ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

PENGANTAR AGRIBISNIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MANFAAT KEMITRAAN USAHA

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. Selama krisis berlangsung, sektor pertanian telah menjadi sektor

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

3 KERANGKA PEMIKIRAN

VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, dan juga sebagai sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kritik dari teori trickle down effect, yang menegaskan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

STRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING

Terwujudnya Ketahanan Pangan Berbasis Usahatani Sebagai. Andalan dan Penggerak Pembangunan Ekonomi Kerakyatan"

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pedesaan saat ini menempati bagian paling dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

III. KERANGKA PEMIKIRAN

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pembangunan pertanian ke depan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat

PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG I - 1 LAPORAN AKHIR D O K U M E N

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

Transkripsi:

ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY Oleh: RAHMI FAJARINI A24104068 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agropolitan Agropolitan (agro=pertanian, politan=kota) adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik dan menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Departemen Pertanian, 2003). Kota pertanian (agropolitan) berada dalam kawasan sentra produksi pertanian yang memberikan kontribusi besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan tersebut disebut sebagai kawasan agropolitan yang terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya. Batasan Kawasan Agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan tetapi lebih ditentukan oleh skala ekonomi yang ada. Dengan kata lain Kawasan Agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan (Departemen Pertanian, 2003). Konsep agropolitan di Indonesia diadaptasi dari konsep Agropolitan Distric yang dirumuskan oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1975. Agropolitan Distric merupakan suatu daerah perdesaan yang mempunyai kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 200 jiwa per km 2. Di dalam distrik biasanya akan dijumpai kota berpenduduk antara 10.000-50.000 jiwa. Batas-batas wilayah district adalah commuting radius (lingkar pulang-pergi) antara 5-10 km. Ukuran-ukuran tersebut menjadikan penduduk suatu district umumnya berkisar 50.000-150.000 jiwa dan pada mulanya sebagian penduduk bekerja di bidang pertanian.

Menurut Nasution (1999) dalam Hastuti (2001), paradigma konsep agropolitan adalah (1) hubungan perdesaan dengan kota-kota dapat mencapai suatu tingkat sinergisme sepanjang hubungan fungsional dari sub-wilayah tersebut menghasilkan nilai tambah yang dapat diredistribusikan melalui pengembangan suatu tatanan institusional yang secara benar menggambarkan status kelangkaan suatu sumberdaya atau komoditas, (2) apabila terjadi akumulasi modal, terdapat mekanisme pasar yang dapat mengalirkan modal kepada penggunaan yang dapat memberikan manfaat sosial terbesar, dan (3) perkembangan pusat pertumbuhan (kota) pada suatu tingkat akan mengalami diminishing return sehingga harus dibatasi melalui mekanisme pasar. Rivai (2003) menyatakan bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan tidak semata-mata ditujukan kepada pembangunan fisik material, tetapi juga sekaligus harus dikaitkan dengan pembangunan masyarakat (sumberdaya manusia) secara langsung. Titik berat pembangunan masyarakat, khususnya masyarakat setempat memerlukan pendekatan yang bersifat integral dan terpadu, artinya pembangunan yang akan dilaksanakan tidak hanya menyangkut pembangunan struktur fisik, tetapi sekaligus pembangunan manusia dengan pendekatan yang berimbang. Pengembangan kawasan agropolitan harus mempunyai keterkaitan yang harmonis dengan kombinasi antara pendekatan yang top down dengan pendekatan bottom up yang bertujuan untuk mencapai efek ganda (multiplier effect). Prakarsa-prakarsa dari bawah tidak dapat diabaikan, karena merupakan invisible hand dalam menggerakkan sumberdaya- 5

sumberdaya yang ada sebagai kekuatan utama untuk mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan upaya untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi berbasis pertanian dengan memperkuat keterkaitan sektoral antara pertanian, non pertanian dan jasa penunjangnya serta keterkaitan spasial antara wilayah perdesaan dan perkotaan. 2.2. Interaksi Spasial Konsep pengembangan wilayah memandang penting aspek keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keberadaan potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi yang tersebar secara tidak merata dan tidak seragam menyebabkan perlu adanya mekanisme interaksi antar dan inter wilayah secara optimal. Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa setiap sektor memiliki sumbangan langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional dan sebagainya), dimana setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Pada kenyataannya, aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada pada wilayah tersebut (Rustiadi, 2005). 6

Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor-sektor pembangunan. Keterpaduan spasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang optimal dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah yang dinamis. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), interaksi (interaction) adalah hal saling melakukan aksi, berhubungan atau saling mempengaruhi satu sama lain. Interaksi wilayah itu sendiri merupakan hubungan yang dinamis antara satu wilayah dengan wilayah lain, baik hubungan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain sebagainya. Interaksi antar dua wilayah dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan masyarakat di dua wilayah tersebut, jarak wilayah dan besarnya pengaruh jarak antara kedua wilayah tersebut. Menurut Richardson (1991) dalam Maulana (2006), faktor penentu besarnya interaksi antara dua daerah atau lebih ditentukan berdasarkan pada: (1) jarak antar daerah yang berinteraksi dan (2) jumlah penduduk pada daerah yang berinteraksi. Semakin dekat jarak dan semakin besar jumlah penduduk antar daerah yang berinteraksi, maka interaksi yang terjadi akan semakin besar. Adapun pergerakan yang dilakukan oleh penduduk sedikitnya dipengaruhi oleh dua motivasi yaitu: (1) pergerakan dengan motivasi ekonomi dan (2) pergerakan dengan motivasi pemenuhan kebutuhan pelayanan. 2.3. Komoditas/Sektor Unggulan Arah dan tujuan pembangunan pertanian di suatu kawasan haruslah selaras dengan spesifikasi wilayah sasaran berdasarkan kondisi agroekosistem setempat, sifat komoditas yang dikembangkan, kondisi infrastruktur, dan situasi sosial budaya kelompok sasaran. Untuk menunjang hal tersebut di atas, maka penentuan komoditas unggulan di suatu wilayah kabupaten/kota merupakan suatu keharusan 7

agar sumberdaya pembangunan pertanian dapat dimanfaatkan secara efisien dan dan terfokus pada pengembangan komoditas unggulan wilayah tersebut. Komoditas unggulan wilayah adalah komoditas andalan suatu daerah/wilayah yang tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan kondisi biofisik yang spesifik di daerah tersebut (Ernawanto, 2007). Menurut Master Plan Kabupaten Paser (2007), komoditas unggulan mempunyai kriteria:(1) diminati masyarakat dan sesuai dengan potensinya, (2) bersifat khas dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat, (3) permintaan pasar yang tinggi dan kontinyu serta mempunyai manfaat ekonomi yang tinggi (B/C ratio dan land rent tinggi) dan (4) dari segi teknik budidaya, petani sudah berpengalaman. 2.4. Aliran Komoditas/Tataniaga Komoditas Pertanian Menurut Akhmad (2007), dalam struktur ekonomi kita, petani produsen dengan jumlah mayoritas memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan aktor lain, yaitu pemodal, pedagang, distributor, dan penikmat rente lainnya. Tata niaga produk pertanian kita sangat tidak adil terhadap petani. Nilai tukar produk pertanian sangat rendah dan jauh dari kelayakan, sementara marjin harga produsen dan harga konsumen akhir yang besar banyak dinikmati oleh pelaku distribusi. Bila terjadi kenaikan biaya distribusi, misalnya kenaikan harga BBM, maka distributor akan menaikkan harga konsumen, tetapi menekan harga produsen, maka marjin keuntungan distributor relatif stabil. Kondisi ini terjadi karena tidak efisiennya pola distribusi produk pertanian selain memang tidak ada aturan yang membatasi ekspansi dan eskploitasi modal terhadap petani. 8

Upaya menaikkan daya tawar petani produsen dilakukan dengan konsolidasi petani produsen dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggota kolekte menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak. Kedua, kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi maka akan dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam. Ketiga, kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang 9

dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai yang tidak menguntungkan (Akhmad, 2007). 2.5. Hirarki Wilayah Struktur interaksi dapat memiliki tingkatan strata/hirarki. Strata/hirarki interaksi terwujud dalam bentuk strata/hirarki (1) antar unsur pusat-pusat (noda), (2) antara linkage dan (3) bentuk/jenis interaksi. Hirarki pusat-pusat adalah hirarki yang menggambarkan strata pusat-pusat konsentrasi (central places) seperti hirarki pusat-pusat pemukiman, hirarki kotakota, hirarki pasar, dan lain-lain. Hirarki pusat (noda) pada dasarnya ditentukan oleh kapasitas pelayanan, kapasitas/potensi berinteraksi dan tingkat aksesibilitas (locational rent) pusat-pusat. Kapasitas pelayanan pusat-pusat dapat diidentifikasikan dengan metode skalogram yang dapat diukur dari ketersediaan dan kapasitas pelayanan fasilitas-fasilitas fisik, kelembagaan, besaran pasar, lapangan pekerjaan, ekonomi hingga ke daya dukung lingkungannya. Namun dalam penelitian variabel yang digunakan adalah ketersediaan dan kapasitas pelayanan fasilitas-fasilitas fisik. 2.6. Pasar Pasar merupakan salah satu fasilitas penting bagi masyarakat perdesaan. Di samping berperan sebagai pusat pemasaran produk perdesaan yang sebagian besar terkait dengan aktivitas pertanian dalam arti luas, pasar juga merupakan 10

pusat pemenuhan sarana usaha perdesaan. Sementara itu, saat ini pengertian pasar sudah berkembang sangat luas. Bentuk-bentuk pasar moderen yang marak berkembang sampai ke kota kecil antara lain toserba, pasar swalayan dan bahkan hipermarket. Namun bagi masyarakat perdesaan posisi pasar dalam pengertian yang telah berkembang sebelumnya terkait dengan pasar tradisional masih sangat penting (http://id.wikipedia.org/wiki/pasar). Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek, yaitu: (a) Mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta daya saing komoditas pertanian; (b) Meningkatkan kinerja dan efektifitas kebijakan pengembangan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran; dan (c) Perbaikan perumusan kebijakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara lebih efektif dan optimal (http://id.wikipedia.org/wiki/pasar). 2.7. Agribisnis Banyak pendapat tentang batasan dan ruang lingkup agribisnis, tergantung pada unit dan tujuan analisis. Secara tradisional, oleh Biere (1988) agribisnis diartikan sebagai aktivitas-aktivitas di luar pintu gerbang usahatani (beyond the farm gate, off-farm) yang meliputi kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi usahatani, kegiatan industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan beserta perdagangannya, dan kegiatan yang menyediakan 11

jasa yang dibutuhkan seperti misalnya perbankan, angkutan, asuransi atau penyimpanan. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan penunjang. Menurut Saragih dalam Pasaribu (1999), batasan agribisnis adalah sistem yang utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi (yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis hilir, susbistem jasa penunjang agribisnis) yang terkait langsung dengan pertanian. Agribisnis diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur kegiatan: (1) pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4) pemasaran. Sebagai sebuah sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya sistem tersebut. Sedangkan kegiatan agribisnis melingkupi sektor pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan, serta bagian dari sektor industri. Sektor pertanian dan perpaduan antara kedua sektor inilah yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional. 2.8. Agropolitan di Indonesia Di Indonesia masa kini, konsep agropolitan ini mendapat banyak perhatian. Hal ini terlihat dalam berbagai buku Pedoman Pembentukan Agropolitan yang dikeluarkan Departemen Pertanian pada tahun 2002-2003, maupun konsep-konsep yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum. Akan tetapi, dalam konsep tersebut terlihat masih adanya kerancuan antara konsep agropolitan yang merupakan bagian dari perkembangan dari bawah dengan beberapa unsur dari perkembangan dari atas. Selain itu, kebijaksanaan- 12