BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman. Indonesia dalam pemenuhan konsumsi masyarakat menghadapi tantangan cukup besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sekitar 235 juta jiwa dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penduduk yang besar ini akan berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan, lapangan pekerjaan dan yang utama adalah pangan. Karena pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan setiap hari,sering terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas. Peningkatan populasi penduduk Indonesia dari tahun ke tahun menyebabkan kenaikan kebutuhan pangan, termasuk kebutuhan pangan pokok. Namun konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia mempunyai kecenderungan hanya pada satu komoditi saja, yaitu beras. Makanan pokok beras yang dikonsumsi dalam bentuk nasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan pola makan hampir 100% penduduk Indonesia. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan beras nasional sangat tinggi. Namun kebutuhan beras yang sangat tinggi tersebut belum diimbangi dengan mencukupinya produksi nasional sehingga mengakibatkan angka impor beras nasional cukup tinggi dari tahun ke tahun. Data produksi dan kebutuhan beras nasional dapat dilihat pada Tabel 1. 1
Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun 2006-2008 (dalam ton) Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) 2006 33.464.497 32.104.621 1.359.876 2007 34.103.372 32.642.850 1.460.522 2008 34.549.610 32.812.312 1.737.298 Sumber : Departemen Pertanian 2009 Menurut Sidik dan Purnomo (1989), keberhasilan swasembada beras dan meningkatnya pendapatan penduduk di waktu lampau juga telah berdampak pada pergeseran pola pangan pokok ke arah pola pangan pokok beras. Tingginya ketergantungan pada serealia, terutama beras telah menyebabkan ketergantungan sumber energi dan protein dari beras. Konsumsi beras masyarakat Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 139 kg per kapita per tahun atau merupakan tertinggi di dunia. Konsumsi beras negara lainnya di Asia, seperti Jepang 60 kg dan Malaysia 80 kg per kapita per tahun. Kecenderungan konsumsi masyarakat terhadap beras menyebabkan sumber makanan pokok lain dari kelompok serealia dan umbiumbian kurang dimanfaatkan secara optimal. Pola konsumsi pangan di Indonesia masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Konsumsi dari kelompok padi-padian (beras, jagung terigu) masih dominan baik di kota maupun di desa. Pangsa konsumsi energi seharusnya dari kelompok pangan padi-padian hanya sebesar 50 persen, namun kenyataannya masih sebesar 60,7 persen di kota dan 63,9 persen di desa. Sebaliknya, pangsa energi dari umbi-umbian masih sekitar setengahnya dari yang dianjurkan, padahal di Indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian dengan harga yang relatif murah (Ariani, 2007). 2
Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Kalori Pangan (KKal) per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan 2006-2012 No Komoditi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 (Maret) 1 Padi-padian 992,93 953,16 968,48 939,99 927,05 906,2 894,92 2 Umbiumbian 51,08 52,49 52,75 39,97 37,05 39,76 31,05 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013. Faktor yang diduga menjadi penyebab lambannya penganekaragaman pangan di Indonesia adalah masih belum terintegrasinya dan belum bersinerginya berbagai program atau kegiatan penganekaragaman pangan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui diversifikasi pangan pokok. Pada Hari Pangan tahun 2000, pemerintah mencanangkan program ketahanan pangan dengan cara penganekaragaman pangan (diversifikasi). Banyaknya sumber daya pangan lain selain beras yang berpotensi tetapi kurang dimanfaatkan sebagai makanan pokok memungkinkan diversifikasi pangan dapat diwujudkan. Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia, oleh karena itu konsep tersebut telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar sesuai dengan kontek tujuannya. Kasryno, et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat. Pakpahan dan Suhartini (1989) menyatakan dalam konteks Indonesia diversifikasi atau keanekaragaman konsumsi pangan sering diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Image atau citra bahwa pangan hanya disimbolkan dengan beras semata adalah merupakan inti permasalahannya. Semua orang seperti didorong makan nasi alias beras. Padahal masih banyak sumber pangan lain yang dapat kita manfaatkan untuk mengganti ataupun melengkapi konsumsi beras ini. Ada singkong, gandum, ubi 3
jalar, sagu, jagung, suweg, gembili, kentang, ganyong, dan masih banyak bahan alternatif lainnya yang nilai gizinya tidak kalah, bahkan memiliki kelebihan dibandingkan beras. Misal pada biji jagung yang memiliki kandungan vitamin A paling tinggi diantara biji-bijian lainnya (Agustina, 2008 ). Juga pada ubi kayu yang kaya akan kalori dan dan bisa dibuat menjadi berbagai aneka ragam makanan (Utami, 2006 ). Menurut Nasution (2007), Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan. Dengan memanfaatkan potensi sumber bahan pangan lokal tersebut, sebenarnya Indonesia dapat menciptakan ketahanan pangan yang tangguh. Gandum/terigu sebagai bahan pangan telah memasuki segala aspek kehidupan setiap lapisan masyarakat di Indonesia dalam kurang lebih empat dekade terakhir. Ketika program diversifikasi pangan berbasis produk lokal mandek, pangan berbasis terigu terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum Indonesia per tahun 21 kg/kapita, terbesar kedua setelah beras. Selain itu adanya kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media seperti media elektronik, product development yang diperluas dengan harga yang bervariasi dan mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum terutama berupa mi dan roti. Banyaknya ragam jenis, bentuk dan cara masak komoditas mie, seperti mie basah, mie kuah, mie instant dan produk mie lainnya dan mempunyai tingkat partisipasi konsumsi yang terus meningkat, bahkan lebih besar dari jagung dan ubikayu (Ariani, 2010). Beras sudah dikenal sebagai makanan pokok utama di Indonesia. Akan tetapi, dengan mulai terbatasnya lahan untuk produksi beras, pemerintah Indonesia mempromosikan program diversifikasi pangan ke produk olahan dasar gandum. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah mengenai diversifikasi pangan, peningkatan daya beli konsumen, percepatan urbanisasi serta meningkatnya restoran cepat saji dan 4
industri roti, konsumsi produk olahan gandum di Indonesia secara signifikan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Produk olahan gandum yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia adalah mie instan dengan proporsi sebesar 37% dari seluruh responden, diikuti dengan roti mania sebesar 27%, biskuit dan aneka kue sebesar 13% dan terakhir roti tawar sebesar 13% (Fabiosa, 2006). Aneka jenis pangan mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Preferensi konsumen dapat diartikan secara luas sebagai pilihan terhadap suatu hal yang lebih disukai oleh konsumen. Preferensi konsumen mengukur tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk dibandingkan dengan produk lain. Konsumen akan mempertimbangkan banyak hal dalam menentukan konsumsi produk yang akan dipilihnya dan proses ini tidak begitu saja terjadi. Keberhasilan produsen dalam memperkenalkan produknya akan bergantung pada tingkat penerimaan dan kesukaan terhadap produk tersebut (Carpenter, et al., 2000). Menurut Suhardjo (1989) preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidak sukaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Unsur ciri-ciri pembeli yang meliputi sosial budaya, pribadi dan psikologis konsumen adalah salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen dalam memilih suatu produk untuk memenuhi kebutuhannya (Kotler, 1993). Dengan memahami perilaku dan preferensi konsumen dalam memilih produk, pemasar dapat memahami dengan sebenarnya apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. Seorang akan mengalami tahap-tahap dalam proses pembelian seperti menganalisis kebutuhan, mencari informasi menetapkan tujuan pembelian, mengidentifikasi alternatif keputusan membeli atau tidak (Pambudi, 2010). Tiap 5
konsumen mempunyai minat dan keinginan yang berbeda terhadap produk barang atau jasa yang paling mereka sukai perbedaan itulah yang menimbulkan heterogenitas dalam preferensi konsumen terhadap suatu produk barang atau jasa. Beras mempunyai citra superior sehingga preferensi atas beras mengungguli gandum, jagung, singkong, sagu, dan lainnya. Kedua, ketersediaan beras sepanjang waktu di berbagai wilayah, lebih baik dibanding ketersediaan komoditas pangan lainnya. Ketiga, teknologi pengolahan beras menjadi nasi amat simpel, menghasilkan citarasa netral yang tidak membosankan (Himagizi, 2009). Pola konsumsi masyarakat Indonesia masih belum terdiversifikasi sempurna baik untuk konsumsi pangan secara keseluruhan maupun untuk pangan pokok. Konsumsi pangan masih bias pada beras karena beras merupakan makanan pokok utama dan pertama. Dinamika sosial budaya dan meningkatnya kesadaran hak-hak konsumen telah berdampak pada pola permintaan hasil pertanian dari permintaan komoditas menjadi permintaan produk. Persepsi komponen di era global cenderung memperhatikan atribut sensasi, kesehatan, proses, dan kenyamanan. Berkembangnya budaya modernisasi yang lebih mengedepankan aspek kepraktisan dan prestise menyebabkan pola permintaan hasil pertanian mengalami pergeseran ke arah produk siap saji dan produk berkualitas. Aspek penting yang perlu dipetik dari pergeseran pola konsumsi produk pertanian adalah pembangunan pertanian ke depan harus berorientasi pada dinamika preferensi konsumen (Anonim, 2005). B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana preferensi konsumen terhadap pangan olahan gandum di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi preferensi konsumen terhadap pangan olahan gandum di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta? 6
C. Tujuan 1. Mengetahui preferensi konsumen terhadap pangan olahan gandum di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dengan preferensi konsumen terhadap pangan olahan gandum. 3. Mengetahui ada tidaknya hubungan antara jenis kelamin dengan preferensi konsumen terhadap pangan olahan gandum. 4. Mengetahui ada tidaknya hubungan antara umur dengan preferensi konsumen terhadap pangan olahan gandum. D. Kegunaan 1. Bagi mahasiswa, sebagai sarana mengembangkan pola berfikir dan sebagai syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian. 2. Bagi pihak yang terkait, dapat digunakan untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi preferensi konsumen terhadap pemilihan pangan sehingga dapat dijadikan acuan untuk mencapai efisiensi produksi serta mencapai ketahanan pangan dan program diversifikasi pangan yang dicanangkan oleh pemerintah. 3. Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis dapat menjadi salah satu sumber informasi 7