso, 2003). Akses berbeda dengan property yang didefinisikan sebagai hak (right) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Melengkapi difinisi tersebut, akses mengandung seperangkat kekuasaan (a bundle of powers) atas sesuatu, sedangkan property mengandung seperangkat hak (a bundle of right). Secara empiris, fokus tentang akses mencakup hal-hal yang berkaitan dengan (1) siapa yang berkemampuan dan siapa yang tidak dalam

117 memperoleh sesuatu, (2) menggunakan apa, (3) dengan cara apa, dan (4) kapan terjadinya dan dalam kondisi bagaimana. Menggunakan dapat berarti menikmati manfaat utama atau manfaat ikutannya. Berdasarkan mekanismenya, akses terdiri atas tiga jenis (Ribot dan Peluso, 2003) yaitu: (1) Rights based access, yaitu akses yang diatur oleh hukum, hukum adat (costumary law), dan konsesi. Pengaturan tersebut disertai sanksinya juga. (2) Illegal acces, yaitu ketika akses dimiliki secara ilegal dan atau ekstra legal. (3) Structural and relational access, yaitu kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu diperantarai oleh tingkat keterbatasan/keterlebihan kamampuan ekonomi, sosial, dan politik. Misalnya akses terhadap teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan kesempatan kerja, ilmu pengetahuan, kekuasaan, identitas, dan hubungan sosial. Perubahan tutupan lahan hutan di dalam kawasan Hutan Lindung Bukit rigis tidak terlepas dari akses oleh warga yang terjadi di kawasan tersebut. Tabel 4.11 pada halaman sebelumnya merupakan hasil penampalan antara Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat tahun 1994, Peta Topografi Bakosurtanal tahun 1999, dan sebanyak 4 buah poto citra satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan 2002. Berdasarkan tabel 4.11 tersebut diperoleh data tutupan lahan hutan bahwa, dari total kawasan seluas 8.294 hektar 2/, luas kawasan yang masih tertutup hutan pada tahun 2002 adalah 1782 hektar. Luas tersebut menurun dari kondisi tahun 1973 yaitu 2045 hektar. Sementara dalam tenggat waktu yang sama, luas kebun kopi meningkat dari 885 hektar menjadi 4276 hektar, luas pertanian menurun dari 657 hektar menjadi 187 hektar, luas persawahan menurut dari 1978 hektar menjadi 915 hektar. Perubahan komposisi tutupan lahan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis tersebut mencerminkan fluktuasi perubahan power dan right atas akses yang terjadi di dalam kawasan serta konflik-konflik yang menyertainya. Hingga tahun 2006, masyarakat yang memperoleh hak akses melalui kebijakan Hutan Kemasyarakatan baru sebanyak 5 kelompok yang beranggotakan 1082 KK dengan akses lahan seluas 1968,7 hektar (Tabel 4.12). Akses yang dimiliki oleh kelima 2 Data luas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis versi Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat adalah 8.295 hektar.

118 kelompok tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam right base access mechanism karena hak dan sanksi bagi masyarakat diatur oleh pemerintah terutama oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/II-Kpts/2001 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Tabel 4.12. Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. No. Kelompok dan Desa Asal Jmlh anggota (KK) 1 Klp. Bina Wana, Desa Tribudi Sukur 2 Klp. MWLS, Desa Simpang Sari 3 Klp. Rigis Jaya, Desa Gunung Terang 4 Klp. Rimba Jaya, Luas lahan (Ha) Nomor Izin 493 645 439/Kwl-4/Kpts/2000; 23 Desember 2000 73 260,8 503.522.1639.HKm.Dishut-L B.2002; 15 April 2002 74 203,9 503.522.1638.HKm.Dishut- LB.2002; 15 April 2002 297 600 503.522.2116.HKm.Dishut- LB.2002; 16 Mei 2002 145 259 503.522.2151.HKm.Dishut- LB.2002; 14 Agustus 2002 Desa Tambak Jaya 5 KPPSDA Setia Wana Bhakti, Desa Simpang Sari Total 1082 1968,7 Sumber: Kelompok HKM dan Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat, data diolah. Dengan menyandingkan data sebaran penutupan lahan (Tabel 4.11) dan data kelompok masyarakat yang telah memiliki hak akses (Tabel 4.12), maka secara yuridis formal, hanya seluas 1.968,7 hektar dari total Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang ijin akses-nya diakui oleh pemerintah. Hasil pengamatan lapang, hampir semua lahan yang telah berijin HKm tersebut berbentuk kebun kopi campuran dengan tanaman buah dan kayu, kecuali lahan milik kelompok Bina Wana Desa Tribudisyukur penggunaan lahannya ada yang berupa persawahan. Secara fisik persawahan tersebut berada di lembah areal kawasan, secara historis sudah dibuat sejak saat transmigrasi BRN tahun 1951-1952 atau sebelum TGHK ditetapkan oleh pemerintah.