1 UNIVERSITAS INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya pembangunan itu dilaksanakan ditiap-tiap daerah. Dalam. ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan pada bantuan pusat harus seminimal mungkin (Bastian:2001).

BAB I PENDAHULUAN. Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Mahi (2001)

A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bab I : Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jo UU No. 33 tahun 2004, pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Penyerahan berbagai kewenangan tersebut berdampak pada pembiayaan pemerintah daerah. Untuk itu diperlukan penyerahan dan pengalihan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada daerah guna membiayai kewenangan yang diserahkan pemerintah pusat. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 penyerahan sumber pembiayaan tersebut terhimpun dalam sumber pembiayaan yang berasal dari dana perimbangan yang mencakup bagian daerah dalam penerimaan PBB, BPHTB, penerimaan sumber daya alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi khusus. Selain dana perimbangan, sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah pendapatan asli daerah, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa dampakdampak tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannya itu. Salah 1

2 satunya adalah bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Koswara (2005) menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaran pemerntahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Mengingat tidak semua sumber pembiayaan diberikan kepada daerah, maka daerah diwajibkan menggali sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Mamesah, 1995). Rasyid (2002) mengemukakan hal yang senada bahwa untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai keuangan sendiri, sehingga tidak selalu tergantung pada sumber-sumber dari pemerintah pusat. Bastian (2001) menegaskan bahwa tujuan otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk memacu pemerataan pemabangunan dan hasilhasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara nyata, optimal, terpadu dan dinamis, serta bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan terhadap daerah dan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal atau daerah. Mardiasmo (2002) mengharapkan desentralisasi menghasilkan dua manfaat nyata yakni pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan serta mendorong hasil pembangunan diseluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah dan kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan

3 keputusan publik ketingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi paling lengkap. Ditetapkannya paket Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, memberi peluang kepada daerah untuk menggali potensi lokal penerimaan daerah dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pemerintah Daerah dalam melaksanakan desentralisasi memiliki penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Adapun sumber pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Khusus untuk penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Kemampuan pendanaan merupakan satu bagian penting untuk menilai secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Tanpa adanya dana yang cukup maka tidak mungkin daerah mampu menyelenggarakan tugas dan kewajiban serta segala kewenangan yang melekat untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau uang. (Kaho, 1997) Ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi sebagaimana dijelaskan oleh Halim (2001), yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, dimana daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan

4 sendiri yang cukup memadai untuk penyelenggaraan pemerintahnnya, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Tabel I.1. Prosentase Distribusi Rata-Rata Sumber Pendapatan Daerah Provinsi di Indonesia Tahun 2003 2008 No Tahun PAD Dana Lain-Lain PD Yang Perimbangan Sah 1 2003 44,59% 51,19% 4,22% 2 2004 49,40% 43,10% 7,50% 3 2005 49,16% 43,38% 7,46% 4 2006 41,79% 50,20% 8,01% 5 2007 41,36% 45,37% 13,27% 6 2008 46,02% 49,16% 4,82% Rata-Rata 45,39% 47,07% 7,55% Sumber data : DJPKPD diolah kembali Dari tabel I.1 tersebut dapat dikatakan bahwa sumber pendapatan daerah provinsi antara tahun 2003-2008 secara rata-rata masih bergantung kepada pemberian pemerintah pusat, karena sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) masih berada dibawah transfer pemerintah pusat. Sedangkan untuk daerah kabupaten kota, pendapatan transfer merupakan sumber pendapatan daerah sebagaimana tergambar dalam tabel I.2. yang paling dominan Tabel I.2. Prosentase Distribusi Rata-Rata Sumber Pendapatan Daerah Kabupaten Kota di Indonesia Tahun 2003 2008 No Tahun PAD Dana Lain-Lain PD Perimbangan Yang Sah 1 2003 7,71% 84,62% 7,67% 2 2004 4,50% 87,22% 8,28% 3 2005 8,32% 82,41% 9,27% 4 2006 6,31% 87,88% 5,81% 5 2007 6,99% 88,73% 4,29% 6 2008 7,23% 88,20% 4,57% Rata-Rata 6,84% 86,51% 6,65% Sumber data : DJPKPD diolah kembali

5 Salah satu unsur terpenting dari pembiayaan pemerintah daerah adalah besarnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD). Pendapatan asli daerah ini merupakan bukti nyata dukungan masyarakat lokal kepada pemerintahnya untuk menjalankan proses pemerintahan secara otonom sejalan dengan pemberian otonomi daerah melalui mekanisme desentralisasi fiskal. Untuk itu pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber PAD. Pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sesuai dengan prinsip dalam kebijakan ekonomi daerah yang mengedepankan kemandirian daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan tugas dan kewenangannya, maka harus diupayakan agar PAD menjadi sumber pendapatan utama dalam APBD. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu unsur penting dan merupakan kontributor utama pendapatan asli daerah. Seiring dengan pemberian kewenangan yang luas dalam upaya untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan pemerintahan dan pembangunan, daerah dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan dari mana sumber pembiayaan tersebut diperoleh dan kemana dibelanjakannya. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 memberikan arah tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan pemerintah. Akuntabilitas publik merupakan tuntutan terhadap perlunya transparansi dalam pemberian informasi kepada publik. Akibat langsung dari otonomi daerah terhadap akuntansi sektor publik adalah pemerintah daerah dituntut untuk mampu memberikan informasi keuangan kepada publik, DPRD, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Dalam konteks organisasi pemerintahan daerah yang perlu diinformasikan adalah aktifitas

6 dan kinerja keuangan pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Sebagai langkah nyata untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggunjawaban keuangan pemerintah. Berkaitan dengan semangat reformasi keuangan daerah, maka pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dapat digunakan sebagai dasar penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan kerhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. (Halim, 2002) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan dalam bentuk laporan keuangan yang harus disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan dan setidak-tidaknya terdiri atas : a. Laporan Realisasi Anggaran b. Neraca c. Laporan Arus Kas d. Catatan Atas Laporan Keuangan Salah satu tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi mengenai kecukupan penerimaan serta sumber-sumbernya pada periode berjalan untuk membiayai seluruh pengeluaran. Selain itu laporan keuangan juga memiliki beberapa karakteristik yang salah satunya adalah dapat dibandingkan, yang maknanya adalah bahwa informasi yang termuat dalam laporan keuangan akan berguna jika dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau laporan keuangan entitas lainnya yang sejenis. Dalam Laporan Realisasi Anggaran diantaranya termuat rencana dan realisasi penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan Asli Daerah untuk satu tahun anggaran. Dari laporan realisasi anggaran tersebut selain dapat mengukur mengenai pencapaian suatu jenis pendapatan atas

7 anggaran yang ditetapkan sebelumnya juga dapat diperhitungkan proporsi masing-masing pendapatan terhadap total pendapatan. Terkait dengan pendapatan asli daerah, seorang pakar dari World Bank seperti dikutip Riduansyah (2001) berpendapat bahwa batas 20% perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20% maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri. Selain itu terdapat indikator lain yang juga dapat digunakan untuk mengukur kemandirian daerah yaitu kemampuan keuangan daerah. Kemampuan keuangan daerah dalam era otonomi daerah sering diukur dengan menggunakan kinerja PAD. Besar kecilnya penerimaan PAD seringkali dihubungkan dengan keberhasilan daerah dalam menjalani otonomi daerah. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah seyogyanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah (Kuncoro, 2007). Dalam rangka meningkatkan PAD banyak daerah berlomba-lomba untuk memungut berbagai jenis pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini terlhat dari begitu banyaknya peraturan daerah yang terkait dengan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang diajukan ke Kementrian Dalam Negeri untuk mendapatkan persetujuan. Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan jenis Pendapatan Asli Daerah terdiri dari (1) hasil pajak daerah, (2) hasil retribusi daerah, (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,dan (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sebagaimana undang-undang sebelumnya, dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 mengelompokkan pajak daerah dalam dua tingkatan yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

8 B. Permasalahan Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah di titik beratkan pada daerah kabupaten dan kota. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II. Jakarta sebagai Ibukota Negara mendapatkan perlakukan tersendiri dalam pelaksanaan otonomi. Berdasarkan, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi di Jakarta hanya diberikan pada lingkup Propinsi. Dengan otonomi yang diberikan pada tingkat propinsi, maka selain melaksanakan fungsi-fungsi yang merupakan wewenang pemerintah provinsi, Pemerintah DKI Jakarta juga melaksanakan fungsi-fungsi pemerintah Kabupaten/Kota. Konsekuensinya adalah bahwa sumber penerimaan Pemerintah DKI Jakarta selain berasal dari sumber penerimaan tingkat provinsi juga berasal dari sumber penerimaan kabupaten/kota (Ismail, 2007), atau dengan kata lain seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberlakukan pada tingkat Propinsi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perolehan PAD dan APBD pada suatu pemerintah daerah sebagai kajian tugas akhir. Mengingat penulis bertugas pada pemerintah Provinsi DKI Jakarta maka tugas akhir ini diberi judul Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta. Tulisan ini mengarahkan perhatian untuk berusaha menjawab pertanyaan : 1. Bagaimana kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perolehan PAD Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta.

9 2. Bagaimana kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta yang tergambar dalam APBD. C. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan sumbangan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perolehan PAD khususnya pada Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta 2. Menggambarkan sumbangan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta yang tercermin dalam APBD. 3. Menganalisa sumber pendapatan daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PAD dan APBD Provinsi DKI Jakarta ini diharapkan : 1. dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dengan harapan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya bagi yang tertarik dalam bidang pendapatan daerah. 2. bagi Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam pengambilan kebijakan dimasa datang khususnya bidang pendapatan daerah. 3. bagi praktisi, khususnya aparat yang terkait dalam pemungutan pendapatan daerah dapat dijadikan acuan untuk dapat meningkatkan penerimaan pendapatan daerah khususnya dari sektor pajak daerah dan retribusi daerah. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu berusaha untuk menggambarkan dan menafsirkan data mengenai pola penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang berdampak pada kontribusi PAD

10 dalam APBD pemerintah daerah khususnya penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang diterima oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta sebagai pilihan studi kasus. Data yang digunakan adalah data realisasi APBD Propinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2004 2009. F. Sistematika Penulisan Dalam tulisan karya akhir ini sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut : Bab I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan Bab II LANDASAN TEORI Bab ini berisi teori-teori yang digunakan untuk mememahami dan menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Dengan ini diharapkan penelitian sesuai secara akademis. Bab III GAMBARAN UMUM SUBYEK PENELITIAN Bab ini merupakan deskripsi gambaran umum Provinsi DKI Jakarta sebagai subyek penelitian Bab IV ANALISA DAN HASIL PENELITIAN Berisi deskripsi hasil penelitian dan analisa atas data yang diperoleh dan menjelaskan apa yang menjadi tujuan pokok penelitian Bab V KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bagian terakhir dari penelitian berupa penarikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran.