BAB - III PEMBAHASAN. secara luas kepada negara-negara ASEAN dan China. Pembukaan pasar ini

dokumen-dokumen yang mirip
Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya.

BAB I P E N D A H U L U A N. tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk memulai hal tersebut akan dipaparkan contoh yang sangat sederhana.

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No c. bahwa Menteri Perdagangan melalui surat Nomor: 330/M- DAG/SD/4/2016 tanggal 14 April 2016 hal Permohonan Perubahan Peraturan Menter

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS

Boks 1 SURVEI : DAMPAK ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) TERHADAP UMKM DI PROVINSI RIAU I. LATAR BELAKANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darusalam, Vietnam,

Ketika cakar Sang Naga kian kuat mencengkeram

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT))

ACFTA sebagai Tantangan Menuju Perekonomian yang Kompetitif Rabu, 07 April 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


PROTOKOL UNTUK MENGUBAH BEBERAPA PERJANJIAN EKONOMI ASEAN TERKAIT DENGAN PERDAGANGAN BARANG

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan sudut pandang ilmu ekonomi, motivasi hubungan antar negara

PENERAPAN STANDAR NASONAL INDONESIA (SNI) TERHADAP PRODUK IMPOR DALAM RANGKA PERJANJIAN ASIANCHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. tekstil terutama bagi para pengusaha industri kecil dan menengah yang lebih mengalami

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi di suatu negara (trade as engine of growth).

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 TAHUN 2014 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Bandung menjadi kota yang memiliki daya saing paling kompetitif dibanding kota-kota lainnya

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Kota Bandung Tahun

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

2016, No pelabuhan-pelabuhan Negara Anggota ASEAN dan Tiongkok; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mene

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perdagangan internasional semakin besar peranannya terhadap

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. *

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian dunia berdampak terhadap perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

DAMPAK NEGATIF PEMBERLAKUAN ACFTA (ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT) TERHADAP INDUSTRI INDONESIA

2016 PENGARUH KOMPETENSI PENGUSAHA, INOVASI D AN KUALITAS PROD UK TERHAD AP D AYA SAING USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) D I KOTA BAND UNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III KEIKUTSERTAAN INDONESIA DI ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) bebas, yang diimplementasikan ke dalam bentuk perjanjian-perjanjan

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

PENGARUH ASEAN- CHINA FREE TRADE AREA ( ACFTA ) TERHADAP BISNIS INDONESIA DAN INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RESPON INDONESIA TERHADAP ACFTA: PRO KONTRA WACANA RENEGOSIASI. Oleh. Elisabeth Kartikasari 1

PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

: Determinan Intra-Industry Trade Komoditi Kosmetik Indonesia dengan Mitra Dagang Negara ASEAN-5 : I Putu Kurniawan

PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri garmen semakin mengglobal. Perkembangan ini dimulai

Transkripsi:

BAB - III PEMBAHASAN 3.1 Problematika Indonesia-ACFTA Mulai 1 Januari 2010 Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan China. Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara negaranegara anggota ASEAN dengan China, yang disebut dengan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Produk produk impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun (Dewitari,dkk 2009). Sebaliknya, Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar dalam negeri negaranegara ASEAN dan China. Beberapa kalangan menerima pemberlakuan ACFTA sebagai kesempatan, tetapi di sisi lain ada juga yang menolaknya karena dipandang sebagai ancaman. Dalam ACFTA, kesempatan atau ancaman (Jiwayana, 2010) ditunjukkan bagi kalangan penerima, ACFTA dipandang positif karena bisa memberikan banyak keuntungan bagi Indonesia. Pertama, Indonesia akan memiliki pemasukan tambahan dari PPN produk-produk baru yang masuk ke Indonesia. Tambahan pemasukan itu seiring dengan makin banyaknya obyek pajak dalam bentuk jenis dan jumlah produk yang masuk ke Indonesia. Beragamnya produk China yang masuk ke Indonesia dinilai berpotensi besar mendatangkan pendapatan pajak bagi pemerintah. Kedua, persaingan usaha 17

yang muncul akibat ACFTA diharapkan memicu persaingan harga yang kompetitif sehingga pada akhirnya akan menguntungkan konsumen (penduduk / pedagang Indonesia). Bila kalangan penerima memandang ACFTA sebagai kesempatan, kalangan yang menolak memandang ACFTA sebagai ancaman dengan berbagai alasan. ACFTA, di antaranya, berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Bangkrutnya perusahaan dalam negeri merupakan imbas dari membanjirnya produk China yang ditakutkan dan memang sudah terbukti memiliki harga lebih murah. Secara perlahan ketika kelangsungan industri mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri di Indonesia. Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro lainnya. (Media Indonesia, 23 Februari 2011). Produk dalam negeri yang bersaing ketat di pasar adalah industri kerajinan seperti properti dan furniture, industri hasil hutan yang selama ini menjadi unggulan Indonesia dalam pasar domestik maupun mancanegara, dan yang paling merasakan dampak langsung arus perdagangan bebas dengan China adalah industri tekstil karena industri inilah yang paling diunggulkan di negeri tirai bambu tersebut. Sedangkan di Indonesia sendiri juga cukup 18

menonjol dalam dunia perindustrian sektor tekstil, sehingga secara tidak langsung akan terjadi sebuah perang harga di pasaran dalam negeri. Apalagi produk tekstil China biasanya lebih murah daripada produk dalam negeri. Di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), serbuan produk-produk China berupa kain dan garmen sudah mulai dirasakan oleh pasar dalam negeri sejak awal berlakunya ACFTA. Ancaman ini dirasakan oleh industri tekstil besar maupun industri kecil menengah karena masyarakat akan cenderung lebih memilih tekstil dari China yang harganya relatif murah (Karina dan Nova, 2010). Namun demikian, ada pula faktor lain seperti selera masyarakat, corak, dan kualitas bahan yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap pembelian produk China ini. Keunggulan tekstil China adalah pada bahan baku katun. Sedangkan pada produk tekstil sintetis, mereka justru mengimpor bahan baku dari Indonesia karena bahan baku tersebut banyak dan murah di Indonesia. Tetapi karena biaya produksi yang tinggi dan kondisi infrastruktur yang belum mendukung seperti kondisi jalan yang masih buruk atau tarif listrik yang masih tinggi menyebabkan harga produk kita masih lebih mahal dibandingkan dengan produk China (Bisnis Indonesia, 6 Februari 2010). Oleh karena itu, sektor yang paling tidak diuntungkan adalah usaha katun seperti tekstil batik katun. Batik China dan batik lokal hampir tidak bisa dibedakan karena beberapa batik yang bahannya dari sutra China bahkan telah menggunakan label Indonesia. Masyarakat biasanya cenderung lebih memilih produk yang lebih murah di luar faktor-faktor seperti selera konsumen dan kualitas barang. Adanya 19

ACFTA menyebabkan banyaknya produk-produk murah dari China di bawah harga produk lokal. 3.2 Legalitas ACFTA Dalam perjalanan ACFTA, ternyata gugatan masyarakat yang merasakan dirinya dirugikan karena Indonesia ikut dalam ACFTA banyak dimuat dalam berbagai media misalnya, kaum buruh pabrik garmen di Jakarta mengguggat bahwa dengan ACFTA pabrik mereka tidak bisa lagi memproduksi barang ekspor karena banyak barang hasil produksi yang sulit dipasarkan baik di dalam negeri apalagi ke China karena ternyata barang tersebut lebih murah di China. Dari Makassar dilaporkan bahwa industri kecil dan menengah terancam kolaps karena derasnya produk China yang masuk ke pasar di Kota Makassar (Kompas, 16 April 2011) dan banyak lagi masalah ekonomi yang ditimbulkan oleh kesepakatan ACFTA. Karena begitu derasnya kritik dan dorongan dari masyarakat Indonesia, DPR, khususnya dari kalangan pebisnis, telah mendorong pemerintah untuk segera merenegoisasi perjanjian ACFTA ini, karena dianggap dapat merontokkan ketahanan produk-produk lokal dari hantaman masuknya produk China ke Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara fisik Indonesia belum siap menghadapi era perdagangan bebas ACFTA ini, baik sarana maupun prasarana yang dimiliki dalam negeri. Dengan fakta-fakta tersebut di atas Ferly Norman (http://hukum.kompasiana.com) menggugat aspek hukum dari ACFTA. Ferly mengatakan bahwa kita tidak bisa mengharapkan pemerintah untuk membela 20

kepentingan rakyatnya. Padahal puluhan ribu pekerja di PHK, ribuan usaha kecil bertumbangan, ratusan seminar, talk show dan demonstrasi dilakukan. Semuanya menggugat keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA. Oleh karena itu Ferly Norman mengajak untuk menggugat pula dasar hukum ACFTA. Mencermati dari dasar hukum pemberlakuan ACFTA di Indonesia, dapat diketahui bahwa perjanjian ini berlaku hanya dengan sebuah Peraturan Presiden (selanjutnya dibaca Perpres), yaitu Perspres No. 18 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Febuari 2008. Landasan hukum Perpres tersebut adalah UUD 1945 Pasal 11 dan UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Landasan hukum dari Perpres No. 18 Tahun 2008 dapat dinilai sebagai Perpres yang yang cacat konstitusi dalam penerapan perjanjian ACFTA di Indonesia.Oleh karena itu pemberlakukan ACFTA harus dibatalkan dengan pemikiran sebagai berikut : 1. Perjanjian ACFTA seharusnya berlaku jika telah diratifikasi oleh DPR karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 hasil perubahan ketiga pada 10 November 2002 dengan lugas berbunyi: Pemerintah dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan / atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. Menilik isi dan dampak perjanjian ACFTA, perjanjian ini mempengaruhi perekonomian masyarakat secara masif dan akan mengurangi potensi penerimaan negara dari sektor bea masuk. Dari 21

rumusan Pasal 11 ini tidak disangsikan lagi bahwa ACFTA telah nyatanyata melanggar UUD 1945 karena hanya disahkan oleh Perpres. 2. Perjanjian ACFTA seharusnya telah berakhir saat ini menilik klausul yang terdapat di Pasal 18 Ayat h UU No. 24/2000 Tentang Perjanjian Internasional. Klausul ini berbunyi sebagai berikut: Perjanjian Internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Dalam konteks ACFTA, ayat ini memberikan pesan yang jelas bahwa perjanjian ACFTA ini harus berakhir ketika kepentingan nasional terganggu. Sebaliknya Ariawan Gunadi ( http://bataviase.co.id) mengajukan tangkisan terhadap gugatan Ferly Norman sebagai suatu argumen yang bertolak belakang (argumentum a contrario) dengan gugatan Ferly, bahwa ACFTA tidak melanggar hukum, ACFTA adalah perjanjian yang sah menurut hukum dan harus ditaati. Argumen mereka berbeda muaranya. Ferly mempersoalkan Perpres 18 Tahun 2008 tentang penerimaan Indonesia terhadap ACFTA. Sedangkan Ariawan Gunadi berangkat dari Kepres 48 Tahun 2004 tentang Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China. Perjanjian ACFTA adalah ilegal karena berdasarkan UUD 1945 tidak disetujui oleh DPR terlebih dahulu. Jikalaupun Perpres tersebut dianggap cukup untuk legalitas ACFTA (menurut UU No 24/2000, perjanjian bidang ekonomi dan perdagangan cukup disahkan dengan Perpres) maka seharusnya telah dinyatakan berakhir berdasarkan Pasal 11 Ayat (h) UU No. 24/2000. 22

Sebab dari enam bidang Perjanjian Internasional yang memerlukan pengesahan lewat UU (diratifikasi DPR), perjanjian ekonomi dan perdagangan seperti ACFTA tidak termasuk didalamnya. Pasal 11 Ayat 1 menyatakan bahwa Perjanjian Internasional di luar materi Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 cukup di sahkan oleh Perpres. Ketidaksempurnaan UU Perjanjian Internasional yang tidak memerintahkan ratifikasi perjanjian bidang ekonomi dan perdagangan, adalah sumber semua tragedi ini terjadi. Entah sengaja atau tidak, DPR periode 1999-2004 tidak memasukkan kedua bidang tersebut dalam Pasal 10. Pendapat Ferly Norman dapat dipahami, namun harus diakui juga bahwa pendapat tersebut dapat ditangkis dengan argumen hukum pula dengan sudut pandang yang bertolak belakang dengan argumen Ferly Norman (argumentum a contrario) sebagai alat pembenar mengapa sampai saat ini pemerintah ngotot mempertahankan ACFTA sebagai perjanjian yang menguntungkan secara nasional. Sesungguhnya, ditinjau dari ketentuan Framework Agreement On Comprehensive Economic Cooperation Between The Association Of South East Asian Nations And The Peoples Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara- Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China), pada Pasal 16 ayat (1) dinyatakan, bahwa ACFTA akan diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2003, dengan syarat tanggal tersebut dianggap efektif berlaku jika para pihak telah merampungkan prosedur-prosedur internal (hukum) dari negara yang bersangkutan, maka hak-hak dan kewajiban- 23

kewajiban para pihak berdasarkan kerangka kerja ini akan mulai diberlakukan. Kerangka kerja ini sendiri ditandatangani oleh Presiden Megawati pada waktu itu, di Phnom Penh, Kamboja, pada tanggal 4 Nopember 2004, bersama-sama sepuluh para wakil Negara-negara ASEAN dengan Pemerintah Republik Rakyat China, di antaranya; Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Philippina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Menurut Ariawan Gunadi pada ayat (4) ditegaskan, pihak yang sudah merampungkan prosedur-prosedur internal (hukum) mereka untuk mengakomodasi perjanjian ini akan memberitahukan kepada para pihak lainnya secara tertulis. Penegasan tersebut menunjukkan bahwa pemberlakuan ACFTA tidak memerlukan proses ratifikasi melalui pengesahan Undang-undang (UU) yang berlaku di Indonesia, tapi sebaliknya cukup melalui ratifikasi (pengesahan) Presiden, dikarenakan syarat pemberlakuan kerangka kerja ini hanya mewajibkan melaksanakan atau menyediakan instrumeninstrumen hukum yang diperlukan sesuai dengan tata cara hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan, kemudian memberitahukan hal tersebut kepada para pihak lainnya secara tertulis. Indonesia telah meratifikasi kerangka kerja ini melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No 48 tahun 2004, dengan penetapan berlakunya kerangka kerja tanggal 1 Januari 2010. Artinya, Indonesia telah menunda berlakunya kerangka kerja ini selama enam tahun lebih. Selain itu, dengan penetapan waktu berlakunya tersebut, Indonesia dapat diartikan telah merampungkan segala prosedur internalnya sebagaimana yang diisyaratkan, maka terhadap Indonesia dapat diberlakukan hak-hak dan kewajiban para pihak secara penuh. 24

Secara hukum, pemerintah Indonesia akan sulit membatalkan ataupun merenegoisasi perjanjian ACFTA ini didasarkan pada 2 prinsip hukum internasional sebagai berikut : 1. Pacta Sunt Servanda, yaitu bahwa perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak -pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian itu sendiri bersumber dari keinginan bersama dua negara atau lebih yang membuat aturan-aturan hukum yang disepakati bersama. Untuk itu para negara peserta dalam membuat peraturan perundangundangannya harus tetap merujuk pada isi perjanjian itu sendiri sehingga asas Pacta Sunt Servanda harus tetap ditaati oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Ditinjau dari ketentuan UU yang berlaku di Indonesia, Pasal 3 UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara penandatangan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik. 2. Primat hukum internasional, yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang (UU) nasional suatu negara peserta perjanjian. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau PERPRES. Selanjutnya, pada Pasal 10 dinyatakan, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU apabila berkenaan dengan ruang lingkup hukum publik, selainnya melalui PERPRES. Oleh sebab itu, dengan adanya pengesahan melalui KEPPRES 25

No. 48 tahun 2004 tentang kerangka kerja ASEAN-China, maka ketentuan perjanjian ini menjadi hukum nasional, dengan ketentuan prosedur yang dilaksanakan merupakan bagian dari keseluruhan proses pembuatan perjanjian internasional yang bersangkutan. Keterikatan Indonesia pada perjanjian internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah hukum internasional. Apabila Indonesia sudah menjadi negara pihak, Indonesia wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian perundang-undangannya dengan perjanjian internasional yang sudah berlaku secara definitif. Masalahnya adalah bagaimana sikap pemerintah ketika terjadi persinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan terhadap pemberlakuan regionalisasi perdagangan bebas ACFTA sebagaimana nyatanya yang terjadi saat ini, pemerintah akan mengutamakan yang mana, perjanjian internasional ACFTA kah atau tetap memilih renegenoisasi terhadap ACFTA sebagai jalan tengah? Jika memilih jalan tengah, maka pemerintah akan dihadapkan dengan pendapat atau sikap negara-negara anggota ASEAN lainnya. Untuk itu, dapat atau tidaknya proses renegoisasi perjanjian ACFTA ini dilaksanakan, maka dapat dikatakan secara hukum "sulit" karena hampir tidak ada celah untuk itu. Akhirnya, kartu truf-nya sepenuhnya ada di tangan pemerintah, karena kemungkinan itu hanya ada bertumpu pada kekuatan lobilobi pemerintah Indonesia bersama mitra kerjanya. Dengan demikian pengesahan ACFTA untuk diberlakukan adalah didasarkan pada Perpres 18 Tahun 2008 merupakan kelanjutan dari Kepres 48 Tahun 2004 bahwa Indonesia sepakat (seperti Negara Negara ASEAN 26

lainnya) untuk melaksanakan kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian (agreement) dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pelaksanaan ACFTA tidak perlu dibatalkan. Jika bisa mengelola dengan baik ACFTA akan mendongkrak ekonomi Indonesia. Syarat utamanya adalah perbaikan daya saing industri nasional. Kalau industri nasional yang kompetitif, Indonesia bisa memasok barang ke anggota ACFTA kata Mari Pangestu - Menteri Perdagangan RI (Kompas, 12 April 2011). Oleh karena itu diperlukan diplomasi dengan China, pemerintah perlu memperketat pengawasan barang impor. Semua produk impor harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Tidak hanya itu lanjut Menteri, penggunaan lebel dalam bahasa Indonesia juga diwajibkan. Jika syaratsyarat itu tidak dipenuhi barang impor tidak bisa masuk ke Indonesia. Memang secara teknis, neraca perdagangan negara-negara ASEAN tidak merata. Nampak bahwa neraca perdagangan antara Indonesia dengan China, defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor ke China 49,2 milyar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 milyar dollar AS (beda tipis). Tetapi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya maka neraca perdagangan di antara mereka cukup bersaing berdasarkan tabel berikut (Kompas, 12 April 2011). 27

Negara-negara ASEAN Lain Bisa Memanfaatkan ACFTA No Negara P E (%) P I (%) (+) (-) 1 Vietnam 25,72 53,04 (-) defisit 2 Thailand 28,65 37,98 (-) defisit 3 Philipina 265,83 155,80 (+) surplus 4 Malaysia 137,65 51,04 (+) surplus 5 Brunei Darussalam 103,40 64,63 (+) surplus 6 Singapura 37,40 29,79 (+) surplus 7 Indonesia 25,08 54,97 (-) defisit Sumber data : Harian Kompas 12 April 2011 P E = Pertumbuhan Ekspor P I = Pertumbuhan Impor Melihat tabel di atas, ternyata negara-negara lain (Philipina, Malaysia, Brunei dan Singapura) mendapatkan keuntungan dari ACFTA, sedangkan Indonesia, Thailand dan Vietnam mengalammi defisit perdagangan, sehingga diperlukan peningkatan daya saing di pihak Indonesia, namun aturan hukum ACFTA tetap dapat dipertahankan. Kalau mendesak karena defisit yang sangat besar maka opsi renegoisasi atau pembatalan perjanjian dapat dilakukan. Tetapi kalau asas pacta sunt servanda yang dilandasi oleh itikad baik sebagai bangsa yang beradab yang menghormati apa yang telah disepakati sebelumnya, sepanjang pembatalan tidak karena pasal 18 UUPI, maka Indonesia wajib mentaati perjanjian ACFTA sampai Tahun 2013 dengan tanpa kecualinya. 28

29