BAB IV NILAI HISTORIS NASKAH PROKLAMASI YANG OTENTIK DAN KETERKAITANNYA DENGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN NASIONALISME BANGSA INDONESIA Bab keempat yang merupakan hasil kajian penulis terhadap fakta-fakta historis sekitar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 pada bab-bab sebelumnya ini, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengupas permasalahan penelitian tentang nilai historis naskah proklamasi yang otentik dan keterkaitannya dengan nilai-nilai pendidikan nasionalisme bangsa Indonesia. Dalam kaitan tersebut pembahasannya dituangkan ke dalam dua sub-bab yang menjelaskan tentang nilai-nilai historis yang terkandung di dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia serta nilai-nilai pendidikan nasionalisme bangsa Indonesia dan peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagai berikut : A. Nilai-nilai Historis yang Terkandung di dalam Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Fakta-fakta historis di dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, antara lain dapat ditelaah melalui visualisasi sebagai berikut : 1. Visualisasi Teks Proklamasi yang klad (lampiran gambar 1). Pada visualisasi teks proklamasi yang klad (tulisan tangan Ir. Soekarno) tersebut, terlihat adanya dua kata yang dalam penulisannnya dicoret atau dikoreksi, yaitu kata pemindahan dan kata 82
diselenggarakan, serta diakhiri dengan kalimat Wakil-2 bangsa Indonesia (tanpa tanda tangan). Naskah proklamasi tulisan tangan ini dirumuskan oleh tiga orang pimpinan golongan tua, yakni Soekarno, Hatta, dan Akhmad Subardjo dengan disaksikan oleh tiga orang eksponen pemuda, yaitu Sukarni, B. M. Diah dan Mbah Diro serta beberapa orang Jepang. Para tokoh golongan tua tersebut duduk menyendiri di kamar makan rumah Laksamana Maeda, yang terletak di Jalan Imam Bonjol no. 1 Jakarta (kini menjadi tempat kediaman Duta Besar Inggris), sedangkan tokohtokoh pemuda lainnya menunggu di serambi muka. Yang menuliskan klad -nya adalah Soekarno, sedangkan Hatta dan Akhmad Subardjo menyumbangkan pemikirannya secara lisan. Sebagai hasil perbincangan mereka bertiga itulah diperoleh rumusan teks proklamasi tulisan tangan Soekarno (Nugroho Notosusanto, 1978: 15). Nilai historis yang dapat disimpulkan dari visualisasi naskah Proklamasi yang berupa tulisan tangan Soekarno tersebut, menggambarkan bahwa naskah proklamasi yang klad bukan dirumuskan oleh Bung Karno seorang diri, melainkan merupakan hasil pemikiran para tokoh golongan tua (Soekarno, Hatta, dan Akhmad Subardjo). Hal ini juga menggambarkan adanya nilai permusyawaratan dalam bentuk tukar-pendapat di antara para tokoh golongan tua dalam mengambil keputusan guna merumuskan redaksional naskah proklamasi. 83
2. Visualisasi Teks Proklamasi yang Otentik (lampiran gambar 2). Pada visualisasi teks proklamasi yang otentik (tik-tikan) tersebut, terlihat adanya tiga perubahan penulisan kata dan kalimat, yaitu kata tempoh diganti menjadi tempo, pada bagian akhir kalimat wakilwakil bangsa Indonesia diganti dengan Atas nama bangsa Indonesia, sedangkan cara penulisan tanggal dirubah sedikit menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Perubahan penulisan beberapa kata dan kalimat dari teks proklamasi klad ke dalam naskah proklamasi yang tik-tikan (otentik) oleh Sayuti Melik tersebut, sebelumnya sudah disetujui oleh para tokoh pendiri bangsa saat itu. Terjadinya perubahan pengetikan tersebut berawal dari pembacaan draft rumusan teks proklamasi oleh Soekarno dan menyrankan agar segenap tokoh-tpkoh yang hadir di serambi muka rumah kediaman Laksamana Maeda itu secara bersama-sama menandatangani naskah proklamasi tersebut selaku Wakil-2 bangsa Indonesia. Saran itu mendapat tantangan dari pihak pemuda yang menyatakan tidak rela bahwa budak-budak Jepang ikut menandatangani naskah proklamasi. Yang dimaksud dengan budakbudak Jepang adalah tokoh-tokoh golongan tua yang dinilinya bukan orang Pergerakan nasional, melainkan hanya oportunis-oportunis belaka dan memperoleh kursi karena pengabdiannya kepada pemerintah Balatentara Dai Nippon. Karena pernyataan itu, timbulah heboh, 84
terutama dari pihak yang merasa dirinya disebut sebagai budak-budak Jepang. Kemudian Sukarni selaku salah seorang pemimpin pemuda mengusulkan, agar supaya yang menandatangani naskah proklamasi itu hanyalah Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Bukankah mereka berdua yang pada masa itu dikenal sebagai pemimpin utama bangsa Indonesia? Usul tersebut diterima baik oleh segenap hadirin dan selanjutnya Soekarno meminta Sayuti melik untuk mengetik nskah bersih berdasarkan draft dengan perubahan-perubahan yang telah disetujui bersama (Nugroho Notosusanto, 1978: 16). Nilai historis yang dapat disimpulkan dari visualisasi naskah Proklamasi yang tik-tikan (otentik) tersebut, menggambarkan bahwa dalam perumusan naskah Proklamasi yang otentik ini tidak sekedar menyalin secara redaksional dari draft tulisan tangan menjadi naskah tiktikan. Melainkan sempat terjadi perdebatan yang heboh antara para tokoh pendiri bangsa dari golongan pemuda dengan golongan tua saat itu. Hal ini juga menggambarkan terjadinya persatuan nasional di antara para tokoh bangsa yang hadir pada saat penandatanganan teks Proklamasi itu (31 orang hadirin terlampir). Dengan demikian penandatanganan naskah proklamasi yang otentik oleh Soekarno-Hatta benar-benar mewakili seluruh rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. 3. Visualisasi Pembacaan Teks Proklamasi yang otentik (lampiran gambar 3). 85
Pada visualisasi peristiwa pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang otentik (naskah tik-tikan) tersebut, pukul 10. 00 pagi WIB di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, terlihat suasana hidmat saat Bung Karno berpidato membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Upacara yang sangat penting dalam Sejarah Nasional Indonesia itu hendak segera digelar, sehingga semua hadirin berdiri hidmat. Di mana Shudanco Latief Hendraningrat menjadi Komandan Upacara, Soekarno dan Hatta sudah berdiri di tempat yang sudah ditentukan, di belakang Soekarno berdiri tegak Shudanco Sanusi, sedangkan di belakang Hatta berdiri Shudanco Moh. Saleh. Kemudian Bung Karno mulai berpidato, yang di dalamnya tercantum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Syafiudin Sastrawijaya, 1980: 48). Sementara itu, Ibu Fatmawati (1978: 61) menuturkan bahwa pidato Bapak (Bung Karno) saat itu lebih berapi-api daripada pidata hari-hari sebelumnya atau harihari sesudahnya. Setelah selesai berpidato di hadapan massa sekitar 300 orang lebih itu, mulailah Bung karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Nampak Pak Suwirjo terisak-isak menangis, begitupun dengan Ibu Fatmawati sendiri, bahkan saat itu banyak kaum laki-laki yang mengucurkan air matanya. Dan akhirnya terlihat pula Bung Karno dan Bung Hatta saling bersalaman. Nilai historis yang dapat disimpulkan dari visualisasi peristiwa pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang otentik 86
tersebut, menggambarkan bahwa Bung Karno dalam pidato menghantarkan pembacaan teks proklamasi dilakukannya secara lebih berapi-api dibandingkan dengan pidato-pidatonya yang lain. Hal ini sebagai gambaran tercapainya titik puncak dari perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme di bumi Nusantara selama berabad-abad lamanya. Namun demikian, para hadirin juga merasakan rasa haru yang mendalam dan bahkan sempat menangis mencucurkan air matanya, baik kaum laki-laki maupun perempuan. Suasana haru dan hidmat saat itu menggambarkan rasa syukur bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Mahaesa, karena tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia didasarkan atas rakhmat Allah Yang Maha Kuasa. 4. Visualisasi Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih (lampiran gambar 4). Pada visualisasi pelaksanaan upacara pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terlihat suasana tertib dan hidmat dari segenap hadirin yang menyaksikannya. Di mana bendera pusaka Sang Saka Merah Putih ini dijahit oleh Ibu Fatmawati Soekarno, dan kemudian dikibarkan kembali setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati detik-detik yang paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Namun sejak tahun 1968 yang dikibarkan adalah duplikatnya untuk menjaga agar Bendera Pusaka tidak cepat rusak. 87
Berkaitan dengan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih ini, Ibu Fatmawati (1978: 61) menuturkan bahwa setelah Bung Karno selesai membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan bersalaman dengan Bung Hatta, selanjutnya Pak Latief Hendraningrat mempersiapkan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih. Ibu Fatmawati bersama-sama dengan ibu S. K. Trimurti menuju ke dekat tiang bendera, selanjutnya upacara bendera dipimpin oleh Pak Latief Hendraningrat, dengan diiringi lagu Indonesia Raya tanpa musik, nampak semua hadirin terlihat tertib dan khusyuk mengikutinya. Nilai historis yang dapat disimpulkan dari visualisasi pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut, menggambarkan bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan secara resmi kenegaraan yang pertama kalinya dilakukan pada saat pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang otentik. Hal ini mengandung makna historis bahwa Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih merupakan lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, eksistensinya wajib dipertahankan oleh setiap warga negara Indonesia, sehingga Bendera Pusaka ini selalu dikibarkan kembali secara resmi kenegaraan setiap tanggal 17 Agustus guna memperingati detik-detik proklamasi yang bersejarah itu. 5. Visualisasi Suasana Hidmat Pengikut Upacara Bendera Pusaka (lampiran gambar 5). 88
Pada visualisasi suasana upacara Bendera Pusaka dan Poklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, terlihat para hadirin dengan hidmat mengikuti jalannya upacara resmi kenegaraan tersebut. Terlihat tokoh-tokoh pendiri bangsa Indonesia, di barisan depan seperti Mr. Latuharhary, Soewirjo, Ibu Fatmawati, Dr. Samsi, dan Ibu S. K. Trimurti, sementara di barisan belakang tampak Mr. A. G. Pringgodigdo dan Mr. Soedjono. Nilai historis yang dapat disimpulkan dari visualisasi suasana hidmat pengikut upacara pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran Bendera Pusaka tersebut, menggambarkan bahwa para tokoh pendiri bangsa Indonesia dari kaum intektual juga turut hadir dengan hidmatnya mengikuti jalannya upacara. Hal ini juga menggambarkan adanya persatuan dan kesatuan berbagai golongan masyarakat yang turut menjadi saksi diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan nilai-nilai historis yang dapat disimpulkan di dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di atas, dapat diketahui bahwa pembacaan teks Proklamasi yang otentik merupakan peristiwa yang sangat penting dalam Sejrah Nasional Bangsa Indonesia. Di balik peristiwa tersebut pada hakekatnya dapat dipetik beberapa nilai historis, seperti perlunya permusyawaratan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme bangsa asing selama berabad-abad lamanya, keberadaan 89
bendera Sang Saka Merah Putih sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia, maupun rasa syukur bangsa Indonesia terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa hingga dapat memasuki gerbang kemerdekaannya. B. Nilai-nilai Pendidikan Nasionalisme Bangsa Indonesia dan Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Nilai-nilai pendidikan nasionalisme bangsa Indonesia di balik peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pada dasarnya merupakan nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme yang diharapkan mampu menjiwai setiap warga negara terutama generasi penerus bangsa. Jiwa dan semangat nasionalisme dalam diri setiap warga negara Indonesia besar peranannya dalam upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa secara utuh, sehingga eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terpupuk secara konsisten hingga tercapainya Tujuan Nasional di kemudian hari. Oleh karenanya diperlukan upaya penanaman nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan nasionalisme bagi setiap warga negara Indonesia secara terus-menerus dan berkesinambungan. Pendidikan nasionalisme itu sendiri merupakan proses pembelajaran di bidang budaya politik bangsa dalam bentuk penanaman nilai-nilai kebangsaan dalam diri setiap warga negara, sehingga secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki rasa cinta tanah air, bangsa, dan negara Indonesia secara konsisten. Melalui rasa memiliki ( sense of belonging ) setiap warga negara terhadap tanah air, bangsa, dan negaranya 90
ini, diharapkan mampu memelihara terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa secara harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seharihari. Oleh karenanya, pendidikan nasionalisme bagi generasi penerus bangsa memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya menciptakan suasana yang kondusif bagi kehidupan budaya politik bangsa. Mencermati nilai-nilai historis yang terkandung di dalam peristiwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pada dasarnya terdapat beberapa aspek historis yang perlu disosialisasikan dan dibudayakan melalui penerapan pendidikan nasionalisme terutama bagi generasi muda penerus bangsa. Aspek-aspek historis yang dapat dipetik dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia guna menanamkan nilai-nilai kebangsaan antara lain sebagai berikut : 1. Aspek permusyawaratan dan kesatuan bangsa. Aspek permusyawaratan sebagai nilai historis yang dapat dipetik dari peristiwa perumusan naskah Proklamasi yang otentik berupa adanya permusyawaratan antara tokoh-tokoh pendiri bangsa dari golongan tua maupun pemuda, sehingga dihasilkan naskah tulisan tangan Soekarno maupun naskah tik-tikan (otentik) yang dibacakan saat diproklamasikannya Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Permusyawaratan sebagai nilai historis ini sudah tentu perlu senantiasa disosialisasikan dan ditanamkan dalam diri setiap generasi penerus bangsa melalui pendidikan nasionalisme, sehingga dapat 91
memupuk jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. 2. Aspek kebebasan dan kemerdekaan sebagai hasil perjuangan bangsa. Aspek kebebasan dan kemerdekaan sebagai nilai historis yang dapat dipetik dari peristiwa proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia berupa adanya kesadaran di dalam jiwa setiap warga negara bahwa tercapainya kemerdekaan merupakan hasil perjuangan para pendahulu bangsa, dan bukan merupakan hadiah ataupun pemberian bangsa lain. Kebebasan dan kemerdekaan yang perlu diperjuangkan dalam meraihnya sebagai suatu nilai historis ini, sudah tentu perlu ditanamkan dalam diri setiap generasi penerus bangsa. Hal ini merupakan penanaman nilai-nilai nasionalisme dalam bentuk kesadaran untuk kerja keras guna memperoleh tujuan, termasuk di dalamnya penanaman semangat kerja keras guna meraih Tujuan Nasional yang dirumuskan di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. 3. Aspek Sang Saka Merah Putih sebagai lambang pemersatu bangsa. Aspek bendera Merah Putih lambang pemersatu bangsa sebagai nilai historis yang dapat dipetik dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, berupa sikap hormat dan hidmat dari senegap peserta 92
upacara pengibaran bendera dengan alunan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kesatuan sikap dari segenap peserta upacara tersebut, pada dasarnya merupakan gambaran jiwa nasionalisme para hadirin saat itu, sehingga perlu senantiasa ditanamkan melalui pendidikan nasionalisme di kemudian hari. Bentuk penanaman sikap hormat terhadap Sang Saka Merah Putih ini, sudah tentu tidak hanya terbatas pada peristiwa upacara-upacara resmi kenegaraan, melainkan melalui sikap keseharian setiap warga negara guna memupuk jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. 4. Aspek rasa syukur terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Aspek ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Mahaesa sebagai nilai historis dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada dasarnya tercermin dalam suasana hidmat segenap peserta upacara pengibaran bendera Merah Putih saat itu. Di samping itu, ungkapan rasa syukur tersebut secara yuridis juga tertuang di dalam pernyataan Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945, sebagai bagian tak terpisahkan dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ungkapan rasa syukur sebagai nilai historis perlu senantiasa ditanamkan melalui pendidikan nasionalisme bagi setiap generasi penerus bangsa. Hal ini menggambarkan suasana kejiwaan bangsa Indonesia yang senantiasa meyakini akan kebesaran kekuasaan Tuhan 93
Yang Maha Kuasa, termasuk terjadinya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan pembahasan nilai-nilai pendidikan nasionalisme bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai historis yang terkandung di dalam naskah proklamasi yang otentik terutama nilai-nilai permusyawaratan dan kesatuan bangsa, kemerdekaan yang perlu perjuangan dan kerja keras, sikap menghormati bendera Merah Putih sebagai lambang persatuan bangsa, serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas tercapainya Kemerdekaan Bangsa Indonesia. 94