BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS 4.1 Penentapan Kriteria Data Topex/ Poseidon Data pengamatan satelit altimetri bersumber dari basis data RADS (Radar Altimeter Database System). Data altimetri yang telah tersedia pada sistem basis data RADS berbentuk metadata dengan format SSpPPPPcCCC.XXX. Di mana SS merupakan nama satelit, PPPP merupakan nomor pass satelit altimetri, CCC merupakan nomor cycle satelit altimetri, dan XXX merupakan ekstensi. Sebagai contoh default pada pengambilan data satelit altimetri topex pass 14 cycle 15 txp14c15.asc adalah : Pada contoh default data RADS di atas dapat dilihat keterangan - keterangan isi dari kolom pengamatan satelit altimeri. Selain itu sistem basis data RADS menyediakan kriteria pengambilan data satelit altimetri yang dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan. Penetapan kriteria ini bertujuan untuk menyeleksi data - data yang akan digunakan untuk proses selanjutnya, sehingga 39

2 diharapkan data - data yang terbawa memiliki kualitas yang baik. Kriteria ditetapkan dengan menggunakan batas minimum dan maksimum terhadap suatu hasil pengukuran satelit altimetri sehingga hasil pengukuran yang diterima adalah berada di antara batas minimum dan maksimum. Adapun kriteria yang digunakan adalah : Tabel 4.1 kriteria yang ditetapkan dalam RADS (sumber : user manual and format specification,rads v2.2) Tx/Pn Kriteria (m) Min Max Orbital altitude Altimeter range corrected Dry troposfer correction Wet troposfer correction Ionospheric correction Inverse barometer correction -1 1 Solid earth tide -1 1 Ocean tide -5 5 Load tide Pole tide Sea state bias -1 1 Geoid or mass height -2 2 Significant wave height 8 Backscatter coefficient 6 (db) 27 (db) Wind speed 3 Norm std dev of range.15 Number of averaged 1-Hz Ku range measurement Engineering flags Norm std dev of significant wave height.9 Sea level anomaly Crossover Topex/ Poseidon Crossover Altimetri merupakan titik perpotongan antara penjejakan naik (pass ascending) dan penjejakan turun (pass descending) pada pengamatan satelit altimetri. Secara teoritis tinggi muka laut di titik crossover adalah memiliki nilai yang sama besar. Tapi pada kenyataannya perpotongan kedua penjejakan ini memiliki nilai pengukuran 4

3 yang berbeda. Perbedaan pada nilai crossover pada umumnya disebabkan oleh adanya kesalahan orbit pada pengamatan satelit altimetri. Tetapi untuk satelit Topex/Poseidon yang memiliki tingkat keakuratan orbit hingga 3-5 cm, pengaruh kesalahan orbit bukan merupakan penyebab terbesar perbedaan nilai crossover. Perbedaan ini disebabkan oleh Sea Surface Variability dan kesalahan pemodelan pasut, serta pengaruh yang lebih kecil yang disebabkan oleh kesalahan koreksi pengukuran satelit altimetri [Wisse at el, 1995]. Di wilayah perairan Indonesia Satelit Topex/ Poseidon melintas sebanyak 36 kali dalam satu kali perioda pengulangannya (cycle) yang terdiri dari 18 pass ascending dan 18 pass descending. Dalam satu kali perioda pengulangan (cycle) itu sendiri, satelit Topex/ Poseidon menghasilkan sejumlah 54 titik crossover di wilayah perairan Indonesia. Berikut visualisasi penjejakan (pass) satelit Topex/ Poseidon dapat dilihat pada gambar 4.1 : Gambar 4.1 lintasan (pass) satelit topex/ poseidon di wilayah Indonesia Untuk keperluan penentuan konstanta pasut laut dari data satelit Topex/ Poseidon, posisi pengamatan tinggi muka laut yang digunakan adalah titik crossover di perairan laut sebelah barat Sibolga (lautan Hindia). Titik crossover tersebut yakni perpotongan penjejakan (pass) 179 dengan 9, di mana pass 179 merupakan pass ascending dan pass 9 merupakan pass descending. 41

4 4.2.1 Penentuan Koordinat Titik Crossover Topex/ Poseidon Setiap penjejakan (pass) satelit altimetri akan menghasilkan suatu persamaan garis. Untuk beberapa titik pengamatan di satu pass tertentu, apabila dihubungkan akan menghasilkan garis dengan suatu persamaan garis lurus. Berikut visualisasi perpotongan pass 179 (ascending) dan pass 9 (descending) yang menghasilkan titik crossover. Gambar 4.2 penjejakan satelit topex/ poseidon pass 179/9 yang membentuk garis lurus Pada gambar 4.2 tersebut menggambarkan perpotongan pass 179 (kuning) dan pass 9 (hijau). Pada setiap pass di beberapa titik pengamatan jika dihubungkan akan menghasilkan suatu persamaan garis lurus. Dengan persamaan garis lurus y = a + bx maka setiap pass dapat diperoleh persamaannya. Selanjutnya peropotongan kedua pass tersebut memiliki gradien perpotongan dan menghasilkan nilai koordinat perpotongan. Oleh karena itu koordinat titik crossover di setiap cycle dapat diperoleh. Penentuan konstanta pasut laut dalam pembahasan tugas akhir ini menggunakan data pengamatan satelit altimetri Topex/ Poseidon dari tahun Oleh karena itu penentuan konstanta pasut laut dilakukan dengan menggunakan 364 cycle pengamatan Topex/ Poseidon. 42

5 4.2.2 Penentuan Titik Normal Crossover Topex/ Poseidon Titik normal crossover merupakan titik yang digunakan dalam penentuan konstanta pasut laut dari data satelit altimetri. Dalam penjejakannya satelit Topex/ Poseidon memiliki perioda (cycle) hari. Satu perioda (cycle) merupakan waktu yang dibutuhkan oleh satelit Topex/ Poseidon untuk menjejaki dan kembali ke posisi semula (awal). Sejak tahun 1992 satelit Topex/ Poseidon telah menjejaki 364 cycle hingga tahun 22. Perlu untuk diketahui bahwa setiap cycle akan menghasilkan satu nilai koordinat titik crossover. Oleh karena itu diperlukan nilai koordinat titik crossover yang mewakili 364 cycle pengamatan dengan cara melakukan perata rataan. Nilai rata - rata tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai titik normal dalam penentuan konstanta pasut laut. Formulasi rata rata titik crossover (titik normal) adalah sebagai berikut : n 1 CP CPr = n (4.1) di mana : CP = koordinat titik crossover n = jumlah cycle CPr = rata rata koordinat crossover (titik normal) Koordinat geodetik titik normal crossover pass 179 dan 9 adalah LU, BT. 4.3 Penentuan Konstanta Pasut Laut Penentuan Konstanta Pasut Laut Data Satelit Altimetri Topex/ Poseidon Penentuan Sea Surface Height (SSH) Data yang digunakan pada pengamatan satelit altimetri dalam hal ini adalah data pengamatan satelit Topex/ Poseidon yang bersumber dari basis data RADS. Untuk keperluan penentuan konstanta pasut laut maka data tinggi muka laut yang digunakan sebelumnya direferensikan pada elipsoid (sea surface height). Elipsoid yang digunakan dalam hal ini adalah elipsoid WGS 84. Dengan diketahuinya ketinggian satelit topex/ poseidon di atas elipsoid WGS 84 dan jarak satelit Topex/ Poseidon terhadap permukaan laut sesaat, maka tinggi muka laut di atas ellipsoid (SSH) dapat ditentukan. Berikut 43

6 formulasi yang digunakan dalam penentuan Sea Surface Heigth (SSH) dapat dilihat pada persamaan berikut : SSH = H h (4.2) di mana : SSH = sea surface height (SSH) H = tinggi satelit di atas bidang ellipsoid h = jarak satelit dengan permukaan laut sesaat Data SSH yang diperoleh mengandung komponen statik dan dinamik. Untuk memperoleh SSH yang hanya mengandung komponen statik, maka SSH selanjutnya direduksi terhadap adanya bias dan kesalahan pengukuran. Pereduksian SSH terhadap adanya bias dan kesalahan pengukuran dilakukan dengan cara pemberian koreksi. Berikut formulasi SSH yang tereduksi dari bias dan kesalahan pengukuran : SSH d = ( H h) e i (4.3) i di mana : SSH d = sea surface height (SSH) tereduksi H h = tinggi satelit di atas ellipsoid = jarak ukuran altimeter (tinggi satelit di atas muka laut) e i = total penjumlahan koreksi Lebih jelasnya total koreksi yang perlu diperhitungkan dalam mereduksi data SSH adalah : koreksi efek ionosfer koreksi efek troposfer basah koreksi efek troposfer kering koreksi efek pasang surut laut koreksi efek pasang surut bumi koreksi efek pasang surut kutub koreksi efek inverse tekanan udara koreksi efek pasang surut pembebanan koreksi gelombang permukaan 44

7 Sea surface height (SSH) untuk keperluan penentuan konstanta pasut laut merupakan SSH yang telah tereduksi, kecuali reduksi terhadap adanya bias pasang surut laut. Sehingga pada formulasi pereduksian SSH, koreksi efek pasang surut laut (ocean tide) tidak diikut sertakan. Berikut koreksi - koreksi yang diterapkan pada penentuan SSH tereduksi untuk keperluan penentuan konstanta pasut laut : Tabel 4.2 koreksi - koreksi untuk keperluan pereduksian SSH dalam penentuan pasut laut (sumber : user manual and format specification,rads v2.2) Orbit Corrections RSS Tx/ Pn Orbital altitude JGM-3 Orbital altitude rate Altimeter range corrected for instrument effect Geophysical Corrections Dry troposfer correction ECMWF Wet troposfer correction ECMWF Ionospheric correction IRI-95 Model Tides Corrections Inverse barometer correction local - global mean presure Solid earth tide yes Ocean tide no Load tide FES24 Pole tide yes Sea State Bias Sea State Bias Chambers BM4 Reference Geoid or mass height MSSCLS1 std dev of range 2-Hz, Ku Setelah memperoleh koordinat titik normal crossover pass 179/ 9 selanjutnya dilakukan penentuan sea surface height (SSH) di titik normal crossover dengan dua tahap yaitu interpolasi linear di tiap pass dan interpolasi spline di tiap cycle. Setelah memperoleh nilai SSH di titik normal crossover pass 179/ 9, maka dilakukan penentuan tinggi muka laut yang tereferensi pada mean sea surfce (MSSH). Dalam hal ini MSS 45

8 yang digunakan adalah MSSCLS1 (rata - rata tinggi muka laut dalam kurun waktu tertentu). Pengamatan Ascending (pass 179) Pengamatan Descending (pass 9) Tinggi Muka Laut Tereferensi pada MSS Tinggi Muka Laut tereferensi pada MSS (m) Waktu Pengamatan Altimetri (waktu julian) x 1 6 Tinggi Muka Laut Tereferensi pada MSS (m) Waktu Pengamatan Altimetri (waktu julian) x 1 6 Gambar 4.3 profil tinggi muka laut tereferensi pada MSSCLS1 di titik normal crossover pass 179/ 9 Pada gambar 4.3 sebaran nilai tinggi muka laut yang tereferensi pada MSSCLS1 di atas dapat dilihat bahwa profil nilai MSSH membentuk suatu pola gelombang periodik tertentu Periode Alias Pengamatan Topex/ Poseidon (Aliasing Period) Data yang tidak kontinu akan menyebabkan terjadinya interval pengamatan. Dengan adanya interval pengamatan tersebut maka akan mempengaruhi nilai frekuensinya. Konsep aliasing dapat dijelaskan dengan prinsip kisaran frekuensi Nyquist, yaitu : fo <= f <= fn, fn >=, di mana fo =. Untuk pengamatan tinggi muka laut sesaat di stasiun pasang surut akan direkam dengan interval waktu pengamatan tiap 1 jam, sedangkan untuk pengamatan satelit altimetri topex/ poseidon akan direkam tiap interval waktu hari. Perbedaan interval pengamatan akan menyebabkan perbedaan frekuensi data yang akan dianalisis. Untuk pengamatan satelit altimetri perlu dilakukan pelipatan frekuensi turun (aliasing frequency) oleh karena frekuensi pengamatannya berada jauh di luar kisaran frekuensi Nyquist (di luar range dan fn). Frekuensi yang digunakan sebagai analisis adalah 46

9 frekuensi yang berada di dalam kisaran frekuensi Nyquist ( <= f <= fn). Nilai frekuensi alias sebanding dengan nilai frekuensi aslinya (Emery, 1998) sinyal pasut M2 interval cuplik 1 jam sinyal pasut M2 alias hari sinyal pasut M waktu pengamatan Gambar 4.4 aliasing frekuensi untuk komponen harmonik M2 Pada gambar 4.4 komponen harmonik M2 teraliasing oleh karena interval waktu pengamatan yang lama yaitu hari. Pada interval waktu pengamatan 1 jam sinyal pasut komponen M2 lebih rapat, sedangkan pada saat interval waktu pengamatan hari menjadi renggang. Frekuensi komponen M2 dengan interval waktu pengamatan hari teralias namun tetap sebanding dengan frekuensi M2 dengan interval waktu pengamatan 1 jam. 47

10 Tabel 4.3 periode komponen pasut laut Komponen Pasut Laut Perioda Tide Gauge (jam) Alias Perioda Topex/Poseidon (jam) M S N K K O P M MS Sa Ssa Q V La Mi T M M M J S

11 Tabel 4.4 kecepatan sudut komponen pasut laut Komponen Pasut Laut Kecepatan Sudut ( /jam) Alias Kecepatan Sudut Topex/Poseidon ( /jam) M S N K K O P M MS Sa Ssa Q V La Mi T M M M J S Penentuan Konstanta Pasut Laut di Titik Normal Crossover Penentuan konstanta pasut laut di titik normal crossover pass 179 dan 9 dihitung dengan menggunakan data tinggi muka laut yang tereferensi pada MSSCLS1 dan mengabaikan koreksi nodal. Penentuan konstanta pasut laut dilakukan dengan 2 tahap yakni : 1. Menggunakan 1 komponen harmonik yang terdiri dari M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, Q1, 2N2, S1 (sama dengan komponen harmonik dalam FES24). 2. Menggunakan 12 komponen harmonik yang terdiri dari M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, Q1, 2N2,S1, Sa, Ssa. 49

12 1. Konstanta Pass Ascending (pass 179) Menggunakan 1 komponen harmonik pasut laut Tabel 4.5 konstanta pasut laut pengamatan ascending (pass 179) dengan 1 komponen harmonik Fase Amplitude Konstanta Standar Deviasi Komponen Pasut Laut Konstanta (m) Standar Deviasi (m) Derajat Menit Detik Derajat Menit Detik M S N K K O P Q N S Pada tabel 4.5 menunjukkan standar deviasi amplitude yang diperoleh dari penggunaan 1 komponen harmonik pasut laut adalah dalam orde milimeter (secara keseluruahan hampir sama), sedangkan untuk standar deviasi fase bervariasi dalam orde menit kecuali untuk komponen harmonik 2N2 dalam orde derajat. Komponen 2N2 adalah komponen yang memiliki kecepatan sudut dua kali komponen N2 (yang juga diikut sertakan dalam estimasi). Komponen - komponen di atas merupakan komponen yang digunakan oleh model koreksi pasut laut global FES24 dalam analisis harmonik pasut laut. 5

13 Menggunakan 12 komponen harmonik pasut laut Tabel 4.6 konstanta pasut laut pengamatan ascending (pass 179) dengan 12 komponen harmonik Fase Amplitude Konstanta Standar Deviasi Komponen Pasut Laut Konstanta (m) Standar Deviasi (m) Derajat Menit Detik Derajat Menit Detik M S N K K O P Q N S Sa Ssa Pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil estimasi konstanta pasut laut dari data topex/ poseidon dengan menggunakan 12 komponen harmonik menunjukkan standar deviasi amplitude dalam orde milimeter (secara keseluruhan hampir sama), dan untuk standar deviasi fase bervariasi dalam orde menit kecuali untuk komponen 2N2 dalam orde derajat. Sama halnya dengan penentuan konstanta pasut laut yang menggunakan 1 komponen harmonik di mana nilai standar deviasi fase komponen 2N2 mencapai orde derajat. Di samping itu nilai standar deviasi amplitude dan fase yang dihasilkan dari penggunaan 12 komponen harmonik lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen harmonik. Komponen - komponen di atas merupakan komponen yang digunakan oleh model koreksi pasut laut global FES24 yang ditambah dengan komponen periode panjang Sa dan Ssa. 51

14 Penentuan Pasut Laut (ascending/ pass 179) Tinggi Muka Laut di atas MSS Hasil Prediksi Perbedaan Tinggi Muka Laut di atas MSS dengan Hasil Prediksi 1 Komponen Harmonik Tinggi muka laut (m) Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Tinggi Muka Laut di atas MSS Hasil Prediksi Perbedaan Tinggi Muka Laut di atas MSS dengan Hasil Prediksi 12 Komponen Harmonik Tinggi muka laut (m) Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Gambar 4.5 penentuan pasut laut untuk pengamatan ascending (pass 179) di titik normal crossover Pada gambar 4.5 RMS perbedaan tinggi muka laut yang tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi antara penggunaan 1 dan 12 komponen harmonik adalah berbeda 1.4 cm (cukup signifikan). Di mana RMS untuk penggunaan 1 dan 12 komponen harmonik masing - masing adalah adalah.13m dan.89 m. Dapat dianalisis juga penggunaan 12 komponen harmonik menghasilkan RMS yang lebih kecil (penambahan 52

15 komponen harmonik memperkecil RMS perbedaan antara tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi). Di samping itu pada profil perbedaan tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi terlihat bahwa masih ada pola gelombang periodik tertentu, yang mengindikasikan adanya komponen - komponen harmonik tertentu lainnya yang belum disertakan. Trend Linear Koreksi Histogram Koreksi 1 Komponen Harmonik Probability Normal Probability Plot Data Frekuensi Muncul Nilai Koreksi (m) 12 Komponen Harmonik Probability Normal Probability Plot Data Frekuensi Muncul Nilai Koreksi (m) Gambar 4.6 trend linear dan histogram koreksi untuk pengamatan ascending (pass 179) di titik normal crossover Pada gambar 4.6 menunjukkan nilai koreksi yang diperoleh dari estimasi konstanta pasut laut telah terdistribusi normal, sehingga hasil estimasi dapat diterima. 53

16 2. Konstanta Pass Descending (pass 9) Menggunakan 1 komponen harmonik pasut laut Tabel 4.7 konstanta pasut laut pengamatan descending (pass 9) dengan 1 komponen harmonik Fase Amplitude Konstanta Standar Deviasi Komponen Pasut Laut Konstanta (m) Standar Deviasi (m) Derajat Menit Detik Derajat Menit Detik M S N K K O P Q N S Pada tabel 4.7 menunjukkan standar deviasi amplitude dari penggunaan 1 komponen harmonik berkisar dalam orde millimeter (secara keseluruhan hampir sama), sedangkan untuk fase bervariasi dalam orde menit kecuali untuk komponen 2N2 dan S1 dalam orde derajat. Apabila dibandingkan dengan pada saat pengamatan ascending, komponen yang memiliki standar deviasi fase hingga orde derajat adalah hanya komponen 2N2. Komponen - komponen pada tabel di atas merupakan komponen yang digunakan oleh model koreksi pasut laut global FES24 dalam analisis harmonik pasut laut. 54

17 Menggunakan 12 komponen harmonik pasut laut Tabel 4.8 konstanta pasut laut pengamatan descending (pass 9) dengan 12 komponen harmonik Fase Amplitude Konstanta Standar Deviasi Komponen Pasut Laut Konstanta (m) Standar Deviasi (m) Derajat Menit Detik Derajat Menit Detik M S N K K O P Q N S Sa Ssa Pada tabel 4.8 menunjukkan hasil estimasi konstanta pasut laut dari data Topex/ Poseidon dengan menggunakan 12 komponen harmonik menghasilkan standar deviasi amplitude dalam orde milimeter (secara keseluruhan hampir sama), sedangkan standar deviasi fase bervariasi dalam orde menit kecuali untuk komponen Q1, 2N2, dan S1 dalam orde derajat. Apabila dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen harmonik, komponen yang sama menghasilkan standar deviasi hingga orde derajat adalah 2N2 dan S1. Penggunaan 12 komponen harmonik secara umum memperkecil nilai standar deviasi amplitude, sedangkan untuk fase bervariasi, jika dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen. Komponen - komponen di atas merupakan komponen yang digunakan oleh model koreksi pasut laut global FES24 yang ditambah dengan komponen periode panjang Sa dan Ssa. 55

18 Penentuan Pasut Laut (descending/ pass 9) Tinggi Muka Laut di atas MSS Hasil Prediksi Perbedaan Tinggi Muka Laut di atas MSS dengan Hasil Prediksi 1 Komponen Harmonik Tinggi muka laut (m) Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Tinggi Muka Laut di atas MSS Hasil Prediksi Perbedaan Tinggi Muka Laut di atas MSS dengan Hasil Prediksi 12 Komponen Harmonik Tinggi muka laut (m) Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Gambar 4.7 penentuan pasut laut untuk pengamatan descending (pass 9) di titik normal crossover Pada gambar 4.7 menunjukkan RMS perbedaan tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi untuk penggunaan 1 dan 12 komponen harmonik adalah berbeda 1 cm (cukup signifikan). Di mana RMS untuk penggunaan 1 dan 12 komponen harmonik masing - masing adalah.18 m dan.98 m. Dapat dianalisis juga penggunaan 12 komponen harmonik memberikan nilai RMS yang lebih kecil 56

19 dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen (penambahan parameter komponen harmonik mampu memperkecil nilai RMS perbedaan tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi). Di samping itu pada profil perbedaan tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi terlihat bahwa masih ada pola gelombang periodik tertentu yang mengindikasikan masih terdapatnya komponen harmonik lainnya yang belum disertakan (sama kasusnya dengan saat pengamatan ascending). Trend Linear Koreksi Histogram Koreksi 1 Komponen Harmonik Probability Normal Probability Plot Data Frekuensi Muncul Nilai Koreksi (m) 12 Komponen Harmonik Probability Normal Probability Plot Data Frekuensi Muncul Nilai Koreksi (m) Gambar 4.8 trend linear dan histogram koreksi untuk pengamatan descending (pass 9) di titik normal crossover Pada gambar 4.8 menunjukkan nilai koreksi yang diperoleh dari estimasi konstanta pasut laut dengan metode analisis harmonik least square telah terdistribusi normal sehingga dapat diterima secara statistik. 57

20 4.3.2 Perbedaan Konstanta Pasut Laut Ascending - Descending Dari hasil perhitungan konstanta amplitude dan fase pada pengamatan Topex/ Poseidon, maka dilakukan pembandingan konstanta yang dihasilkan. Secara teori nilai amplitude dan fase di titik normal crossover antara pengamatan ascending dan descending adalah sama. Pembandingan dilakukan dengan tujuan untuk melihat sejauh mana perbedaan nilai amplitude dan fase yang dihasilkan dari estimasi least square di titik normal crossover pass 179/ 9. Perbedaan konstanta pasut laut dapat dilihat pada gambar berikut : Amplitude Fase Ascending - Descending 1 Komponen Amplitude (m) amplitude ascending amplitude descending Komponen Pasut Fase (derajat) fase ascending fase descending Komponen Pasut Ascending - Descending 12 Komponen Amplitude (m) amplitude ascending amplitude descending Komponen Pasut Fase (derajat) fase ascending fase descending Komponen Pasut Gambar 4.9 perbedaan nilai amplitude dan fase pengamatan topex/ poseidon antara pass ascending (pass 179) dan pass descending (pass 9) 58

21 Keterangan gambar 4.9 : 1 = M2 6 = O1 11 = Sa 2 = S2 7 = P1 12 = Ssa 3 = N2 8 = Q1 4 = K2 9 = 2N2 5 = K1 1 = S1 Pada gambar 4.9 menunjukkan adanya perbedaan nilai konstanta pasut laut antara pengamatan ascending (pass 179) - descending (pass 9) yang lebih dipengaruhi oleh fase. Secara teori konstanta pasut laut yang dihasilkan di titik normal crossover adalah sama (mendekati sama) antara pengamatan ascending - descending. Perbedaan konstanta pasut laut antara pengamatan ascending - descending kemungkinan besar masih dipengaruhi oleh aliasing frekuensi serta pengaruh kesalahan orbit topex/ poseidon dan faktor nodal yang belum dipertimbangkan. 4.4 Analisis Crossover Analisis crossover merupakan perhitungan selisih pengukuran SLA pass ascending dengan pass descending di titik persilangan pass (titik normal crossover). Secara teori selisih crossover yang ideal adalah nol namun karena adanya perbedaan waktu pengamatan pass ascending dan pass descending serta adanya kesalahan dan bias yang terdapat pada pengukuran, maka mengakibatkan adanya perbedaan nilai SLA di titik normal crossover. Perhitungan SLA di titik normal crossover dilakukan dengan mengabaikan adanya koreksi orbit satelit Sea Level Anomaly Tereduksi Model Koreksi Pasut Laut FES24 Model koreksi pasut laut FES24 adalah model global yang digunakan untuk mereduksi data satelit altimetri dari bias pasut laut dan pasut pembebanan. Dalam hal ini model pasut global FES24 digunakan untuk pereduksian terhadap bias pasut laut. Model pasut laut global FES24 berkembang dari model FES 1994, FES 1995, FES 1999, dan FES 22. Model FES24 berasal dari pengembangan model hidrodinamika Code aux Element Finis Pour La Maree Oceanique (CEFMO) dan model Code Assimilation de dones Oriente Representeur (CADOR) yang diharapkan mampu 59

22 menyelesaikan permasalahan sirkulasi laut secara global dengan resolusi tinggi. Di samping itu model pasut laut FES24 lebih ditujukan pada pemecahan permasalahan sirkulasi lautan di wilayah lintang yang jauh dari equator, di mana pengaruh gaya benda - benda langit lebih dominan. Komponen - komponen pasut laut semi - diurnal dan diurnal yang terdapat pada pemodelan FES 24 adalah M2, S2, N2, K2, 2N2, dan K1, O1, Q1, P1, S1. Perhitungan nilai amplitude komponen - komponen pasut menggunakan model FES24 divalidasi dengan 671 data pengamatan tide gauge stasiun pasut laut yang tersebar di seluruh dunia. Perkembangan resolusi ketelitian model pasut laut FES (Finite Element Sollution) semakin berkembang dari tahun 1994 hingga 24. Tinggi muka laut sesaat (SST) yang diperoleh dari pengukuran satelit altimetri terlebih dahulu dihilangkan komponen dinamiknya, sehingga yang dihasilkan adalah hanya mengandung komponen statik saja. Tinggi muka laut yang hanya mengandung komponen statik dinamakan sea level anomaly (SLA). Rumus yang digunakan pada penentuan sea level anomaly (SLA) menggunakan koreksi model pasang surut global adalah : SLA = SST e i (4.4) i di mana : SLA = sea level anomaly (m) SST = sea surface topography (m) e i = koreksi instrumen, koreksi atmosfer, koreksi antar muka udara-laut, dan koreksi geofisik eksternal (m) (nilai e i diperoleh dari basis data RADS v2.2 altimetri) Sea level anomaly yang diperoleh selanjutnya dilakukan filtering menggunakan filtering spline terhadap cycle pengamatan Sea Level Anomaly Tereduksi Model Koreksi Pasut Laut Topex/ Poseidon Sea level anomaly tereduksi model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon adalah sea level anomaly yang diperoleh dari pengamatan pasut laut oleh satelit altimetri Topex/ Poseidon. Setelah memperoleh nilai konstanta pasut laut dari data Topex/ Poseidon, maka selanjutnya dilakukan penentuan sinyal pasut laut yang ditimbulkannya. Sinyal pasut laut 6

23 merupakan penjumlahan (superposisi) dari komponen - komponen gelombang harmonik pasut laut. Rumus yang digunakan untuk menentukan sinyal pasut laut dapat dilihat pada persamaan berikut : n (4.5) SP = Ai. cos( ωi. t) + Bi. sin( ωi. t) di mana : SP Ai Bi ω i t = sinyal pasang surut waktu ke - t (m) = komponen absis vektor konstanta pasut ke - i (m) = komponen ordinat vektor konstanta pasut ke - i (m) = kecepatan sudut konstanta pasut ke - i (rad/jam) = waktu (jam) Setelah sinyal pasut laut diperoleh, maka selanjutnya dilakukan penentuan sea level anomaly (SLA). Rumus yang digunakan dalam penentuan sea level anomaly (SLA) adalah : SLA = MSSH SP (4.6) di mana : SLA = sea level anomaly MSSH = tinggi muka laut yang tereferensi pada MSS SP i= 1 = sinyal pasut laut Data MSSH di titik normal crossover pangamatan pasut laut Topex/ Poseidon direduksi terhadap efek bias pasut laut yang dihasilkan dari analisis harmonik penentuan sinyal pasut laut (rekontruksi sinyal pasut) sehingga menghasilkan sea level anomaly (SLA) Penggabungan Sea Level Anomaly Tereduksi Model Koreksi Pasut Laut FES24 dan Model Koreksi Topex/ Poseidon Setelah memperoleh nilai sea level anomaly (SLA) dengan menggunakan model koreksi pasut laut FES24 dan model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon, maka untuk keperluan perbandingan dilakukan penggabungan penggambaran profil SLA yang dihasilkan. Berikut gambar penggabungan sea level anomaly (SLA) di titik normal crossover pass 179/ 9 dengan menggunakan model koreksi pasut laut FES24, Topex/ Poseidon 1 komponen harmonik, dan Topex/ Poseidon 12 komponen harmonik : 61

24 Sea Level Anomaly (SLA).6 SLA model FES24 SLA model Tx/Pn 1 komponen SLA model Tx/Pn 12 komponen Ascending (pass 179) Sea Level Anomaly Waktu Pengamatan Altimetri (cycle).6 SLA model FES24 SLA model Tx/Pn 1 komponen SLA model Tx/Pn 12 komponen Descending (pass 9) Sea Level Anomaly Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Gambar 4.1 penggabungan sea level anomaly (SLA) hasil reduksi model koreksi pasut laut Pada gambar 4.1 SLA yang diperoleh dari model koreksi pasut laut FES24 dan Topex/ Poseidon memperlihatkan profil yang hampir sama walupun tidak seluruhnya seragam. Penggunaan model koreksi Topex/ Poseidon dengan 1 dan 12 komponen harmonik juga memperlihatkan profil SLA yang secara umum hampir sama. 62

25 Berikut tabel nilai RMS sea level anomaly (SLA) dari penggunaan model koreksi pasut laut FES24, Topex/ Poseidon 1 komponen, dan Topex/ Poseidon 12 komponen : Tabel 4.9 RMS sea level anomaly penggunaan model koreksi pasut laut Model FES24 Model Tx/Pn 1 Komponen Model Tx/Pn 12 Komponen Pengamatan RMS (m) Ascending (pass 179) RMS (m) Descending (pass 9) Pada tabel 4.9 RMS SLA penggunaan model koreksi pasut laut dari data Topex/ Poseidon memberikan hasil yang lebih kecil (lebih baik) dibandingkan dengan model FES24. Di samping itu penggunaan model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon dengan 12 komponen menghasilkan nilai RMS yang lebih kecil (lebih baik) dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen. Perbedaan nilai RMS SLA antara penggunaan model koreksi pasut laut FES24, Tx/ Pn 1 komponen, dan Tx/ Pn 12 komponen adalah cukup signifikan mencapai 2.6 cm Selisih Crossover Tereduksi Model Koreksi Pasut Laut Setelah memperoleh nilai SLA dari hasil pereduksian bias pasut laut menggunakan model koreksi FES24 dan model koreksi topex/ poseidon, maka selanjutnya dilakukan perhitungan selisih SLA di titik normal crossover (dalam hal ini dengan mengabaikan koreksi orbit). Perhitungan selisih SLA di titik normal crossover adalah dengan persamaan berikut : Δ SLA = SLA asc SLA dsc (4.7) di mana : Δ SLA = selisih SLA crossover (m) SLA asc = sea level anomaly pengamatan ascending (m) SLA dsc = sea level anomaly pengamatan descending (m) 63

26 Cycle (1-9) Cycle (91-18).5 SLA reduksi FES24 SLA reduksi tx/pn 1 komponen SLA reduksi tx/pn 12 komponen.5 SLA reduksi FES24 SLA reduksi tx/pn 1 komponen SLA reduksi tx/pn 12 komponen Selisih SLA Selisih SLA Crossover Selisih SLA Crossover Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Cycle (181-27) Cycle ( ).5 SLA reduksi FES24 SLA reduksi tx/pn 1 komponen SLA reduksi tx/pn 12 komponen.5 SLA reduksi FES24 SLA reduksi tx/pn 1 komponen SLA reduksi tx/pn 12 komponen Selisih SLA Selisih SLA Crossover Selisih SLA Crossover Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Waktu Pengamatan Altimetri (cycle) Gambar 4.11 selisih SLA di titik normal crossover pass 179/ 9 pengamatan topex/ poseidon (cycle 1-364) Pada gambar 4.11 selisih SLA di titik normal crossover dengan menggunakan model koreksi pasut laut FES24 dan model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon masih menunjukkan adanya perbedaan yang kurang seragam. Demikian juga halnya antara penggunaan model koreksi Topex/ Poseidon dengan 1 dan 12 komponen harmonik menunjukkan masih adanya perbedaan, yang kurang seragam. Profil selisih SLA yang kurang konsisten (kurang seragam) tersebut, kemungkinan besar disebabkan oleh masih 64

27 adanya kesalahan orbit Topex/ Poseidon yang belum dipertimbangkan. Namun secara keseluruhan rata - rata selisih SLA dari penggunaan model koreksi pasut laut yang berbeda menghasilkan nilai rata - rata yang hampir sama. Berikut tabel nilai maksimum, rata - rata, minimum, dan RMS selisih SLA di titik normal crossover pass 179/ 9 (cycle 1-364) : Tabel 4.1 nilai selisih SLA di titik normal crossover pengamatan topex/ poseidon dari 364 cycle Selisih SLA Model FES24 Model Tx/Pn 1 komponen Model Tx/Pn 12 Komponen Maksimum (m) Rata - Rata (m) Minimum (m)... RMS (m) Pada tabel 4.1 hasil reduksi model Topex/ Poseidon menghasilkan nilai selisih SLA crossover yang hampir sama dengan reduksi model FES24, walupun tidak seluruhnya seragam (dapat dilihat dari nilai RMS selisih SLA yang diperoleh). Hal ini menunjukkan bahwa reduksi bias pasut laut dengan model yang diperoleh dari data Topex/ Poseidon menghasilkan kualitas yang hampir sama dengan model FES24 di wilayah perairan dalam (kedalaman > 1 m). Penggunaan model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon dengan 12 komponen harmonik menghasilkan RMS selisih SLA yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen harmonik, namun tidak terlalu signifikan (perbedaan 1 mm). Dalam hal ini 12 komponen harmonik yang digunakan pada pemodelan koreksi pasut laut yang diperoleh dari data Topex/ Poseidon merupakan komponen - komponen harmonik yang digunakan oleh model koreksi pasut laut global FES24 untuk analisis harmonik dan ditambah dengan komponen periode panjang Sa, Ssa. Ketidakseragaman nilai selisih SLA kemungkinan besar disebabkan oleh masih adanya kesalahan sistematik pada orbit Topex/ Poseidon dan belum diterapkannya koreksi nodal dalam pengestimasian konstanta pasut laut. 65

28 Dari berbagai analisis yang diperoleh dari hasil pengolahan data, maka dapat dirangkum sebagai berikut : 1. Penggunaan 1 dan 12 komponen harmonik dalam penentuan konstanta pasut laut Topex/ Poseidon memberi perbedaan yang cukup signifikan. RMS perbedaan tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi untuk pengamatan ascending mencapai 1.4 cm, sedangkan untuk pengamatan descending perbedaan mencapai 1 cm (antara penggunaan 1 dengan 12 komponen harmonik). 2. Standar deviasi amplitude dan fase dari penggunaan 12 komponen harmonik secara umum lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen harmonik. 3. Penggunaan 12 komponen harmonik menghasilkan RMS perbedaan tinggi muka laut tereferensi pada MSS dengan hasil prediksi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen harmonik (penambahan parameter konstanta harmonik memperkecil nilai RMS, namun harus memperhatikan pemilihan komponen harmonik yang sesuai dengan karakteristik kedalaman oleh karena sensitif mempengaruhi fase). 4. Terdapat perbedaan hasil estimasi konstanta pasut laut di titik normal crossover antara pengamatan ascending dengan pengamatan descending. Perbedaan yang signifikan terdapat pada fase yang dihasilkan. Untuk penggunaan 1 komponen harmonik RMS perbedaan amplitude dan fase konstanta masing - masing adalah 1.36 cm, 12.89, sedangkan untuk penggunaan 12 komponen perbedaannya 1.4 cm, Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya pengaruh aliasing frekuensi serta masih adanya kesalahan sistematik orbit topex/ poseidon dan faktor koreksi nodal yang belum dipertimbangkan. 5. Dari penggunaan 1 dan 12 komponen harmonik dengan standar deviasi fase terbesar adalah pada komponen 2N2, baik untuk pengamatan ascending maupun descending. 6. RMS profil sea level anomaly (SLA) penggunaan model koreksi pasut laut dari data Topex/ Poseidon memberikan hasil yang lebih kecil (lebih baik) dibandingkan dengan model FES24. Perbedaan nilai RMS SLA antara 66

29 penggunaan model koreksi pasut laut FES24, Tx/ Pn 1 komponen, dan Tx/ Pn 12 komponen adalah cukup signifikan mencapai 2.6 cm. 7. RMS profil sea level anomaly (SLA) penggunaan model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon dengan 12 komponen menghasilkan nilai RMS yang lebih kecil (lebih baik) dibandingkan dengan penggunaan 1 komponen (perbedaan mencapai 1.4 cm). 8. Profil selisih sea level anomaly (SLA) ascending - descending dari penggunaan model koreksi pasut laut FES24 dan Topex/ Poseidon secara keseluruhan memberi nilai yang tidak jauh berbeda, walupun tidak seluruhnya seragam (masih ada pengaruh kesalahan sistematik orbit dan faktor koreksi nodal). Hal tersebut dapat dibuktikan dari RMS selisih SLA ascending - descending yang dihasilkan tidak berbeda signifikan hanya mencapai 1 mm antara penggunaan model FES24 dengan model yang diperoleh dari data Topex/ Poseidon. Profil selisih SLA yang hampir sama dengan model koreksi pasut laut FES24 adalah penggunaan model koreksi pasut laut Topex/ Poseidon dengan 12 komponen harmonik (komponen - komponen harmonik yang terdapat pada Model FES24 dan ditambah komponen Sa, Ssa). Nilai RMS selisih SLA yang hampir sama tersebut mengindikasikan hampir samanya kualitas antara model koreksi pasut laut FES24 dengan model yang diperoleh dari Topex/ Poseidon. 67

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan massa air yang menutupi sebagian besar dari permukaan Bumi dan memiliki karakteristik fisik yang bersifat dinamis. Karakteristik fisik laut yang bersifat

Lebih terperinci

Bab IV Pengolahan Data dan Analisis

Bab IV Pengolahan Data dan Analisis Bab IV Pengolahan Data dan Analisis Kualitas data yang dihasilkan dari suatu pengukuran sangat tergantung pada tingkat kesuksesan pereduksian dan pengeliminasian dari kesalahan dan bias yang mengkontaminasi

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Perubahan vertikal muka air laut secara periodik pada sembarang tempat di pesisir atau di lautan merupakan fenomena alam yang dapat dikuantifikasi. Fenomena tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada tahun 1973. Saat ini, satelit altimetri mempunyai

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL Kualitas hasil sebuah pengolahan data sangat bergantung pada kualitas data ukuran yang terlibat di dalam proses pengolahan data dan strategi dari pengolahan data itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB II SATELIT ALTIMETRI

BAB II SATELIT ALTIMETRI BAB II SATELIT ALTIMETRI Teknologi satelit altimetri merupakan salah satu teknologi penginderaan jauh yang digunakan untuk mengamati dinamika topografi permukaan laut yang tereferensi terhadap suatu bidang

Lebih terperinci

Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut

Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut III.1 Satelit Altimetri Sebelum adanya satelit altimetri, stasiun pasut (tide gauge) merupakan sumber data utama untuk memperoleh nilai pasut. Pengukuran yang

Lebih terperinci

Tabel 4.1 Perbandingan parameter hasil pengolahan data dengan dan tanpa menggunakan moving average

Tabel 4.1 Perbandingan parameter hasil pengolahan data dengan dan tanpa menggunakan moving average BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis terhadap Moving average Hasil pengolahan data menunjukan bahwa proses moving average tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap nilai konstanta pasut laut yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL

PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL Bernadet Srimurniati Ningsih, Ir.Sutomo Kahar,M.Si *, LM Sabri, ST., M.T * Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT

BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT Satelit altimetri merupakan salah satu metode penginderaan jauh yang misi utamanya adalah mengukur jarak vertikal muka air laut terhadap bidang referensi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS HARMONIK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KUADRAT TERKECIL UNTUK PENENTUAN KOMPONEN-KOMPONEN PASUT DI WILAYAH LAUT SELATAN PULAU JAWA DARI SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON DAN JASON-1 Jaka Gumelar, Bandi

Lebih terperinci

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 Lukman Raharjanto 3508100050 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA,DESS JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri Satelit altimetri adalah wahana untuk mengukur ketinggian suatu titik terhadap referensi tertentu. Satelit altimetri terdiri atas tiga komponen utama

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB 2 DATA DAN METODA BAB 2 DATA DAN METODA 2.1 Pasut Laut Peristiwa pasang surut laut (pasut laut) adalah fenomena alami naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi bendabenda-benda

Lebih terperinci

SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY

SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY Eko Yuli Handoko 1) & K. Saha Aswina 1) 1) Teknik Geomatika, FTSP-ITS Abstract Indonesia, which is an archipelago, has nearly 17,000

Lebih terperinci

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 Lukman Raharjanto 1, Bangun Muljo Sukojo 1 Jurusan Teknik Geomatika ITS-Sukolilo, Surabaya 60111 (bangunms@gmail.com

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) Analisa Hubungan Perubahan Muka Air Laut dan Perubahan Volume Es di Kutub Selatan dengan Menggunakan Satelit Altimetri (Studi Kasus: Laut Selatan Pulau Jawa Tahun 2011-2014) A395 Luqman Hakim dan Ira Mutiara

Lebih terperinci

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square 1 Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square Miftakhul Ulum dan Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

PENENTUAN KONSTANTA PASUT LAUT DI WILAYAH PERAIRAN SIBOLGA DARI DATA TOPEX/ POSEIDON ( ) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS HARMONIK

PENENTUAN KONSTANTA PASUT LAUT DI WILAYAH PERAIRAN SIBOLGA DARI DATA TOPEX/ POSEIDON ( ) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS HARMONIK PENENTUAN KONSTANTA PASUT LAUT DI WILAYAH PERAIRAN SIBOLGA DARI DATA TOPEX/ POSEIDON (1992-2002) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS HARMONIK TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB III PEGAMBILA DA PEGOLAHA DATA Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini, meliputi dua aspek, yaitu pengamatan data muka air dan pengolahan data muka air, yang akan dibahas dibawah ini sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan berada pada 6 o LU hingga 11 o LS serta pada 95 o BT hingga 141 o BT. Berdasarkan data dari Badan Informasi

Lebih terperinci

STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK

STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK Program Studi Teknik Geomatika FTSP - ITS Sukolilo, Surabaya Email : sahaaswina@yahoo.com Abstrak Pemantauan dan pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Informasi pasang surut (pasut) laut dibutuhkan bagi Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan di dunia yang memiliki wilayah perairan yang cukup luas. Luas laut

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Pengumpulan Data Sebagaimana tercantum dalam diagram alir penelitian (Gambar 1.4), penelitian ini menggunakan data waveform Jason-2 sebagai data pokok dan citra Google Earth Pulau

Lebih terperinci

PERBANDINGAN AKURASI PREDIKSI PASANG SURUT ANTARA METODE ADMIRALTY DAN METODE LEAST SQUARE

PERBANDINGAN AKURASI PREDIKSI PASANG SURUT ANTARA METODE ADMIRALTY DAN METODE LEAST SQUARE Sidang Tugas Akhir PERBANDINGAN AKURASI PREDIKSI PASANG SURUT ANTARA METODE ADMIRALTY DAN METODE LEAST SQUARE Miftakhul Ulum 350710021 Pendahuluan 2 Latar Belakang Pasut fenomena periodik dapat diprediksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki laut yang lebih luas daripada daratan, untuk itu pengetahuan mengenai kelautan menjadi sangat penting

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

I Elevasi Puncak Dermaga... 31

I Elevasi Puncak Dermaga... 31 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... v HALAMAN PERNYATAAN.. vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii INTISARI... viii ABSTRACT... ix KATA PENGANTAR...x DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2015

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2015 APLIKASI SATELIT ALTIMETRI DALAM PENENTUAN SEA SURFACE TOPOGRAPHY (SST) MENGGUNAKAN DATA JASON-2 PERIODE 2011 (STUDI KASUS : LAUT UTARA JAWA) Alvian Danu Wicaksono, Bambang Darmo Yuwono, Yudo Prasetyo

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 Analisis Sea Level Rise Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode 2008-1012 (Studi Kasus: Laut Utara Jawa dan Laut Selatan Jawa) Yugi Limantara 1) Ir. Bambang Sudarsono, MS 2) Bandi Sasmito, ST.,

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 3.1 Data yang Digunakan Data GPS yang digunakan dalam kajian kemampuan kinerja perangkat lunak pengolah data GPS ini (LGO 8.1), yaitu merupakan data GPS yang memiliki panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pasang surut laut (pasut) merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya

Lebih terperinci

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014

PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014 PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014 Isna Uswatun Khasanah 1*, Leni S. Heliani 2 dan Abdul Basith 2 1 Mahasiswa Pascasarjana

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT DENGAN METODE ADMIRALTY

PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT DENGAN METODE ADMIRALTY PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT DENGAN METODE ADMIRALTY TUJUAN - Mahasiswa dapat memahamibagaimana cara pengolahan data pasang surut dengan metode Admiralty. - Mahasiswa dapat mengetahui nilai komponen harmonik

Lebih terperinci

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 Rahma Widyastuti 1, Eko Yuli Handoko 1, dan Suntoyo 2 Teknik Geomatika 1, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Lebih terperinci

Oleh: Ikhsan Dwi Affandi

Oleh: Ikhsan Dwi Affandi ANALISA PERUBAHAN NILAI MUKA AIR LAUT (SEA LEVEL RISE) TERKAIT DENGAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL (GLOBAL WARMING) ( Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ) Oleh: Ikhsan Dwi Affandi 35 08 100 060

Lebih terperinci

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut Hasil pengukuran arus transek saat kondisi menuju surut dapat dilihat pada Gambar III.13. Terlihat bahwa kecepatan arus berkurang terhadap kedalaman. Arus permukaan dapat mencapai 2m/s. Hal ini kemungkinan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

III HASIL DAN DISKUSI

III HASIL DAN DISKUSI III HASIL DAN DISKUSI Sistem hidrolika estuari didominasi oleh aliran sungai, pasut dan gelombang (McDowell et al., 1977). Pernyataan tersebut mendeskripsikan kondisi perairan estuari daerah studi dengan

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI Spesifikasi Pekerjaan Dalam pekerjaan survey hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS SEA LEVEL RISE DAN KOMPONEN PASANG SURUT DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 Yosevel Lyhardo Sidabutar, Bandi Sasmito, Fauzi Janu Amarrohman *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Gambar 3.1 Foto stasiun pengamatan pasut di Kecamatan Muara Gembong

BAB 3 METODOLOGI. Gambar 3.1 Foto stasiun pengamatan pasut di Kecamatan Muara Gembong BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pasut Dalam pengambilan data pasut, ada dua cara pengukuran yang dapat dilakukan, yitu pengukuran secara manual dan otomatis. Pengukuran manual menggunakan alat palem, sementara dalam

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel BAB III TEORI DASAR 3.1 PRINSIP DASAR GRAVITASI 3.1.1 Hukum Newton Prinsip dasar yang digunakan dalam metoda gayaberat ini adalah hukum Newton yang menyatakan bahwa gaya tarik menarik dua titik massa m

Lebih terperinci

Ira Mutiara Anjasmara 1, Lukman Hakim 1 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Ira Mutiara Anjasmara 1, Lukman Hakim 1 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Analisa Hubungan Perubahan Muka Air Laut, Perubahan Volume Es Di Kutub Selatan Dan Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Altimetri(Studi Kasus : Laut Selatan Pulau Jawa Tahun 2011-2014) Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

BAB III 3. METODOLOGI

BAB III 3. METODOLOGI BAB III 3. METODOLOGI 3.1. Pasang Surut Pasang surut pada umumnya dikaitkan dengan proses naik turunnya muka laut dan gerak horizontal dari massa air secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik

Lebih terperinci

1.4 KONVERSI ANALOG-KE DIGITAL DAN DIGITAL-KE-ANALOG. Sinyal-sinyal analog di alam:

1.4 KONVERSI ANALOG-KE DIGITAL DAN DIGITAL-KE-ANALOG. Sinyal-sinyal analog di alam: 1.4 KONVERSI ANALOG-KE DIGITAL DAN DIGITAL-KE-ANALOG Sinyal-sinyal analog di alam: 1. Suara 2. Sinyal biologis 3. Sinyal seismik 4. Sinyal radar 5. Sinyal sonar 6. Sinyal audio dan video Tiga langkah proses

Lebih terperinci

II. KAJIAN PUSTAKA. mengkaji penelitian/skripsi sebelumnya yang sama dengan kajian penelitian

II. KAJIAN PUSTAKA. mengkaji penelitian/skripsi sebelumnya yang sama dengan kajian penelitian 5 II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Untuk menghindari pengulangan topik atau kajian penelitian, seorang peneliti harus mengkaji penelitian/skripsi sebelumnya yang sama dengan kajian penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1) BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri Pengukuran pada satelit altimetri adalah pengukuran jarak dari altimeter satelit ke permukaan laut. Pengukuran jarak dilakukan dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

2 BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA

2 BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA 2 BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA 2.1 Pasut Laut Fenomena pasang dan surutnya muka air laut biasa disebut sebagai pasut laut (ocean tide). Pasut terjadi dikarenakan oleh perbedaan gaya gravitasi dari pergantian

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA IV.1 SOFTWARE BERNESE 5.0 Pengolahan data GPS High Rate dilakukan dengan menggunakan software ilmiah Bernese 5.0. Software Bernese dikembangkan oleh Astronomical Institute University

Lebih terperinci

PRAKTIKUM 6 PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT MENGGUNAKAN METODE ADMIRALTY

PRAKTIKUM 6 PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT MENGGUNAKAN METODE ADMIRALTY PRAKTIKUM 6 PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT MENGGUNAKAN METODE ADMIRALTY Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa mampu melakukan pengolahan data pasang surut (ocean tide) menggunakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17 (a) Profil kecepatan arus IM3 (b) Profil arah arus IM3 Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM3 III-17 Gambar III.2 Spektrum daya komponen vektor arus stasiun IM2 Gambar III.21 Spektrum

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu

Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas No. 2 Vol. 4 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Juni 2018 Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu AKBAR HADIRAKSA USMAYA, YATI

Lebih terperinci

Bab II Teori Harmonik Pasang Surut Laut

Bab II Teori Harmonik Pasang Surut Laut Bab II Teori Harmonik Pasang Surut Laut Fenomena pasang surut dihasilkan oleh adanya gaya tarik menarik bulan dan matahari yang berpengaruh terhadap bumi. Meskipun gejala pasut ini sudah diketahui sejak

Lebih terperinci

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN Eko Yuli Handoko Program Studi Teknik Geodesi, FTSP-ITS ekoyh@geodesy.its.ac.id Abstrak Satelit altimetri merupakan suatu teknologi penginderaan

Lebih terperinci

Pengertian Pasang Surut

Pengertian Pasang Surut Pengertian Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi (gerakan naik turunnya) muka air laut secara berirama karena adanya gaya tarik benda-benda di lagit, terutama bulan dan matahari terhadap massa air

Lebih terperinci

Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode (Studi Kasus : Perairan Indonesia)

Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode (Studi Kasus : Perairan Indonesia) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2013) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode 2009-2012 (Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I1 Latar Belakang Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya Undang-undang No 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tepatnya

Lebih terperinci

PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0.

PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0. TUGAS AKHIR - PG 1382 PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0.0 ARKADIA RHAMO NRP 3505 100 039 Dosen

Lebih terperinci

1.4 KONVERSI ANALOG-KE DIGITAL DAN DIGITAL-KE-ANALOG. Sinyal-sinyal analog di alam:

1.4 KONVERSI ANALOG-KE DIGITAL DAN DIGITAL-KE-ANALOG. Sinyal-sinyal analog di alam: 1.4 KONVERSI ANALOG-KE DIGITAL DAN DIGITAL-KE-ANALOG Sinyal-sinyal analog di alam: 1. Suara 2. Sinyal biologis 3. Sinyal seismik 4. Sinyal radar 5. Sinyal sonar 6. Sinyal audio dan video Tiga langkah proses

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Geodesi merupakan ilmu yang mempelajari pengukuran bentuk dan ukuran bumi termasuk medan gayaberat bumi. Bentuk bumi tidak teratur menyebabkan penentuan bentuk dan

Lebih terperinci

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO Bangun Muljo Sukojo 1, Iva Ayu Rinjani 1 1 Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail: 1 bangun_ms@geodesy.its.ac.id Abstrak Pengaruh fenomena El Nino

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA SISTIM GPS SISTEM KOORDINAT PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Singkatan : Global Positioning System Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri

Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri The Study of Sea Level Rise on Coastal Fishing Port Sadeng Yogyakarta based on Multi

Lebih terperinci

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT PROSES DAN TIPE PASANG SURUT MATA KULIAH: PENGELOLAAN LAHAN PASUT DAN LEBAK SUB POKOK BAHASAN: PROSES DAN TIPE PASANG SURUT Oleh: Ir. MUHAMMAD MAHBUB, MP PS Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM Pengertian

Lebih terperinci

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai STUDI PENENTUAN TINGGI ORTHOMETRIK MENGGUNAKAN METODE GPS HEIGHTING (STUDI KASUS: KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN BANDARA ABDURAHMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sea Level Rise atau yang biasa disebut SLR merupakan fenomena peningkatan volume air laut yang diakibatkan karena beberapa hal kompleks. Pada mulanya, SLR merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM

ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap pengukuran lapangan, tahap pemrosesan data, dan tahap interpretasi

Lebih terperinci

Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya

Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya Enira Suryaningsih dan Ira Mutiara Anjasmara Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Lebih terperinci

1. Jika f ( x ) = sin² ( 2x + ), maka nilai f ( 0 ) =. a. 2 b. 2 c. 2. Diketahui f(x) = sin³ (3 2x). Turunan pertama fungsi f adalah f (x) =.

1. Jika f ( x ) = sin² ( 2x + ), maka nilai f ( 0 ) =. a. 2 b. 2 c. 2. Diketahui f(x) = sin³ (3 2x). Turunan pertama fungsi f adalah f (x) =. 1. Jika f ( x ) sin² ( 2x + ), maka nilai f ( 0 ). a. 2 b. 2 c. d. e. 2. Diketahui f(x) sin³ (3 2x). Turunan pertama fungsi f adalah f (x). a. 6 sin² (3 2x) cos (3 2x) b. 3 sin² (3 2x) cos (3 2x) c. 2

Lebih terperinci

Journal of Dynamics 1(1) (2016) Journal of Dynamics. e-issn:

Journal of Dynamics 1(1) (2016) Journal of Dynamics. e-issn: Journal of Dynamics 1(1) (2016) 31-40 Journal of Dynamics e-issn: 2502-0692 http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/dynamics/ Visualization of West Sumatra Ocean Surface Based on Topex/Poseidon, Jason-1

Lebih terperinci

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS BAB III PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS 3.1 Penentuan Model Geoid Lokal Delta Mahakam Untuk wilayah Delta Mahakam metode penentuan undulasi geoid yang sesuai adalah metode kombinasi

Lebih terperinci

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT MATA KULIAH: PENGELOLAAN LAHAN PASUT DAN LEBAK SUB POKOK BAHASAN: PROSES DAN TIPE PASANG SURUT Oleh: Ir. MUHAMMAD MAHBUB, MP PS Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM Pengertian Pasang Surut Pasang surut

Lebih terperinci

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 RAHMA WIDYASTUTI(3506 100 005) TEKNIK GEOMATIKA ITS - SURABAYA Pembimbing : Eko Yuli Handoko,ST.MT Ir.

Lebih terperinci

KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2

KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 Kenaikan Muka Air laut Perairan Sumatera Barat Berdasarkan Data Satelit Alrtimetri Jason-2... (Khasanah & Yenni) KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip April 2016

Jurnal Geodesi Undip April 2016 ANALISIS SEA LEVEL RISE DAN PENENTUAN KOMPONEN PASUT DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 TAHUN 2011-2014 (Studi Kasus : Perairan Sumatera Bagian Timur) Andri Yanto Parulian Tamba, Bandi Sasmito,

Lebih terperinci

BAB III PENGUKURAN DAN PENGOLAHAN DATA. Penelitian dilakukan menggunakan gravimeter seri LaCoste & Romberg No.

BAB III PENGUKURAN DAN PENGOLAHAN DATA. Penelitian dilakukan menggunakan gravimeter seri LaCoste & Romberg No. BAB III PENGUKURAN DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pengukuran Gayaberat Penelitian dilakukan menggunakan gravimeter seri LaCoste & Romberg No. G-804. Nomor yang digunakan menunjukkan nomor produksi alat yang membedakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab IV ini akan dibahas mengenai analisis pelaksanaan penelitian sarta hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada bab III. Analisis dilakukan terhadap

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip April 2016

Jurnal Geodesi Undip April 2016 ANALISIS POLA ARUS LAUT PERMUKAAN PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN SATELIT ALTIMETRI JASON-2 TAHUN 2010-2014 Haryo Daruwedho, Bandi Sasmito, Fauzi Janu A. *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

GETARAN DAN GELOMBANG STAF PENGAJAR FISIKA DEP. FISIKA IPB

GETARAN DAN GELOMBANG STAF PENGAJAR FISIKA DEP. FISIKA IPB GETARAN DAN GELOMBANG STAF PENGAJAR FISIKA DEP. FISIKA IPB Getaran (Osilasi) : Gerakan berulang pada lintasan yang sama Ayunan Gerak Kipas Gelombang dihasilkan oleh getaran Gelombang bunyi Gelombang air

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA TIME SERIES GPS KONTINU SUGAR

BAB 4 ANALISIS DATA TIME SERIES GPS KONTINU SUGAR BAB 4 ANALISIS DATA TIME SERIES GPS KONTINU SUGAR 2004-2007 4.1 Analisis Komponen Periodik pada Setiap Data Time Series per Stasiun Analisis untuk mendeteksi periodisitas suatu data time series dilakukan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI Oleh: Andri Oktriansyah JURUSAN SURVEI DAN PEMETAAN UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI PALEMBANG 2017 Pengukuran Detil Situasi dan Garis Pantai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Input Data Setelah dilakukan pengolahan data, ada beberapa hal yang dianggap berpengaruh terhadap hasil pengolahan data, yaitu penggunaan data observasi GPS dengan interval

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

Materi Pendalaman 01:

Materi Pendalaman 01: Materi Pendalaman 01: GETARAN & GERAK HARMONIK SEDERHANA 1 L T (1.) f g Contoh lain getaran harmonik sederhana adalah gerakan pegas. Getaran harmonik sederhana adalah gerak bolak balik yang selalu melewati

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA 1. SISTIM GPS 2. PENGANTAR TANTANG PETA 3. PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang boleh dimanfaatkan

Lebih terperinci