BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

dokumen-dokumen yang mirip
Porositas Efektif

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR

BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang

BAB 3 ANALSIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN EVALUASI FORMASI RESERVOIR FORMASI BANGKO B

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB III PEMODELAN RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

BAB I PENDAHULUAN. BAB I - Pendahuluan

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan...

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB V SEKUEN STRATIGRAFI

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

Walker, R. G. dan James, N. P., 1992 : Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada. Weber, K. J.

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR

6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

STUDI FASIES PENGENDAPAN FORMASI BAYAH DAN FORMASI BATUASIH DAERAH PASIR BENDE, PADALARANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

ANALISIS STATIK DAN DINAMIK KARAKTERISASI RESERVOIR BATUPASIR SERPIHAN FORMASI BEKASAP UNTUK PENGEMBANGAN LAPANGAN MINYAK PUNGUT

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv. SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI...

(Gambar III.6). Peta tuning ini secara kualitatif digunakan sebagai data pendukung untuk membantu interpretasi sebaran fasies secara lateral.

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

Klasifikasi Fasies pada Reservoir Menggunakan Crossplot Data Log P-Wave dan Data Log Density

KARAKTERISTIK FORMASI MENGGALA BAGIAN ATAS DI LAPANGAN QH, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III Perolehan dan Analisis Data

TUGAS AKHIR B. Institut Teknologi Bandung. Oleh. Ade Himsari PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach

BAB 3 STRATIGRAFI SEKUEN

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Analisa Log. BAB III Dasar Teori

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar 3.18).

2.2.2 Log Sumur Batuan Inti (Core) Log Dipmeter Log Formation Micro Imager (FMI)

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Gambar 1.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

UNIVERSITAS DIPONEGORO

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN DISTRIBUSI RESERVOIR PADA LAPANGAN DELIMA

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... vi. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB V ANALISA SEKATAN SESAR

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Mampu menentukan harga kejenuhan air pada reservoir

Arus Traksi dan Arus Turbidit

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C 4.1. Analisis Litofasies dan Fasies Sedimentasi 4.1.1. Analisis Litofasies berdasarkan Data Batuan inti Litofasies adalah suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik litologi yang sama secara fisik, biologi, maupun kimia. Analisis fasies dan lingkungan pengendapan diperlukan untuk menentukan pola sedimentasi dan persebaran dari batupasir pada interval penelitian. Dalam penelitian ini analisis litofasies dan lingkungan pengendapan dilakukan berdasarkan data batuan inti. Data batuan ini yang digunakan pada penelitian ini didapatkan sumur FY-119, FY-223, dan FY-264. Berdasarkan data batuan inti, secara umum penulis membagi litofasies batupasir pada daerah penelitian menjadi 5 litofasies yang dapat dibedakan berdasarkan struktur dan tekstur pada batuan. 1. Conglomeratic Coarse - Sandstone Berdasarkan data batuan inti, litofasies ini dijumpai pada sumur FY- 264 pada dengan interval kedalaman 4929-4923 ft (Gambar 4.1.1.). Litofasies ini dicirikan berdasarkan sturuktur sedimen berupa bioturbasi dan fragmen berukuran pasir sangat kasar sampai kerikil. Bioturbasi dengan persentase 25% mengindikasikan bahwa masih ada aktivitas organisme pada lingkungan pengendapan litofasies ini. Pada litofasies ini ditemukan erosional surface dengan kenampakan rip-up clast yang mengindikasikan adanya proses penggerusan yang terjadi pada lingkungan channel. Batupasir yang menjadi kontak erosi merupakan batupasir dengan semen karbonatan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat penggerusan akibat erosi terjadi proses sementasi kembali. Litofasies ini mengandung sedikit sekali glaukonit yang 23

mengindikasikan sangat sedikit pengaruh air laut dalam proses pengendapan litofasies ini. FY-264 4925,8 ft 4926,8 ft Batupasir warna abu-abu, bioturbasi 25%, sedikit skolithos dan ophiomorpha, mud drapes, fragmen berukuran pasir kasar-kerikil, matriks berukuran pasir halus, semen karbonatan pada bidang erosi,ukuran butir menyudut-menyudut tanggung, sorting buruk, porositas buruk, kompak, kontak erosional dengan kenampakan rip-up clast dan bioturbasi glossifungites. Gambar 4.1.1. Foto Conglomeratic Coarse Sandstone pada batuan inti. 2. Flaser-bedded Medium Sandstone Berdasarkan data batuan inti, litofasies ini dijumpai pada sumur FY- 119, FY-223, dan FY-264 pada interval kedalaman 4869 4866 ft, 4937,5-4928 ft, dan 4946-4947 ft (Gambar 4.1.2.). Litofasies ini dicirikan berdasarkan struktur sedimen berupa ripple dan flaser serta fragmen berukuran pasir sedang. Bioturbasi dengan persentase 25% mengindikasikan bahwa masih ada aktivitas organisme pada lingkungan pengendapan litofasies ini. Struktur ripple, flaser, dan clay doublette disebabkan oleh arus pasang-surut air laut. Fragmen yang berukuran sedang mengindikasikan bahwa litofasies ini diendapkan dengan energi pengendapan yang sedang. Pada litofasies ini ditemukan mineral glaukonit yang mencirikan lingkungan laut. Pada litofasies ini ditemukan bidang erosi dengan kenampakan rip-up clast yang mengindikasikan adanya proses penggerusan yang terjadi pada lingkungan channel. 24

FY-119 4960 ft FY-223 4931 ft FY-264 4946 ft 4960,5 ft 4932 ft 4947 ft Batupasir warna abu-abu kecoklatan, bioturbasi 25% berupa skolithos dan ophiomorpha, struktur ripple, flaser, dan clay doublette, fragmen berukuran pasir sedang, matriks lempung, bentuk butir menyudut tanggung-membundar tanggung, sorting buruk, porositas sedang, kompak, mengandung sedikit glaukonit. Gambar 4.1.2. Foto Flaser-bedded Medium Sandstone pada batuan inti. 3. Bioturbated Medium Sandstone Berdasarkan data batuan inti, litofasies ini dijumpai pada sumur FY- 119, FY-223, dan FY-264 denganinterval kedalaman 4866-4842 ft, 4916-4890 ft, dan 4923-4884 ft (Gambar 4.1.3.). Litofasies ini dicirikan berdasarkan struktur sedimen berupa bioturbasi yang intensif dan fragmen berukuran pasir sedang. Struktur mud drapes mencirikan adanya pengaruh pasang-surut air laut. Struktur bioturbasi yang intensif mengindikasikan bahwa litofasies ini diendapkan pada lingkungan pengendapan dengan aktivitas organisme yang tinggi. Secara umum pada litofasies ini ditemukan skolithos dan ophiomorpha yang cukup banyak dan sedikit ditemukan planolites. Ukuran fragmen berupa pasir sedang mengindikasikan bahwa litofasies ini diendapkan pada energi pengendapan yang sedang. Pada litofasies ini, matriks lempung dan mineral glaukonit pada sumur FY-119 lebih banyak dibanding sumur FY-223 dan FY-264. Hal ini mengindikasikan bahwa sumur FY-119 lebih dekat dengan laut. Persentase bioturbasi pada sumur FY-119 lebih tinggi dibanding dengan sumur FY-223 dan FY-264. Persentase bioturbasi sumur FY-119 lebih tinggi dibanding 25

dengan sumur FY-223 dan FY-264. Skolithos yang ditemukan di sumur FY- 119 lebih sedikit dibanding dengan FY-223 dan FY-264. FY-119 FY-223 FY-264 4846 ft 4910,5 ft 4901,5 ft 4846,5 ft 4911,5 4902,5 ft Batupasir warna abu-abu kecoklatan, mud drapes, bioturbasi 70% berupa planolites, skolithos dan ophiomorpha, fragmen berukuran pasir sedang, matriks lempung, bentuk butir menyudut tanggung-membundar tanggung, sorting sedangburuk, porositas buruk, kompak, mengandung glaukonit. Gambar 4.1.3. Foto Bioturbated Medium Sandstone pada batuan inti. 4. Bioturbated Very Fine Sandstone Berdasarkan data batuan ini, litofasies ini dijumpai pada sumur FY- 119, FY-223, dan FY-264 interval kedalaman 4842-4826 ft, 4880-4862 ft, dan 4886-4859 ft (Gambar 4.1.4.). Litofasies ini dicirikan berdasarkan struktur sedimen berupa bioturbasi yang cukup intensif dan fragmen berukuran pasir sangat halus. Struktur bioturbasi yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa litofasies ini diendapkan pada lingkungan pengendapan dengan aktivitas organisme yang cukup tinggi. Secara umum pada litofasies ini ditemukan bioturbasi ophiomorpha yang cukup banyak dan sedikit skolithos. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum litofasies ini diendapkan pada energi pengendapan yang sedang. Selain itu, ukuran fragmen berupa pasir sangat halus juga mengindikasikan energi pengendapan yang sangat rendah pada daerah ini. Litofasies ini mengandung sedikit glaukonit yang mengindikasikan adanya sedikit pengaruh laut pada pengendapan litofasies ini. Pada litofasies 26

ini ditemukan kenampakan rip-up clast yang mengindikasikan adanya proeses erosi. Selain itu ditemukan bioturbasi glossifungites pada bidang erosional yang menandakan adanya gap waktu pengendapan. Persentase bioturbasi sumur FY-119 lebih tinggi dibanding dengan sumur FY-223 dan FY-264. Skolithos yang ditemukan di sumur FY-119 lebih sedikit dibanding dengan FY-223 dan FY-264. FY-119 FY-223 FY-264 4905 ft 4779 ft 4862 ft 4905,5 ft 4780 ft 4663 ft Batupasir warna abu-abu kecoklatan, bioturbasi 40% berupa planolites, skolithos dan ophiomorpha, fragmen berukuran pasir sangat halus, matriks lempung cukup banyak, ukuran butir membundar tanggung, sorting sedang, porositas sedang, kompak, mengandung mineral glaukonit, kontak erosional dengan kenampakan rip-up clast. Gambar 4.1.4. Foto Bioturbated Very Fine Sandstone pada batuan inti. 5. Bioturbated Fine Sandstone Berdasarkan data batuan inti, litofasies ini dijumpai pada sumur FY- 119, FY-223, dan FY-264 dengan interval kedalaman 4822,5-4803 ft, 4862-4858 ft, dan 4859-4850 ft (Gambar 4.1.5.). Litofasies ini dicirikan berdasarkan struktur sedimen berupa bioturbasi intensif dan fragmen berukuran pasir halus. Mud drapes mencirikan adanya pengaruh pasang-surut air laut. Struktur bioturbasi yang cukup intensif mengindikasikan bahwa litofasies ini diendapkan pada lingkungan pengendapan dengan aktivitas organisme yang cukup. Ukuran fragmen berupa pasir halus mengindikasikan bahwa litofasies ini diendapkan pada energi pengendapan yang rendah. Litofasies ini 27

mengandung sedikit glaukonit yang mengindikasikan adanya sedikit pengaruh laut pada pengendapan litofasies ini. FY-119 4802 ft FY-223 4866 ft FY-264 4855 ft 4803 ft 4867 ft 4856 ft Batupasir warna abu-abu, mud drapes, bioturbasi 30% berupa skolithos dan ophiomorpha, fragmen berukuran pasir halus, matriks berukuran lempung, bentuk butir menyudut tanggung-membundar tanggung, porositas sedang, sorting sedang-buruk, kompak, mengandung mineral sedikit glaukonit. Gambar 4.1.5. Foto Bioturbated Fine Sandstone pada batuan inti. 28

Gambar 4.1.6. Deskripsi dan analisis litofasies berdasarkan data batuan inti Sumur FY-119 (kiri) dan lokasi sumur batuan inti (kanan). 29

Gambar 4.1.7. Deskripsi dan analisis litofasies berdasarkan data batuan inti Sumur FY-223. 30

Gambar 4.1.8. Deskripsi dan analisis litofasies berdasarkan data batuan inti Sumur FY-264. 31

4.1.2. Analisis Fasies Sedimentasi Penulis melakukan analisis fasies sedimentasi berdasarkan analisis litofasies dan pola log gamma ray. Litofasies mencerminkan mekanisme pengendapan tertentu. Litofasies dijadikan acuan dalam penentuan lingkungan pengendapan pada interval penelitian. Berdasarkan analisis pada batuan inti, penulis menginterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan pada daerah penelitian adalah tide dominated delta. Penulis menggunakan model tide dominated delta dalam penentuan fasies sedimentasi (Gambar 4.1.9). Daerah Penelitian Gambar 4.1.9. Model Tide Dominated Delta (modifikasi Emery dan Myers, 1996) Berdasarkan analisis litofasies, penulis membagi daerah penelitian menjadi 3 asosiasi fasies yaitu Fasies Tidal Channel, Fasies Tidal Ridge, dan Fasies Tidal Sand Flat (Gambar 4.1.10). 1. Fasies Tidal Channel Fasies Tidal Channel dicirikan dengan asosiasi litofasies berupa flaser-bedded - medium sandstone, conglomeratic coarse - sandstone, dan bioturbated - medium sandstone. Selain itu, fasies ini dicirikan dengan pola log blocky dan bell. Fasies ini diendapkan dengan energi pengendapan yang tinggi pada lingkungan tidal channel. Bagian bawah fasies ini dibatasi dengan bidang erosi. 32

2. Fasies Tidal Ridge Fasies Tidal Ridge dicirikan dengan asosiasi litofasies berupa bioturbated - medium sandstone dan pola log funnel dan irregular. Fasies ini diendapkan pada lingkungan tidal bar. 3. Fasies Tidal Sand Flat Fasies Tidal Sand Flat dicirikan dengan asosiasi litofasies berupa bioturbated fine sandstone dan pola log irregular. Fasies ini diendapkan dengan energi pengendapan yang rendah pada lingkungan tidal sand flat. Bagian bawah fasies ini dibatasi dengan bidang erosi. 1,5 km 2 km Gambar 4.1.10. Fasies sedimentasi berdasarkan data batuan inti dan pola log sumur. 4.1.3. Korelasi Detail Data yang digunakan dalam detail berupa data log gamma ray sebanyak 24 sumur. Korelasi dilakukan pada pada 10 lintasan terdiri 5 Lintasan berarah NW-SE dan 5 lintasan berarah NW-SE. Korelasi pada lintasan berarah NW-SE dapat melihatkan perubahan 33

sedimentasi sedangkan korelasi pada lintasan berarah NW-SE digunakan untuk melihat geometri dari akomomodasi pengendapan. Log gamma ray mencerminkan variasi dalam suatu suksesi ukuran butir (Selley, 1978 dalam Walker, 1992). Bentuk dari pola log gamma ray dapat digunakan sebagai interpretasi awal. Rider (2000) membagi pola log menjadi beberapa jenis yaitu cylindrical, blocky, funnel, bell, symmetrical, serrated. Jenis pola log sinar gamma ini dapat dijadikan sebagai interpretasi awal dalam menentukan fasies sedimentasi. Selain menggunakan pendekatan elektrofasies, penulis juga menggunakan analisis batuan inti sebagai acuan (Gambar 4.1.10.). Penulis menggunakan marker waktu berupa flooding surface dan erosional surface dalam melakukan korelasi untuk pembagian fasies pengendendapan. Berdasarkan korelasi pada tiap sumur, penulis membagi interval penelitan menjadi 6 fasies sedimentasi yaitu Fasies Tidal Channel 1, Tidal Ridge 1, Tidal Sand Flat 1, Tidal Channel 2, Tidal Ridge 2, dan Tidal Sand Flat 2. Berikut adalah salah satu korelasi berarah NW-SE yang melewati 6 sumur pada daerah penelitian (Gambar 4.1.11). Gambar 4.1.11. Korelasi sumur pada salah satu lintasan berarah NW-SE. 34

4.1.4. Evolusi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan suksesi vertikal dan karakter dari tiap fasies sedimentasi, lingkungan pengendapan pada interval penelitian masih dalam satu lingkungan pengendapan. Fasies batupasir pada interval penelitian diendapkan pada lingkungan tide dominated delta. Pada interval penelitian terjadi 2 kali siklus pengendapan yang relatif sama. Secara regional, Formasi Bekasap Interval C diendapkan secara selaras diatas Formasi Bangko. Pengendapan akhir dari Formasi Bangko terjadi pada saat kenaikan muka air laut maksimum. Penurunan muka air laut secara drastis menyebabkan perubahan lingkungan pengendapan dari shallow marine menjadi intertidal. Pada lingkungan intertidal ini mulai diendapkan Formasi Bekasap C. Pengendapan Formasi Bekasap Interval C diawali dengan fasa transgresi dan mulai diendapkan Fasies Tidal Channel 1. Batupasir Fasies Tidal Channel 1 diendapkan pada lingkungan tidal channel kemudian terjadi pengendapan secara progradasi dan dilanjutkan dengan pegendapan Fasies Tidal Ridge 1 pada lingkungan tidal ridge. Pengendapan secara progradasi terus terjadi dan pengaruh pasang surut air laut cukup besar menyebabkan terjadinya pengendapan Fasies Tidal Sand Flat 1 pada lingkungan tidal sand flat. Kemudian terjadi penurunan muka airlaut yang menyebabkan terjadinya erosi dan diendapkan kembali Fasies Tidal Channel 2 pada lingkungan tidal channel kemudian terjadi pengendapan secara progradasi dan diendapkan Fasies Tidal Ridge 2 pada lingkungan tidal ridge. Pengendapan Bekasap Interval C diakhiri dengan pengendapan Fasies Tidal Sand Flat 2 pada lingkungan tidal sand flat. 4.2. Analisis Petrofisika Analisis petrofisika dimaksudkan untuk menentukan karakteristik dan kualitas dari batuan. Karakteristik dan kualitas reservoir ditentukan oleh beberapa parameter fisik. Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa analisis petrofisika berupa Vshale, porositas, porositas efektif, permeabilitas, dan saturasi air. 4.2.1. Vshale Vshale adalah volume shale dalam sebuah reservoir. Penulis menggunakan data log gamma ray untuk melakukan perhitungan Vshale. Rumus perhitungan Vshale yang penulis gunakan adalah rumus persamaan linear. 35

Perhitungan Vshale yang digunakan adalah: Keterangan : Vshale = jumlah kandungan lempung (v/v) GR = Bacaan log Gamma Ray (API) GRmax = Bacaan log Gamma Ray paling rendah GRmin = Bacaan log Gamma Ray paling tinggi Perhitungan Vshale pada interval penelitian menghasilkan sebuah histogram frekuensi dari Vshale pada seluruh sumur. Berdasarkan histogram Vshale pada interval penelitian, didapatkan nilai rata-rata Vshale sebesar 0,4 (Gambar 4.2.1.). Gambar 4.2.1. Histogram frekuensi Vshale seluruh sumur. 4.2.2. Porositas Total Porositas total adalah perbandingan antara volume pori dengan volume seluruh batuan. Penulis menggunakan data log RHOB (densitas) untuk melakukan perhitungan porositas. Berdasarkan kumpulan jenis data log, sumur FY-232 dan FY-330 tidak memiliki data log RHOB. Sebelum melakukan perhitungan porositas, penulis melakukan sintetik data RHOB. Penulis mendapatkan sintetik data RHOB dengan proses regresi antara data log gamma ray dan data log RHOB pada sumur FY-119. Berdasarkan crossplot dari kedua data ini, 36

didapatkan garis regresi dan persamaannya. Persamaan ini digunakan pada sumur yang tidak memilki data RHOB (Gambar 4.2.2.). Gambar 4.2.2. Persamaan regresi data RHOB Sumur FY-119. Setelah melakukan sintetik RHOB dan semua sumur telah memiliki data RHOB, penulis dapat melakukan perhitungan porositas total di interval penelitian. Perhitungan porositas total dilakukan dengan persamaan sebagai berikut: Keterangan : RHOB = Bacaan log densitas (gr/cc) PHIT = Porositas total (v/v) = Massa jenis matriks batuan PHID = Porositas Densitas (v/v) = Massa jenis fluida Rumus ini digunakan dengan asumsi batupasir pada daerah penelitian adalah batupasir dengan nilai densitas batupasir bersih (clean sand) 2,65. Perhitungan porositas total dalam penelitian menghasilkan sebuah histogram frekuensi porositas total seluruh sumur. Rata-rata dari porositas total pada interval penelitian adalah 0,14 (Gambar 4.2.3.). 37