Rekomendasi Kebijakan 2013

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

NASKAH REKOMENDASI KEBIJAKAN 4 OPTIMALISASI KINERJA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA GARAM RAKYAT RAKYAT (PUGAR)

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pengenalan Data Collection. Apa itu data collection dan mengapa pengumpulan data perikanan tuna sangat penting?

BAB V PENUTUP. diakibatkan dari Illegal Fishing yang dari tahun ketahun terus mengalami

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

X. ANALISIS KEBIJAKAN

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA STRATEGIS BALAI RISET DAN OBSERVASI KELAUTAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Abstract

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: HARY TAMA SIMANJUNTAK

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

MODUL I MODUL II HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERIKANAN (UNCLOS 1982)

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

2 Mengingat b. bahwa untuk itu perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan dan

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NASKAH REKOMENDASI KEBIJAKAN 1 PENGUATAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA MINA PERDESAAN PERIKANAN TANGKAP (PUMP-PT)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

PETUNJUK TEKNIS KOMPETISI INOVASI ALAT PENANGKAP IKAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

BAB I PENDAHULUAN. ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat

PUSAT KEPATUHAN, KERJASAMA DAN INFORMASI PERKARANTINAAN

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

DIPLOMASI INDONESIA - KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DALAM FORUM REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATIONS (RFMOs) Sasaran Rekomendasi: Kebijakan yang terkait dengan prioritas nasional. Ringkasan Perkembangan perikanan tangkap dunia (khususnya T una, T ongkol, dan Cakalang/T T C) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan saat ini telah menunjukkan gejala tangkap lebih (over fishing) di sebagian besar daerah penangkapan ikan, termasuk perairan Indonesia. T ingginya persaingan dagang dunia, juga memunculkan perebutan sumber daya perikanan di wilayah tertentu dan maraknya praktek kegiatan IUU Fishing. Kondisi ini menyebabkan pemerintah wajib mempertimbangkan keberadaan RFMOs (IOT C, CCSBT, dan WCPFC) yang berada di wilayah laut Indonesia. Hasil identifikasi dan pemetaan permasalahan terkait RFMO menunjukkan bahwa peran aktif wakil/duta perikanan Indonesia (KKP) dalam forum RFMOs masih lemah dan belum mencapai target yang diharapkan. Pada sisi lain, salah satu prioritas nasional pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan yang dinyatakan dalam bentuk Indikator Kerja Utama adalah mewujudkan peningkatan ekspor produk perikanan (terutama komoditas T T C). Oleh karena itu, hasil studi merekomendasikan perlunya kebijakan peningkatan kualitas diplomasi Indonesia dalam forum RFMOs melalui: (1) pengiriman utusan perwakilan pemerintah (KKP) yang kompeten serta berpengalaman dalam negosisasi; (2) penyediaan data dukung yang akurat dalam setiap perundingan RFMOs, dan; (3) penerapan mekanisme sistem monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kriteria utusan yang menjadi perwakilan Indonesia serta kinerja yang dicapai pada setiap forum pertemuan RFMOs. Latar Belakang: Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan (KP) yang besar. Pengelolaan (pemanfaatan, pendayagunaan dan pengaturan) yang telah dilakukan adalah pada subsektor perikanan; sedangkan subsektor kelautan sampai saat ini masih terbatas pada potensi jasa kelautan, misalnya wisata bahari, pemanfaatan transportasi jasa jalur laut dan pemanfaatan jasa lainnya. Pengelolaan potensi perikanan Indonesia terutama pada komoditas pelagis besar, pelagis kecil, udang, serta potensi perikanan lainnya, sudah sejak lama dimanfaatkan, bahkan sebagian potensi perikanan tersebut telah menunjukan gejala overfishing.. Pemanfaatan potensi perikanan tersebut, dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian nasional, khususnya kesejahteran masyarakat (salah satunya seperti indutrialisasi perikanan). Program industrialisasi perikanan tangkap, saat ini difokuskan terhadap komoditas T una, T ongkol, dan Cakalang (T T C). Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 1

Kegiatan penangkapan ikan tuna, tongkol dan cakalang secara regional telah diatur melalui Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs), dimana melalui ketentuan internasional Fish Stock Agreement menegaskan bahwa organisasi ini merupakan mekanisme dan alat utama dalam mengelola dan melindungi straddling fish stock dan highly migratory fish stock. Mengacu pada hal tersebut, pengelolaan sumber daya perikanan dan antisipasi krisis perikanan global menuntut pemerintah Indonesia menjadi bagian organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organizations/RFMOs). Keikutsertaan Indonesia dalam RFMOs selaras dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Pasal 118, yang diratifikasi melalui UU No. 17 T ahun 1985, tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Pasal 118 UNCLOS 1982: Negara-negara harus melakukan kerja sama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerja sama untuk menetapkan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini. Berdasarkan pasal tersebut, diketahui bahwa keanggotaan Indonesia pada RFMOs diatur oleh UU No. 45 T ahun 2009, tentang Perubahan atas UU No. 31 T ahun 2004, tentang Perikanan, Pasal 10 ayat (2). Ketentuan pasal ini menyatakan agar pemerintah turut aktif bekerja sama dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional, sebagai upaya mengelola perikanan secara regional maupun internasional. Kebijakan yang diatur RFMOs, salah satunya berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara bukan anggota pada kawasan pengelolaan. Aktivitas pemanfaatan yang dilakukan oleh negara bukan anggota diklasifikasikan sebagai illegal fishing dan hasil tangkapannya terkena embargo. Keterlibatan Indonesia dalam RFMOs mempunyai maksud untuk mengatasi hambatan non-tarif, yang berkenaan dengan ketentuan pemberlakuan sertifikasi hasil penangkapan oleh Uni Eropa (efektif per 1 Januari 2010). Regulasi ini berfungsi untuk menjaga kualitas dan membantu mencegah adanya praktek yang melanggar hukum. Indonesia sebagai anggota RFMOs telah meratifikasi beberapa perjanjian pengelolaan perikanan, khususnya spesies ikan bernilai ekonomis tinggi (seperti T una) di laut lepas. Ratifikasi dilakukan untuk mendapatkan kuota penangkapan dan akses penjualan ke pasar internasional (negara anggota RFMOs). RFMOs telah memberikan hak kepada Indonesia melalui KKP, untuk menentukan kebijakan strategis dan mengakses sumber daya ikan di laut lepas. Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 2

Wacana isu yang berkembang mengenai peran aktif wakil/duta Indonesia (KKP) dalam berdiplomasi pada forum RFMOs, masih lemah dan belum dapat mencapai target yang diharapkan. Pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh Indonesia, membutuhkan kesiapan sumber daya manusia dalam aplikasi dan pembuatan kebijakan yang mendukung pengelolaan perikanan secara lestari. Kondisi tersebut menuntut adanya kehandalan bernegosiasi dan data yang komprehensif, agar keanggotaan Indonesia mendapatkan manfaat yang optimal. Kecakapan bernegosiasi dalam koridor pengelolaan perikanan, bisa menjadikan target keanggotaan Indonesia terwakili dan memenuhi syarat minimal yang diinginkan (mengacu kepada potensi dan kondisi sumber daya perikanan). Opsi Rekomendasi: Berdasarkan pertimbangan hal di atas dan kajian oleh Koeshendrajana et al. (2013), opsi rekomendasi yang perlu dilaksanakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan adalah memperkuat diplomasi Indonesia dalam forum RFMOs terkait dengan: (1) Pengiriman utusan perwakilan pemerintah (KKP) yang kompeten, serta berpengalaman dalam negosiasi dan tidak bersifat adhoc; (2) Penyediaan dukungan data sebagai bahan bagi utusan perwakilan pemerintah (KKP) pada setiap pertemuan RFMOs, agar dapat memenuhi kuota penangkapan yang diharapkan dan kepentingan yang diinginkan lainnya dapat tercapai; dan; (3) Pembuatan mekanisme sistem evaluasi kinerja secara bekala dan melakukan penilaian terhadap kriteria utusan yang menjadi wakil Indonesia (KKP) dalam setiap pertemuan RFMO s yang diikuti. Dasar Pertimbangan Rekomendasi: Politik luar negeri adalah politik untuk mencapai tujuan nasional dengan menggunakan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada. Politik luar negeri pada hakekatnya merupakan kebijaksanaan yang perlu diambil oleh pemerintah Indonesia, dalam menjaga hubungannya dengan negara lain dan organisasi Internasional di berbagai aspek kehidupan, demi tercapainya tujuan nasional. Pengertian diplomasi secara sempit mencakup sarana serta mekanisme sementara politik luar negeri, menetapkan tujuan, dan sasaran. Diplomasi dalam artian luas, mencakup teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di luar batas wilayah yuridiksi. Diplomasi yang dilakukan oleh utusan pemerintah (KKP) pada forum pertemuan RFMOs, secara tidak langsung telah memberikan sumbangan terhadap sistem hubungan internasional. Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 3

Aspek penting yang terkait kewenangan suatu RFMOs, adalah besarnya kuota penangkapan ikan dan peraturan penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, serta alokasi kuota pada setiap anggota RFMOs. Penentuan alokasi kuota biasanya dilakukan dalam suatu pertemuan rutin (tahunan) dan sering dijadikan arena perdebatan oleh para diplomat negara peserta. Perdebatan ini dapat terjadi, karena setiap negara berkeinginan memperjuangkan kepentingan ekonominya untuk memperoleh kuota tangkapan yang dianggap wajar. Peraturan penentuan jumlah tangkapan yang di butuhkan, dilakukan dalam rangka menjaga ketertiban kawasan dan membangun keharmonisan diantara ketentuan regional dan negara. Ketentuan tersebut mencakup penggunaan alat dan metode penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, musim tidak boleh menangkap ikan, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. T arget untuk mendapatkan kuota dalam RFMOs, merupakan politik tingkat tinggi yang harus diupayakan utusan Indonesia (KKP) melalui negosiasi intensif dengan sesama negara anggota. Kondisi serta gambaran mengenai peran aktif duta Indonesia, khususnya KKP dalam forum RFMOs selama ini yaitu: (1) diplomasi Indonesia masih lemah dalam mencapai target kuota penangkapan; (2) kurangnya dukungan data dan informasi; (3) utusan yang dikirim bersifat adhoc; (4) belum adanya kajian dan penilaian terhadap kriteria utusan yang menjadi wakil Indonesia. Menurut Shoelhi (2011), salah satu bentuk diplomasi adalah persidangan terjadwal yang kerap dilaksanakan untuk menyampaikan pandangan negara atas berbagai macam isu internasional. Mengacu pada agenda tahunan RFMOs, ada beberapa pertemuan dalam bentuk kelompok kerja yang harus diikuti, utamanya adalah terkait dengan aspek (Scientific Working Group)dan kepatuhan penerapan komitmen yang disepakati (compliant). KKP melalui Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan (P4KSI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang-KP), sejak delapan tahun terakhir telah aktif mengikuti berbagai sidang pertemuan ilmiah yang diadakan RFMOs. Berdasarkan informasi diketahui bahwa Indonesia (KKP, tidak mengikuti semua pertemuan yang sudah diagendakan oleh RFMOs. Kondisi ini menunjukan indikasi kurang atau tidakj adanya ketidakseriusan pemerintah (KKP) untuk mengambil manfaat yang optimal dengan bergabung menjadi anggota RMFOs. Absennya Indonesia (KKP) dalam mengikuti seluruh pertemuan yang diagendakan dikarenakan keterbatasan dana yang dimiliki (seharusnya bukan menjadi kendala dan bisa dihindari). Kondisi ini diperparah oleh lemahnya kelompok kerja yang berperan dalam pelaporan masalah kepatuhan serta negosiasi perhitungan kuota yang memungkinkan dapat diperoleh. Pembuatan rencana yang profesional untuk menyikapi setiap pertemuan yang telah diagendakan, merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyikapi keterbatasan dana tersebut. Wakil yang dikirim untuk melakukan pertemuan pada forum RFMOs, sudah seharusnya tidak berganti-ganti personil. Menurut Friedman (2009), semakin besar kepentingan, semakin besar Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 4

kecenderungan untuk mengerahkan kekuatan terhadap sebuah tujuan yang diinginkan. Harapan besar yang diinginkan Indonesia sebagai anggota RFMOs dapat tidak tercapai, apabila personil yang diutus selalu berganti-ganti. Berubah-ubahnya personil yang dikirim, menyebabkan materi dalam setiap pertemuan RFMOs yang pernah diikuti sebelumnya tidak terekam dengan baik. Pemilihan utusan pada setiap pertemuan RFMOs harus merupakan personil yang mempunyai kepakaran handal serta berpengalaman dalam bernegoisiasi (menguasai materi dan didukung bahan data yang komprehensif). Mengacu kepada hal tersebut, apabila Indonesia tidak memiliki sumber daya manusia yang kompeten untuk mewakili pertemuan RFMOs, akan sangat sulit bagi pemerintah (KKP) mencapai tujuan yang diharapkan. Keterlibatan Indonesia dalam RFMOs, bukan bertujuan untuk pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global. T ujuan Indonesia bergabung dengan RFMOs adalah untuk memfasilitasi warga negaranya dalam mengakses sumber daya ikan di laut lepas (CCMRS IPB, 2010). Sampai saat ini ada 17 organisasi perikanan regional di dunia yang secara geografi mengatur sekitar 91% wilayah pengelolaan perikanan perikanan yang ada, 5 diantaranya tergabung dalam RFMO (Gambar 1) (Anonymous, 2013). Dalam hal ini, Indonesia secara formal terlibat di 3 organisasi terkait dengan komoditas tuna, yaitu Indian Ocean T una Commission (IOT C), Commission for the Conservation of Southern Bluefin T una (CCSBT ) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Gambar 1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional Dalam Lingkup RFMOs Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 5

Strategi Implementasi: (1) Memilih utusan yang tetap (tidak berubah-ubah) dan mempunyai kapabilitas berbahasa yang baik, serta memiliki kepakaran; (2) Memperkuat data secara komprehensif, agar pencapaian target (catch limit) dapat terpenuhi; (3) Melakukan kajian dan penilaian terhadap kriteria utusan yang menjadi wakil Indonesia; (4) Membentuk lembaga tersendiri di bawah pengawasan Balitbang-KP, terutama dalam mendukung pertemuan yang bersifat scientific committee. Prakiraan Dampak Rekomendasi: Prakiraan manfaat secara umum terkait dengan implementasi opsi rekomendasi kebijakan adalah memperbaiki kinerja wakil/utusan diplomasi Indonesia (KKP). Manfaat secara khusus adalah memberikan kebutuhan data yang komprehensif dan dukungan staf untuk wakil/duta pemerintah (KKP) yang kompeten pada tataran kepentingan RFMOs. Hal ini dilakukan agar kinerja utusan diplomasi menjadi lebih fokus dan terarah pada tujuan yang diharapkan. Melalui formulasi tersebut di atas, upaya peningkatan kuota produksi dan ekpor tuna Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan. Penyusun Rekomendasi: Sonny Koeshendrajana, Radityo Pramoda, dan Bayu Vita Indahyanti, Riesti T riyanti dan Akhmad Nurul Hadi Email: sonny_koes@yahoo.com Daftar Referensi: Anonymous. 2013. FAQ: What is a Regional Fishery Management Organization? http://www.pewenvironment.org/ news-room/fact-sheets/faq-what-is-a-regional-fisherymanagement-organization-85899371934 di unduh 15 Desember 2013. CCMRS IPB. 2010. Diplomasi Perikanan di Laut Lepas. http://www.indomarine.or.id/ detailnews.php?id= 124&page=artikel (dimuat di koran harian Sore Sinar Harapan, 7 November 2006). T anggal akses: 4 Desember 2012. Friedman, L.M. 2009. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Nusa Media. Bandung. Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 6

Koeshendrajana, S., T. Pr amoda, A.N. Hadi, B.V. Indahyanti, R. T riyanti, A. Solihin, A. Afriansyah dan C. Wulandari. 2013. Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Meningkatkan Produksi T una. Laporan T eknis (T idak Dipublikasikan). Balai Besar Penelitian Sosial dan Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Kementerian Keluatan dan Perikanan. Jakarta. 103 hal. Shoelhi, M. 2011. Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional. Simbiosa Rekataman Media. Bandung. United Nation Convention on the Law of the Sea 1982. Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMOs dalam Peningkatan Produksi Tuna 7