WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON-2 PADA PESISIR SELATAN JAWA TENGAH DAN JAWA BARAT DANU ADRIAN

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 TAHUN 2012 DI PESISIR PULAU MENTAWAI, SUMATERA BARAT MEILANI PAMUNGKAS

ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 3 DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY

PENINGKATAN AKURASI ESTIMASI TINGGI PARAS LAUT MELALUI ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB II SATELIT ALTIMETRI

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

BAB 4 IDENTIFIKASI DAN ANALISIS WAVEFORM TERKONTAMINASI

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KARAKTERISTIK FISIS WAVEFORM SATELIT ALTIMETRI STUDI KASUS: PESISIR PULAU JAWA

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2015

Bab IV Pengolahan Data dan Analisis

ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang

STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA)

Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode (Studi Kasus : Perairan Indonesia)

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK

STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA)

Ira Mutiara Anjasmara 1, Lukman Hakim 1 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

PEMODELAN MUKA AIR LAUT RERATA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI ENVISAT

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

BAB III BAHAN DAN METODE

PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014

Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu

Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (

TEORI DASAR. variasi medan gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah. eksplorasi mineral dan lainnya (Kearey dkk., 2002).

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

IDENTIFIKASI WAVEFORM DATA SATELIT ALTIMETER PADA PERAIRAN PESISIR DAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut

PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION

BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Journal of Dynamics 1(1) (2016) Journal of Dynamics. e-issn:

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

ANALISA FENOMENA SEA LEVEL RISE PADA PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE TAHUN

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi.

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. METODOLOGI PENELITIAN

PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0.

GPS (Global Positioning Sistem)

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO

MODUL PELATIHAN PEMBANGUNAN INDEKS KERENTANAN PANTAI

Transkripsi:

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul: WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2013 Kadek Surya Sumerta NIM C54080022

ABSTRAK KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satelit Jason 2 di Perairan Jawa Timur. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL. Waveform retracking adalah proses pengukuran ulang jarak satelit terhadap permukaan laut (range) dengan menganalisa waveform di suatu wilayah perairan dengan menggunakan metode retracking. Penelitian ini dilakukan di wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur dengan menggunakan data Sensor Geophysical Data Record (SGDR) Jason 2. Nomor lintasan yang digunakan pada penelitian ini adalah 127, 140 dan 203 serta menggunakan cycle dimulai dari 18 158. Untuk menguji kualitas dari proses ini per kategori jarak dilakukan analisa Improvement Precentage (IMP) terhadap metode retracking yang digunakan. Metode yang digunakan adalah Offset Center Off Grativity (OCOG), ice, ocean, threshold 20% dan 50%; improved threshold 20%, 30% dan 50%. Penelitian ini menggunakan enam lokasi stasiun yang dilalui oleh Satelit Jason 2. Kategori jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah 0 10 km, 10 50 km, 50 100 km, dan 100 200 km. Pengamatan terhadap performa metode waveform retracking diperoleh bahwa performa tiap metode waveform retracking berbeda pada masing-masing kategori jarak di setiap stasiun. Penggunaan threshold level 20% dan 30% pada metode threshold paling sesuai untuk wilayah perairan Jawa Timur. Validasi nilai Sea Surface Height (SSH) metode retracking menggunakan data Sea Level Anomaly (SLA) dan data pasang surut in situ. Hasil validasi menunjukan bahwa metode yang memiliki nilai IMP terbesar selama periode 2009 2012 memiliki nilai korelasi tertinggi terhadap data pasang surut in situ. Misalnya, metode retracking ice dengan nilai IMP terbesar pada Stasiun 1 dan 6, memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu sebesar 0.78 dan 0.95. Pengukuran SSH selama periode 2009 2012 dengan metode retracking teroptimal pada masing-masing stasiun menghasilkan nilai rentang SSH untuk Stasiun 1 sampai Stasiun 6 sebagai berikut 30.87 33.45 m, 32.13 33.16 m, 34.38 35.08 m, 32.32 35.13 m, 30.17 32.23 m, dan 26.31 27.08 m, sedangkan rata-rata SSH berturut-turut sebesar 33.13 m (Stasiun 1), 32.43 m (Stasiun 2), 35.76 m (Stasiun 3), 32.56 m (Stasiun 4), 30.89 m (Stasiun 5), dan 27.58 m (Stasiun 6). Kata kunci: waveform retracking, IMP, Jason 2, Jawa Timur, dan SSH.

ABSTRACT KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satellite Jason 2 in East Java Sea. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL. Waveform retracking is a process to recalculate the range between satellite and sea surface by analysing waveform in a sea region with retracking methods. This research used SGDR Jason 2 altimetry data with region observation were north and south side of East Java Sea. This research used pass numbers 127, 140 and 203 with cycle 18 until 158. For testing the quality of the methods this research calculated IMP for each methods. This research used OCOG method, ice, ocean, threshold 20% and 50%, improved threshold 20%, 30% and 50%. The research classifed 4 categories distance from the coastline. There was 0 10 km, 10 50 km, 50 100 km, dan 100 200 km. Performance every waveform retracking was different in each station. Using threshold level 20 % and 30 % in threshold retracking method suited for sea region in East Java. Validation of SSH measured with retracking method used SLA data and tide gauge in situ data. The result showed that the retracking methods which had highest precentage of IMP for 2009 2012 had the highest coeficient correlation to tide gauge in situ data. For example, ice method which had the highest precentage value of IMP in Station 1 and 6, had the highest coeficient correlation were 0.78 and 0.95. Measuring SSH value for 2009 2012 with optimal methods for every station resulted range of SSH for Station 1 until Station 6 were 30.87 33.45 m, 32.13 33.16 m, 34.38 35.08 m, 32.32 35.13 m, 30.17 32.23 m, and 26.31 27.08 m. Meanwhile average value of SSH were 33.13 m (Station 1), 32.43 m (Station 2), 35.76 m (Station 3), 32.56 m (Station 4), 30.89 m (Station 5), dan 27.58 m (Station 6). Key words : waveform retracking, IMP, Jason 2, and East Java, and SSH

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Judul Skripsi : Waveform Retracking Satelit Jason 2 di Perairan Jawa Timur Nama NIM : Kadek Surya Sumerta : C54080022 Disetujui oleh, Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si Pembimbing I Diketahui oleh, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus : 25 Maret 2013

PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa atas semua berkat dan karunia yang telah diberikan-nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana. Penelitian ini dilakukan pada 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013 di Badan Informasi Geospasial (BIG). Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si. Selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Parluhutan Manurung, M. Sc dan Bapak Stefano Vignudeli selaku dosen materi Altimetri. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan BIG atas bantuan data altimetri dan pasang surut wilayah Jawa Timur. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, seluruh keluarga besar, serta teman-teman atas doa dan dukungannya selama melakukan kegiatan penelitian dan penulisan berlangsung. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2013 Kadek Surya Sumerta

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR iii DAFTAR LAMPIRAN iv DAFTAR SINGKATAN v DAFTAR ISTILAH v PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan 2 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian 3 Prinsip Dasar Altimetri 3 Waveform Satelit 5 Pengaruh Daratan Terhadap Waveform 8 Metode Retracking 8 Satelit Jason 2 11 Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi 17 BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian 18 Alat dan Bahan 20 Metode Penelitian 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Waveform Perairan Jawa Timur 27 Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking dan Non Retracking 30 Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Selama Tahun 2009 hingga 2012 38 Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Tahun 2009 2012 44 SIMPULAN DAN SARAN 46 DAFTAR PUSTAKA 47 LAMPIRAN 59

DAFTAR TABEL 1 Jumlah waveform gate pada satelit altimetri 5 2 Karakteristik Satelit Jason 2 13 3 Karakteristik Orbit Jason 2 16 4 Koordinat titik awal waveform retracking data SGR Jason 2 18 5 Koordinat titik waveform retracking tinggi muka laut 1 Januari 2009 sampai dengan 20 Oktober 2012 18 6 Informasi stasiun pasang surut terhadap titik pengamatan satelit altimetri 26 7 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 10 km 32 8 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 10 50 km 33 9 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 50 100 km 34 10 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 100 200 km 35 11 Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun 2009 2012 40 12 Koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran data pasang surut dengan SLA hasil waveform retracking 44 DAFTAR GAMBAR 1 Prinsip satelit altimetri 5 2 Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason 6 3 Presentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai fungsi dari jarak ke garis pantai 7 4 Macam-macam bagian waveform 7 5 Proses terbentuknya waveform 7 6 Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan laut pada kasus transisi laut ke daratan 8 7 Skematik diagram metode OCOG 10 8 Diagram alir metode improved threshold 12 9 Satelit Jason 2 13 10 Sensor Poseidon-3 Altimeter 14 11 Sensor Advanced Microwave Radiometer (AMR) 14 12 Sensor Doris System 15 13 Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia 16 14 Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur 19 15 Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur 22 16 Bentuk-bentuk waveform perairan Jawa Timur 27 17 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 0 10 km 28 18 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 10 50 km 28 19 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 50 100 km 29 20 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 100 200 km 29 21 Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0 10 km 31 22 Visualisasi SSH metode retracking, iii

tanpa retracking dan geoid stasiun 1 kategori jarak 0 10 km 36 23 Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 10 50 km 37 24 Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 50 100 km 37 25 Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 100 200 km 38 26 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 1 selama tahun 2009-2012 41 27 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 2 selama tahun 2009-2012 41 28 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 3 selama tahun 2009-2012 42 29 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 4 selama tahun 2009-2012 42 30 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 5 selama tahun 2009-2012 43 31 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 6 selama tahun 2009-2012 43 32 Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ pasang surut dari bulan Mei hingga Oktober 2012 pada titik pengukuran ke-1 45 33 Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ pasang surut dari bulan Januari hingga Desember 2012 pada titik pengukuran ke-6 45 DAFTAR LAMPIRAN 1 Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di wilayah perairan Jawa Timur 49 2 Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur 59 3 Data pasang surut Stasiun Semarang selama bulan April hingga Oktober 2012 68 4 Data pasang surut Stasiun Prigi selama bulan Januari hingga Desember 2012 69 5 Sintak waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking 70 6 Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 78 7 Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG 84 8 Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold 85 9 Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold 85 10 Nomor jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat 88 11 Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit 90 12 Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022 91 iv

DAFTAR SINGKATAN BIG IMP MSL OCOG SGDR SLA SSH TOPEX Badan Informasi Geospasial Improvement Precentage Mean Sea Level Offset Center Off Grativity Sensor Geophysical Data Record Sea Level Anomaly Sea Surface Height The Ocean Topography Experiment DAFTAR ISTILAH Cycle Elipsoid Footprint Geoid Leading edge On-board tracker Pass Range Retracking Waveform Waktu tempuh satelit kembali ke titik awal Garis referensi yang menggambarkan permukaan bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen Luasan lingkaran untuk menerima jejak sinyal pantulan Representasi dari permukaan bumi dan dapat diasumsikan MSL jika laut menutupi bumi seutuhnya Bagian waveform yang mengalami peningkatan power Alat sensor satelit untuk menerima sinyal pantulan Nomor lintasan satelit altimetri Jarak antara satelit altimetri terhadap titik nadir di permukaan laut Pengukuran kembali nilai range untuk menghilangkan pengaruh daratan Bentuk pantulan sinyal yang diterima oleh satelit v

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit altimetri adalah satelit luar angkasa yang melakukan pengukuran tinggi dan bentuk permukaan laut secara global dari orbitnya di luar angkasa. Satelit altimetri digunakan untuk pengamatan topografi permukaan laut dan terus berkembang tingkat akurasi dan resolusinya. Teknologi ini memancarkan gelombang mikro ke permukaan laut dan mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang yang diterima. Alat on-board tracker pada satelit mengukur nilai range dan menghasilkan distribusi energi yang diterima dari gelombang pantul yang disebut dengan waveform secara berurutan waktu. Oleh sebab itu, satelit altimetri mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang dengan mengidentifikasi titik tengah pada bagian leading edge dari waveform. Pengukuran SSH dari satelit altimetri di wilayah pantai dapat memunculkan kesalahan yang disebabkan oleh koreksi geofisik dan lingkungan yang kurang akurat; dan gangguan oleh topografi daratan pulau dan perairan dangkal dekat pantai terhadap gelombang balik. Brooks et al. (1997) menemukan bahwa pengaruh daratan terhadap gelombang balik sepanjang jarak 4.1 34.8 km dari pantai pada waveform Satelit the Ocean Topography Experiment (TOPEX). Selain itu Deng et al. (2002) menemukan bahwa waveform dari Satelit ERS-2 dan Satelit Poseidon akan terpengaruh sampai jarak maksimum 22 km pada wilayah pantai Australia. Bentuk waveform yang terpengaruh oleh daratan tidak sama dengan bentuk waveform pada laut terbuka sehingga on-board tracker tidak dapat mengukur range antara satelit dengan titik nadir satelit secara akurat. Oleh karena itu nilai SSH yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Beberapa metode analisis data banyak dikembangkan oleh para ilmuwan altimetri untuk menghilangkan pengaruh daratan pada pengukuran SSH. Martin et al. (1983) mengembangkan metode retracking ice untuk mengukur tinggi gunung es di kawasan antartika. Selain itu, Wingham et al. (1986) dan Davis (1995 dan 1997) masing-masing mengembangkan algoritma OCOG dan threshold. Beberapa ilmuwan altimetri telah membandingkan metode-metode waveform retracking pada wilayah pantai untuk menguji akurasi nilai SSH 1

2 masing-masing metode tersebut. Namun performa masing-masing metode waveform retracking berbeda tiap wilayah pantai. Yang et al. (2008) menemukan bahwa metode OCOG mapatkan nilai SSH paling akurat dibandingkan dengan metode ice, threshold, dan ocean-on board tracker pada jarak kurang dari 10 km dari pantai di wilayah Laut Cina. Hal ini berbeda dengan hasil observasi Lee et al. (2010), bahwa metode threshold dan ice yang menghasilkan informasi SSH paling akurat untuk wilayah perairan California Amerika Serikat. Dengan demikian, beberapa wilayah pantai akan berbeda performa metode waveform retracking. Oleh karena performa metode waveform retracking berbeda-beda dan informasi SSH penting untuk wilayah pantai di Indonesia maka perlu dilakukan observasi di wilayah perairan Indonesia. Wilayah perairan yang akan diteliti adalah wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur. Kegiatan masyarakat pesisir Jawa Timur terkonsentrasi di wilayah perairan pantai. Untuk mengetahui performa metode waveform retracking digunakan analisis IMP terhadap perbedaan standar deviasi SSH tanpa retracking dan nilai geoid dengan standar deviasi SSH hasil metode waveform retracking dengan nilai geoid pada masing-masing stasiun pengamatan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan metode waveform retracking yang sesuai untuk penentuan SSH dengan presisi tinggi untuk perairan Jawa Timur. 2. Menghasilkan informasi nilai SSH untuk periode 2009 2012 di wilayah perairan Jawa Timur

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini memilih lokasi perairan laut di Provinsi Jawa Timur untuk penggamatan tinggi muka laut tahun 2009 hingga 2012. Jawa Timur terletak di bagian paling timur dari Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Jawa Timur adalah Surabaya. Luas daratan Jawa Timur adalah 47.799,75 km 2 dengan jumlah puduk 41.437.769 jiwa (Depdagri, 2011). Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di bagian utara, Samudera Hindia di bagian selatan, Jawa Tengah di bagian Barat dan timur berbatasan dengan Provinsi Bali. 2.2. Prinsip Dasar Satelit Altimetri Prinsip satelit altimetri adalah mengukur jarak (range) R dari satelit menuju permukaan laut. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 1. Satelit altimetri memancarkan pulsa pek dari radiasi gelombang mikro dengan nilai power yang diketahui menuju permukaan laut. Pulsa tersebut berinteraksi dengan permukaan laut yang kasar dan sebagian radiasi datang terpantulkan kembali ke altimeter. Nilai R dari satelit ke rata-rata muka laut didapatkan dari waktu perjalanan bolak-balik, yaitu : R = R Rj j... (1) dimana R = ct/2 adalah nilai range dengan mengabaikan refraksi berdasarkan kecepatan cahaya di medium luar angkasa (c) dan Rj = 1,2,3,.. dst adalah komponen koreksi untuk menghilangkan atmosferik, sea state bias, dan pasang surut. Komponen koreksi atmosferik terdiri atas dry troposphere correction, wet troposphere correction, ionosphere correction,dan inverse barometer effect. Berikutnya komponen koreksi Sea State Bias terdiri atas EM bias dan skewness bias (Chelton et al. 2010). Komponen pasang surut terdiri atas solid earth tide, geocentric ocean height tide, dan pole tide height. Komponen koreksi atmosferik digunakan untuk mengurangi pengaruh dari molekul gas-gas kering (dry troposphere), uap-uap air (wet troposphere correction), ion-ion elektron (ionosphere correction), dan tekanan udara (inverse barometer effect) dalam 3

4 memperlambat kecepatan rambat gelombang mikro menuju permukaan laut. Sedangkan untuk koreksi sea state bias untuk mengurangi kesalahan akibat pantulan dari bagian lembah gelombang yang terkena gelombang mikro (EM bias dan skewness bias). Kemudian koreksi pasang surut digunakan untuk mengurangi pengaruh eksternal gaya gravitasi terhadap laut (solid earth tide), respon terhadap gaya keseimbangan pasang surut (geocentric ocean height tide), dan pengaruh gaya sentrifugasi yang disebabkan perputaran bumi pada sumbu rotasinya (pole tide) Nilai R pada persamaan (1) berbeda sepanjang orbit satelit dari sepanjang variasi jalur. Pengukuran range R kemudian dikonversi menjadi nilai SSH (h) relatif terhadap referensi elipsoid yang menggambarkan permukaan bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen (Chelton et al. 2001). h = H R = H R j R j...(2) Akurasi pengukuran R dan H tidak cukup untuk aplikasi oseanografi pada pengukuran altimetri. Tinggi muka laut yang diberikan pada rumus (2) di atas relatif terhadap referensi elipsoid berhimpit dengan pengaruh efek geofisik. Dengan penambahan efek dinamis dari arus geostrofik yang merupakan perhatian utama pada aplikasi oseanografi, nilai h dipengaruhi oleh undulasi geoid (h g ) tentang penaksiran elipsoid, variasi tinggi pasang surut (h T ) dan respon laut terhadap tekanan atmosferik (h a ). Geoid adalah representasi dari permukaan bumi dan dapat diasumsikan Mean Sea Level (MSL) jika laut menutupi bumi seutuhnya (Benveniste, 2001). Efek-efek ini harus dihilangkan dari h untuk menginvestigasi pengaruh efek arus geostrofik pada perhitungan tinggi muka laut. Rumus tinggi dinamik muka laut (h d ) adalah sebagai berikut. (Chelton et al, 2001) h d = h h g h T h a h d = H R j R j h g h T h a...(3)

5 Gambar 1. Prinsip Satelit Altimetri (Benveniste, 2010) 2.3. Waveform Satelit Gommenginger et al. (2010) menjelaskan bahwa waveform adalah bentuk dari sinyal pantulan yang diterima oleh satelit yang menghadirkan evolusi waktu dari energi pantulan ketika gelombang mikro menyentuh permukaan. Waveform memberikan informasi pada alam dan pantulan permukaan, seperti tinggi gelombang signifikan. Waveform ini menggambarkan perubahan energi pada gate ke-i (i=1,2,...n) yang diterima oleh satelit. Jumlah waveform gate (n) berbeda untuk masing-masing jenis satelit altimetri, seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah waveform gate pada satelit altimetri (Gommenginger et al, 2010) Jumlah Satelit Band Waveform Gate Geosat Ku 60 ERS-1 Ku 64 ERS-2 Ku 64 Ku 128 TOPEX C 128 Poseidon Ku 60 GFO Ku 128 Ku 104 Jason-1 C 104 Ku 104 Jason-2 C 104

6 Berbagai bentuk waveform yang dipindai oleh Satelit Jason-2 dapat dilihat pada Gambar 2. Kelas 1 merupakan tipe brown echoes yang sering ditemukan di laut lepas. Gommenginger et al. (2010) mengatakan bahwa sekitar 94% dari keseluruhan waveform Satelit Jason-2 yang dianalisa di Australia memiliki bentuk brown echoes dengan jarak minimal 15 km dari garis pantai. Persentase keberadaan waveform bentuk brown semakin menurun menuju pantai. Sebaliknya untuk tipe peak echoes persentase kehadiran bentuk waveform ini semakin meningkat. Persentase waveform ditunjukkan pada Gambar 3. Pada umumnya, wilayah waveform dibagi menjadi tiga bagian, yaitu thermal noise, leading edge, dan trailing edge (Gambar 4). Proses terbentuk sebuah waveform dari gelombang pantul yang diterima satelit altimeri ditunjukan pada Gambar 5. Bagian thermal noise tidak terjadi peningkatan power waveform akibat tidak adanya sinyal pantul yang menuju ke satelit. Bagian leading edge merupakan wilayah gelombang mikro dipancarkan dan pantulan gelombang mikro menuju satelit. Untuk mapatkan nilai range, sebelumnya menentukan titik tengah pada daerah trailing edge. Pada gate ke-n t adalah waktu gelombang mikro menyentuh permukaan laut tepat pada nadir. Kemudian bagian trailing edge merupakan pantulan energi gelombang pada permukaan laut di sekitar titik nadir. Gambar 2. Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason-2 (Gommenginger et al., 2010)

7 Gambar 3. Persentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai fungsi dari jarak ke garis pantai (Gommenginger et al., 2010) Gambar 4. Macam-macam bagian waveform Gambar 5. Proses terbentuknya waveform (Gommenginger et al., 2010)

8 2.4. Pengaruh Daratan terhadap Waveform Kala pengukuran tinggi muka laut di kawasan pantai adalah gangguan daratan terhadap energi pantulan oleh permukaan laut. Hal ini dikarenakan posisi daratan berada pada window analysis satelit altimetri, sehingga jejak (footprint) pantulan sinyal daratan terekam pada waveform. Nilai power yang terekam pada waveform juga menggambarkan proporsi pengaruh daratan pada window analysis terhadap pantulan tinggi muka laut (Gambar 6). Kontaminasi daratan dapat dilihat pada bagian trailing edge. Nilai power pantulan pada waveform bagian trailing edge sangat tinggi berbeda terhadap bagian gate awal hingga bagian leading edge. Gambar 6. Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan laut (Gommenginger et al., 2010) 2.5. Metode Retracking Retracking adalah proses identifikasi titik tengah pada bagian leading edge sebuah waveform untuk mapatkan nilai waktu pada saat gelombang mikro menyentuh permukaan laut. Pantulan gelombang mikro dari daratan sepanjang analysis window Satelit Jason-2 akan mempengaruhi posisi leading edge. Posisi

9 leading edge akan berubah sehingga titik tengah pada leading edge berubah. Jika waveform Satelit Jason-2 tidak terpengaruhi oleh daratan, nilai titik tengah tersebut berada pada gate ke-32.5 (Lee et al., 2010). Oleh karena itu untuk mapatkan nilai titik tengah tersebut dilakukan dengan metode retracking. Metode retracking terdiri atas beberapa jenis. Pada penelitian ini metode retracking yang digunakan adalah metode OCOG, threshold, improve threshold 50%, ocean retracker, dan ice retracker. Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa metode retracking tersebut. 1. Offset Center of Gravity Retracker (OCOG) Algoritma ini dikembangkan oleh Wingham (1986) untuk mapatkan retracking yang berkualitas. Tujuannya adalah untuk mencari titik tengah gravitasi dari setiap waveform berdasarkan tingkat energi dalam sebuah gate. Gambar 7 menunjukan skematik diagram metode OCOG. Metode ini merupakan pengolahan statistik yang tidak bergantung kepada bentuk fungsional. Berikut rumus yang digunakan dalam proses metode OCOG. dimana : i = gate N n 2 N n 2 i=1+n 1 A = P 4 i (t) i=1+n 1 P 2 i (t)...(3) N n 2 N n 2 i=1+n 1 W = ( P 2 i=1+n 1 i (t)) 2 P 4 i (t)...(4) N n 2 N n 2 i=1+n 1 COG = i=1+n ip 2 1 i (t) P 2 i (t)...(5) Pi = energi waveform N = jumlah gate n 1 = nomor gate awal n 2 = nomor gate akhir LEP = COG W...(6) 2 Menurut Hwang et al. (2006), nilai n 1 dan n 2 adalah 4. OCOG ini kadangkadang digunakan untuk menghitung nilai awal dari threshold retracker, improved threshold retracker, dan fungsi β-parameter. Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran 7.

10 Gambar 7. Skematik diagram metode OCOG. (Gommenginger et al., 2. Threshold Retracker. 2010) Untuk mengubah perhitungan range, metode threshold retracking dikembangkan oleh Davis (1995, 1997). Metode ini berdasarkan dimensi kotak dihitung dengan menggunakan metode OCOG. Nilai batas gate diukur terhadap 25%, 50% dan 75% dari amplitudo maksimum OCOG yang akan digunakan untuk analisis gate retracking. Nomor range gate yang didapatkan dengan menginterpolasi contoh terdekat dari threshold memotong bagian tertinggi pada kemiringan leading edge waveform. Davis (1997) menyarankan menggunakan 50% tingkat threshold untuk waveform yang didominasi oleh surface scattering dan threshold 10-20% untuk volume scattering signals. Sintak program metode retracking ini dilampirkan pada Lampiran 8. Beberapa langkah-langkah metode ini adalah: a. Menghitung gangguan suhu (thermal noise) b. Menghitung tingkat threshold (T h ) P N = 1 5 p 5 i i...(7) T h = P N + q. (A P N )... (8) c. Nilai range setelah diolah (retracked) pada leading edge dari waveform didapat dari interpolasi linear antara gate berdekatan sampai T h menggunakan

11 Dimana : A = amplitudo OCOG G r = G k 1 + T h P k 1 P k P k 1... (9) P N = rata-rata nilai energi waveform dari lima gate pertama q = nilai threshold G k = energi pada gate ke-k, dimana k adalah lokasi dimana gate pertama melebihi T h.. 3. Improve Threshold Retracking Jenis improve threshold retracking yang digunakan pada penelitian ini adalah versi Hwang. Secara garis besar retracker ini mengidentifikasi subwaveform dari seluruh gate waveform. Langkah seleksi subwaveforms dapat dilihat pada Gambar 8. Setelah mapatkan hasil gate (i) terbaik kemudian diolah dengan menggunakan metode threshold sehingga mapatkan nilai range. Nilai ϵ 1 = 8 dan ϵ 2 = 2 (Hwang et al., 2006). Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran 9. 4. Ocean and Ice Retracker Data ocean retracker yang tersedia dalam data SGDR Jason-2 masing-masing menggunakan Maximum Likelihood Estimator 4 (MLE4) menyesuaikan Model Brown fase 2. Data metode retracking ice sama dengan metode waveform retracking threshold 30% (Lee et al., 2010). 2.6. Satelit Jason 2 Satelit Jason-2 dikembangkan pertama kali dan diluncurkan pada tanggal 20 Juni 2008. Satelit ini dikembangkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Centre National d Études Spatiales (CNES). Satelit ini meneruskan misi Satelit TOPEX/Poseidon (T/P) yang sukses mengamati lautan dunia selama 20 tahun. Misi utama satelit ini adalah mengukur topografi permukaan laut minimal tingkat performa sama dengan T/P. Satelit ini menyajikan pengukuran akurasi tinggi secara kontinu dari topografi lautan sehingga ilmuwan dapat mempelajari sirkulasi lautan secara umum dan mengetahui perannya terhadap iklim dunia.

12 Observasi dimulai dari gate ke-i, yaitu 5 Jika P i 1 P i 2 >ε 1 Tidak i = i + 1 Ya Batas 1 = i Kurangi nilai power dari gate dengan nilai power gate selanjutnya Jika P i+1 P i >ε 2 Ya k = k + 1 Tidak Batas 2 = k I = Batas1- Batas2 k = 0 Bentuk sebuah subwaveform dari i-4 sampai i+k+4 Gunakan subwaveform kepada perhitungan OCOG dan Threshold untuk mencari retracking gate Gambar 8. Diagram alir metode improved threshold (Gommenginger et al, 2010)

13 2.6.1 Deskripsi Satelit Jason 2 Satelit Jason 2 (Gambar 9) memiliki berat 525 kg yang terdiri dari platform multi misi Plate Forme Reconfigurable pour l Observation de la Terre, les telecommunications et les Utilisations Scientifiques (PROTEUS) dan modul penerbangan Jason 2. Platform memberikan fungsi rumah tangga termasuk propulsi, electrical power, perintah dan penanganan data, telekomunikasi, dan kontrol ketinggian. Modul peluncuran memberikan mekanika, elektrika, panas, dan dynamical support. (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Karakteristik Satelit Jason 2 tertera pada Tabel 2. Gambar 9. Satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Tabel 2. Karakteristik satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Komponen Berat Satelit Daya Satelit Berat Platform Daya Platform Berat Peluncur Daya Peluncur Berat sensor altimeter Daya sensor altimeter Peralatan luncur Lokasi Peluncuran Keterangan 500 Kg 450 W 270 Kg 300 W 120 Kg 147 W 55 Kg 78 W Dual Delta II Vanderberg Air Force Base

14 2.6.2 Sensor Untuk dapat memenuhi misi satelit Jason 2, NASA dan CNES melengkapi satelit Jason 2 dengan beberapa sensor canggih. Adapun sensor-sensor canggih tersebut yaitu : 1. Poseidon-3 Altimeter. Altimeter dua frekuensi berfungsi untuk mengukur range dengan koreksi ionosferik yang akurat. Sensor ini beroperasi pada 13.575 GHz (Ku-band) dan 5.3 Ghz (C-band). Gambar 10 merupakan penampakan sensor Poseidon-3 Gambar 10. Sensor Poseidon-3 Altimeter (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) 2. Advanced Microwave Radiometer (AMR) Radiometer gelombang mikro beroperasi pada tiga frekuensi yaitu 18.7, 23.8, dan 34 GHz. Saluran frekuensi 23.8 GHz merupakan sensor uap air, ketika kandungan uap air meningkat maka akan memperbesar nilai kecerahan suhu alat, sedangkan saluran 18.7 dan 34 GHz digunakan untuk menghilangkan pengaruh awan cair dan kelebihan emisivitas permukaan dari permukaan laut terhadap angin. Gambar 11 merupakan penampakan sensor AMR. Gambar 11. Sensor AMR (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)

15 3. Doris System Sistem Doris berfungsi sebagai pengatur navigasi satelit supaya tidak terlalu jauh dari lintasan yang ditentukan sehingga mempertahankan posisi edar satelit. Antena Doris terletak di bagian nadir Satelit Jason 2. Gambar 12 menunjukan instrumen Doris. Gambar 12. Sensor Doris System (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) 2.6.3 Orbit Satelit Jason 2 melakukan pengukuran di sepanjang garis orbit satelit. Jason-2 akan terbang pada lintasan yang dekat dengan lintasan Jason 1 dan melewati 254 pass dan 10 hari mengulangi perputaran baru (cycle). Nomor putaran satelit dari satu titik posisi kembali ke posisi tersebut disebut Cycle. Untuk pass number adalah nomor lintasan yang dilalui oleh Satelit Jason 2. Posisi lokasi pass yang dilewati oleh Satelit Jason 2 dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada Gambar 13 ditampilkan jalur lintasan Satelit Jason-2. Garis-garis putih tersebut merupakan jalur lintasan Satelit Jason-2. Beberapa informasi mengenai karakteristik orbit Satelit Jason-2 akan disajikan pada Tabel 3.

16 Gambar 13. Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Tabel 3. Karakteristik orbit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Bagian Orbit Nilai Semi Major Axis 7.714,43 km Eccentricity 0.000095 Sudut Inklinasi 66.04 derajat Argument of periapsis 90 derajat Inertial longitude of the ascing node 116.56 derajat Mean Anomaly 253.13 derajat Reference (Equatorial) Altitude 1.336 km Nodal Period 6.745,72 detik Repeat Period 9.9156 hari Number of revolution cycle 127 Equatorial cross track separation 315 km Ground track control band ± 1 km Orbital speed 7.2 km/detik Ground track speed 5.8 km/detik

17 2.7. Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi Satelit altimetri mulai dikembangkan tahun 1973, dengan adanya Satelit Skylab yang dibuat oleh NASA. Satelit ini merupakan satelit altimetri yang pertama. Pada awalnya satelit altimetri ini digunakan untuk mengukur bentuk planet Bumi, tetapi kesalahan pengukuran yang dihasilkan sampai 100 m (Abidin, 2001). Pengembangan satelit altimetri untuk mapatkan hasil pengukuran yang baik, dimulai dengan Satelit GEOS-3 (9 April 1975 Desember 1978) dan Seasat (Juni 1978 Oktober 1978). Setelah dihasilkan alat-alat dengan tingkat ketelitian baik, altimetri mulai memberikan informasi mengenai geodesi, oseanografi, geofisika, dan hidrologi yang lebih akurat. Selama bertahun-tahun para peneliti di bidang altimetri mengembangkan instrument satelit dengan tingkat presisi tinggi sehingga dapat mampu menciptakan satelit-satelit canggih. Setiap satelit diciptakan dengan misinya masing-masing sehingga melengkapi berbagai ilmu di bidang Geodesi, Oseanografi, Geofisika dan Hidrologi. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit dan perencanaan satelit-satelit di bidang altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022 dicantumkan pada Lampiran 11 dan 12. Berkembang pesatnya ilmu di bidang altimetri sehingga pengamatan dinamika topografi laut dapat dilakukan secara kontinu dan informasi dapat digunakan pada beberapa aplikasi. Beberapa aplikasi penggunaan data altimetri yang terkait dengan kajian kelautan adalah (Handoko, 2004) : 1. Penentuan pasang surut, tinggi muka laut, dan arus permukaan 2. Rute pelayaran 3. Industri lepas pantai 4. Deteksi jalur buangan limbah 5. Deteksi penyebaran biota laut 6. Prediksi cuaca di laut 7. Gejala El-Nino dan variasi iklim global

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013 yang bertempat di BIG. Pengamatan performa metode retracking berdasarkan kategori jarak dilakukan di 6 (enam) stasiun. Informasi koordinat posisi awal pengukuran ditunjukan pada Tabel 4. Pada masing-masing stasiun akan dibagi menjadi empat kategori jarak dari garis pantai menuju laut lepas. Keempat kategori jarak tersebut yaitu 0 10 km, 10 50 km, 50 100 km, dan 100 200 km. Pengukuran nilai SSH selama tahun 2009 2012 dilakukan di 6 (enam) titik lokasi di perairan Provinsi Jawa Timur, sebagaimana ditunjukan pada Tabel 5. Lokasi penelitian diperlihatkan pada Gambar 14. Nomor lintasan Satelit Jason 2 yang digunakan adalah 127, 140 dan 203 Tabel 4. Koordinat Titik Awal Waveform Retracking Data SGDR Jason 2 Stasiun Koordinat Titik Lintang (LS) Bujur (BT) Nomor Cycle 1 6 o 44 23 111 o 41 46.13 30 2 6 52 23 o 112 17 53.27 o 20 3 7 o 42 18 114 o 10 6.90 40 4 8 o 33 37.66 113 o 51 1.02 40 5 8 o 24 30 112 o 51 48.9 18 6 8 o 15 30 109 o 41 27.12 18 Tabel 5. Koordinat Titik Waveform Retracking Tinggi Muka Laut 1 Januari 2009 sampai dengan 20 Oktober 2012 Stasiun Koordinat Titik Nomor Lintasan Lintang (LS) Bujur (BT) Satelit Jason 2 1 6 o 40 48.80 111 o 41 46.13 127 2 6 48 50.03 o 112 17 53.27 o 140 3 7 o 40 21.16 114 o 10 6.90 203 4 8 o 36 45.49 113 o 51 1.02 140 5 8 o 27 42.30 112 o 51 48.9 203 6 8 o 18 55.59 109 o 41 27.12 127 18

Gambar 14. Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur 19

20 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Adapun alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Perangkat keras berupa Personal Computer (PC) berbasis Intel Core i3 dengan sistem operasi Windows 7 yang digunakan untuk pengolahan datadata penelitian 2. Perangkat lunak pengolah data yaitu MATLAB 2012a. 3.2.2. Bahan Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data altimetri Satelit Jason 2 versi d dengan level data SGDR. Data diperoleh dari ftp://ftp.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/jason2/ CLASS NOAA dimulai dari cycle 18 hingga cycle 158. 2. Data Range Corrected dari Retracker Ocean-MLE-4 dan data range 20 Hz dari variabel Tracker Range pada gelombang ku (10.9 22 Ghz) untuk proses retracking dan non retracking. Data diperoleh dari SGDR Satelit Jason 2. 3. Data pasang surut selama tahun 2009 di Stasiun Prigi dan bulan April hingga Desember 2012 untuk Stasiun Semarang. Stasiun pasang surut yang digunakan adalah stasiun terdekat dengan Stasiun 1 dan Stasiun 6. Data pasang surut diperoleh dari BIG yang dapat diunduh pada website http://www.ioc-sealevelmonitoring.org. 4. Data Geoid EGM2008 diperoleh dari program interpolasi Geoid EGM2008. Data ini digunakan untuk menentukan jenis retracker terbaik pada masing-masing lokasi stasiun. 5. Data jalur lintasan Satelit Jason 2. Data ini dapat diperoleh melalui website http://www.aviso.oceanobs.com/en/data/tools/pass-locator.hssh.

21 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi 4 (empat) bagian. Bagian pertama adalah membaca dan proses editing data altimetri, waveform retracking, perhitungan SSH, dan pengecekan kualitas data hasil waveform retracking menggunakan program MATLAB. Tahapan-tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 15. 3.3.1. Proses Pembacaan dan Editing Data Seleksi variabel titik pengukuran, nilai range, nilai koreksi atmosferik, koreksi efek pasang surut, koreksi sea state bias, waveform, ketinggian satelit (altitude) dilakukan pada bagian ini. Pada data SGDR Jason 2, komponen variabel terbagi atas dua jenis yaitu data 1 Hz dan data 20 Hz. Untuk mengetahui performa metode retracking berdasarkan kategori jarak, seleksi variabel dibedakan atas dua bagian. Bagian pertama, variabel diseleksi berdasarkan kelompok dan bagian kedua seleksi variable secara global. Untuk mengetahui performa metode retracking pada satu titik pengukuran secara tahunan, variabel diseleksi secara global. Titik-titik tetangga dari titik pengukuran diperhitungkan nilai SSH dan selanjutnya dilakukan proses interpolasi data untuk mapatkan nilai SSH pada titik pengukuran. Variabel 20 Hz diseleksi berdasarkan kategori jarak yaitu 0 10 km, 10 km 50 km, 50 100 km, dan 100 200 km. Kemudian untuk variabel 1 Hz diseleksi secara global. Hal ini dilakukan untuk menghindari hasil interpolasi berupa NaN apabila posisi titik 20 Hz perhitungan interpolasi berada di luar rentang posisi titik 1 Hz. Variabel 1 Hz diseleksi pada antara wilayah 3.5 o LS sampai 11 o LS. Kemudian variabel 1 Hz diinterpolasi menjadi data 20 Hz menggunakan koordinat posisi lintang 20 Hz. Metode interpolasi yang digunakan adalah spline. Metode ini paling baik untuk mapatkan data hasil interpolasi yang berbeda tiap derajat lintang dan bujur. (Lee et al., 2010)

22 Baca dan Edit SGDR Jason 2 Plot Waveform Waveform Retracking Deteksi subwaveform Metode Metode OCOG Metode Ice Metode Ocean Threshold 20% & 50% Improved Threshold 20%, 30%, & 50% Perhitungan SSH Geoid EGM2008 SSH Non Retracking Periksa kualitas data SSH hasil waveform retracking SSH Stop Gambar 15. Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur

23 Untuk pengukuran nilai SSH selama tahun 2009-2012, variabel 1 Hz dan 20 Hz diseleksi secara global. Proses ini dilakukan untuk mencegah perubahan nilai posisi yang terjadi tiap cycle. Seleksi variabel 1 Hz dilakukan dengan mengambil titik radius 2 o di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengamatan. Selanjutnya seleksi variabel 20 Hz mengambil titik radius 0.01 o di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengukuran. Kemudian dilakukan proses interpolasi terhadap variabel 1 Hz terhadap posisi titik pengamatan (Tabel 5). Tahapan selanjutnya dilakukan proses retracking. 3.3.2. Waveform Retracking Pada tahapan waveform retracking, data waveform 20 Hz yang sudah seleksi berdasarkan jarak pada masing-masing stasiun akan diolah dengan menggunakan beberapa metode retracking yang akan digunakan. Beberapa metode retracking tersebut adalah OCOG, Ice, Ocean, Threshold 20% dan 50%, Improved Threshold 20%, 30%, dan 50%. Pada proses retracking, setiap metode tersebut akan menghasilkan gate retracking yang berbeda-beda. Nilai gate retracking ini digunakan untuk menghitiung besar nilai koreksi terhadap nilai range. Perhitungan besaran koreksi nilai range ditunjukan pada rumus nomor 6. Variabel range yang digunakan masing-masing metode tersebut adalah variabel tracker_20hz_ku range. Setelah mapatkan besaran d r maka dilanjutkan dengan koreksi range dengan menggunakan rumus nomor 5 (Jin-yun et al., 2010).... (10) dimana ( )...(11) : koreksi range hasil retracking adalah nilai gate width satelit : nilai gate hasil retracking, : nilai nominal tracking gate (Satelit Jason 2 = 32.5) : dimana untuk Satelit Jason 2 bernilai 3.125 ns. c : nilai kecepatan cahaya (299792458 m/s)

24 3.3.3. Perhitungan Tinggi Muka Laut (SSH) Perhitungan SSH secara umum menggunakan persamaan (2). Untuk pengukuran secara tahunan, nilai SSH dari titik-titik pengukuran 20 Hz hasil seleksi secara global diinterpolasi terhadap posisi titik pengamatan. 3.3.4. Pengecekan Kualitas SSH Hasil Retracking Pengecekan kualitas SSH hasil retracking terbagi menjadi dua yaitu menggunakan analisis IMP dan perhitungan koefisien korelasi antara SSH metode retracking dan data in situ stasiun pasang surut. Analisis IMP digunakan untuk menganalisa kualitas performa masing-masing metode retracking pada kategori jarak. Perhitungan koefisien korelasi dilakukan untuk mengecek kualitas SSH hasil metode retracking pada satu lokasi pengamatan secara tahunan. Analisis IMP digunakan untuk mengetahui performa dari masing-masing retracker dengan menghitung nilai standar deviasi (STD) dari nilai perbedaan antara nilai geoid dan SSH hasil masing-masing metode retracking. Rumus perhitungan IMP adalah sebagai berikut. (Hwang et al., 2006)... (8) dimana : = standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH Raw dengan geoid = standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH retracking dengan geoid Indikator performa metode retracking yang sesuai pada suatu wilayah adalah nilai IMP. Metode retracking yang memiliki nilai IMP tertinggi merupakan metode retracking yang sesuai di wilayah tersebut. Untuk nilai geoid yang digunakan adalah Geoid EGM2008. Geoid EGM 2008 didapatkan dari program hsynth_wgs84.exe dari National Geospatial Agency (NGA) dengan melengkapi file EGM2008_to2190_TideFree, Zeta-to-N_to2160_egm2008 dan data input. Data input berisi tentang nilai lintang dan bujur lokasi pengamatan

25 dan berformat.dat. Kemudian salin data hasil geoid tersebut dan dimasukan ke dalam workspace MATLAB. Perhitungan success rate (N) dilakukan untuk mengetahui jumlah titik pengamatan yang berhasil dilakukan proses retracking. Presisi SSH ditentukan berdasarkan nilai IMP dari masing-masing metode dan success rate (N). Berikut rumus perhitungan N. (Hwang et al., 2006) ( )...(9) dimana n = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak yang berhasil dilakukan proses retracking N = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak. Dalam perhitungan nilai koefisien korelasi antara SSH metode retracking dan data in situ stasiun pasang surut, referensi pengukuran dua variabel tersebut harus sama. Alat tide gauge dalam mengukur nilai pasang surut di suatu perairan berdasarkan referensi MSL sehingga dipergunakan nilai SLA untuk validasi nilai SSH metode retracking di masing-masing titik pengamatan. Perhitungan SLA berdasarkan pada referensi MSL. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan nomor 10 berikut.... (10) Variabel MSL terdapat pada data SGDR Jason-2. Nama variabel MSL pada data SGDR Jason 2 adalah mean_sea_surface. Nilai dan adalah pengaruh pasang surut dan pengaruh tekanan atmosferik. Pengaruh pasang surut terdiri atas komponen Solid Earth Tide Height, Geocentric Ocean Tide Height dan Pole Tide Height. Pengaruh tekanan atmosferik terdiri atas komponen Inverted Barometer Height Correction dan HF Fluctuations of The Sea Topography (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Data variabel MSL tersebut masih dalam data 1 Hz. Untuk itu dilakukan proses interpolasi data untuk mapatkan data dalam bentuk 20 Hz. Metode interpolasi data yang digunakan adalah Spline. Setelah itu dilakukan proses seleksi variabel MSL berdasarkan koordinat titik pengamatan. Hasil SSH dari metode retracking dan non retracking digunakan untuk perhitungan nilai SLA.

26 Untuk validasi SSH hasil retracking, SSH pada titik pengamatan ke-1 dan 6 digunakan sebagai contoh. Hal ini dikarenakan Stasiun Pasut terdekat dari titiktitik pengukuran SSH pada website IOC Sea Level Monitoring hanya terdapat Stasiun Pasang Surut Prigi dan Stasiun Pasang Surut Semarang. Stasiun Pasang Surut Prigi berdekatan dengan titik pengamatan ke-6 sedangkan untuk titik pengamatan ke-1 menggunakan data Stasiun Pasang Surut Semarang. Informasi mengenai kedua stasiun pasang surut ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Lokasi stasiun pengukuran pasang surut terhadap titik pengamatan Satelit Jason 2 Nama Stasiun Stasiun Semarang Stasiun Prigi Lintang ( o LS) Bujur ( o BT) Titik Pengamatan Jarak TP terhadap Stasiun (km) 6 o 56 52.44 110 o 25 12.43 1 152.25 8 o 16 59.88 111 o 43 59.88 6 79.34 Hasil pengukuran pasang surut digunakan sebagai perbandingan terhadap nilai SLA dilakukan dengan mengambil data pasang surut sesuai dengan rentang waktu pengukuran satelit altimetri pada cycle yang digunakan. Waktu pengukuran cycle terdapat pada format nama file data SGDR Jason 2. Misalnya file data SGDR Jason 2 ini JA2_GPS_2PdP018_127_20090101_125805_20090101 _135418. Berdasarkan nama file tersebut, format waktu pengukuran terdapat pada nama file data tersebut yaitu 20090101_125805_20090101_135418. Artinya pengukuran dimulai pada tanggal 1 Januari 2009 pukul 12:58:05 WIB sampai dengan tanggal 1 Januari 2009 pukul 13:54:18 WIB. Informasi waktu pengambilan data pasang surut Stasiun Semarang dan Stasiun Prigi dilampirkan pada Lampiran 3 dan 4.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Waveform Perairan Jawa Timur Bentuk waveform pada jarak 0 10 km mengalami kontaminasi atau gangguan dari daratan. Berbagai macam bentuk waveform terdapat pada jarak tersebut, seperti peak echoes (Gambar 16a), peaky + noise (Gambar 16b) dan brown + peaky echoes (Gambar 16c). Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan pada kategori lainnya di Stasiun 1. Hasil pengamatan waveform pada kategori 10 50 km (Gambar 18), 50 100 km (Gambar 19), dan 100 200 km (Gambar 20) didapatkan bahwa sebagian waveform yang teramati berbentuk brown + peaky echoes dan brown echoes (Gambar 16d). Hal ini dipengaruhi oleh jarak daratan yang jauh sehingga pengaruh daratan terhadap bentuk waveform sangat kecil. Sinyal pantulan dari daratan tidak masuk pada wilayah footprint satelit sehingga pantulan yang diterima satelit berasal dari laut. Ini dibuktikan juga dengan papat Gommenginger et al.(2010), bahwa 94% bentuk waveform seperti brown waveforms akan ditemukan minimal 15 km dari pantai. Pola bentuk waveform pada stasiun lain sama dengan yang diamati di Stasiun 1. Hasil pengamatan bentuk waveform per kelompok jarak di Stasiun 1 ditunjukan pada Gambar 17 sampai dengan Gambar 20. Bentuk waveform pada stasiun lain dilampirkan pada Lampiran 1. (a) (b) (c) (d) Gambar 16. Waveform (a) peak echoes, (b) peaky + noise, (c) brown + peaky echoes dan (d) brown echoes perairan Jawa Timur 27

28 Gambar 17. Waveform Stasiun 1 pada jarak 0 10 km. Gambar 18. Waveform Stasiun 1 pada jarak 10 50 km.

29 Gambar 19. Waveform Stasiun 1 pada jarak 50 100 km. Gambar 20. Waveform Stasiun 1 pada jarak 100 200 km.

30 4.2. Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking dan Non Retracking Hasil waveform retracking pada kategori jarak dari pinggir pantai 0 10 km, 10 50 km, 50 100 km, dan 100 200 km setiap stasiun berturut-turut ditunjukan pada Tabel 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan keempat tabel tersebut metode retracking yang bekerja paling optimal menggunakan threshold level sebesar 20% dan 30% seperti, metode ice, threshold 20%, improved threshold 20% dan improved threshold 30% pada jarak 0 200 km dari pinggir pantai. Metodemetode ini memiliki nilai presentase IMP tertinggi dan STD terah dibandingkan antara metode waveform retracking lain dengan metode waveform tanpa retracking. Hasil pengamatan performa metode waveform retracking pada kategori jarak 0 10 km sesuai dengan papat Davis (1997). Namun ditemukan hasil yang berbeda pada kategori jarak 10 200 km. Menurut Davis (1997), penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai (0 10 km dari garis pantai) sedangkan untuk jarak lebih dari 10 km, metode threshold dan improved threshold waveform retracking menggunakan threshold level 50 %. Pada penelitian waveform retracking Satelit Jason 2 di Perairan California, threshold level 50% dan metode ocean tidak bekerja dengan optimal (Lee et al., 2010). Metode threshold 50% tidak mampu menunjukan perubahan performa di wilayah laut dalam, sedangkan metode yang menggunakan threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan dalam. Selain itu menurut Deng dan Featherstone (2005), threshold level 50% tidak selalu bekerja optimal pada wilayah perairan, khususnya perairan pantai. Penggunaan 6 (enam) stasiun masih kurang sahih untuk menilai performa metode retracking untuk keseluruhan wilayah laut di Bumi. Namun jika pengamatan hanya ditujukan pada suatu wilayah perairan, misalnya perairan Jawa Timur maka hasil pengamatan performa metode waveform retracking yang diperoleh sesuai dengan kondisi perairan dan bentuk pantai di wilayah tersebut. Penggunaan metode threshold dan improved threshold dengan threshold level 20% dan 30%, sesuai pada kategori jarak 0 10 km di wilayah pantai Jawa Timur. Hal ini dikarenakan bentuk waveform yang ditemukan pada kategori jarak ini didominasi oleh bentuk peaky echoes dan peaky + noise echoes. Menurut

31 Hwang et al. (2006), metode threshold dapat bekerja optimal jika waveform mengandung satu slope sedangkan untuk waveform dengan lebih dari satu slope akan lebih baik menggunakan metode improved threshold. Bentuk waveform yang mengandung satu slope atau lebih akan ditemukan di wilayah perairan pantai, seperti ditunjukan oleh peak echoes dan peaky + noise yang ditemukan pada jarak 0 10 km. Peak echoes memiliki satu slope, sedangkan peaky + noise memiliki lebih dari satu slope. Oleh karena itu metode threshold dan improved threshold akan bekerja optimal pada jarak 0 10 km. Metode ocean menghasilkan performa tinggi pada Stasiun 1, Stasiun 3 dan Stasiun 5. Namun metode ocean tidak sukses melakukan retracking di wilayah dekat dengan daratan. Nilai presentase success rate metode ocean pada masingmasing stasiun, yaitu sebesar 50% (Stasiun 1), 52.77% (Stasiun 3) dan 83.78% (Stasiun 5). Sebaliknya metode lain memiliki nilai presentase success rate sebesar 100%. Menurut Lee et al. (2010), bentuk waveform non ocean like tidak mampu mengikuti model ocean sehingga beberapa nilai pengukuran hilang ketika mekati daratan. Nilai SSH ocean hilang di wilayah dekat pantai pada jarak 0 10 km di Stasiun 3 (Gambar 21). Data SSH yang hilang ini menyebabkan penurunan success rate metode ocean dalam proses waveform retracking. Gambar 21. Visualisasi SSH metode waveform retracking, non retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0 10 km

Tabel 7. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 10 km Stasiun Metode 1 2 3 4 5 6 Waveform STD STD STD STD IMP STD STD Retracking IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (m) (%) (m) (m) Raw 1.5498-2.6027-6.7119-0.6174-6.6684-0.1782 - Ocean 0.1183 92.3539* 2.8005-20.7274 0.8146 87.8823** 0.1278 80.9596 0.2008 97.0291*** 0.7421 4.9977 OCOG 1.5135 2.3300 2.8573-9.7817 1.7508 73.9152 0.3159 52.9467 1.1473 82.7955 1.8704-160.4156 Ice 0.2142 86.1849 1.4157 45.6069 1.0361 84.5634 0.0733 89.0786 0.8925 86.6156 0.6162 14.2008 Threshold 0.2618 83.1103 0.7033 72.9782 1.1130 83.4172 0.1368 79.6233 1.7939 73.0982 1.9943-177.6744 20% Threshold 0.2712 82.4983 1.9520 24.9989 1.0044 85.0361 0.0856 87.2545 0.8968 86.5515 0.6667 7.1683 50% Improved 0.2142 86.1849 0.8874 65.9051 0.9830 83.3572 0.0650 90.3219 0.8707 86.9435 2.2999-220.2174 Threshold 20% Improved Threshold 30% 0.2753 82.2355 1.4772 44.3936 0.9695 85.5550 0.0744 88.9222 0.8972 86.5455 0.6443 10.2902 Improved Threshold 50% 0.3491 77.4715 2.1106 18.9082 00.9865 85.3019 0.0964 85.6452 0.9162 86.2606 0.6987 2.7218 Keterangan : * success rate 50% ** success rate 52.77% *** success rate 83.78% IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 32

Tabel 8. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 10 50 km Stasiun Metode 1 2 3 4 5 6 Waveform STD STD STD IMP STD STD STD Retracking IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (%) (m) (m) (m) Raw 0.9275-0.1074-0.1621-0.3447-0.5430-0.3124 - Ocean 0.0604 93.5055 0.0701 34.0709 0.0672 58.5634 0.0880 74.4713 0.0818 84.9398 0.0804 74.2645 OCOG 0.1669 82.0054 0.1702-58.4787 0.1848-14.0207 0.2448 28.9728 0.0674 87.5861 0.2802 10.3062 Ice 0.0521 94.3895 0.0655 39.0177 0.0578 64.3731 0.0605 82.4345 0.0674 87.5861 0.0624 80.0414 Threshold 0.0492 94.6916 0.0640 40.4539 0.0644 60.3043 0.0554 83.9373 0.0521 90.4041 0.0687 78.0010 20% Threshold 0.0582 93.7274 0.0664 38.1490 0.0608 62.4913 0.0768 77.7065 0.0805 85.1718 0.0821 73.7087 50% Improved 0.0494 94.6701 0.0642 40.2527 0.0614 62.1448 0.0568 83.5367 0.0603 88.8949 0.0710 77.2702 Threshold 20% Improved 0.0526 94.3326 0.0656 38.9686 0.0565 65.1525 0.0630 81.7361 0.0723 86.6794 0.0700 77.5892 Threshold 30% Improved Threshold 50% 0.0597 93.5656 0.0672 37.4854 0.0628 61.2708 0.0812 76.4580 0.0846 84.4141 0.0880 71.8363 Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 33

Metode Waveform Retracking Tabel 9. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 50 100 km Stasiun 1 2 4 5 6 STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) Raw 0.0774-0.0822-0.1594-0.0969-0.1551 - Ocean 0.0635 18.5097 0.0625 23.9330 0.0938 41.1438 0.0790 18.3969 0.0809 47.8243 OCOG 0.1790-130.2728 0.1603-95.0413 0.2142-34.3814 0.1918-98.0681 0.1800-16.0694 Ice 0.0566 28.0873 0.0589 28.3337 0.0729 54.2593 0.0638 34.1311 0.0646 58.3608 Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50% Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 0.0664 18.1394 0.0592 28.0084 0.0700 56.0973 0.0591 38.9983 0.0668 56.9066 0.0501 36.0558 0.0538 34.5108 0.0855 46.3530 0.0816 15.7865 0.0862 44.4334 0.0644 18.1394 0.0595 27.6157 0.0714 55.2168 0.0627 35.2240 0.0678 56.2586 0.0523 33.5395 0.0545 33.7573 0.0745 53.2647 0.0745 23.0931 0.0726 53.1571 0.0514 34.3243 0.0558 32.1255 0.0906 43.1836 0.0853 11.9311 0.0901 41.8870 34

Tabel 10. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 100 200 km Stasiun Metode 1 2 3 4 5 6 Waveform STD STD STD STD STD STD Retracking IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (m) (m) (m) Raw 0.1309-0.0936-0.0836-0.1860-0.1070-0.1435 - Ocean 0.0667 49.0219 0.0604 35.4043 0.0632 24.4242 0.1168 37.2154 0.0778 27.2811 0.0807 43.7895 OCOG 0.1756-33.9964 0.1699-81.5933 0.1749-109.2168 0.1948-4.7420 0.1712-60.0754 0.1965-36.8912 Ice 0.0535 59.0490 0.0513 45.1650 0.0551 34.1025 0.1075 42.2332 0.0707 33.9107 0.0743 48.2206 Threshold 0.0578 55.8466 0.0565 39.5896 0.0501 40.0648 0.1012 45.6105 0.0650 39.2739 0.0646 54.9740 20% Threshold 0.0560 57.1440 0.0472 49.5373 2.0064 35.8743 0.1150 38.1927 0.0844 21.1015 0.0833 41.9631 50% Improved Threshold 20% 0.5559 57.2727 0.5610 40.0197 0.0628 37.8547 0.1036 44.3068 0.0662 38.1236 0.0720 49.8220 Improved Threshold 30% 0.0516 60.5042 0.04083 48.3896 0.0540 35.4217 0.1104 40.6584 0.0771 27.9164 0.0794 44.6861 Improved Threshold 50% 0.0586 55.1756 0.0496 46.9889 0.0555 33.5868 0.1175 36.8066 0.0875 18.2333 0.0906 36.8708 Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 35

36 Metode waveform retracking mampu bekerja dengan baik di perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur berdasarkan nilai STD metode waveform retracking yang lebih kecil terhadap STD metode waveform tanpa retracking (Raw). Hal ini dibuktikan dengan grafik SSH untuk jarak 0 10 km (Gambar 22), 10 50 km (Gambar 23), 50 100 km (Gambar 24), dan 100 200 km (Gambar 25) di Stasiun 1. Nilai SSH dari metode waveform retracking tidak mengalami perubahan drastis ketika mekati wilayah pantai dibandingkan dengan SSH metode waveform tanpa retracking. SSH metode waveform tanpa retracking (ditunjukan sebagai SSH Raw) mengalami perubahan drastis ketika mekati wilayah pantai akibat pengaruh daratan yang mengganggu pengukuran nilai range. Gambar 22. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 0 10 km

37 Gambar 23. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 10 50 km Gambar 24. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 50 100 km

38 Gambar 25. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 100 200 km 4.3 Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Periode 2009-2012 Selain melakukan waveform retracking berdasarkan kategori jarak pada masing-masing stasiun, proses retracking juga dilakukan pada satu titik selama periode 2009 2012 pada masing-masing stasiun untuk melihat performa metode retracking secara tahunan dan pengaruh presisi antara SSH metode waveform retracking dengan SSH metode waveform tanpa retracking (Raw). Hasil waveform retracking pada enam titik pengukuran selama bulan Januari 2009 hingga Oktober 2012 disajikan pada Tabel 11. Lokasi pengukuran enam titik pengamatan tersebut diperlihatkan pada Gambar 14. Berdasarkan Tabel 11, metode waveform tanpa retracking menghasilkan nilai SSH yang memiliki presisi rah selama periode 2009 2012 pada semua titik pengukuran. Hal ini didasarkan kepada nilai STD yang lebih kecil dan nilai presentase IMP yang lebih besar dari metode waveform retracking dibandingkan dengan STD dan IMP metode waveform tanpa retracking (Raw) pada semua titik pengukuran.

39 Metode OCOG tidak bekerja optimal pada titik pengukuran ke-1, 2, 3 dan 6. Nilai presentase IMP metode ini sangat kecil pada keempat titik pengukuran tersebut. (Tabel 11). Berdasarkan statisitik hasil waveform retracking pada bagian 4.2, metode OCOG dan metode threshold 50% juga tidak bekerja optimal pada kategori jarak 0 10 km maupun kategori jarak 10 50 km. Hal ini dikarenakan, metode OCOG tidak berjalan dengan baik ketika waveform kontaminasi noise (Deng et al., 2002). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nilai STD dan IMP di antara metode retracking secara tahunan selama periode 2009 2012 diperoleh bahwa metode ice, threshold 20%, improved threshold 30% dan improved threshold 20% bekerja optimal pada proses retracking di enam titik pengukuran. Keempat metode waveform retracking tersebut memiliki nilai presentase IMP terbesar pada masing-masing titik pengukuran (Tabel 11). Hal ini sesuai dengan papat Davis (1997) bahwa penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai (0 10 km dari garis pantai). Keenam titik pengukuran ini berada pada kategori 0 10 km. Selain itu juga penelitian mengenai waveform retracking Satelit Jason 2 di Perairan California, metode waveform retracking yang menggunakan threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan pantai. (Lee et al., 2010) Hasil pengukuran terhadap rentang SSH selama tahun 2009 2012 dari metode waveform retracking teroptimal pada masing-masing titik pengukuran didapatkan bahwa nilai rentang SSH pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturutturut adalah 30.87 33.45 m, 32.13 33.16 m, 34.38 35.08 m, 32.32 35.13 m, 30.17 32.23 m, dan 26.31 27.08 m. Kemudian nilai rata-rata SSH selama tahun 2009 2012 pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturut-turut sebesar 33.13 m, 32.43 m, 35.76 m, 32.56 m, 30.89 m, dan 27.58 m. Berdasarkan Gambar 26 hingga Gambar 31, tr nilai SSH tidak terlalu signifikan peningkatan atau penurunan SSH selama tahun 2009 2012. Hal ini dibuktikan dari hasil perhitungan tr dari SSH metode waveform retracking teroptimal. Hasil perhitungan tr nilai SSH untuk periode 2009 2012 pada titik pengamatan 1 6 di perairan Jawa Timur berturut-turut sebesar 0.6, 0.2, -1.6, 0.2, 0.4, dan -1.4 mm/tahun.

Tabel 11. Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun 2009 2012 Titik Pengamatan Metode 1 2 3 4 5 6 Waveform STD IMP STD STD IMP STD IMP STD IMP STD Retracking IMP (%) IMP (%) (m) (%) (m) (m) (%) (m) (%) (m) (%) (m) Raw 2.8445-0.7003-3.1353-0.8795-4.5747-0.7607 - Ocean 1.0093 64.5179 0.2369 66.192 0.8668 86.6792 0.3044 64.3873 0.3044 93.3470 0.2562 65.3176 OCOG 2.1056 25.9747 3.2156-383.6195 0.9431 69.9185 0.5043 42.6621 0.4739 89.6411 0.5620 20.4786 Ice 0.3123 89.0206 0.2550 63.5787 0.2922 90.6791 0.2419 72.4927 0.3099 93.2265 0.2445 66.3954 Threshold 20 % 0.4579 83.2678 0.1971 71.8612 0.2983 90.4854 0.2515 71.3995 0.3086 93.2532 0.2395 66.1043 Threshold 50 % 1.8211 35.978 0.1981 71.7126 0.3047 90.2825 0.2443 72.2254 0.3137 93.1423 0.7990-13.0673 Improved 0.5182 81.7836 0.2110 69.8643 0.2952 90.5855 0.2407 72.6286 0.2920 93.6164 0.2887 59.1535 Threshold 20 % Improved 0.5005 82.4051 0.2102 69.9841 0.2921 90.6835 0.2417 72.5192 0.2980 93.4855 0.2386 66.2431 Threshold 30 % Improved Threshold 50 % 2.0925 26.4365 0.2819 59.7449 0.2966 90.5397 0.2592 70.5225 0.3037 93.3605 0.2430 65.6207 Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 40

41 Gambar 26. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 1 selama tahun 2009-2012 Gambar 27. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 2 selama tahun 2009-2012

42 Gambar 28. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 3 selama tahun 2009-2012 Gambar 29. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 4 selama tahun 2009-2012

43 Gambar 30. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 5 selama tahun 2009-2012 Gambar 31. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 6 selama tahun 2009-2012

44 4.4 Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Periode 2009 2012 Nilai koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran stasiun pasang surut in situ terhadap nilai SLA hasil waveform retracking ditampilkan pada Tabel 12. Metode ice pada titik pengukuran ke-1 dan 6 memiliki nilai koefisien korelasi terbesar, yaitu sebesar 0.78 dan 0.95. Hal ini berarti data pasang surut pada Stasiun Pasut Semarang dan Stasiun Pasut Prigi berhubungan erat dengan SLA metode ice di Stasiun 1 dan Stasiun 6. Perubahan nilai pasang surut pada Stasiun Semarang diikuti dengan perubahan nilai SLA yang dihasilkan metode ice selama bulan Juni hingga Oktober Tahun 2012 pada titik pengukuran ke-1. Hal ini ditunjukan pada Gambar 32. Jika Gambar 33 diamati secara cermat, perubahan nilai pasang surut di Stasiun Prigi diikuti oleh SLA metode ice selama tahun 2009 (Stasiun 6). Untuk SSH dari metode ice yang dihasilkan selama tahun 2009 2012 untuk Stasiun ke-1 dan 6 memiliki nilai presisi yang tinggi. Selain itu juga berdasarkan hasil validasi kedua titik pengukuran tersebut yang mewakili titik pengukuran lainnya, dapat juga disimpulkan bahwa SSH metode ice (Stasiun 1 dan 6), threshold 20% (Stasiun 2), improved threshold 20% (Stasiun 3), dan improved threshold 30% (Stasiun 4 dan 5) menghasilkan SSH paling akurat. Tabel 12. Koefisien korelasi dan standar deviasi antara data pasang surut in situ dengan SLA hasil waveform retracking Stasiun 1 Stasiun 6 Metode Waveform Koefisien Koefisien Retracking STD (m) STD (m) Korelasi Korelasi OCOG 0.24 0.21 0.49 0.45 Ice 0.36 0.78 0.82 0.95 Ocean MLE 4 0.09 0.39 0.79 0.63 Threshold 20% 0.26 0.69 0.79 0.91 Threshold 50% 0.44 0.71 0.15-0.05 Impoved Threshold 0.12 0.62 0.71 0.85 20% Improved Threshold 0.21 0.61 0.77 0.88 30% Improved Threshold 50% 0.08 0.38 0.77 0.74

45 Gambar 32. Perbandingan nilai SLA metode waveform retracking terhadap data in situ pasang surut bulan Mei - Oktober 2012 di Stasiun 1 Gambar 33. Perbandingan nilai SLA metode waveform retracking terhadap data in situ pasang surut bulan Januari - Desember 2012 di Stasiun 6

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pengamatan terhadap performa metode waveform retracking tiap kategori jarak setiap stasiun pengamatan diperoleh performa tiap metode waveform retracking berbeda. Penggunaan threshold level 20% dan 30% pada metode threshold paling sesuai untuk wilayah perairan Jawa Timur. Hasil validasi pengukuran SSH selama periode 2009 2012 terhadap data pasang surut in situ menunjukan bahwa metode waveform retracking menghasilkan pengukuran SSH yang lebih akurat. Hasil pengukuran terhadap rentang SSH selama tahun 2009 2012 dari metode waveform retracking teroptimal untuk Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturut-turut adalah 30.87 33.45 m, 32.13 33.16 m, 34.38 35.08 m, 32.32 35.13 m, 30.17 32.23 m, dan 26.31 27.08 m. Nilai rata-rata SSH selama tahun 2009 2012 di Stasiun 1 sampai Stasiun 6 adalah 33.13 m, 32.43 m, 35.76 m, 32.56 m, 30.89 m, dan 27.58 m. 5.2 Saran Perlu dilakukan pengamatan performa metode threshold dan improved threshold yang menggunakan threshold level 20% dan 30% untuk wilayah perairan lain di Indonesia. Selain itu perlu ditambahkan rentang waktu pengamatan SSH untuk mapatkan rentang, rata-rata, dan tr nilai SSH yang baik dan lebih mekati kenyataan di alam. Kemudian penentuan titik pengukuran harus disesuaikan dengan lokasi pasang surut sehingga proses validasi leboih optimal. 46

DAFTAR PUSTAKA Abidin HZ. 2001. Geodesi Satelit. Jakarta:PT. Pradnya Paramita Benveniste J. 2010. Radar Altimetry:Past, Present, Future-Coastal Altimetry. New York:Springer Brooks RL, Lockwood DW, dan Lee JE. 1998. Land effects on TOPEX radar altimeter measure-ments in Pacific Rim Coastal Zones. Remote Sensing of the Pacific Ocean by Satellites. 1(1):175 198 Chelton DB, Ries JC, Haines BJ, Fu L-L, Callahan PS, dan Vignudelli S. 2001. Satellite Altimetry. In: Fu L-L, Cazenave A (eds). Satellite Altimetry and Earth Sciences: a handbook of techniques and application. San Diego:Academic CNES, EUMETSAT, JPL, NOAA. 2011. OSTM/Jason 2 Products Handbook. http://www.aviso.oceanobs.com/fileadmin/documents/ data/tools/hdbk_j2.pdf. [1 Juli 2012] Davis CH. 1995. Growth of the Greenland ice sheet: a performance assessment of altimeter retracking algorithms. IEEE Trans Geosei Remote Sens[Internet].[10 Oktober 2012];33(5):1108-1116 Davis CH. 1997. A Robust Threshold Retracking Algorithm For Measuring Ice- Sheet Surface Elevation Change From Satellite Radar Altimeter. IEEE Trans Geosensing Remote Sensing. Internet. [10 Oktober 2012];35(4):974-979 [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2011. Provinsi Jawa Timur. http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/35/jawatimur. [18 Desember 2012] Deng, X. 2003. Improvement of Geodetic Parameter Estimation in Coastal Regions from Satellite Radar Altimetry[Tesis]. Kent St(AU): Curtin University of Technology. Deng X, W.E. Featherstone. 2005. A coastal retracking system for satellite radar altimetry waveforms : application to ers-2 around australia. Journal of Geophysical Research. 111(1). 47

48 Gommenginger C, P Thibaut, L. Fenoglio-Marc, G. Quartly, X. Deng J. Gomez- Enri, P. Chellanor, dan Y. Gao. 2010. Retracking Altimeter Waveforms Near the Coasts. In: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, dan Benveniste J. Coastal Altimetry. New York:Springer Handoko EY. 2004. Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam Bidang Kelautan. Surabaya: ITS Press Hwang C, Guo JY, Deng XL, Hsu HY, dan Liu YT. 2006. Coastal Gravity Anomalies From Retracked Geosat/Gm Altimetry:Improvement, Limitation And The Role of Airborne Gravity Data. J Geod. Internet. 30 Mei 2006;[10 Oktober 2012]; 80(1):204-216. Jin-Yun GUO, Yon-Gang GAO, Xiao-Tao C, Cheinway H. 2010. Optimized Threshold Algorithm of Envisat Waveform Retracking over Coastal Sea. Chinese Journal of Geophysics. 53(2):231-239 Lee H, William Emery, C.K. Shum, Stephant Calmant, Xiaoli Deng, Chung Yen Kuo, Carolyn Roesler, Yuchan Yi. 2010. Validation of Jason-2 Altimeter Data by Waveform Retracking over California Coastal Ocean. Marine Geodesy. 33(S1):304-316 Martin TV, Zwally HJ, Brenner AC, Bindschadler RA. 1983. Analysis And Retracking of Continen-Tal Ice Sheet Radar Altimeter Waveform. J Geophys Remote sensing. 8(1):1608 1616 Wingham DJ, Rapley CG, dan Grififths H. 1986. New techniques in satellite tracking system. In proceeding of IGARSS 86 symposium, Zurich, pp 1339-1344 Yang L, Lin M, Bai Y, dan Pan D. 2008. Retracking Jason1 Altimeter Waveform over China Coastal Zone. Microwave Remote Sensing of The Atmosphere and Environment. Internet. 2008; [10 Oktober 2012];7154(6).

LAMPIRAN Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur 49

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 50

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 51

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 52

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 53

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 54

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 55

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 56

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 57

Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 58

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur 59

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 60

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 61

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 62

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 63

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 64

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 65

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 66

Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 67

68 Lampiran 3. Data Stasiun Pasut Semarang untuk validasi di Stasiun 1 selama bulan April hingga Oktober 2012 Waktu SSH (m) 15/05/2012 2:03 0.566 25/05/2012 0:11 0.64 03/06/2012 22:10 0.619 13/06/2012 20:08 0.534 23/06/2012 18:07 0.173 03/07/2012 16:05 0.192 13/07/2012 14:02 0.151 23/07/2012 12:02 0.252 02/08/2012 10:01 0.299 12/08/2012 7:49 0.356 22/08/2012 5:58 0.495 01/09/2012 3:57 0.599 11/09/2012 1:56 0.425 20/09/2012 23:54 0.523 30/09/2012 21:52 0.811 10/10/2012 19:51 0.886 20/10/2012 17:49 0.818

69 Lampiran 4. Data Stasiun Pasut Prigi untuk validasi di Stasiun 6 selama bulan Januari hingga Desember 2012 Waktu SSH (m) 01/01/2009 13:16 2.184 10/01/2009 11:14 2.741 21/01/2009 9:13 2.267 31/01/2009 7:11 2.044 10/02/2009 5:10 1.914 20/02/2009 3:08 1.888 02/03/2009 1:07 1.875 11/03/2009 23:05 1.678 21/03/2009 21:04 1.62 31/03/2009 19:02 1.738 10/04/2009 17:01 1.825 20/04/2009 14:59 1.565 10/05/2009 10:56 1.24 20/05/2009 8:56 2.231 30/05/2009 6:53 3.769 09/06/2009 4:52 3.436 19/06/2009 2:51 2.851 29/06/2009 0:59 2.511 08/07/2009 22:48 2.928 18/07/2009 22:48 3.599 28/07/2009 18:46 3.629 07/08/2009 16:43 3.368 17/08/2009 14:42 2.843 27/08/2009 12:40 2.667 06/09/2009 10:39 2.62 16/09/2009 8:37 2.767 26/09/2009 6:36 3.424 06/10/2009 4:34 3.597 16/10/2009 2:33 3.478 26/10/2009 0:31 2.76 04/11/2009 22:30 2.231 14/11/2009 20:28 2.745 24/11/2009 18:27 3.99 04/12/2009 16:25 4.51 14/12/2009 14:24 3.951 24/12/2009 12:23 3.126

70 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking %Sintak ini akan digunakan dalam tahap pengolahan data altimetri satelit %Jason 2. Kegunaan sintak ini ialah mengukur tinggi muka laut dari titik %awal masing-masing stasiun hingga 50 km menjauh dari daratan. %Sintak ini dikembangkan oleh Kadek Surya Sumerta (Mahasiswa S1 Ilmu dan %Teknologi Kelautan, IPB) %% Menentukan direktori file dan memilih file clear;clc; cprintf('k','*welcome Users!*\n'); cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc','choose your nc file!'); %% Baca Variabel-variabel didalam data satelit lat = ncread(nc,'lat'); lat_20hz = ncread(nc,'lat_20hz'); lon = ncread(nc,'lon'); lon_20hz = ncread(nc,'lon_20hz'); waveforms_20hz_ku = ncread(nc,'waveforms_20hz_ku'); wvf_ind = ncread(nc,'wvf_ind'); surface_type = ncread(nc,'surface_type'); time = ncread(nc,'time'); alt = ncread(nc,'alt'); alt_echo_type = ncread(nc,'alt_echo_type'); alt_20hz = ncread(nc,'alt_20hz'); range_ku = ncread(nc,'range_ku'); range_ku_mle3 = ncread(nc,'range_ku_mle3'); range_20hz_ku= ncread(nc,'range_20hz_ku'); range_20hz_ku_mle3= ncread(nc,'range_20hz_ku_mle3'); ice_range_20hz_ku= ncread(nc,'ice_range_20hz_ku'); tracker_20hz_ku = ncread(nc,'tracker_20hz_ku'); tracker_diode_20hz_ku = ncread(nc,'tracker_diode_20hz_ku'); geoid = ncread(nc,'geoid'); agc_20hz_ku = ncread(nc,'agc_20hz_ku'); meanseasurface=ncread(nc,'mean_sea_surface'); load_tidel_sol1= ncread(nc,'load_tide_sol1'); rad_surf_type=ncread(nc,'rad_surf_type'); doppler_corr_ku=ncread(nc,'doppler_corr_ku'); modeled_instr_corr_range_ku=ncread(nc,'modeled_instr_corr_range_ku'); model_dry_tropo_corr = ncread(nc,'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr = ncread(nc,'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr = ncread(nc,'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr = ncread(nc,'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide = ncread(nc,'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1 = ncread(nc,'ocean_tide_sol1'); pole_tide = ncread(nc,'pole_tide'); sea_state_bias_ku = ncread(nc,'sea_state_bias_ku'); sea_state_bias_ku_mle3 = ncread(nc,'sea_state_bias_ku_mle3'); iono_corr_alt_ku = ncread(nc,'iono_corr_alt_ku'); iono_corr_alt_ku_mle3 = ncread(nc,'iono_corr_alt_ku_mle3'); rad_wet_tropo_corr =ncread(nc,'rad_wet_tropo_corr');

71 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) %% Menentukan titik awal dan akhir pengamatan pada masing-masing stasiun %DMS atau DD cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Give your latitude poin position in DMS(Degrees, Minutes, and Seconds)!\n'); %dmsordd = input... %('Type 1 for DMS or 2 DD\n >> '); %if dmsordd == 1; point1a = input... ('1a. Type degree value for the first point!\n >> '); point1b = input... ('1b. Type minute value for the first point!\n >> '); point1c = input... ('1c. Type second value for the first point!\n >> '); x1 = point1a; y1 = point1b/60; if point1a < 0 y1=y1*-1; z1 = point1c/3600; if point1a < 0 z1=z1*-1; point1 = (x1+y1+z1); %% Bagian arah laut dari pantai yang akan diamati cprintf('*green','==================================================================\n'); ad = input(['wilayah laut yang ingin Anda amati mengarah ke Utara atau Selatan?\n',... 'jika Utara = 1 dan Selatan = 2. Ketik!\n >> ']); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); if ad==1 Arah='Utara'; elseif ad==2 Arah='Selatan'; %% Seleksi wilayah lintang 20Hz berdasarkan 5 kelompok J10u=point1+0.09009; J10s=point1-0.09009; J50u=point1+0.4505; J50s=point1-0.4505; J100u=point1+0.9009; J100s=point1-0.9009; J200u=point1+1.8018; J200s=point1-1.8018; if lat_20hz(1,1) < 0 && ad == 1; %Ascing, laut bagian utara pulau [r1,c1]= find(lat_20hz >= (point1) & lat_20hz <= (J10u)); %Stasiun 1 [r2,c2]= find(lat_20hz > (J10u) & lat_20hz <= (J50u));%Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz > (J50u) & lat_20hz <= (J100u)); %Stasiun 3 [r4,c4]= find(lat_20hz > (J100u) & lat_20hz <= (J200u)); %Stasiun 3 elseif lat_20hz(1,1)<0 && ad == 2; %Ascing, laut bagian selatan pulau [r1,c1]= find(lat_20hz <= (point1) & lat_20hz >= (J10s)); %Stasiun 2 [r2,c2]= find(lat_20hz <= (J10s) & lat_20hz >= (J50s)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz <= (J50s) & lat_20hz >= (J100s)); %Stasiun 2 [r4,c4]= find(lat_20hz <= (J100s) & lat_20hz >= (J200s)); %Stasiun 2 elseif lat_20hz(1,1) > 0 && ad == 1; [r1,c1]= find(lat_20hz >= (point1) & lat_20hz <= (J10u)); %Stasiun 2

72 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) [r2,c2]= find(lat_20hz >= (J10u) & lat_20hz <= (J50u)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz >= (J50u) & lat_20hz <= (J100u)); %Stasiun 2 [r4,c4]= find(lat_20hz >= (J100u) & lat_20hz <= (J200u)); %Stasiun 2 elseif lat_20hz(1,1) > 0 && ad == 2; [r1,c1]= find(lat_20hz <= (point1) & lat_20hz>= (J10s)); %Stasiun 1 [r2,c2]= find(lat_20hz <= (J10s) & lat_20hz >= (J50s)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz <= (J50s) & lat_20hz>= (J100s)); %Stasiun 3 [r4,c4]= find(lat_20hz <= (J100s) & lat_20hz>= (J200s)); %Stasiun 3 %menyatukan kelompok2 lintang ke dalam satu variabel r row={[r1];[r2];[r3];[r4]}; col={[c1];[c2];[c3];[c4]}; %Seleksi Variabel 20hz sesuai dengan Point of Interest (POI) for i=1:length(row) for j=1:length(row{i,1}) latkelompok_20hz{i,1}(j,1)=lat_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); lonkelompok_20hz{i,1}(j,1)=lon_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); altkelompok_20hz{i,1}(j,1)=alt_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); agckelompok_20hz{i,1}(j,1)=agc_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); trackerkelompok_20hz{i,1}(j,1) =tracker_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); tracker_diode_kelompok_20hz{i,1}(j,1) = tracker_diode_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); waveformakelompok_20hz{i,1}(:,j)=waveforms_20hz_ku(:,(row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); rangekelompok_20hz{i,1}(j,1) =range_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); rangekelompok_20hz_ku_mle3{i,1}(j,1) =range_20hz_ku_mle3((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); ice_range_20hz_kukelompok{i,1}(j,1) =ice_range_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); alt_echo_typekelompok{i,1}(j,1) =alt_echo_type((col{i,1}(j,1))); rad_surf_typekelompok{i,1}(j,1) =rad_surf_type((col{i,1}(j,1))); for i=1:length(row) size_wf{i,1}=size(waveformakelompok_20hz{i,1}); for j=1:size_wf{i,1}(1,2) waveformkelompok_20hz{i,1}{j,1}=waveformakelompok_20hz{i,1}((1:104),j); %% Mengambil data geophysical correction 1Hz if lat_20hz(1,1) < 0 ; %Ascing, laut bagian utara pulau [r1geo,c1geo]= find(lat >= -12 & lat<= -3.5); %Stasiun 1 elseif lat_20hz(1,1) > 0 ; [r1geo,c1geo]= find(lat <=-3.5 & lat>=-12); %Stasiun 2 doppler_corr_kelompok= doppler_corr_ku(r1geo,1); modeled_instr_corr_range_kelompok= modeled_instr_corr_range_ku(r1geo,1); ocean_tide_sol1_kelompok = ocean_tide_sol1(r1geo,1); model_dry_tropo_corr_kelompok = model_dry_tropo_corr(r1geo,1); hf_fluctuations_corr_kelompok = hf_fluctuations_corr(r1geo,1); inv_bar_corr_kelompok = inv_bar_corr(r1geo,1); solid_earth_tide_kelompok = solid_earth_tide(r1geo,1); pole_tide_kelompok = pole_tide(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok = sea_state_bias_ku(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok = iono_corr_alt_ku(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok_mle3 = sea_state_bias_ku_mle3(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3 = iono_corr_alt_ku_mle3(r1geo,1); rad_wet_tropo_corr_kelompok = rad_wet_tropo_corr(r1geo,1); meanseasurface_kelompok = meanseasurface(r1geo,1); load_tidel_sol1_kelompok = load_tidel_sol1(r1geo,1); doppler_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2)= lat(r1geo,1);

73 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) modeled_instr_corr_range_kelompok(1:(length(r1geo)),2)= lat(r1geo,1); ocean_tide_sol1_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); model_dry_tropo_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); hf_fluctuations_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); inv_bar_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); solid_earth_tide_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); pole_tide_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); rad_wet_tropo_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); meanseasurface_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); load_tidel_sol1_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); doppler_corr_kelompok(isnan(doppler_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; modeled_instr_corr_range_kelompok(isnan(modeled_instr_corr_range_kelompok(:,1)),:)=[]; ocean_tide_sol1_kelompok(isnan(ocean_tide_sol1_kelompok(:,1)),:)=[]; model_dry_tropo_corr_kelompok(isnan(model_dry_tropo_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; hf_fluctuations_corr_kelompok(isnan(hf_fluctuations_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; inv_bar_corr_kelompok(isnan(inv_bar_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; solid_earth_tide_kelompok(isnan(solid_earth_tide_kelompok(:,1)),:)=[]; pole_tide_kelompok(isnan(pole_tide_kelompok(:,1)),:)=[]; sea_state_bias_ku_kelompok(isnan(sea_state_bias_ku_kelompok(:,1)),:)=[]; iono_corr_alt_ku_kelompok(isnan(iono_corr_alt_ku_kelompok(:,1)),:)=[]; rad_wet_tropo_corr_kelompok(isnan(rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; meanseasurface_kelompok(isnan(meanseasurface_kelompok(:,1)),:)=[]; load('geophysical Correction127.mat') %% Interpolasi data 1hz menjadi data 20hz for i=1:length(row) ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{i,1} = interp1(ocean_tide_sol1_kelompok(:,2),ocean_tide_sol1_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); geoidkelompok_20hz{i,1} = interp1(geoidglobal(:,1),geoidglobal(:,3),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(model_dry_tropo_corr_kelompok(:,2),model_dry_tropo_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(hf_fluctuations_corr_kelompok(:,2),hf_fluctuations_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); inv_bar_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(inv_bar_corr_kelompok(:,2),inv_bar_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); solid_earth_tide_kelompok_20hz{i,1}= interp1(solid_earth_tide_kelompok(:,2),solid_earth_tide_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); pole_tide_kelompok_20hz{i,1}= interp1(pole_tide_kelompok(:,2),pole_tide_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); sea_state_bias_ku_kelompok_20hz_mle3{i,1}= interp1(sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(:,2),sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz_mle3{i,1}= interp1(iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(:,2),iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{i,1}= interp1(sea_state_bias_ku_kelompok(:,2),sea_state_bias_ku_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{i,1}= interp1(iono_corr_alt_ku_kelompok(:,2),iono_corr_alt_ku_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,2),rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); meanseasurface_kelompok_20hz{i,1}= interp1(meanseasurface_kelompok(:,2),meanseasurface_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); load_tidel_sol1_kelompok_20hz{i,1}= interp1(load_tidel_sol1_kelompok(:,2),load_tidel_sol1_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); doppler_corr_kelompok_20hz{i,1}=interp1(doppler_corr_kelompok(:,2),doppler_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i, 1},'spline'); modeled_instr_corr_range_kelompok_20hz{i,1}=interp1(modeled_instr_corr_range_kelompok(:,2),modeled_instr_corr_ra nge_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline');

74 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) %% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, threshold+improved for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) tlep_ocog{i,1}(k,1)= retracker_ocog(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k)); tlep_threshold20{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.2); tlep_threshold30{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.3); tlep_threshold50{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.5); subwaveforms{i,1}{k,1}= retracker_ithreshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),'hwang'); for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) Bar_sub{i,1}{k,1}=size(subwaveforms{i,1}{k,1}); for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.2); dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.3); dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.5); for j= 1:length(row); for k=length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) F{j,1} = repmat(32.5,k,1); %% Menghitung Range hasil retracking for j= 1:length(row); for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) dt_ocog{j,1}(k,1) = (tlep_ocog{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold50{j,1}(k,1) = (tlep_threshold50{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold20{j,1}(k,1) = (tlep_threshold20{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_ice{j,1}(k,1) = (tlep_threshold30{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; %% Koreksi range %raw range for j= 1:length(row); tracker_20hz{j,1}=trackerkelompok_20hz{j,1}+doppler_corr_kelompok_20hz{j,1}+modeled_instr_corr_range_kelompok _20hz{j,1}; %terhadap koreksi range retracking for j= 1:length(row); range_20hz_ocog{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_ocog{j,1}; range_20hz_threshold50{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_threshold50{j,1}; range_20hz_threshold20{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_threshold20{j,1}; range_20hz_ice{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_ice{j,1}; for j= 1:length(row);

75 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) SSH_OCOG{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_ocog{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_threshold50{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold50{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_threshold20{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold20{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} -... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ocean{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - rangekelompok_20hz{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ice{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_ice{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_raw{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - tracker_20hz{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; %% Memilih nilai SSH subwaveform 20 % dan 50 % terbaik for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) diffsubthre20{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold20{i,1}(k,1)); diffsubthre30{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1)-dt_ice{i,1}(k,1)); diffsubthre50{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold50{i,1}(k,1)); for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) [roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre20{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre20{j,1}{k,1}))); [roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre30{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre30{j,1}{k,1}))); [roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre50{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre50{j,1}{k,1}))); for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) dt_impthres20{j,1}(k,1)=dt_threshold220{j,1}{k,1}(roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1));

76 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) dt_impthres30{j,1}(k,1)=dt_threshold230{j,1}{k,1}(roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)); dt_impthres50{j,1}(k,1)=dt_threshold250{j,1}{k,1}(roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)); for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres20{j,1}(k,1); range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres30{j,1}(k,1); range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres50{j,1}(k,1); %% SSH Improved Threshold 20 % dan 50 % for j= 1:length(row); SSH_ImpThres20{j,1}= altkelompok_20hz{j,1}- range_20hz_threshold220{j,1}- model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1}- rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ImpThres30{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold230{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}- sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ImpThres50{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold250{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}- sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; %% Perhitungan Beda SSH dengan Geoid Height for j= 1:length(row); Dif_OCOG{j,1} = SSH_OCOG{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold50{j,1} = SSH_threshold50{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold20{j,1} = SSH_threshold20{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold220{j,1} = SSH_ImpThres20{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold230{j,1} = SSH_ImpThres30{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold250{j,1} = SSH_ImpThres50{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_ocean{j,1} = SSH_ocean{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_ice{j,1} = SSH_ice{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_raw{j,1} = SSH_raw{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; for j= 1:length(row); STD_OCOG{j,1} = std(dif_ocog{j,1}); STD_threshold50{j,1} = std(dif_threshold50{j,1}); STD_threshold20{j,1} = std(dif_threshold20{j,1}); STD_threshold220{j,1} = std(dif_threshold220{j,1}); STD_threshold230{j,1} = std(dif_threshold230{j,1}); STD_threshold250{j,1} = std(dif_threshold250{j,1}); STD_ocean{j,1} = std(dif_ocean{j,1}); STD_ice{j,1} = std(dif_ice{j,1});

77 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) STD_raw{j,1} = std(dif_raw{j,1}); %hitung IMP for i= 1:length(row) IMP_OCOG(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_OCOG{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold50(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold50{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold20(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold20{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold220(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold220{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold230(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold230{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold250(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold250{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_ice(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_ice{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_ocean(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_ocean{i,1})/STD_raw{i,1})*100); %% Menghitung SSH hasil retracking for j= 1:length(row); SLA_OCOG{j,1}=SSH_OCOG{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}- load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold50{j,1}=SSH_threshold50{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold20{j,1}=SSH_threshold20{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold220{j,1}=SSH_ImpThres20{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold230{j,1}=SSH_ImpThres30{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold250{j,1}=SSH_ImpThres50{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_ocean_mle4_on_board{j,1}=SSH_ocean{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_ice{j,1}=SSH_ice{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}- load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_raw{j,1}=SSH_raw{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}- load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; %% Perhitungan nilai Improvement Precentage(IMP) for j= 1:length(row) figure(j) plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_ocog{j,1},'-k','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_threshold20{j,1},'-r','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_impthres20{j,1},'-.r','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_ice{j,1},'-m','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_impthres30{j,1},'-.m','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_threshold50{j,1},'-b','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_impthres50{j,1},'-.b','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_ocean{j,1},'-y','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_raw{j,1},'-.g','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},geoidkelompok_20hz{j,1},'-g','linewidth',1.5)

78 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) title('perbandingan Tinggi Muka Laut Antara Metode Retracking, Non-Retracking, dan Geoid Perairan Jawa Timur Bagian Selatan Stasiun 5 Jarak 0-10 Km Satelit Jason 2 Cycle 90 Pass 140',... 'fontsize',12,'fontweight','b','color','black'); xlabel('lintang (^O)','fontweight','b'); ylabel('tinggi Muka Laut (m)','fontweight','b'); grid on hleg1 = leg('ssh OCOG','SSH Threshold 20%','SSH Improve Threshold 20%','SSH Ice','SSH Improve Threshold 30%','SSH Threshold 50%','SSH Improve Threshold 50%','SSH Ocean','SSH Raw','Geoid EGM2008','Location','South'); for j=1 kmlwrite('track',latkelompok_20hz{j,1},lonkelompok_20hz{j,1},'icon','http://maps.google.com/mapfiles/kml/shapes/place mark_circle.png'); winopen('track.kml') Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 %Sintak ini akan digunakan dalam tahap pengolahan data altimetri satelit %Jason 2. Kegunaan sintak ini ialah mengukur tinggi muka laut dari titik %awal masing-masing stasiun hingga 50 km menjauh dari daratan. %Sintak ini dikembangkan oleh Kadek Surya Sumerta (Mahasiswa S1 Ilmu dan %Teknologi Kelautan, IPB) %% Menentukan direktori file dan memilih file clear;clc; cprintf('k','*welcome Users!*\n'); cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc',... 'Choose your nc file!',... 'MultiSelect', 'on'); %% Baca Variabel-variabel didalam data satelit for i = 1:length(nc) lat{i,1} = ncread(nc{1,i},'lat'); lat_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'lat_20hz'); lon{i,1} = ncread(nc{1,i},'lon'); lon_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'lon_20hz'); waveforms_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'waveforms_20hz_ku'); wvf_ind{i,1} = ncread(nc{1,i},'wvf_ind'); surface_type{i,1} = ncread(nc{1,i},'surface_type'); time{i,1} = ncread(nc{1,i},'time'); alt{i,1} = ncread(nc{1,i},'alt'); alt_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'alt_20hz'); range_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'range_ku'); range_20hz_ku{i,1}= ncread(nc{1,i},'range_20hz_ku'); tracker_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'tracker_20hz_ku'); geoid{i,1} = ncread(nc{1,i},'geoid'); agc_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'agc_20hz_ku'); meanseasurface{i,1}=ncread(nc{1,i},'mean_sea_surface'); time_20hz{i,1}=ncread(nc{1,i},'time_20hz');

79 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 (lanjutan) model_dry_tropo_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide{i,1} = ncread(nc{1,i},'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1{i,1} = ncread(nc{1,i},'ocean_tide_sol1'); pole_tide{i,1} = ncread(nc{1,i},'pole_tide'); sea_state_bias_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'sea_state_bias_ku'); sea_state_bias_ku_mle3{i,1} = ncread(nc{1,i},'sea_state_bias_ku_mle3'); iono_corr_alt_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'iono_corr_alt_ku'); iono_corr_alt_ku_mle3{i,1} = ncread(nc{1,i},'iono_corr_alt_ku_mle3'); rad_wet_tropo_corr{i,1} =ncread(nc{1,i},'rad_wet_tropo_corr'); load_tidel_sol1{i,1}= ncread(nc{1,i},'load_tide_sol1'); %% Menentukan titik awal dan akhir pengamatan pada masing-masing stasiun %DMS atau DD cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Give your latitude poin position in DMS(Degrees, Minutes, and Seconds)!\n'); %dmsordd = input... %('Type 1 for DMS or 2 DD\n >> '); %if dmsordd == 1; point1a = input... ('1a. Type degree value for the first point!\n >> '); point1b = input... ('1b. Type minute value for the first point!\n >> '); point1c = input... ('1c. Type second value for the first point!\n >> '); x1 = point1a; y1 = point1b/60; if point1a < 0 y1=y1*-1; z1 = point1c/3600; if point1a < 0 z1=z1*-1; point1 = (x1+y1+z1); %% Seleksi lokasi global 1 Hz for i=1:length(nc); [r1geo{i,1},c1geo{i,1}]= find(lat{i,1} >=(point1-2) & lat{i,1}<=(point1+2)); %% Seleksi posisi global 20 Hz for i=1:length(nc); [r1_20hz_geo{i,1},c1_20hz_geo{i,1}]= find(lat_20hz{i,1} >= (point1-0.01) & lat_20hz{i,1}<= (point1+0.01)); for i=1:length(nc); for j = 1:length(r1geo{i,1}) doppler_corr_global{i,1}(j,1)= doppler_corr_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); modeled_instr_corr_range_global{i,1}(j,1)= modeled_instr_corr_range_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); ocean_tide_sol1_global{i,1}(j,1) = ocean_tide_sol1{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); model_dry_tropo_corr_global{i,1}(j,1) = model_dry_tropo_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); hf_fluctuations_corr_global{i,1}(j,1) = hf_fluctuations_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); inv_bar_corr_global{i,1}(j,1) = inv_bar_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); solid_earth_tide_global{i,1}(j,1) = solid_earth_tide{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); pole_tide_global{i,1}(j,1) = pole_tide{i,1}(r1geo{i,1}(j,1));

80 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 (lanjutan) sea_state_bias_ku_global{i,1}(j,1) = sea_state_bias_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); iono_corr_alt_ku_global{i,1}(j,1) = iono_corr_alt_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(j,1) = rad_wet_tropo_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); meanseasurface_global{i,1}(j,1) = meanseasurface{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); load_tidel_sol1_global{i,1}=meanseasurface{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); for i=1:length(nc); for j = 1:length(r1geo{i,1}) doppler_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); modeled_instr_corr_range_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); ocean_tide_sol1_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); model_dry_tropo_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); hf_fluctuations_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); inv_bar_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); solid_earth_tide_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); pole_tide_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); sea_state_bias_ku_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); iono_corr_alt_ku_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); meanseasurface_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); load_tidel_sol1_global{i,1}(j,2)=lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); for i=1:length(nc); doppler_corr_global{i,1}(isnan(doppler_corr_global{i,1}),:)=[]; modeled_instr_corr_range_global{i,1}(isnan(modeled_instr_corr_range_global{i,1}),:)=[]; iono_corr_alt_ku_global{i,1}(isnan(iono_corr_alt_ku_global{i,1}),:)=[]; ocean_tide_sol1_global{i,1}(isnan(ocean_tide_sol1_global{i,1}),:)=[]; model_dry_tropo_corr_global{i,1}(isnan(model_dry_tropo_corr_global{i,1}),:)=[]; hf_fluctuations_corr_global{i,1}(isnan(hf_fluctuations_corr_global{i,1}),:)=[]; inv_bar_corr_global{i,1}(isnan(inv_bar_corr_global{i,1}),:)=[]; solid_earth_tide_global{i,1}(isnan(solid_earth_tide_global{i,1}),:)=[]; pole_tide_global{i,1}(isnan(pole_tide_global{i,1}),:)=[]; sea_state_bias_ku_global{i,1}(isnan(sea_state_bias_ku_global{i,1}),:)=[]; iono_corr_alt_ku_global{i,1}(isnan(iono_corr_alt_ku_global{i,1}),:)=[]; rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(isnan(rad_wet_tropo_corr_global{i,1}),:)=[]; meanseasurface_global{i,1}(isnan(meanseasurface_global{i,1}),:)=[]; load_tidel_sol1_global{i,1}(isnan(meanseasurface_global{i,1}),:)=[]; %Seleksi Variabel 20hz global for i = 1:length(nc) for j = 1:length(r1_20hz_geo{i,1}) latglobal_20hz{i,1}(j,1)=lat_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); longlobal_20hz{i,1}(j,1)=lon_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); altglobal_20hz{i,1}(j,1)=alt_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); trackerglobal_20hz{i,1}(j,1) =tracker_20hz_ku{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); waveformglobal_20hz{i,1}(:,j)=waveforms_20hz_ku{i,1}(:,(r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); rangeglobal_20hz{i,1}(j,1) =range_20hz_ku{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); timeglobal_20hz_julian{i,1}(j,1) =time_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); load('geophysical Correction140.mat') %% Interpolasi data 1hz menjadi data 20hz for i=1:length(nc) for j = 1:length(r1_20hz_geo{i,1}) ocean_tide_sol1_global_20hz{i,1}(j,1) = interp1(ocean_tide_sol1_global{i,1}(:,2),ocean_tide_sol1_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); geoidglobal_20hz{i,1}(j,1) = interp1(geoidglobal(:,1),geoidglobal(:,3),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest');

81 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 (lanjutan) model_dry_tropo_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(model_dry_tropo_corr_global{i,1}(:,2),model_dry_tropo_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); hf_fluctuations_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(hf_fluctuations_corr_global{i,1}(:,2),hf_fluctuations_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); inv_bar_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(inv_bar_corr_global{i,1}(:,2),inv_bar_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); solid_earth_tide_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(solid_earth_tide_global{i,1}(:,2),solid_earth_tide_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); pole_tide_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(pole_tide_global{i,1}(:,2),pole_tide_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); sea_state_bias_ku_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(sea_state_bias_ku_global{i,1}(:,2),sea_state_bias_ku_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); iono_corr_alt_ku_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(iono_corr_alt_ku_global{i,1}(:,2),iono_corr_alt_ku_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); rad_wet_tropo_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(:,2),rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); meanseasurface_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(meanseasurface_global{i,1}(:,2),meanseasurface_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); doppler_corr_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(doppler_corr_global{i,1}(:,2),doppler_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i, 1}(j,1),'nearest'); modeled_instr_corr_range_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(modeled_instr_corr_range_global{i,1}(:,2),modeled_instr_corr_r ange_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); load_tidel_sol1_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(load_tidel_sol1_global{i,1}(:,2),load_tidel_sol1_global{i,1}(:,1),latglobal_ 20hz{i,1}(j,1),'nearest'); %% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, threshold+improved for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) tlep_ocog{j,1}(k,1)= retracker_ocog(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k)); tlep_threshold50{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.5); tlep_threshold20{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.2); subwaveforms{j,1}{k,1}= retracker_ithreshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),'hwang'); tlep_ice{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.3); for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) Bar_sub{i,1}{k,1}=size(subwaveforms{i,1}{k,1}); for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) F{j,1}(k,1) = 32.5; for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.2); dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.3); dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.5);

82 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 (lanjutan) for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) dt_ocog{j,1}(k,1) = (tlep_ocog{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold50{j,1}(k,1) = (tlep_threshold50{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold20{j,1}(k,1) = (tlep_threshold20{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_ice{j,1}(k,1) =(tlep_ice{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).*0.468425715625; %% Koreksi range %raw range for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) tracker_20hz{j,1}(k,1)=trackerglobal_20hz{j,1}(k,1)+doppler_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+modeled_instr_corr_range_glo bal_20hz{j,1}(k,1); %terhadap koreksi range retracking for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) range_20hz_ocog{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_ocog{j,1}(k,1); range_20hz_threshold50{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_threshold50{j,1}(k,1); range_20hz_threshold20{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_threshold20{j,1}(k,1); range_20hz_ice2{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_ice{j,1}(k,1); range_20hz_ocean{j,1}(k,1) = rangeglobal_20hz{j,1}(k,1); for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) SSH_global_OCOG{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ocog{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold50{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold50{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold20{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold20{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_ocean{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ocean{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_ice{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ice2{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -...

83 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 (lanjutan) pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_raw{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - tracker_20hz{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); %% Memilih nilai SSH subwaveform 20 % dan 50 % terbaik for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) diffsubthre20{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold20{i,1}(k,1)); diffsubthre30{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1)-dt_ice{i,1}(k,1)); diffsubthre50{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold50{i,1}(k,1)); for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) [roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre20{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre20{j,1}{k,1}))); [roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre30{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre30{j,1}{k,1}))); [roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre50{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre50{j,1}{k,1}))); for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) dt_impthres20{j,1}(k,1)=dt_threshold220{j,1}{k,1}(roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)); dt_impthres30{j,1}(k,1)=dt_threshold230{j,1}{k,1}(roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)); dt_impthres50{j,1}(k,1)=dt_threshold250{j,1}{k,1}(roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)); for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres20{j,1}(k,1); range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres30{j,1}(k,1); range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres50{j,1}(k,1); %% SSH Improved Threshold 20 % dan 50 % Ala Brat for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) SSH_global_threshold220{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold230{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold250{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-...

84 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 2012 (lanjutan) (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); %% Menghitung SSH dan Mean Sea Surface POI for i=1:length(nc) SSH_OCOG(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_ocog{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold50(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold50{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold20(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold20{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold220(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold220{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold230(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold230{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold250(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold250{i,1},point1,'nearest'); SSH_ocean(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_ocean{i,1},point1,'nearest'); SSH_ice(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_ice{i,1},point1,'nearest'); SSH_raw(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_raw{i,1},point1,'nearest'); Geoid(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},geoidglobal_20hz{i,1},point1,'nearest'); meanseasurface_poi(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},meanseasurface_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); timejulian_poi(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},timeglobal_20hz_julian{i,1},point1,'nearest'); ocean_tide_sol1_poi_20hz(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},ocean_tide_sol1_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); load_tidel_sol1_poi_20hz(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},load_tidel_sol1_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); %% Menghitung SLA Ala Brat for j= 1:length(nc); SLA_OCOG(j,1)=SSH_OCOG(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold50(j,1)=SSH_threshold50(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold20(j,1)=SSH_threshold20(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold220(j,1)=SSH_threshold220(j,1)-meanseasurface_poi(j,1) SLA_threshold230(j,1)=SSH_threshold230(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold250(j,1)=SSH_threshold50(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_ocean(j,1)=SSH_ocean(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_ice(j,1)=SSH_ice(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_raw(j,1)=SSH_raw(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); Lampiran 7. Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG function tlep = retracker_ocog(t,p,n1,n2) % fungsi untuk melakukan retracking menggunakan metode Offset Centre of % Gravity (OCOG). Inputnya t (waktu), P (power), n1 dan n2 (jumlah 'bin' % yang terpengaruh oleh aliasing pada awal dan akhir data waveform. % Outputnya waktu saat Leading Edge Position (tlep). % Untuk n1 dan n2, apabila tidak diisi maka akan diset default, yaitu % n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) if (exist('n1')==0) && (exist('n2')==0); n1 = 4; n2 = 4; % N = jumlah sampel dalam waveform N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1+n1:n-n2).^4)) / (sum(p(1+n1:n-n2).^2)) ); % menghitung panjang waveform W = sum((p(1+n1:n-n2).^2))^2 / sum(p(1+n1:n-n2).^4); % menghitung COG COG = sum([1+n1:n-n2]'.* P(1+n1:N-n2).^2) / (sum(p(1+n1:n-n2).^2)); % menghitung Leading Edge Position (LEP)

85 Lampiran 7. Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG (lanjutan) tlep = COG - W/2; % menghitung waktu kembali gelombang % tlep = t(round(lep)); %metode lama, masih dibuletin, ga dipake Lampiran 8. Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold function tlep = retracker_threshold(t,p,th_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) % Untuk n1 dan n2 diset default, yaitu % n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) n1 = 4; n2 = 4; N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1+n1:n-n2).^4)) / (sum(p(1+n1:n-n2).^2)) ); % Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5)); % Threshold Level Tl = pn + th_value*(a-pn); % mencari power of retracked gate k = min(find(p>=tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1 k = k+1; % buat kasus mahiwal gk = k; gk_1 = k-1; tlep = gk_1 +((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold function subwaveforms2 = retracker_ithreshold(t,p,eps_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) % Nilai epsilon valued diisi dan dihitung sbb: % -'hwang' : menggunakan e1 = 8 dan e2 = 2(Hwang et al.,2008) % -'fenoglio' : menggunakan e1=0.2*s dan e2 = 0.2*S1. S dan S1 dihitung % secara terpisah (Fenoglio-Marc et a., 2009) % Untuk n1 dan n2 diset default, yaitu n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) % output dari fungsi ini adalah subwaveform (t dan P) dari % data. format filenya adalah cell. % file output: % t1 P1 dari subwaveform 1 % t2 P2 dari subwaveform 2 % : : % tn Pn dari subwaveform n N = length(t); if strcmp(eps_value,'hwang') % 8 dan 2 e1=8;e2=2; else strcmp(eps_value,'fenoglio') S = hitung_s(p,n); S1 = hitung_s1(p,n);

86 Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) e1=0.2*s e2=0.2*s1 subwaveform=[]; i=5; while i+1<=n-5 d2 = 0.5*(p(i+1)-p(i)); if (d2>e1) k=1; while i+k<=n-5 d1 = p(i+k+1)-p(i+k); if d1<=e2 break k=k+1; subwaveform = [subwaveform;[i-4:i+(k+i)+4]';0]; i=i+k+4; i=i+1; % mengubah ke format struct j=1; subwaveforms{j,1}(1,1)=nan;%cuma untuk pefinisian aja for i = 1:length(subwaveform) if subwaveform(i)>0 subwaveforms{j,1} = [subwaveforms{j,1};subwaveform(i)]; else subwaveforms{j,1}(1)=[]; %pefinisian diatas diilangin j=j+1; subwaveforms{j,1}(1,1)=nan; %cuma untuk pefinisian lagi subwaveforms{j,1}=[]; %pefinisian diatas diilangin lagi %note: karena ga bisa diilangin, file subwaveforms yang berbentuk cell %array mempunyai 'buntut' yang isinya ga ada. % di-arrange supaya dapetnya [t P] N = length(subwaveforms); for i=1:n-1 % tambahan supaya tidak error kalau2 si subwaveform ada di 'buntut' % yang bikin t nya jadi diatas 104 if max(subwaveforms{i,1})>length(t) subwaveforms{i,1}(subwaveforms{i,1}>length(t)) = []; subwaveforms2{i,1} = t(subwaveforms{i,1}); subwaveforms2{i,2} = p(subwaveforms{i,1}); if (i >= 3) break % lieur ah, silakan ditelusuri aja kenapa % of function function S = hitung_s(p,n) d2=0; d2i=0; for i=1:n-2 d2=d2+(0.5*(p(i+2)-p(i)))^2; d2i=d2i+0.5*(p(i+2)-p(i)); S = sqrt( ((N-2)*d2 - d2i^2)/((n-2)*(n-3))); function S1 = hitung_s1(p,n)

87 Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) d1=0; d1i=0; for i=1:n-1 d1=d1+(p(i+1)-p(i))^2; d1i=d1i+(p(i+1)-p(i)); S1 = sqrt( ((N-1)*d1 - d1i^2)/((n-1)*(n-2))); function dt = retracker_subwaveform(t,p,th_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1:n).^4)) / (sum(p(1:n).^2)) ); % Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5)); % Threshold Level Tl = pn + th_value*(a-pn); % mencari power of retracked gate k = min(find(p>=tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1 k = k+1; % buat kasus mahiwal gk = k; gk_1 = k-1; tlep = (t(1)-1)+gk_1 + ((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate dt = (tlep - 32.5) * 0.468425715625;

Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat 88

Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat (lanjutan...) 89

90 Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit Misi Tahun/Instansi Tujuan Skylab 1973/NASA Pembuktian pertama kali konsep pengukuran altimetri dari satelit GEOS-2 1975-1978/NASA Mengumpulkan data untuk meningkatkan kualitas parameter geodetik dan geofisik yang diperoleh sebelumnya Seasat 1978/NASA Didesain untuk memberikan data ukuran dari tinggi gelombang, topografi lautan global, dan geoid lautan. Geosat 1985-1989/US Navy Satelit oseanografik militer yang didesain untuk pemetaan presisi dan detail dari geoid di wilayah lautan ERS-1 1991-1995/ESA Didesain untuk analisa muka laut rata-rata dan geoid lautan TOPEX/POSEIDON 1992-2006/NASA dan CNES Eksperimen topografi lautan untuk mengukur dan memetakan muka laut pada dua frekuensi 5.3 dan 13.6 GHz, untuk meningkatkan pengetahuan tentang sirkulasi lautan berskala luas dan mengamati kejadian El-nino pada tahun 1997-1998 Geosat Follow on 1998-2008/ US Navy Untuk memberikan data topografi laut secara kontinu kepada Angkatan Laut Amerika dan pengguna komersial NOAA untuk berbagai keperluan Jason-1 2001-sekarang/NASA dan CNES Memperluas informasi mengenai topografi laut, memahami arus global, dan mengubah peramalan kejadian cuaca Envisat 2002-sekarang Mengamati perubahan lingkungan dan perubahan cuaca Jason-2 2008-sekarang/NASA dan CNES Memiliki misi sama dengan Jason-1

91 Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit (lanjutan..) Misi Tahun/Instansi Tujuan Cryosat 2009-sekarang/ESA Memperolah pengukuran akurat terhadap ketebalan laut es sehingga dapat dideteksi secara tahunan dan melakukan survei permukaan lembaran es dengan akurasi yang cukup untuk dapat meteksi perubahan kecil SARAL 2009-sekarang/ISRO dan CNES Mengukur topografi permukaan laut, kecepatan angin permukaan, tinggi gelombang permukaan, berkontribusi terhadap sistem ARGOS secara kontinu untuk menyimpan dan distribusi data lingkungan HY-2 2010-??/Cina Memonitor dinamika lingkungan laut untuk meteksi kecepatan angin permukaan, tinggi permukaan laut, dan suhu permukaan laut Sentinel 3 2012-sekarang/ESA Mengukur topografi permukaan laut, mengukur suhu permukaan laut dan daratan, mukung peramalan sistem kelautan, dan memonitor lingkungan iklim Lampiran 12. Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1990 dari ayah I Made Suma dan ibu Ni Wayan Numasi Nuryanti. Penulis adalah putra kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada Tahun 2008. Pada tahun tersebut penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Oseanografi Umum pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. Penulis terpilih menjadi Koordinator Asisten Praktikum Oseanografi Umum pada Tahun 2011. Penulis pernah berpartisipasi pada penelitian Tinggi Muka Laut Se-Asia Tenggara beserta Workshop dan Training RESELECASEA yang diadakan insitusi Badan Informasi Geospasial (BIG) selama bulan Juni 2012 sampai bulan November 2012. Penulis bersama dengan team membuat paper berjudul An Initial Retracking of Satelit Altimetry in Indonesia Coastal Water dan disajikan pada Workshop RESELECASEA. Penulis juga aktif sebagai anggota Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB selama tahun 2008-2011. Pada tahun 2010, penulis terpilih menjadi ketua KMHD IPB periode 2010-2011. Peneliti juga mapatkan beasiswa Bank Indonesia selama tahun 2011 dan 2012.