BAB I Latar Belakang 1.1 Peran New Media dalam Perubahan Sosial Masyarakat Pesatnya perkembangan zaman mampu secara pesat mendorong perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Beragam bentuk teknologi komunikasi baru ini menjadi sarana dan media baru (new media) bagi masyarakat untuk saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Kehadiran new media membawa dampak yang sangat signifikan di dalam kehidupan manusia, terutama pada aspek kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Kemunculan new media berupa internet di akhir abad ke-20 menjadi katalisator yang secara signifikan memicu proses perubahan sosial masyarakat. Dengan internet, dunia seolah dipersempit, karena proses komunikasi dapat dilakukan dengan mudah, instan, masif serta tidak mengenal batasan jarak, ruang, dan waktu. Berbagai istilah baru seperti netizen, e-life, global village dan lain sebagainya muncul dan menjadi indikator proses sosialisasi di dalam masyarakat yang ada saat ini memiliki ketergantungan signifikan kepada berbagai bentuk new media yang belakangan ini muncul. Perkembangan teknologi dan new media sangat identik dengan modernisasi. Berbagai nilai dan norma baru muncul dan menggeser nilai dan norma Tradisional. Resistensi sering terjadi, terutama dari masyarakat yang konservatif dan fundamentalis. Masyarakat yang terbawa arus perkembangan teknologi seringkali memiliki berbagai karakteristik khusus, seperti rendahnya sikap kolektif, tingginya sikap individualistis di setiap anggotanya, kurangnya rasa memiliki
terhadap budaya lokal, dan berbagai karakteristik lain yang cenderung meningkatkan nilai-nilai individualistis di dalam masyarakat dan mengurangi nilai-nilai kebersamaan yang ada. Peningkatan nilai-nilai individualistis ini yang ditakutkan oleh Robert D. Putnam. Menurut Putnam, sebuah komunitas masyarakat mampu sukses dan berhasil apabila memiliki modal sosial atau social capital yang kuat. Modal sosial mampu dihasilkan ketika masyarakat memiliki nilai dan norma kebersamaan yang kuat pula. Ketika teori modal sosial milik Putnam dicetuskan, televisi menjadi momok besar bagi Putnam, karena di era tersebut televisi dan televisi kabel merupakan sebuah bentuk media baru yang mampu menyita perhatian masyarakat sehingga oleh Putnam hal tersebut dianggap mengurangi waktu mereka untuk bersosialisasi dengan individu lain. Menurut Putnam, semakin tingginya sikap individualistis masyarakat dan semakin rendahnya sifat kebersamaan di dalam masyarakat tersebut mampu menutup kemungkinan bagi mereka untuk bekerja sama dan mencapai sebuah tujuan bersama, sehingga modal sosial yang dimiliki terus menurun dan berakibat pada kejatuhan masyarakat tersebut. Bentuk new media atau media baru yang ada saat ini adalah berupa teknologi digital, terutama internet. Internet mampu secara cepat menggantikan peran televisi yang merupakan bentuk new media yang sangat populer di zamannya. Melalui internet masyarakat tidak perlu lagi bersosialisasi di dunia nyata, karena di dunia virtual mereka mampu mendapatkan teman dan individu lain yang juga berkomunikasi dan bersosialisasi secara virtual. Menurut Putnam hal ini akan berakibat pada peningkatan berbagai nilai individualistis, yang tentunya akan berimbas buruk pada aspek modal sosial di dalam sebuah komunitas masyarakat. Dengan adanya new media maka Putnam menganggap berbagai organisasi kemasyarakatan akan berkurang jumlahnya, sehingga jumlah modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat ikut berkurang.
1.2 New Media dan Teori Modal Sosial Robert D. Putnam Dalam bukunya, Bowling Alone: The Collapse and Revival of the American Society (2000), Robert D. Putnam membahas mengenai bagaimana pada zaman modern ini modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya masyarakat Amerika semakin lemah. Banyak organisasi dan komunitas kemasyarakatan yang ditutup karena kurangnya partisipasi masyarakat, semakin rendahnya jumlah aktivitas kemasyarakatan, dan hal tersebut makin diperburuk dengan kurangnya rasa percaya di antara anggota masyarakat. Berbagai permasalahan ini menjadi pertanda melemahnya modal sosial di dalam masyarakat. Agar sebuah komunitas masyarakat bisa sustainable dan stabil maka diperlukan sebuah jaringan dan koneksi sosial yang kuat, dengan demikian apabila masyarakat cenderung individualis maka jaringan sosial yang menjadi fondasi bagi modal sosial akan ikut melemah, dan berdampak pada berkurangnya kualitas hidup masyarakat. Ada empat faktor yang dinilai Putnam sebagai penyebab dari melemahnya modal sosial, empat faktor tersebut adalah: 1) Pressures of time and money. Tekanan akan kebutuhan berimbas pada semakin berkurangnya waktu bagi masyarakat untuk menjalin hubungan antara satu sama yang lain. Keterlibatan masyarakat di dalam kegiatan komunitas semakin menurun karena waktunya dihabiskan untuk bekerja, hal ini berdampak pada masyarakat yang selalu menginginkan sesuatu yang bersifat instan. Teknologi new media dianggap sebagai salah satu alat pemenuhan kebutuhan akan hal yang instan tersebut. Dengan demikian, menurut Putnam masyarakat akan menghabiskan waktunya menggunakan media tersebut dan tidak tertarik untuk berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Implikasinya adalah semakin berkurangnya komunikasi antar individu, dan melemahnya koneksi sosial yang dimiliki oleh komunitas tersebut. 2) Suburbanization, commuting, and sprawl. Faktor ini berkaitan erat dengan faktor sebelumnya. Di zaman modern ini dengan metode transportasi yang semakin mudah dan terjangkau mengakibatkan banyak masyarakat yang memiliki pekerjaan yang berlokasi jauh dari rumahnya, dan jauh dari komunitas tempat dia tinggal. Hal ini akan menyita waktunya, sehingga waktu yang bisa digunakan oleh masyarakat tersebut untuk berkontribusi dan memberikan sumbangsih di dalam komunitasnya ikut tersita. Dengan demikian apabila di dalam masyarakat banyak yang bekerja jauh dari komunitasnya, maka modal sosial komunitas tersebut akan melemah. Oleh Putnam faktor ini juga dinilai berkontribusi sebesar 10 persen di dalam melemahkan modal sosial. 3) The effects of electronic media. Dalam faktor ini new media juga muncul dan oleh Putnam dianggap sebagai faktor yang memperlemah modal sosial. Media elektronik dianggap mampu meningkatkan sikap individualistis di kalangan masyarakat, dan menyita waktu mereka sehingga waktu yang bisa dipergunakan untuk membangun komunitas justru habis digunakan untuk menikmati media elektronik. Oleh Putnam faktor media elektronik dinilai berkontribusi sebesar 25 persen di dalam melemahkan modal sosial di sebuah komunitas masyarakat. Faktor ini merupakan faktor kedua paling kuat di dalam melemahkan modal sosial di dalam sebuah komunitas masyarakat. Lebih lanjut mengenai faktor ini akan peneliti jabarkan di bawah. 4) Generational change. Pergantian generasi berkaitan erat dengan faktor ketiga. Ketika di sebuah komunitas masyarakat yang tua digantikan oleh masyarakat yang lebih
muda dan lebih terbuka di dalam menerima berbagai teknologi dan trend yang baru, maka modal sosial yang ada di dalam komunitas tersebut akan sangat dipengaruhi oleh trend yang dianut oleh masyarakat generasi yang baru tersebut. Dengan demikian apabila generasi tua yang membawa trend yang dapat memperkuat modal sosial digantikan oleh generasi masyarakat yang menganut trend baru yang justru memperlemah modal sosial, maka otomatis modal sosial di dalam komunitas masyarakat tersebut akan menjadi lemah. Dalam bukunya, oleh Putnam generasi ini dinamakan sebagai The TV Generation, karena generasi ini sangat bergantung pada new media yang saat itu berbentuk televisi dan televisi kabel. Seiring berjalannya waktu, new media turut berevolusi, dan kini The TV Generation secara perlahan digantikan oleh The Internet Generation. Faktor ini merupakan faktor yang paling kuat yang oleh Putnam dianggap mampu memperlemah modal sosial masyarakat. Faktor pertama, ketiga dan keempat, sangat dipengaruhi oleh kemunculan new media di dalam sebuah komunitas masyarakat. Ada dua bentuk new media yang disoroti oleh Putnam, yaitu new media yang berbentuk televisi dan new media yang berbentuk internet. Oleh Putnam new media dianggap mampu menyita perhatian masyarakat, sehingga waktu mereka habis digunakan untuk menggunakan media tersebut. Saat ini new media memiliki wujud sebagai media yang berbasis internet. Bentuk new media yang berupa internet ini juga oleh Putnam dianggap mampu memperlemah modal sosial di sebuah komunitas masyarakat. Bentuk komunikasi yang berbasis online dianggap tidak sesuai untuk membentuk modal sosial di sebuah komunitas masyarakat. Putnam memberikan empat alasan yang mendasari hal ini. Empat alasan itu adalah:
1) Face-to-face communications carry more contextual information. Komunikasi secara langsung atau secara tatap muka mampu lebih banyak membawa informasi kontekstual dibandingkan interaksi online. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat komunikasi nonverbal yang menyertai komunikasi tatap muka. Komunikasi online seringkali susah dikontrol, dan sebaliknya komunikasi tatap muka lebih mudah untuk dikontrol, dengan demikian bentuk komunikasi langsung atau tatap muka akan lebih mudah digunakan oleh masyarakat, dan lebih mudah bagi masyarakat untuk menyampaikan sebuah informasi. 2) Face-to-face interactions can bring diverse people together. Interaksi tatap muka dapat mengumpulkan orang-orang yang berbeda, dan sebaliknya komunikasi online hanya bisa terjadi di kalangan orang yang memiliki jalan pikiran yang sama. Hal ini oleh Putnam disebut sebagai cyberbalkanization, di mana aktivitas sosial terpecah ke dalam kubu-kubu yang memiliki jalan pikiran yang senada, sehingga jaringan sosial yang kuat tidak akan bisa terjalin. 3) Online interactions do not foster social capital because of a digital divide in access to the internet. Interaksi online tidak bisa digunakan untuk memperkuat modal sosial dikarenakan tidak semua orang bisa menggunakan internet, dengan demikian hanya kalangan elit saja yang bisa menikmati hal ini, dan bukan masyarakat publik secara keseluruhan. 4) The Internet has more potential to become a form of entertainment rather than communication. Internet memiliki potensial yang besar untuk menjadi sebuah bentuk hiburan belaka, dan tidak mampu menjadi media komunikasi yang kuat. Internet pada akhirnya hanya akan menjadi televisi baru, di mana masyarakat hanya akan
menggunakannya sebagai media hiburan, dan pada akhirnya akan menyita waktu mereka, dan tidak memberikan kontribusi pada komunitasnya. Keempat alasan yang dicetuskan oleh Robert D. Putnam tersebut merupakan alasan utama di mana internet, sebagai sebuah bentuk new media dianggap tidak mampu memberikan dampak yang konstruktif bagi modal sosial, dan justru menjadi penghambat penguatan modal sosial di berbagai komunitas masyarakat. Namun demikian di Kota Yogyakarta, ada sebuah kampung yang berhasil memanfaatkan new media sebagai instrumen penguatan modal sosial di dalam komunitasnya, khususnya new media yang berbasis internet atau web-based. Kampung tersebut bernama Kampoeng Cyber yang berlokasi di RT 36, Kelurahan Patehan, Kompleks Keraton Yogyakarta. kampung ini merupakan sebuah kampung yang mampu muncul dan memperkuat modal sosial di dalam masyarakatnya, melalui pemanfaatan teknologi new media. New Media mampu memperkuat modal sosial di Kampoeng Cyber sekaligus meningkatkan kualitas hidup warganya. Pada awalnya RT 36 bisa dikatakan cukup tertinggal dalam bidang teknologi. Pada tahun 2008, muncul seorang pelopor yang memperkenalkan dan menguatkan peran teknologi internet di RT 36. Awalnya teknologi new media, dalam hal ini berupa blog hanya digunakan untuk media publikasi berbagai kegiatan RT. Seiring berjalannya waktu, fungsi blog tersebut semakin kuat, berbagai bentuk new media lain diperkenalkan kepada warga dan pada akhirnya melalui new media, ikatan antar warga dapat diperkuat. Kampoeng Cyber merupakan indikator yang menujukkan bahwa teori Putnam mengenai social capital atau modal sosial tidak bisa digeneralisasikan ke dalam seluruh bentuk komunitas masyarakat. Kampung tersebut merupakan contoh nyata dimana new media mampu meningkatkan modal sosial sebuah komunitas masyarakat, sehingga kualitas dan taraf hidup masyarakat di
kampung tersebut mampu ditingkatkan. Kampoeng Cyber mampu mematahkan stereotype ataupun stigma yang menganggap bahwa new media selalu berdampak buruk pada kehidupan sosial masyarakat, yang akhirnya berimbas pada modal sosial dalam masyarakat. Sebaliknya, Komuntas Kampoeng Cyber mampu meningkatkan modal sosial dan kualitas hidup masyarakat yang ada melalui pemanfaatan teknologi new media. 1.3 Kampoeng Cyber Sebagai Kampung Internet Awal mula pendirian Kampoeng Cyber muncul dari pemikiran salah satu warga kampung tersebut, yang bernama Antonius Sasongko, atau Koko. Pada mulanya, kampung yang terletak di RT 36 Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton ini cukup terbelakang, terutama dari segi penggunaan teknologi. Banyak warga kampung ini yang bekerja sebagai perajin seni, seperti pelukis, musisi, maupun produsen batik yang kurang produktif den seringkali berganti-ganti pekerjaan. Pada pertengahan tahun 2008, Koko mencoba menggunakan blog sebagai media yang mampu menjembatani hubungan antar warga sekaligus mempromosikan berbagai produk yang ada di kampung tersebut. Seiring berjalannya waktu, peran blog tersebut makin kuat, dan mampu menunjukkan eksistensi warga RT 36, baik di kancah nasional dan bahkan hingga kancah internasional. Berbagai program dan aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan angka melek teknologi digalakkan oleh Koko dan warga Kampoeng Cyber. Sebagai contoh, berbagai pelatihan dan pengenalan teknologi internet kepada warga, pendampingan dan pendidikan internet, penggunaan media sosial sebagai media komunikasi internal warga, dan berbagai aktivitas lain yang memanfaatkan new media. Warga juga saling bergotong royong dan berkerja sama untuk
mewujudkan internet gratis di Kampung mereka. Hal tersebut dapat terwujud dengan hadirnya internet gratis di Gardu Ronda. Pada tahun 2013 internet gratis dikembangkan melalui kerja sama dengan perusahaan swasta, melalui pemasangan Wi-Fi kampung. Dengan demikian warga mampu secara cuma-cuma menikmati koneksi internet. Melalui aktivitas komunitas Kampoeng Cyber, saat ini lebih dari 90% warga Kampoeng Cyber mampu terkoneksi dengan internet. Komunitas Kampoeng Cyber menjadi bukti nyata di mana berbagai bentuk teknologi new media mampu meningkatkan modal sosial, dan kemudian mampu meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat dan anggota komunitas tersebut. Kini Kampoeng Cyber telah maju dan meraih berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan pada tahun 2014 kemarin Mark Zuckerberg, pendiri Facebook datang dan berkunjung ke Kampoeng Cyber. Komunitas kampung tersebut, yaitu Kampoeng Cyber merupakan sebuah contoh komunitas yang unik, dimana modal sosial mampu ditumbuhkan dari salah satu faktor yang dinilai oleh banyak ahli justru mematikan modal sosial atau social capital sebuah komunitas masyarakat. Oleh Robert D. Putnam dan banyak ahli, berbagai bentuk media baru dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan sifat individualisme di kalangan masyarakat, sehingga berbagai aktivitas masyarakat yang muncul dari budaya tradisional mereka menjadi semakin berkurang intensitasnya. Namun di Kampoeng Cyber, masyarakat justru mampu merangkul new media, mengakulturasikan new media ke dalam budaya komunitas mereka, dan hasil akhirnya adalah modal sosial yang semakin meningkat, dan kesejahteraan masyarakatnya juga turut meningkat.
1.4 New Media dan Modal Sosial di Kampoeng Cyber Kampoeng Cyber merupakan sebuah kelompok masyarakat yang unik. Masyarakat Kampoeng Cyber mampu mengintegrasikan berbagai wujud teknologi new media ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Teknologi new media mampu terintegrasi ke dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di dalam kehidupan warga Kampoeng Cyber. Oleh warga kampung tersebut, new media mampu digunakan dalam proses interaksi, pengambilan keputusan, beraspirasi, bisnis, dan berbagai aktivitas lain yang mereka lakukan. Berbagai penerapan teknologi new media ini difasilitasi oleh Kampoeng Cyber, baik melalui sarana fisik, ataupun non fisik. Peran teknologi new media yang dominan di Kampoeng Cyber mampu membentuk sikap masyarakat yang hidup di dalamnya. Berbagai elemen modal sosial yang ada di kampung tersebut juga mampu dibentuk oleh pengintegrasian berbagai teknologi new media ke dalam kehidupan masyarakat Kampoeng Cyber. Kemudahan komunikasi yang dihadirkan oleh teknologi new media merupakan faktor terpenting yang berperan dalam penguatan modal sosial di Kampoeng Cyber. Dengan mudahnya komunikasi maka seluruh elemen masyarakat yang hidup di dalam komunitas kampung tersebut dapat membaur tanpa memperdulikan berbagai sekat sosial dan batasan yang menonjol ketika teknologi new media belum dimanfaatkan secara luas. Kemudahan komunikasi mampu mendorong berbagai elemen masyarakat yang tadinya pasif, segan, pèkewuh untuk ikut andil dalam berbagai proses penyelesaian masalah di Kampoeng Cyber serta turut berpartisipasi dalam menyuarakan saran dan kritiknya. Dengan demikian pada akhirnya rasa kepemilikan terhadap komunitas kampung mereka dapat tumbuh dan dibangun dengan semakin kuat. Rasa kepemilikan atau sense of belonging ini mampu merekatkan hubungan antar warga, hasil akhirnya adalah sebuah komunitas masyarakat yang cerdas, guyub, rukun, dan memiliki modal sosial yang kuat.
Manfaat new media lain seperti fungsinya sebagai media bisnis, selain mampu memeperkuat modal sosial, juga mampu memperbaiki kualitas hidup banyak warga Kampoeng Cyber. Sebagian besar warga Kampoeng Cyber berprofesi sebagai pengusaha dan seniman, sebelum teknologi new media dimanfaatkan secara luas di kampung itu, proses bisnis yang dilakukan oleh warga cenderung stagnan dan konvensional. Namun setelah warga difasilitasi kegiatan bisnisnya melalui pelatihan dan prasarana kampung, banyak bisnis yang ditekuni oleh warga Kampoeng Cyber yang berkembang pesat. Fakta tersebut menunjukkan bahwa teknologi new media selain mampu menjadi media komunikasi interpersonal bagi warganya, juga mampu menjadi sarana yang mampu meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat Kampoeng Cyber. Paparan di atas menujukkan bagaimana teknologi new media membawa pengaruh konstruktif di dalam komunitas Kampoeng Cyber. Paparan lebih mendetail mengenai berbagai pengaruh pemanfaatan teknologi new media di Kampoeng Cyber akan penulis jelaskan di beberapa bab selanjutnya. 1.5 Rumusan Masalah
Bagaimana Kampoeng Cyber mampu menumbuhkan dan memperkuat modal sosial di dalam komunitasnya melalui penggunaan new media, yang selama ini dianggap sebagai salah satu faktor yang dinilai dapat mengurangi modal sosial di sebuah komunitas masyarakat? 1.6 Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan bagaimana new media mampu digunakan dalam rangka penguatan modal sosial di suatu komunitas masyarakat, khususnya komunitas Kampoeng Cyber 2. Mencoba membuktikan bahwa penggunaan teknologi new media di sebuah komunitas masyarakat tidak selamanya berdampak negatif pada modal sosial, dan mampu memberi dampak yang konstruktif kepada komunitas masyarakat tersebut.