BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Bandung menjadi kota yang memiliki daya saing paling kompetitif dibanding kota-kota lainnya

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Bandung menjadi kota yang memiliki daya saing paling kompetitif dibanding kota-kota lainnya dengan berhasil memamfaatkan secara optimal dan sinergis berbagai potensi dan daya tarik yang dimiliki dalam era pasar bebas. Hal ini didukung dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung berkaitan dengan pengembangan industri dan perdagangan, maka telah ditentukan beberapa sentra industri yang tertuang dalam surat keputusan Walikota Bandung Nomor 530/Kep.295 DISKUKM.PERINDAG/2009. Dalam surat keputusan tersebut disebutkan bahwa terdapat 10 sentra usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Kota Bandung yaitu: 1) Sentra Sepatu Cibaduyut, 2) Sentra Rajut Binong Jati, 3) Sentra Jeans Cihampelas, 4) Sentra Tekstil dan Produk Tekstil Cigondewah, 5) Sentra Kaos dan Sablon, 6) Sentra Tahu dan Tempe Cibuntu, 7) Sentra Spare Part Otomotif Kiaracondong, 8) Sentra Boneka Sukamulya, 9) Sentra Boneka Warung Muncang, dan 10) Sentra Tas Leuwipanjang. Sentra Industri Rajut Binong Jati adalah salah satu dari 10 sentra potensial di Kota Bandung yang berlokasi di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Sentra ini menghasilkan kerajinan barang rajutan seperti sweater, sarung tangan, scarft, jaket, dan lain-lain. Sentra Industri Rajutan Binong Jati merupakan salah satu sentra industri kecil yang cukup potensial dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusinya terhadap perekonomian Kota Bandung (Darusman & Rostianan, 2015) Usaha rajutan di Binong Jati sudah muncul sejak tahun 1960-an, yang diawali dengan ajakan kerja sama warga Tionghoa kepada warga sekitar untuk membuat rajutan. Pada tahun 1970, terdapat 8-10 orang yang turut ikut membuka usaha serupa. Puncaknya, pada tahun 1998 di kawasan Binong Jati terdapat hingga 250 pengrajin rajut yang berproduksi. Perkembangan industri rajut terus melesat, hingga hampir seperempat penduduk Binong Jati, terutama warga yang bermukim di Rw 04 berprofesi sebagai pengusaha rajut (KIRBI, 2017). 1

2 1.2 Latar Belakang Penelitian Asean China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik berupa tarif maupun non-tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China (Andara,2012). ACFTA pertama kali diluncurkan sejak penandatanganan Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement di Vientiane, Laos pada tanggal 29 November Persetujuan jasa ACFTA selanjutnya ditandatangani pada KTT ASEAN yang ke-12 di Cebu, Filipina pada bulan Januari tahun Sedangkan persetujuan investasi ditandatangani di Bangkok, Thailand pada tanggal 15 Agustus tahun 2009 (Kemendag, 2017). Dalam ACFTA disepakatai bahwa liberalisasi penuh akan dilaksanakan pada tahun 2010 bagi 6 negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei) dan China. Negara ASEAN lain menyusul pada tahun Penurunan tarif dalam rangka liberalisasi dari ACFTA tersebut dilaksanakan dalam tiga tahap program yaitu early harvest program (EHP) penurunan tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan menjadi 0% pada 1 Januari 2006, normal track program (NTP) penurunan tarif bea masuk dimulai sejak 20 Juli 2005 menjadi 40% dan akan menjadi 0% pada tahun 2010, serta Sensitive Track, yang terbagi menjadi dua, yaitu : Sensitive list (SL) penurunan tarif terhadap barang ini adalah sebesar 20% di tahun 2012 dan akan menjadi 0% s.d 5% pada tahun 2018, dan yang kedua adalah highly sensitive list (HSL) produk yang mencakup highly sensitive akan dilakukan penurunan tarif bea masuknya 0%-20% pada tahun 2012 dan akan sepenuhnya menjadi 0% s.d 5% pada tahun 2020 (Kemendag, 2017) Terhitung sejak ACFTA pertama kali resmi diterapkan neraca perdagangan Indonesia terus mengalami surplus dari ekspor sektor Migas namun mengalami defisit dari sektor Non-migas. 2

3 NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DAN CHINA ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, Migas 1, 2, 3, 2, , 98 1, 1, Non-migas Gambar 1.1 Neraca perdagangan Indonesia-China Sumber: Kemendag (2017) Seperti yang tercantum pada data statistik yang dirilis oleh Kemendag bahwa persentase ekspor Indonesia kebanyakan berasal dari sektor non-migas sebesar 84,95%, unggul jika dibandingkan sektor migas. Migas Non-migas Gambar 1.2 Ekspor Indonesia berdasarkan sektor Sumber: Kemendag (2017) Neraca perdagangan Indonesia pada sektor non-migas sejak tahun 2006 mengalami defisit, yang mana terhitung sepanjang tahun puncak defisitnya terjadi pada tahun 2013 sebesar -8,288,869.8 (dalam ribu US dolar) jika dibandingkan dengan China. 3

4 Gambar 1.3 Peran sub sektor industri terhadap ekspor non-migas dan terhadap ekspor Indonesia Sumber: Kemendag (2017) Dari sektor non-migas, mayoritas komoditas yang dihasilkan berasal dari Sub sektor Industri dimana sub sektor ini mampu memberikan sumbangsih sebesar 77,90% terhadap total ekspor sektor non-migas dan sebesar 66,18% dari total ekspor yang mampu dilakukan Indonesia. Terdapat 10 komoditas utama ekspor, sub sektor non-migas industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) memberikan kontribusi terbesar kedua dalam kategori ini, sebesar 9,22% terhadap total ekspor non-migas, dan merupakan peringkat ke 3 hasil industi dengan nilai ekspor terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ekspor TPT memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah ekspor Indonesia (Kemendag, 2017). Namun walaupun memberikan kontribusi yang besar terhadap ekspor, ternyata jumlah ekspor TPT mengalami penurunan, walaupun pada tahun 2013 dan 2014 sempat terjadi kenaikan. Pada tahun 2015 kembali terjadi penurunan, dan terus menurun sebesar 4,37% di tahun

5 Ekspor TPT Indonesia Tahun ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, Gambar 1.4 : Ekspor TPT Indonesia tahun Sumber: Kemendag (2017) Penurunan ini merupakan dampak dari masuknya impor produk tekstil berupa pakaian yang menyerang penguasaha kecil dari industri lokal yang konsentrasi pemasaranya di pasar domestik, karena ketidakmampuan unit usaha kecil untuk besaing dengan China yang memiliki industri tekstil terintegrasi dari bahan baku, mesin pertekstilan hingga produk jadi. Sehingga pasar domestik dibanjiri produk China dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing (Hartono, 2013; 1081). Padahal pasar domestik merupakan pasar potensial bagi industri garmen kecil dan menengah yang sebagaian besar hanya fokus pada pasar domestik (Hartono, 2013) Ekspor TPT Indonesia (Dalam Ribu US$) Penurunan jumlah ekspor TPT tersebut secara spesifik terjadi karena ketidakmampuan industri Indonesia untuk bersaing dari segi harga, karena kesulitan yang dialami untuk melakukan pengurangan biaya produksi dan distribusi yang menyebabkan nilai jual produk buatan industri garmen lokal dan menengah dalam negeri mahal. Hancur nya sarana infrastruktur antar pulau membuat harga barang lokal mahal, ditambah lagi jika produk yang dihasilkan memakai bahan baku impor, dimana kapas sebagai bahan baku utama produk tekstil pakaian jadi yang dihasilkan para produsen Indonesia harus di impor dari negara lain seperti Bangladesh, India dan Pakistan (Hartono, 2013). Adapun hasil dari sub sektor TPT meliputi Pakaian jadi (non-rajutan dan rajutan), serat dan benang serta berbagai jenis kain. Dimana pakaian jadi berupa 5

6 barang rajutan yang diekspor sebesar 2% dari total ekspor sektor industri (Kemendag, 2017). Penurunan ekspor TPT ternyata berbanding lurus terhadap keberlangsungan usaha komoditas rajut. 4, , Ekspor Barang-barang Rajutan Indonesia , , Ekspor (Dalam Juta US$) Gambar 1.5 : Ekspor barang-barang rajutan Indonesia tahun Sumber: Kemendag (2017) Jumlah ekspor barang-barang rajutan sendiri, terhitung sejak tahun 2011 jumlah nya terus mengalami penurunan. Mulai dari kisaran 3 juta US$ hingga memasuki angka 2 juta US$ saja. Penurunan ini terjadi tajam pada pergantian tahun 2015 menuju tahun Dampak dari penurunan ekspor rajutan ini ternyata juga dirasakan oleh para pengrajin di Sentra Industri Rajut Binong Jati, Bandung. Dimana terhitung sejak akhir tahun 2011 jumlah unit usaha rajut yang berada di Sentra Industri Binong Jati Bandung terus mengalami penurunan. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha dan tenaga Kerja Sentra Industri Rajut Binong Jati Tahun Jumlah Unit Usaha tahun Jumlah ratarata pekerja/ Unit usaha Total Pekerja Presentase Pekerja (%) % % % % 6

7 Tahun Jumlah Unit Usaha Jumlah ratarata pekerja/ Unit Total Pekerja Presentase Pekerja (%) % % Sumber: KIRBI (2017a) Pada akhir tahun 2011 jumlah unit usaha masih berkisar 400 unit usaha dengan total pekerja sebanyak 8000 jiwa. Namun jumlah ini menurun pesat pada tahun 2012 dimana terjadi penurunan sebesar 60 unit usaha yang terpaksa gulung tikar/ditutup, sehingga sentra industri ini hanya mampu menyerap pekerja sebanyak 5100 jiwa. Jumlah unit usaha terus mengalami penurunan hingga pada awal hingga pertengahan tahun 2016 tercatat hanya berkisar 120 unit usaha yang beroperasi di sentra ini. Masalah akibat masuknya impor juga dialami oleh pengrajin di Sentra Rajut Binong Jati. Rata-rata masalah yang dihadapi pengrajin rajut di Binong jati berkisar pada harga bahan baku yang tinggi jika dibandingkan dengan harga bahan baku untuk industri di China. Sehingga produk rajut yang dihasilkan memiliki harga yang tinggi walaupun unggul dari segi kualitasnya (KIRBI, 2017). Selain itu, masalah lain yang dihadapi pengrajin rajut di sentra ini kebanyakan masih berkisar pada rantai pasok nya, kendala ketersedian bahan baku sesuai keinginan pasar (permintaan), arus uang pemasok bahan baku-pabrik bahan baku, penumpuk kan bahan baku di pemasok yang berpengaruh ke harga bahan baku dan kemungkinan cacat produksi. Masalah lain yang dihadapi juga terkait dengan modal yang tinggi terutama untuk bahan baku (KIRBI, 2017a) Masalah-masalah tersebut menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan cukup tinggi. Padahal pengurangan (penekanan) biaya merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing keseluruhan partner dalam rantai pasok (Heizer & Render, 2014). Kegiatan ini secara keseluruhan dikoordinasikan dalam sebuah sistem yang disebut sebagai manajemen rantai pasok (Supply Chain Management) yang bertujuan untuk memaksimalkan 7

8 keunggulan kompetitif dan manfaat rantai pasok bagi konsumen akhir (Heizer & Render, 2014). Untuk dapat mewujudkan kemampuan bersaing pengrajin rajut di Binong Jati, maka strategi rantai pasok dapat diterapkan. Startegi ini bertujuan untuk menekan biaya, mengurangi modal dan meningkatkan pelayanan (Ballou, 2004). 1.3 Perumusan Masalah Masuknya ACFTA menyebabkan pengrajin di Sentra Industri Rajut Binong Jati harus mampu bersaing secara global, terutama dengan China yang merupakan negara industri besar yang masuk dalam kesepakatan pasar bebas tersebut. Masalah-masalah terkait bahan baku, arus kas, cacat produksi dan masalah lain nya berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan pengrajin menjadi lebih besar. Padahal biaya yang lebih besar akan memengaruhi harga jual produk rajutan. Sedangkan produk rajutan China cenderung berbiaya rendah, hal ini disebabkan kegiatan rantai pasokannya yang telah terintegrasi. Integrasi rantai pasokan sebagai bentuk strategi rantai pasokan ini terbukti dapat menekan biaya, sehingga harga jual produk China jauh lebih rendah jika dibandingkan harga jual produk rajut domestik. Masuknya impor produk rajutan China tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi para pengrajin di Sentra Industri Rajut Binong Jati agar dapat bersaing di pasar bebas ACFTA. Penerapan rantai pasokan guna menghadapi persaingan yang terjadi dapat dijadikan sebagai strategi untuk meningkatkan keunggulan bersaing pengrajin rajut domestik. Startegi ini bertujuan untuk menekan biaya, mengurangi modal dan meningkatkan pelayanan (Ballou, 2004). Namun strategi rantai pasokan dapat membantu pengembangan bisnis dan memaksimalkan persaingan jika strategi tersebut diterapkan secara efektif dan efisien. Untuk melihat hal tersebut, dapat dilakukan audit yang merupakan proses pengukuran (measurement) dan evaluasi (evaluation) performa rantai pasok (Ballou, 2004). Penilain performa rantai pasokan pengrajin yang merupakan usaha kecil dan menengah akan berbeda dengan perusahaan besar. Untuk melakukan penilaian performa tersebut dibutuhkan alat yang cocok karena objek yang dinilai 8

9 merupakan unit usaha kecil bukan perusahaan besar dengan rantai pasokan yang kompleks. Maka digunakan alat penilaian yang telah dikembangkan oleh Banomyong dan Supatn (2011a) yang disebut sebagai Supply Chain Performance Assessment Tool (SCPAT) yang merupakan alat pengukuran kinerja yang khusus dibangun untuk mengukur kinerja Usaha Kecil Menengah (UKM). Sehingga berdasarkan paparan tersebut sangat penting untuk dilakukan penelitian yang berjudul Analisis Penilaian Performa Rantai Pasokan Sentra Industri Rajut Binong Jati menggunakan Supply Chain Performance Assessment Tool (SCPAT) 1.4 Pertanyan Penelitian Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Bagaimana performa Rantai Pasok Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung berdasarkan SCPAT? 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Melakukan penilaian performa rantai pasokan Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung menggunakan SCPAT. 1.6 Manfaat Penelitian Praktisi Hasil dari penelitian analisis performa rantai pasok ini secara praktis diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk melakukan peningkatan performa rantai pasok Sentra Industri Rajut Binong Jati Teoritis Dalam tatanan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan terkait pengukuran rantai pasokan usaha kecil mengengah (UKM) menggunakan Supply Chain Performance Assessment Tool (SCPAT). Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang juga menilai performa rantai pasokan. 1.7 Ruang Lingkup Penelitian Untuk mengarahkan penelitian, maka dalam penelitian ini diberikan batasan ruang lingkup penelitian sebagai berikut: 1. Objek penelitian ini adalah pengrajin/ unit usaha yang berada di Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung. 9

10 2. Pengrajin yang menjadi objek adalah pengrajin yang tercatat/ secara resmi sebagai anggota dari Koperasi Industri Rajut Binong Jati (KIRBI) 3. Penelitian ini tidak melihat pada data historis 4. Penelitian ini tidak terikat dengan kurs dan penyusutan 1.8 Sistematika Penulisan Tugas Akhir Penelitian ini diuraikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang tentang alasan pengambilan permasalahan pada penelitian Selanjutnya menentukan perumusan masalah dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan serta manfaat dari penelitian baik manfaat praktisi maupun teoritis. Selanjutnya, pada bab ini juga dikemukakan ruang lingkup penelitian sebagai batasan dan untuk memfokuskan arah penelitian Bab 2 Landasan Teori Bab ini menjelaskan mengenai dasar teori yang berhubungan dengan penelitian serta teori-teori yang mendukung penulisan penelitian ini terutama yang berkaitan dengan pengukuran performa rantai pasok. Sehingga majadikan penelitian ini ilmiah dan teoritis sesuai dengan konsep-konsep maupun literatur yang sudah ada sebelumnya. Bab 3 Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai metode-metode maupun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Sehingga penelitian ini diharapkan mampu memberikan hasil sistematis yang dapat dipertanggung jawabkan dan mampu menjawab permasalahan yang diteliti. Menjelaskan proses pengumpulan data dari pengrajin rajut yang diteliti melalui wawancara dan kuisioner sesuai dengan kebutuhan penelitian. Serta melakukan pengolahan data sesuai dengan alat dan metode yang digunakan Bab 4 Analisis Bab ini menjelaskan mengenai analisis yang dilakukan peneliti pada penelitian ini dari pengolahan data yang dilakukan pada bab 10

11 sebelumnya. Analisis ini meliputi analisis hasil performa rantai pasok kelompok-kelompok unit usaha dan kemudian dilakukan perbandingan benchmark terhadap hasil kinerja berdasarkan metode SCPAT tersebut. Bab 5 Kesimpulan dan Saran Bab ini memaparkan kesimpulan dari keseluruhan hasil analisis pada bab sebelumnya serta memunculkan aspek-aspek yang perlu ditingkatkan oleh pengrajin rajut yang diteliti 11