BAB I PENDAHULUAN. teknologi (Depdiknas, 2006). Pendidikan IPA memiliki potensi yang besar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemicu dalam kemajuan ilmu pendidikan. Mutu pendidikan perlu

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

2015 KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS KERAMIK UNTUK MENCAPAI LITERASI SAINS SISWA SMA

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Hayat dan Yusuf (2010) setiap warga negara perlu literate terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siska Sintia Depi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

SRIE MULYATI, 2015 KONSTRUKSI ALAT UKUR PENILAIAN LITERASI SAINS SISWA SMA PADA KONTEN SEL VOLTA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Widya Nurfebriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang melek terhadap sains dan teknologi (UNESCO,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. (BSNP, 2006). Pendidikan sains ini diharapkan dapat memberikan penguasaan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dini Rusfita Sari, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

2015 KONTRUKSI ALAT UKUR LITERASI SAINS SISWA SMP PADA KONTEN SIFAT MATERI MENGGUNAKAN KONTEKS KLASIFIKASI MATERIAL

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. globalisasi yang berkembang sangat pesat diperlukan praktek pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Mengingat pentingnya LS, ternyata Indonesia juga telah memasukan LS ke dalam kurikulum maupun pembelajaran. Salah satunya menerapkan Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Julia Artati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. sikap, dan teknologi agar siswa dapat benar-benar memahami sains secara utuh

BAB I PENDAHULUAN. agar teori dapat diterapkan pada permasalahan yang nyata (kognitif), melatih

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis

Pendekatan Etnosains dalam Proses Pembuatan Tempe terhadap Kemampuan Literasi Sains

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. proses aktualisasi siswa melalui berbagai pengalaman belajar yang mereka dapatkan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memberikan. kemampuan yang dapat memecahkan masalah atau isu-isu yang beredar.

PROFIL KEMAMPUAN LIT ERASISAINS SISWA SMP DI KOTA PURWOKERTO DITINJAU DARI ASPEK KONTEN, PROSES, dan KONTEKS SAINS

BAB I PENDAHULUAN. Di era global ini, tantangan dunia pendidikan begitu besar, hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BABI PENDAHULUAN. sendiri dan alam sekitar. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu melalui pendidikan dimana dengan pendidikan akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari peranan dunia

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dibandingkan secara rutin sebagai mana dilakukan melalui TIMSS (the Trends in

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya pendidikan sains merupakan salah satu komponen dasar dari sistem

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

BAB I PENDAHULUAN. daya manusianya (SDM) dan kualitas pendidikannya. Tingkat pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah

BAB I PENDAHULUAN. 1 Evy Yosita, Zulkardi, Darmawijoyo, Pengembangan Soal Matematika Model PISA

BAB I PENDAHULUAN. teknologi. Oleh karena itu, SDM (Sumber Daya Manusia) perlu disiapkan

I. PENDAHULUAN. global dengan memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap yang terdidik yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations. umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Pendekatan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.c.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ISSN : X Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia Vol. 1 No. 1 Mei 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi persaingan global. Saat ini, peningkatan mutu pendidikan semakin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prima Mutia Sari, 2013

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan menengah. Salah satu bidang

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS DAN SIKAP CALON GURU NON IPA TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERANGKA SAINS SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kita lakukan. Bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

I. PENDAHULUAN. mudah dihadirkan di ruang kelas. Dalam konteks pendidikan di sekolah,

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai bagian dari pendidikan pada umumnya berperan penting untuk menyiapkan peserta didik yang mampu berpikir kritis, kreatif, logis, dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat yang diakibatkan oleh dampak perkembangan sains dan teknologi (Depdiknas, 2006). Pendidikan IPA memiliki potensi yang besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi (Hernani, et al., 2009). Potensi ini akan dapat terwujud jika pendidikan IPA mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Berkaitan dengan hal ini Firman (2007) menyatakan bahwa penguasaan literasi sains dan teknologi oleh setiap individu akan memberikan peluang yang lebih besar untuk penyesuaian diri dalam kehidupan masyarakat yang semakin dinamis perkembangannya. Salah satu kunci penting dalam menghadapi tantangan global untuk perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, pembelajaran IPA berperan penting dalam menyiapkan peserta didik untuk mampu berpikir kritis, kreatif,

2 logis, dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat dan menghadapi tantangan global untuk perubahan kehidupan yang lebih inovatif. Pembelajaran IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari alam sekitar, diri sendiri serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2007). Kimia merupakan bagian dari rumpun IPA, karena itu pembelajaran kimia juga merupakan bagian dari pembelajaran IPA. Salah satu permasalahan dalam pembelajaran kimia yaitu penempatan suatu konsep yang tidak logis, akibatnya siswa akan mengalami kesulitan untuk memahami konsep yang diberikan oleh guru. Berkaitan dengan hal ini, siswa sering beranggapan bahwa pembelajaran sains yang diterapkan di sekolah selama ini merupakan pelajaran yang terpisah dari dunia tempat mereka berada. Hal tersebut menyebabkan siswa tidak mampu mengaitkan dan menggunakan konsep-konsep sains yang dipelajarinya untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, karena siswa tidak memperoleh pengalaman belajar untuk mengaitkan konsep-konsep sains dengan fenomena-fenomena yang ada di lingkungan mereka. Pembelajaran Science Technology Literacy (STL) merupakan pembelajaran yang relevan untuk mengembangkan pembelajaran kimia yang sesuai dengan proses dan produk yang sehari-hari digunakan dalam masyarakat. Pembelajaran STL melibatkan proses penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sosio-ilmiah. Adapun tujuan pembelajaran STL

3 adalah mengembangkan pengetahuan sains dalam berbagai sendi kehidupan, mencari solusi, membuat keputusan untuk meningkatkan kualitas hidup (Holbrook, 2005). Produk sehari-hari yang digunakan masyarakat saat ini sedang mengalami perkembangan dalam bidang teknologi. Salah satu teknologi yang populer adalah dengan pemanfaatan konsep nano yang disebut nanoteknologi. Nanoteknologi telah menjadi isu yang besar pada perkembangan dunia sains dan teknologi. Mulai dari komponen perangkat komputer sampai suplemen vitamin pun dibuat dengan menggunakan aplikasi nanoteknologi. Indonesia sebagai negara berkembang tentunya harus siap bersaing dengan negaranegara maju, sehingga nanoteknologi yang akan menjadi dasar perkembangan sains dan teknologi harus dikenalkan sejak dini kepada para calon penerus bangsa. Bukan hal yang mudah untuk mengenalkan nanoteknologi kepada para siswa, khususnya kepada siswa di tingkat sekolah menengah. Sebetulnya nanoteknologi merupakan konsep lanjutan yang akan dipelajari di tingkat perguruan tinggi, sehingga perlu adanya metode pembelajaran, bahan ajar, media dan penilaian yang mumpuni jika ingin dikenalkan sejak dini pada tingkat sekolah menengah sebagai bagian dari literasi sains. Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA (Programme for International Student Assessment) sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk

4 membuat kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. PISA mengidentifikasi tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni konten sains, proses sains, dan konteks aplikasi sains. Pada dimensi terkait konten sains, siswa perlu menangkap sejumlah konsep kunci/esensial untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat kegiatan manusia. Pada dimensi terkait proses sains, PISA mengakses kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti kemampuan siswa untuk mencari, menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. Sedangkan pada dimensi terkait konteks aplikasi sains, melibatkan isu-isu yang penting dalam kehidupan secara umum seperti juga terhadap kepedulian pribadi. Selain ketiga dimensi tersebut, Shwartz, et al., (2006) menambahkan aspek sikap atau ranah afektif ke dalam domain literasi sains. Pemilihan konten (konsep) berdasarkan tiga prinsip pada PISA, yakni konsep yang disajikan harus relevan dengan situasi kehidupan keseharian yang nyata. Konsep itu diperkirakan masih akan relevan sekurang-kurangnya untuk satu dasawarsa ke depan, dan konsep itu harus berkaitan dengan kompetensi proses. Kompetensi proses yaitu pengetahuan yang tidak mengandalkan daya ingat siswa dan berkaitan dengan informasi tertentu (Hayat dan Yusuf, 2010). Kemampuan memahami konsep dan proses dilengkapi dengan kemampuan menerapkannya dalam konteks yang

5 bervariasi. Materi pokok ikatan kimia dipilih karena sesuai dengan tiga prinsip PISA tersebut, yaitu relevan dengan situasi kehidupan keseharian yang nyata. Senyawa dengan ikatan kimia banyak digunakan dalam berbagai bidang, diantaranya di bidang kesehatan, bidang industri, dan sebagainya. Bidang-bidang tersebut akan terus berkembang, sehingga konsep ikatan kimia diperkirakan masih akan relevan sekurang-kurangnya untuk satu dasawarsa ke depan. Selain konten, konteks aplikasi sains dalam PISA tidak secara khusus diangkat dari materi yang dipelajari di sekolah, melainkan diangkat dari kehidupan sehari-hari. Menurut De Jong (2006), konteks harus dikenal dan relevan untuk siswa, tidak boleh mengalihkan perhatian siswa dari konsep terkait, tidak boleh terlalu rumit untuk siswa, dan tidak boleh membingungkan siswa. Grafena merupakan salah satu konteks yang dapat diangkat dalam pembelajaran kimia. Grafena merupakan contoh material yang sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan para ilmuwan saat ini, karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh grafena yang akan sangat berguna bagi perkembangan teknologi di masa depan. Grafena dapat dikenalkan kepada pelajar sekolah menengah melalui materi pokok ikatan kimia. B. Rumusan Masalah

6 Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana desain pembelajaran ikatan kimia menggunakan konteks material grafena untuk meningkatkan literasi sains siswa SMA?. Permasalahan tersebut diuraikan menjadi sub-sub masalah berikut: 1. Bagaimana karakteristik desain pembelajaran yang dikembangkan? 2. Bagaimana penilaian guru kimia terhadap desain pembelajaran yang dikembangkan berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan perangkatnya (LKS, multimedia pembelajaran, dan alat ukur penilaian)? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh: 1. Desain pembelajaran meliputi desain didaktis dan antisipasi didaktis pedagogis yang dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), multimedia pembelajaran, dan alat ukur penilaian untuk meningkatkan literasi sains siswa. 2. Informasi tentang tanggapan guru kimia terhadap desain pembelajaran yang dikembangkan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

7 1. Guru Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi baru bagi guru kimia mengenai desain pembelajaran ikatan kimia konteks material grafena sehingga dapat diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas. 2. Institusi Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di institusi terkait. 3. Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan peneliti lain untuk mengembangkan desain pembelajaran pada konteks dan konten kimia yang sama ataupun berbeda. E. Penjelasan Istilah Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka diberikan penjelasan mengenai istilahistilah yang digunakan, yaitu: 1. Desain pembelajaran adalah rancangan pembelajaran berupa suatu rangkaian situasi didaktis (hubungan siswa dengan materi) beserta antisipasi didaktis pedagogis (tindakan yang akan dilakukan guru

8 berdasarkan prediksi respon siswa terhadap situasi didaktis yang tercipta) untuk mencapai kompetensi yang diharapkan (Suryadi, 2010). 2. Konteks sains adalah pengenalan situasi kehidupan dengan melibatkan sains dan teknologi (OECD, 2009). 3. Konten sains adalah pemahaman alam melalui pengetahuan sains, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang alam dan pengetahuan tentang sains itu sendiri (OECD, 2009). 4. Konteks Aplikasi Sains adalah menunjukan pencapaian ilmiah berupa kapasitas untuk meningkatkan sumber kognitif dan non-kognitif pada berbagai konteks (OECD, 2009). 5. Sikap sains adalah respon terhadap isu-isu sains (menunjukkan minat dalam ilmu pengetahuan, dukungan untuk penyelidikan ilmiah, dan motivasi untuk bertindak secara bertanggung jawab) (OECD, 2009). 6. Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan buktibukti, agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam (OECD, 2009).