BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyediaan dana secara cepat ketika harus segera dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Keinginan manusia akan benda

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut ada

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan. meningkatnya kemajuan tersebut, maka semakin di perlukan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. lain sehingga muncul hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi sebagai salah satu bagian yang terpenting dari

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. dan pertahanan keamanan. Tujuan dari pembangunan tersebut adalah untuk. dapat dilakukan yaitu pembangunan di bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. tidak mungkin untuk dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari manusia

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. bank. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi sebagai dampak krisis ekonomi global. tahun 2008 mencapai (dua belas ribu) per dollar Amerika 1).

Imma Indra Dewi Windajani

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kapal laut merupakan salah satu transportasi perairan yang sangat. Indonesia, baik dalam pengangkutan umum maupun

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. ini hampir seluruh kegiatan ekonomi yang terjadi, berkaitan dengan bank. Untuk

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PT. BPR ARTHA SAMUDRA DI KEDIRI

BAB III PENUTUP. ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah yaitu parate executie,

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

Pembebanan Jaminan Fidusia

BAB I PENDAHULUAN. Piutang negara saat ini cukup besar terutama yang berasal dari perbankan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law).

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. efisien. Tujuan kegiatan bank tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 2. UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis yuridis..., Liana Maria Fatikhatun, FH UI., 2009.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk menjadikan Indonesia harus dapat meningkatkan berbagai

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. merangsang dan menumbuhkan motivasi masyarakat untuk meningkatkan. produktifitas di bidang usahanya. Meningkatnya pembangunan

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun dana dan menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu bentuk penyaluran dana oleh bank adalah dalam bentuk kredit. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam pembangunan, maka sudah sepatutnya pihak-pihak yang terkait mendapatkan perlindungan hukum yang kuat dalam rangka mengantisipasi kerugian apabila terjadi masalah cedera janji (wanprestasi). Kreditur sebagai pihak pemberi kredit dalam hal ini seringkali harus menanggung risiko karena debitur selaku penerima kredit tidak menepati janjinya untuk mengembalikan kredit yang dipinjam tepat waktu. Dalam ilmu ekonomi perbankan terdapat suatu asas yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kredit kepada nasabahnya, yaitu yang dikenal dengan istilah The Five C s of Credit Analysis (Prinsip 5C), artinya pada pemberian kredit tersebut harus diperhatikan lima faktor, yaitu character (watak, itikad baik), capacity/capability (kecakapan, kemampuan atau kesanggupan), capital (permodalan), condition of economic (prospek ekonomi atau prediksi usaha), dan collateral (jaminan, agunan). Dengan

2 demikian perbankan selalu memperkuat kedudukannya sebagai kreditur 1. Oleh karena itu, dalam hal penyaluran kredit bank selalu meminta adanya jaminan atau agunan kepada pemohon kredit guna memberikan kepastian hukum untuk mengantisipasi terjadinya kerugian karena tidak kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan. Pembebanan atau pengikatan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya, jika objek jaminan berupa benda bergerak, maka pembebanan atau pengikatannya dilakukan dengan menggunakan gadai dan fidusia. Apabila objek jaminan berupa kapal laut dengan berat tertentu dan pesawat udara, maka pembebanan atau pengikatannya dengan menggunakan hipotik, sedangkan jika objek jaminan berupa tanah, maka pembebanan atau pengikatannya dengan menggunakan Hak Tanggungan atas tanah. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan), yang dimaksudkan dengan Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan barang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. 23-24. 1 Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.

3 Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan perjanjian ikutan atau accesoir yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka lahir dan keberadaan Hak Tanggungan ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan sebagai pendukung perjanjian pokoknya untuk menjamin kreditur bahwa debitur dapat memenuhi kewajibannya. Apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi kepada debitur dengan cara kreditur melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi jaminan utang debitur. Eksekusi merupakan jalan paling akhir yang dapat ditempuh kreditur dalam meminta pemenuhan prestasi dari debitur. Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam eksekusinya, jika debitur cedera janji. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan sebagai berikut: Apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketentuan Pasal 6 tersebut memberikan kemudahan kepada kreditur untuk dapat memperoleh kembali pelunasan piutangnya yang telah macet karena debiturnya cedera janji dengan adanya kesempatan bagi kreditur untuk melakukan Parate Eksekusi, yaitu apabila debitur cedera janji maka pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang mempunyai hak untuk menjual objek

4 Hak Tanggungan atas kuasa sendiri melalui pelelangan umum dan pelunasan piutang diambil dari hasil lelang objek tersebut. Merujuk rumusan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan proses eksekusi dapat dilakukan tanpa campur tangan atau melalui pengadilan. Dengan kata lain tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak dari pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa perjanjian pun hak itu sudah lahir. Selain itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun ternyata dalam praktek, bank sebagai pemegang Hak Tanggungan baru dapat menjual objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut setelah mendapat fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau dengan lebih dahulu menyerahkan piutangnya melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Hal ini menjadi salah satu kendala bagi Bank dalam menyelesaikan kredit bermasalah secara cepat, tepat, transparan dan dapat diterima dengan baik oleh para pihak yang berkepentingan. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

5 1. Bagaimana pelaksanaan parate eksekusi jaminan hak tanggungan dalam hal terdapat perbedaan pendapat tentang keberadaan Fiat Eksekusi Pengadilan Negeri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan? 2. Hal-hal apa sajakah yang menjadi hambatan pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan di Kota Yogyakarta dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut? C. Keaslian Penelitian Sebagai sebuah studi mengenai hukum kenotariatan yang mengkaji mengenai eksekusi Hak Tanggungan, penelitian ini tentunya bukan suatu penelitian yang baru sama sekali karena sudah ada penelitian yang dilakukan sebelumnya. Namun agar tidak terjadi pengulangan penelitian terhadap permasalahan yang sama, peneliti mengumpulkan data mengenai masalah tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Gadjah Mada, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul KESESUAIAN PROSEDUR PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN KETENTUAN PASAL 6 UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN BESERTA HAMBATAN-HAMBATANNYA belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Namun ada beberapa penelitian yang mempunyai tema yang sama tetapi pokok permasalahannya berbeda.

6 Di bawah ini akan dikemukakan beberapa hasil penelitian tesis yang ada relevansinya dengan penelitian tesis ini, yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ronald T. Mangalik 2 dengan judul Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Eksekusi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012. Pokok permasalahan penelitian tersebut adalah perlindungan hukum kepada pemegang Hak Tanggungan pertama dalam melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan berdasarkan prinsip parate executie. Adapun kesimpulan dari penulisan tersebut menyebutkan bahwa: a. Eksistensi pemegang Hak Tanggungan pertama belum sepenuhnya diakui dalam melakukan parate executie terhadap objek Hak Tanggungan. Pengaturan tentang prosedur pelaksanaan parate executie terdapat kontroversi, karena di satu sisi pelaksanaan penjualan objek Hak Taggungan melalui pelelangan umum tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri, namun di sisi lain pelaksanaannya harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Akibatnya pelaksanaan parate executie yang merupakan hak kreditur menjadi kabur dan bahkan dapat dikatakan terjadi konflik norma. b. Bentuk perlindungan hukum kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama telah dilakukan sepenuhnya dalam hal parate executie terhadap objek Hak Tanggungan. Hal tersebut dapat dilihat dari 2 Ronald T. Mangalik, 2012, Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Eksekusi, UGM, Yogyakarta

7 adanya kepastian hukum bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama dalam melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan berdasarkan prinsip parate executie. Menurut Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Hak Tanggungan, hak parate executie dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, hak dari pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) adalah hak berdasarkan Undang-Undang. Jadi, tanpa perjanjian pun, hak itu sudah lahir. Hal tersebut diperkuat dengan adanya SK Menkeu No.304/KMK.01/2002 jo. 450/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Nur Kholis Muslim 3 dengan judul Analisis Parate Ekseksi Objek Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2014. Pokok permasalahan penelitian tersebut adalah pelaksanaan atau penerapan parate eksekusi di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta. Adapun kesimpulan dari penulisan tersebut menyebutkan bahwa: a. Pelaksanaan parate eksekusi di KPKNL Yogyakarta berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan merujuk terhadap PMK 3 Muhammad Nur Kholis Muslim, 2014, Analisis Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta, UGM, Yogyakarta.

8 Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan DJKN Nomor 06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. Kedua aturan di atas menjelaskan bahwa setiap penjual yang bermaksud melakukan penjualan barang secara lelang melalui KPKNL, harus mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Kepala KPKNL, disertai dokumen persyaratan lelang tanpa menggunakan fiat / perintah pengadilan negeri, tetapi dalam APHT harus telah diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri apabila debitur cedera janji, serta yang berhak mengajukan permohonan lelang adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama. Apabila tidak memenuhi kedua persyaratan di atas maka KPKNL Yogyakarta akan menolak permohonan lelang. Apabila kreditur adalah bank, sekalipun debitur telah dinyatakan wanprestasi karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya, maka untuk menyelamatkan dan menyelesaikan kreditur bermasalah ada dua strategi yang ditempuh: 1). Melalui Jalur Non Litigasi yaitu melalui perundingan kembali antara kreditur dan debitur dengan cara Rescheduling/penjadualan kembali, Reconditioning/usaha dengan cara mengubah sebagian/ seluruh kondisi (persyaratan) yang semula disepakati bersama, dan Recstructuring/mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari

9 pemberian kredit. 2). Melalui Jalur Litigasi yaitu berdasarkan titel eksekutorial dan dapat pula berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (parate eksekusi). b. KPKNL Yogyakarta menerima permohonan parate eksekusi tanpa fiat/perintah pengadilan sudah tepat, karena Pasal 6 tidak mengharuskan menyertakan fiat/perintah pengadilan, dan secara doktrin pengertian parate eksekusi adalah eksekusi yang dijalankan sendiri tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan negeri. Keharusan mencantumkan adanya janji dalam APHT kurang tepat karena didasarkan pada penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, sedangkan dalam redaksi Pasal 6 itu sendiri tida disinggung sama sekali dan dapat dikatakan bahwa penjelasan Pasal 6 tersebut mengadopsi dari Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Terkait dengan hanya pemegang Hak Tanggungan pertama yang berhak mengajukan permohonan parate eksekusi sudah sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri. Perbedaan yang mendasar antara penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah dalam penelitian ini peneliti lebih menitikberatkan kepada kesesuaian pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan dalam praktek dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan beserta hambatan-hambatannya.

10 D. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian dilakukan adalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data, informasi yang lengkap dan akurat dalam rangka menyusun tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis manfaat dari peneltian ini adalah memberikan sumbangan ilmu pengetahuan hukum dan menambah bahan-bahan informasi kepustakaan dan bahan ajar dibidang hukum pada umumnya dan hukum kenotariatan pada khususnya.

11 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak pelaku ekonomi, serta masyarakat luas dalam hal menunjang pembangunan ekonomi.