BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan The American Heritage (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah ingatan tentang material yang telah dipelajari yang meliputi kemampuan mengingat luasnya materi, dari fakta yang spesifik sampai teori yang lengkap. Menurut Bloom (2007), pengetahuan terdiri dari 6 (enam) tingkatan yaitu: a. Tahu, diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkatan seseorang hanya mampu menjelaskan secara garis besar apa yang telah dipelajari/diketahui. b. Pemahaman, diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara jelas tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus mengkonsumsi makananan yang bergizi. 8
9 c. Penerapan, diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari untuk suatu situasi yang baru dan nyata. Aplikasi disini dapat diartikan juga sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis, adalah tingkat di mana seseorang telah mampu menganalisis hubungan yang satu bagian dengan bagian yang lain dan mampu menguasai bentuk struktur dari apa yang telah dipelajari. e. Sintesis, menunjukan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk yang baru. f. Evaluasi, merupakan tingkat pengetahuan tinggi setelah ada kemampuan untuk mengetahui secara menyeluruh dari semua bahan yang telah dipelajarinya, dan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. 2.2. Konsep Sikap a. Pengertian Sikap
10 Menurut Sarnoff dalam Sarwono (2000) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek-obyek tertentu. b. Komponen Sikap Menurut Sugiono (2000) struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang : 1. Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. 2. Komponen afektif, merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. 3. Komponen konatif, merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki
11 oleh seseorang. Komponen tersebut berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Selain itu, konatif berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku. 2.3. Konsep Keluarga 1) Pengertian Menurut Depkes RI (2000) menyatakan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. 2) Fungsi Keluarga Fungsi keluarga terbagi atas : a) Fungsi Biologi Fungsi ini meliputi meneruskan keturunan dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, serta memelihara dan merawat anggota keluarga. b) Fungsi Psikologis
12 Fungsi psikologis ini mencakup memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian antara keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan indentitas keluarga c) Fungsi Sosialisasi Fungsi ini diantaranya membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku, dan meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. d) Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi ini meliputi mencari sumber-sumber penghasilan, penganggaran penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di masa yang akan datang. e) Fungsi Pendidikan Fungsi pendidikan yang meliputi menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya. 2.4. Tuberkulosis
13 1. Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru Brunnerr dan Sudarth (2002), mengemukakan bahwa TB paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan berbentuk batang. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan. Hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai basil tahan asam (BTA). Kuman Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan sampai beberapa tahun dalam jaringan tubuh. Dengan periode masa inkubasi 4-12 minggu untuk pembentukan lesi primer. Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian
14 tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. (Brunnerr dan Sudarth,2002) Menurut Aditama (2006), daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi hasil positif dari pemeriksaan dahak, semakin beresiko menularkan ke orang lain. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka belum tentu penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Menurut Brunner dan Sudarth (2002), TB Paru secara klinis, dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di alveoli paru. Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk. Respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB Paru dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada
15 beberapa kuman yang menetap sebagai persisten atau dormant, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman. Akibatnya, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, yang ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya efusi pleura. Depkes RI (2002) menyatakan bahwa penderita TB Paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis (hanya menghilangkan rasa sakit tanpa menghilangkan penyebab sakit). Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai
16 sesuai pedoman pengobatan tidak lagi dapat membunuh kuman (Depkes RI, 2002 ). Faktor-faktor penentu yang saling berinteraksi sesuai dengan tahapan perjalanan alamiah, diantaranya : a. Periode Prepatogenesis 1) Faktor Agen Menurut Gibson (2002), karakteristik alami dari agen TB Paru hampir bersifat resisten terhadap desifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi. 2) Faktor Lingkungan Menurut Keman (2002), distribusi geografis TB Paru mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang pravalensi menurut berkembangnya. Penularannya berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal
17 penting dalam kasus TB Paru. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TB Paru dengan kelas sosial yang meliputi pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TB Paru dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya. 3) Faktor Host Smith (2002) menyatakan bahwa umur merupakan faktor terpenting dari host pada TB Paru. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TB Paru sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosio ekonomi. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TB, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum
18 juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi. b. Periode Patogenesis (Interaksi Host-Agent) Ahmadi dan Bustan (2002), menyatakan bahwa interaksi terutama terjadi akibat masuknya agent ke dalam saluran respirasi dan pencernaan host. Contohnya Mycobacterium yang melewati barrier plasenta, kemudian fase dormant ini tidak selalu berarti penyakit klinis. Infeksi selanjutnya bergantung pada pengaruh interaksi dari agent, host dan lingkungan. 2. Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru Menurut Depkes (2008), gejala utama pasien TB Paru adalah batuk berdahak selama 3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan, yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik serta demam lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang yang diduga positif TB Paru (suspek).
19 3. Komplikasi TB Paru Kompilkasi TB Paru ini bias menyebabkan hepatotoksisitas yang terjadi karena reaksi hipersensivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali. Bila dalam proses yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi berarti hepatotoksisitas, karena adanya reaksi hipersensitivitas, sehingga penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan terjadi : 1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis. 2. Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis), Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru. 4. Pencegahan Penularan TB Paru Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terjangkitnya TB Paru antara lain : a. Pencegahan Primer Gibson (2000) menyatakan bahwa pencegahan TB Paru dapat dilakukan dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TB Paru paling efektif, selain itu
20 pencegahan primer juga bagian dalam proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TB Paru yang meliputi; imunisasi aktif, melalui vaksinasi dasar BCG pada neonatus dan di daerah endemik/angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung host tambahan dan lingkungan, serta memeriksakan semua anggota keluarga di dalam keluarga pasien TB Paru. b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan melalui dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TB Paru yang timbul ditentukan dengan 3 komponen utama yaitu: agent, host dan lingkungan. Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif. Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TB Paru, dengan imunisasi TB Paru negatif dan Chemoprophylaxis pada TB Paru positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit,
21 desinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap epidemi TB Paru. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis (Depkes, 2008 ) c. Pencegahan Tersier Menurut Depkes (2008), rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TB Paru. Dimulai dengan diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi menghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TB Paru, serta penegasan perlunya rehabilitasi 5. Diagnosis TB Paru Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara lain : a. Pemeriksaan Klinik Pada pemeriksaan klinis gejala yang timbul antara lain sering mengalami batuk berdahak, batuk darah, nyeri
22 dada dan badan lemah di samping itu diagnosa klinik ini merupakan gejala yang sering timbul tersamarkan dengan penyakit lainnya (Depkes, 2008). b. Pemeriksaan Radiologik Dilakukan untuk menunjang pemeriksaan klinik. Pada pemeriksaan radiologik ini, hal yang sangat berpengaruh yaitu kualitas gambar hasilnya. Kualitas gambar yang sangat baik akan dapat mempermudah menentukan hasil indentifikasi penderita TB Paru. Selain itu kualitas diagnosa juga semakin baik. c. Pemeriksaaan Laboratorium Thorax Pemeriksaan laboratorium ini berupa uji bakteriologik (Sputum) yang berfungsi menemukan kuman Mycobacterium TB Paru dari dahak penderita dan memastikan diagnosis tuberculosis paru. Pemeriksaan biasanya lebih sensitif daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan dahak yang benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada pemeriksaan pertama, sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan. Kultur sputum Mycobacterium tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit. Tes tuberkulin: Mantoux test reaksi
23 positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam). Pemeriksaan sputum BTA positif adalah diagnostik yang terpenting (gold standart) dalam prograrn pemberantasan TB Paru di Indonesia (Depkes, 2008). d. Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis Langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). 1) S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua. 2) P (pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
24 3) S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Depkes, 2008) 6. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit Menurut Depkes (2008), klasifikasi TB Paru berdasarkan tingkat keparahan penyakit antara lain : a. TB Paru BTA negatif foto toraks positif Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas. b. Tuberkulosis ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang, tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin. 7. Klasifikasi tipe pasien Depkes RI (2006) menyatakan bahwa tipe pasien ditentukan bedasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dan klasifikasi ini meliputi :
25 (a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). (b) Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi. (c) Kasus setelah putus berobat (default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. (d) Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (e) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 8. Pengobatan TB Paru Menurut Istiantoro dan Setiabudy (2007), pengobatan TB Paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
26 resistensi kuman terhadap OAT. Mycobacterium merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Kategori I (2HRZE/4H3R3) Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ). Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 ) Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.diberikan kepada :Penderita kambuh,penderita gagal terapi, Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 ) Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I. Kategori IV, kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas
27 pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan rendah sekali. 9. Prinsip Pengobatan TB Paru OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat yang sesuai dengan kategori pengobatan. Penggunaan OAT tunggal (monoterapi) harus dihindari. Pemakaian obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengawasan langsung atau directly observed treatment (DOT) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO) harus dilakukan untuk menjamin kepatuhan pasien. Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif atau awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
28 membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2008).